“Monggo pinarak,” hatur Roya ketika kedua manik mata mereka kesekian kalinya bertemu. Lekas dirinya membuang muka dan menyapukan tatap mata yang telah berembun itu pada benda sekenanya.
Lelaki yang selama ini ia cintai, yang kerap ia bela matia-matian, lelaki yang ribuan hari ia rindukan. Rindu yang ia peluk sendirian, hari ini membuatnya tertikam.
“Njenengan-“
“Silakan istirahat, ngapunten saya tingggal ke dapur dulu,” potong Roya lagi sebelum lelaki itu membuka suara. Sedetik kemudian ia bergegas berlalu sembari memegangi ulu hati yang terasa nyeri. Sempat ditatapnya sekali lagi lelaki berkoko cokelat itu dengan tatap yang telah berkaca-kaca. Berharap bahwa dirinya berhalusinasi lagi seperti yang sudah-sudah. Seperti dirinya yang mengira melihat Kang Falah di terminal sebulan lalu, tetapi ketika mendekat, ia menyeru, “Ayo, Mbak, Kang, Jeporo? Kudus? Ayo, monggo ....” Ya, dia kernet bus bukan Kang Falah.
Halusinasi yang sama seperti tadi pagi ketika dirinya melihat lelaki itu seperti melintas di depan gerbang pesantren, tetapi bahkan setelah mengerjap berkali-kali, Roya menyadari kali ini matanya tidak berbohong. Hatinya tidak mengada-ada. Lelaki yang tengah membopong putra kecilnya itu benar Kang Falahnya.
Dengan setengah berlari, lekas Roya melangkahkan cepat kakinya. Tak sanggup lagi rasanya jika ia harus tetap menyaksikan pemandangan itu. Dekap hangatnya pada pria kecil yang memanggilnya abi, apalagi genggam perempuan bergamis maroon yang tadi menggelayut manja padanya.
Sampai di balik lemari pembatas dapur, Roya bersimpuh. Menyandarkan bahunya yang berguncang pada dinding-dinding yang berlumut. Tangisnya membuncah. Air matanya tak lagi dapat terbendung.
Tidak pernah terlintas di pikirannya semua akan jadi begini. Roya kira cinta tak akan menggoyahkan hatinya. Terlepas dari jarak atau lamanya waktu memisahkan. Entah sudah berapa ratus atau berapa ribu malam ia menunggu. Menatap senyum pada foto tiga kali empat itu dan bercerita kepada rembulan bahwa Kang Falahnya akan segera kembali.
Entah berapa rindu yang ia rangkai, atau harap yang ia semai. Hari ini doanya terjawab, semesta membawa Kang Falah kembali. Namun, dengan keadaan yang sama sekali telah jauh berbeda. Dengan rindu yang tak bisa lagi ia dekap, dengan cinta yang tak lagi bisa disemogakan. Cepat atau lambat, mau tak mau, suka atau tidak dirinya harus bisa menerima kenyataan bahwa Kang Falah sudah menjadi milik perempuan lain. Dia suami orang. Nurul-bekas sahabtnya semasa menjadi santri di Miftahul Hidayah dulu.
“Ning, ini teh hangatnya sudah siap. Apa saya antar ke depan sekarang?” tukas seorang mbak ndalem sembari menghampiri Roya. Bergegas disekanya jejak-jejak air mata sembari mengerjap-kerjap. Tidak tau harus apa selain menunduk menyembunyikan muka yang telah sembab.
“Taruh sini saja, Mbak. Biar saya yang bawa. Sampeyan bisa kembali. Oh iya panggil Kang Ishlah tanyakan apa rumah belakang yang untuk ustaz baru sudah disiapkan?”
“Nggih, Ning.”
Hening. Sebentar Roya menghela napas panjang dan mengerjap-kerjap. Memastikan tangisnya harus sejenak mereda. Setidaknya kali ini saja, Roya harus menghadapinya sekali lagi.
Selangkah demi selangkah kemudian Roya mulai berjalan. Mencoba tetap tenang meski luka yang ia bungkam paksa membuat tubuhnya bergetar. Tampak jelas dari gemeletuk gelas-gelas dalam nampan jika saja diperhatikan.
Dari kejauhan, pasangan suami istri itu tampak asyik berbincang. Sesekali tertawa sambil membelai putranya yang sudah terlelap. Sekali lagi Roya menarik napas panjang, mempersiapkan hatinya untuk mungkin tercacah-cacah menjadi bagian yang lebih mengenaskan lagi.
“Loh, Ning, mboten perlu repot-repot begini,” Perempuan bergamis maroon itu lekas berdiri sambil mengambil alih benda-benda dari tangan Roya. Namun, gadis itu tetap bergeming. Memasang wajah datar dan menata posisi duduknya menghadap pekatnya malam di luar.
“Monggo, Rul, Ustaz, maaf adanya hanya ini saja,” sambung Roya basa-basi sembari kemudian membuka tutup-tutup toples.
“Sampun, Ning. Nggak usah repot-repot begini. Biasanya gimana? Kalau mau ya saya ambil-ambil sendiri toh? Oh nggih, saya dengar Abah masuk rumah sakit?”
“Iya, Rul. Sudah seminggu lebih.” Tak banyak. Suasana hatinya terlanjur kacau. Untuk tersenyum saja, rasanya ia tak sanggup.
“Sakit apa, Ning?”
“Doakan saja cepat sembuh.”
“Njenengan sendiri apa kabar?” potong Kang Falah tiba-tiba. Beberapa saat hening. Segera Nurul menyenggol lengan suaminya, mengira pertanyaan itu kurang tepat. Sedang Roya hanya bisa meremas-remas ujung jilbab. Tak tahu harus menjawab apa atau bagaimana.
Kabar apa yang ingin Kang Falah tau darinya. Apa dirinya harus mengatakan bahagia atas hati yang hancur lebur? Luka mana yang lebih sakit dari luka yang dikirim dari seorang yang tak pernah kau sangka akan menyakitimu?
“Aku baik, hanya sedikit … ah lupakan.”
Refleks matanya mulai berkabut. Kekuatannya semakin menipis. Sekokoh-kokohnya Roya mencoba bertahan, rasanya jiwanya terlalu ringkih atas segala bentuk perhatian Kang Falah.
“Sudah lama ya, Rul, kita nggak bertemu,” lanjut Roya mencoba mengalihkan pembicaraan. Tak mau jika tiba-tiba air matanya menetes. Sementara belum ada jawaban yang dipersiapkan.
“Iya. Sudah sejak lulusan pondok njenengan nggak ada kabar. Eh tambah cuantik, pangling loh aku, Ning.”
“Kamu yang hilang kabar. Eh tau-tau sudah … nikah,” ucap Roya berat sambil melirik lelaki yang sontak menunduk semakin dalam.
“Nggak bilang-bilang juga. Nggak undang-undang. Pikunmu mesti umat toh?”
“Hey-Hey, Hallo … lha wong Njenengan yang nggak datang kok pikunku yang disalahkan. Yaqin mantep pake qof undangannya udah tak kirim seketika keluar dari printernya. Masih anget kebul-kebul udah tak tulis nama njenengan. Sumprit, abang-abang warnet jadi saksinya, Ning,” cerocos wanita itu sambil terbahak-bahak. Layaknya bertemu sahabat lama, dia bercerita panjang lebar. Namun, luka hati Roya sama sekali tak bisa terhibur.
“Ngomong-ngomong, apa kabar Kang misteriusmu itu sekarang, Ning? Jadi rencana ngelamarnya?” tanyanya polos. Tak menyadari bahwa orang yang ia tanyakan sejatinya adalah lelaki yang tengah duduk di sampingnya.
Tak ada yang Roya katakan untuk menjawab pertanyaan itu. Hanya tarikan napas panjang dan menunduk dalam. Berusaha menyembunyikan kaca-kaca di matanya yang terus memaksanya untuk mengerjap.
Lelaki itu sepertinya tidak menceritakan apa pun kepada Nurul tentang dirinya. Memang benar, memang seharusnya begitu. Apa jadinya jika perempuan itu tau kalau suaminya memiliki masa lalu dengan perempuan yang sekarang sedang mereka hadapi. Perempuan pemilik tempat mereka berada sekarang. Perempuan yang akan mereka lihat setiap hari. Luka yang sama dengan hati Roya akan tercipta. Namun, pedih yang harus Roya tanggung sendirian ini bukankah tidak adil?
“Ning?” panggilnya lagi. Seolah ingin tau benar jawaban atas pertanyaan tadi.
“Dia hanya datang untuk menghilang. Aku salah menaruh rasa. Keliru menggenggam harap. Hingga hatiku harus sekarat. Remuk dihantam kenyataan,” jawab Roya sembari mendongak. Sengaja dia melayangkan tamparan keras itu. Kedua bola matanya yang memerah menatap lekat lelaki yang hanya bisa bungkam. Menunduk sembari memandangi jemari Roya yang meremas kacang tanah. Memperagakan hatinya yang hancur berserakan.
“Lha kok bisa, Ning?”
Tok …. Tok ….
“Ngapunten, Ning. Rumah belakang sudah saya tata. Barang-barang Ustaz juga sudah saya usung ke sana semuanya,” lapor lelaki yang telah lama menjadi tangan kanan abahnya.
“Ya sudah, terima kasih. Oh nggih, Ustaz, silakan kalau mau istirahat. Maaf mengganggu waktu njenengan. Semoga kita bisa memulai awal yang baru dengan baik.”
“Oh, iya, Mas, bener. Sekarang sudah hampir jam satu. Ayok cepetan ke sana! Malah nyerocos aja. Ngapunten nggih, Ning, mengganggu jam istirahat njenengan. Kami permisi dulu. Terima kasih atas kepercayaannya pada Mas Falah.”
Setelah mendapat balas senyum dari Roya, perempuan itu bergegas melenggang keluar. Membenarkan gendongan anaknya yang melorot sambil menimang-nimang. Tinggal Kang Falah yang masih tampak enggan, seolah ada suatu hal yang masih ingin dibicarakan.
“Ning-“
“Cukup. Jangan katakan apa pun lagi. Aku tidak butuh. Kau sendiri yang mengakhiri segalanya, ‘kan, Kang? Jadi mulai sekarang, tolonh jangan pernah mencoba menemui aku lagi.”
“Mas….” “I-iya?” jawab Falah setengah terperanjat. Dari ekor mata, tampak perempuan yang telah sah menjadi istrinya dua tahun lalu itu mengelus pundaknya lembut. Menyejajarinya duduk di kursi depan rumah yang sudah sejak pagi sibuk ditata dan dibersihkan oleh mbak-mbak ndalem yang ditempatkan di sana. “Sampeyan kenapa to, Mas? Dari semalam aku perhatikan ngelamun terus.” “Enggak, aku enggak apa-apa,” jawab lagi lelaki itu datar. Memang, perempuan itu memang pandai membaca gerak-gerik. Sedari malam matanya memang seolah enggan untuk terpejam. Namun, bagaimana mungkin dirinya akan menciritakan hal yang mengganggu pikirannya ini pada istrinya. Bagaimana mungkin dirinya menciratakan bayangan Roya yang tak henti-hentinya berkelebat. Sudah dua tahun sedangkan masa lalu itu sempat ingin ia tutup rapat-rapat. “Kebiasaan, kalau ditanya selalu jawabannya enggak apa-apa. Enggak apa-apa tapi kok begitu. Selalu saja menyembunyikan sesuatu dariku. Aku istrimu, Mas. Cobalah berterus terang, b
Setelah beberapa kilometer melewati batas kabupaten, jalanan padat merayap. Kendaraan-kendaraan raksasa yang menangani proyek pembangunan membuat lalu lintas hampir lumpuh. Banyak pengemudi yang mulai kesal. Memencet-mencet klakson berulang kali atau keluar dari kendaraannya sembari menutup pintunya keras. Lantas mereka menepi ke sisi jalan. Singgah di warung-warung sekitar. Sayup-sayup terdengar mereka mulai mengeluh dan sesekali mengumpat. Berbeda dengan Falah yang sejak tadi hanya diam. Setia menatap lurus ke depan. Manik matanya tertuju pada mobil berbadan kuning yang tengah mengerek buis beton. Namun, lain lagi dengan pikiran dan hatinya yang dipenuhi dengan pengakuan abdi dalem tadi tentang Roya. Falah memang mengenalnya sebagai gadis yang teguh pendirian. Sekali memilih, dia akan mempertahankan hal itu mati-matian. Soal setia apalagi. Meski andai ribuan pilihan disodorkan pun, Roya tidak akan pernah berpaling. Namun, sama sekali tak pernah Falah sangka Roya akan sekeras kepal
“Ning ….” Seketika isak itu terpaksa berhenti. Dengan mata merah pekat dan tangis yang membanjir di pipi, Roya menoleh. Beranjak dari kursinya dan bersitatap dengan lelaki yang terus melangkah maju. “Berhenti! Siapa yang mengizinkanmu masuk?” Falah menghela napas panjang. Sesuai perintah Roya, dari jarak beberapa meter ia kembali mematung. Namun, kali ini dengan menunduk dalam. Tak berani menatap bola mata Roya yang dipenuhi api murka. “Aku datang ingin menjenguk Kiai Nashih, Ning.” “Tapi itu tidak perlu. Aku tidak butuh kepedulian atau belas kasih dari penghianat sepertimu. Silakan keluar!” perintah gadis itu dengan telapak tangan terbuka menunjuk pintu. Dadanya sudah kembang kempis menahan gejolak emosi. Bagaimana tidak? Kang Falah seolah enggan berhenti membayangi langkahnya. Padahal telah sejak awal ia tegaskan agar tidak menemui dirinya lagi. “Tolong, Ning! Dengarkan aku sekali ini saja.” “Sudahlah, Kang. Tidak ada yang perlu didengar atau dijelaskan. Apa pedulimu? Pula
"Cukup. Dengarkan Abah, Nduk!""Abah yang kali ini harus mendengarkan Roya," teriaknya sembari meninggalkan ruangan dan membanting pintu. Napasnya memburu. Seirama dengan langkah lebarnya menuju kamar. Wajah bersimbah air mata miliknya dibenamkan pada bantal sambil mengeluarkan sepotong foto lama yang terselip di pinggiran ranjang. Kertas berukuran tiga kali empat yang selalu dipandanginya dengan senyum yang sama seperti dalam foto itu. Sebenarnya bukan hanya sekali. Bahkan bisa dibilang hampir setiap hari pertengkaran yang kian hari makin menghebat itu meletup setiap kali Kiai Nashih mengulang topik bahasan yang sama.Dengan alasan usia yang semakin menua, lelaki nomor satu di pesantren itu terus memaksa Roya menikah dengan Gus Ahnaf. Lelaki yang oleh abahnya itu selalu digadang-gadang akan mampu mengurus pesantren dengan baik sepeninggalnya nanti. Padahal sejauh ini, Roya rasa dirinya tak kurang jika hanya dituntut mampu mengurus lembaga itu sendirian. Jika memang alasan selanjutny
“Ning ….” Seketika isak itu terpaksa berhenti. Dengan mata merah pekat dan tangis yang membanjir di pipi, Roya menoleh. Beranjak dari kursinya dan bersitatap dengan lelaki yang terus melangkah maju. “Berhenti! Siapa yang mengizinkanmu masuk?” Falah menghela napas panjang. Sesuai perintah Roya, dari jarak beberapa meter ia kembali mematung. Namun, kali ini dengan menunduk dalam. Tak berani menatap bola mata Roya yang dipenuhi api murka. “Aku datang ingin menjenguk Kiai Nashih, Ning.” “Tapi itu tidak perlu. Aku tidak butuh kepedulian atau belas kasih dari penghianat sepertimu. Silakan keluar!” perintah gadis itu dengan telapak tangan terbuka menunjuk pintu. Dadanya sudah kembang kempis menahan gejolak emosi. Bagaimana tidak? Kang Falah seolah enggan berhenti membayangi langkahnya. Padahal telah sejak awal ia tegaskan agar tidak menemui dirinya lagi. “Tolong, Ning! Dengarkan aku sekali ini saja.” “Sudahlah, Kang. Tidak ada yang perlu didengar atau dijelaskan. Apa pedulimu? Pula
Setelah beberapa kilometer melewati batas kabupaten, jalanan padat merayap. Kendaraan-kendaraan raksasa yang menangani proyek pembangunan membuat lalu lintas hampir lumpuh. Banyak pengemudi yang mulai kesal. Memencet-mencet klakson berulang kali atau keluar dari kendaraannya sembari menutup pintunya keras. Lantas mereka menepi ke sisi jalan. Singgah di warung-warung sekitar. Sayup-sayup terdengar mereka mulai mengeluh dan sesekali mengumpat. Berbeda dengan Falah yang sejak tadi hanya diam. Setia menatap lurus ke depan. Manik matanya tertuju pada mobil berbadan kuning yang tengah mengerek buis beton. Namun, lain lagi dengan pikiran dan hatinya yang dipenuhi dengan pengakuan abdi dalem tadi tentang Roya. Falah memang mengenalnya sebagai gadis yang teguh pendirian. Sekali memilih, dia akan mempertahankan hal itu mati-matian. Soal setia apalagi. Meski andai ribuan pilihan disodorkan pun, Roya tidak akan pernah berpaling. Namun, sama sekali tak pernah Falah sangka Roya akan sekeras kepal
“Mas….” “I-iya?” jawab Falah setengah terperanjat. Dari ekor mata, tampak perempuan yang telah sah menjadi istrinya dua tahun lalu itu mengelus pundaknya lembut. Menyejajarinya duduk di kursi depan rumah yang sudah sejak pagi sibuk ditata dan dibersihkan oleh mbak-mbak ndalem yang ditempatkan di sana. “Sampeyan kenapa to, Mas? Dari semalam aku perhatikan ngelamun terus.” “Enggak, aku enggak apa-apa,” jawab lagi lelaki itu datar. Memang, perempuan itu memang pandai membaca gerak-gerik. Sedari malam matanya memang seolah enggan untuk terpejam. Namun, bagaimana mungkin dirinya akan menciritakan hal yang mengganggu pikirannya ini pada istrinya. Bagaimana mungkin dirinya menciratakan bayangan Roya yang tak henti-hentinya berkelebat. Sudah dua tahun sedangkan masa lalu itu sempat ingin ia tutup rapat-rapat. “Kebiasaan, kalau ditanya selalu jawabannya enggak apa-apa. Enggak apa-apa tapi kok begitu. Selalu saja menyembunyikan sesuatu dariku. Aku istrimu, Mas. Cobalah berterus terang, b
“Monggo pinarak,” hatur Roya ketika kedua manik mata mereka kesekian kalinya bertemu. Lekas dirinya membuang muka dan menyapukan tatap mata yang telah berembun itu pada benda sekenanya. Lelaki yang selama ini ia cintai, yang kerap ia bela matia-matian, lelaki yang ribuan hari ia rindukan. Rindu yang ia peluk sendirian, hari ini membuatnya tertikam. “Njenengan-“ “Silakan istirahat, ngapunten saya tingggal ke dapur dulu,” potong Roya lagi sebelum lelaki itu membuka suara. Sedetik kemudian ia bergegas berlalu sembari memegangi ulu hati yang terasa nyeri. Sempat ditatapnya sekali lagi lelaki berkoko cokelat itu dengan tatap yang telah berkaca-kaca. Berharap bahwa dirinya berhalusinasi lagi seperti yang sudah-sudah. Seperti dirinya yang mengira melihat Kang Falah di terminal sebulan lalu, tetapi ketika mendekat, ia menyeru, “Ayo, Mbak, Kang, Jeporo? Kudus? Ayo, monggo ....” Ya, dia kernet bus bukan Kang Falah.Halusinasi yang sama seperti tadi pagi ketika dirinya melihat lelaki itu se
"Cukup. Dengarkan Abah, Nduk!""Abah yang kali ini harus mendengarkan Roya," teriaknya sembari meninggalkan ruangan dan membanting pintu. Napasnya memburu. Seirama dengan langkah lebarnya menuju kamar. Wajah bersimbah air mata miliknya dibenamkan pada bantal sambil mengeluarkan sepotong foto lama yang terselip di pinggiran ranjang. Kertas berukuran tiga kali empat yang selalu dipandanginya dengan senyum yang sama seperti dalam foto itu. Sebenarnya bukan hanya sekali. Bahkan bisa dibilang hampir setiap hari pertengkaran yang kian hari makin menghebat itu meletup setiap kali Kiai Nashih mengulang topik bahasan yang sama.Dengan alasan usia yang semakin menua, lelaki nomor satu di pesantren itu terus memaksa Roya menikah dengan Gus Ahnaf. Lelaki yang oleh abahnya itu selalu digadang-gadang akan mampu mengurus pesantren dengan baik sepeninggalnya nanti. Padahal sejauh ini, Roya rasa dirinya tak kurang jika hanya dituntut mampu mengurus lembaga itu sendirian. Jika memang alasan selanjutny