“Mas….”
“I-iya?” jawab Falah setengah terperanjat. Dari ekor mata, tampak perempuan yang telah sah menjadi istrinya dua tahun lalu itu mengelus pundaknya lembut. Menyejajarinya duduk di kursi depan rumah yang sudah sejak pagi sibuk ditata dan dibersihkan oleh mbak-mbak ndalem yang ditempatkan di sana.
“Sampeyan kenapa to, Mas? Dari semalam aku perhatikan ngelamun terus.”
“Enggak, aku enggak apa-apa,” jawab lagi lelaki itu datar. Memang, perempuan itu memang pandai membaca gerak-gerik. Sedari malam matanya memang seolah enggan untuk terpejam. Namun, bagaimana mungkin dirinya akan menciritakan hal yang mengganggu pikirannya ini pada istrinya. Bagaimana mungkin dirinya menciratakan bayangan Roya yang tak henti-hentinya berkelebat. Sudah dua tahun sedangkan masa lalu itu sempat ingin ia tutup rapat-rapat.
“Kebiasaan, kalau ditanya selalu jawabannya enggak apa-apa. Enggak apa-apa tapi kok begitu. Selalu saja menyembunyikan sesuatu dariku. Aku istrimu, Mas. Cobalah berterus terang, barangkali aku bisa membantu. Aku merasa tidak berguna di sini. Apa bagimu aku ini orang lain, Mas?”
“Sudahlah, Rul. Sudah. Aku sedang tidak ingin berdebat. Sudah kubilang aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja-”
“Tapi kamu mendiamkanku, Mas.”
Huwa …. Huwa …..
Seketika perseteruan itu terhenti. Debam-debam kaki keduanya berlomba menuju asal suara. Tampak seorang mbak ndalem keluar dengan air muka cemas. Menimang dan mengelus pucuk kepala lelaki kecil dalam dekapannya.
“Kenapa?”
“Tidak tau, Ustaz. Waktu saya ke dalam, sudah nangis kencang."
“Faqih kenapa, Sayang?" lipur Nurul hendak mengambil lelaki kecilnya. Namun, tangis itu semakin kencang sambil kaki dan tangannya meronta-ronta.
“Abi … Abi, atu mau sama Abi,” rengeknya membuat mbak ndalem yang menggendongnya kuwalahan. Bagaimana tidak, meski usianya baru setahun, pipinya yang gembul dan tubuhnya yang gempal hampir setengah banding gadis yang kini tengah menggendongnya.
Beberapa menit lalu, Faqih masih tertidur. Pikir Nurul ia ingin mencoba membujuk lelaki yang sangat dicintainya itu untuk buka mulut. Bicara dari hati ke hati. Pasalnya sejak awal pernikahan mereka, Kang Falah memang dominan bersikap dingin, enggan terbuka terlebih menceritakan sesuatu. Padahal ketika masih sama-sama menjadi santri di Miftahul Hidayah, lelaki itu terkenal ramah. Kepada teman sesama abdi ndalem pun dia sama humorisnya seperti mereka. Entah mengapa Nurul merasa begini. Semakin lama usia hubungan mereka, semakin lama ia mengenal karakter Kang Falah, dirinya merasa seolah diabaikan.
“Ayok, Nak.”
“Loh, loh. Mau kemana, Mas?”
“Ya ini ngajak main Faqih.”
“Ikut,” rengeknya seperti biasa.
“Stttt, jangan begitu ah, malu sama yang lain,” jawabnya sembari menepis genggam tangan Nurul. Sedang Faqih sudah kegirangan menarik-narik abinya itu keluar. Dari halaman, dua lelaki itu mengarah dalem. Lebih tepatnya ke taman di depannya. Ada banyak jenis ragam bunga di sana.
Bruk ….
“Eh aduh … maaf. Enggak sengaja. Sayang, anak manis jangan nangis ya. Bibi punya permen,” cepat Roya berusaha menyita perhatian lelaki kecil yang terhitung sudah dua kali ditabraknya itu.
“Ini perempen buat Faqih. Ayo ambil, jangan takut.”
Sempat lelaki kecil menggemaskan itu menoleh kepada abinya, juga Roya. Rasa canggung begitu saja muncul ketika manik mata mereka bertemu. Dapat ditebak, keduanya lantas membuang muka.
“Itu ambil permennya buat Faqih.”
“Bilang apa, Sayang?”
“Makasih, Bibi.”
“Heh bukan Bibi, itu Ning Roya, Nak.”
“Bibi Loya."
“Nggak boleh gitu, Sayang. Ning Roya.”
“Bibi Loya, buat Bibi. Telima kasih pelmennya,” ujarnya sembari menyodorkan setangkai mawar putih yang dipetiknya asal. Sebagai ganti permen dari Roya, mungkin begitu pikirnya. Sedang gadis itu menghela napas panjang. Memandangi bunga yang memang paling disukainya. Bukan tanpa alasan, tetapi Kang Falah sering memberikannya dulu.
“Aku suka bunga ini, Ning.”
“Alasannya?”
“Bunga ini sama sepertimu. Polos, cantik secara hakiki. Bagi mereka yang memandangnya dengan hati.”
“Aku juga suka bunga itu, Kang?”
“Karena aku yang memberikannya?”
“Hih kepedean.”
Roya mengerjap. Membuang muka pada burung-burung yang betengger di atas pohon. Sekuat mungkin berusaha agar air matanya tak merembes. Kenangan-kenangan lama itu sungguh menyesakkan hatinya.
“Bibi?”
“Ehm, i-iya? Bunganya buat Faqih saja ya, Sayang. Bibi buru-buru.”
Tak dihiraukannya lagi lelaki kecil yang entah kemudian menanyakan apa pada abinya. Pandangan yang buram karena berkaca-kaca membuatnya harus bergegas pergi. Entah sampai kapan harus begini. Entah juga sampai kapan semuanya akan berakhir. Namun, saat ini Roya tak punya cara lain selain menghindar. Ingatan-ingatan itu seringkali membuat keping-keping hatinya bertambah remuk. Roya tak sanggup.
“Kang Ishlah!” panggilnya setengah berteriak. Diusapnya muka secara asal dengan jilbab. Memastikan tak ada lagi jejak-jejak tangis di sana.
“Inggih, Ning. Ada apa?”
“Panggil Naya! Antar aku ke ruumah sakit sekarang. Sekalian santri yang hari ini jaga,”
Tanpa banyak tanya, lelaki itu berlalu. Meminta seorang santri memanggil siapa yang ingin ikut. Sedang dirinya bergegas menuju garasi. Mengeluarkan mobil dan memanasi kendaraan roda empat itu.
Roya segera masuk, melintasi dua lelaki di taman itu dengan tak acuh. Dirinya sedang tak ingin mengatakan apa pun. Bahkan sekadar menatap dari kejauhan. Tak ingin nyeri di dadanya semakin menghebat.
“Bibi Loya ….”
“Loh kamu mau ke mana, Nak?”
“Atu mau itut Bibi Loya.”
“Nak, Ning Roya sedang sibuk. Nanti main lagi sama Faqih, ya.”
“Dak mau, atu mau itut Bibi Loya." Faqih terus menangis kencang. Menarik-narik lengan kemeja dan memukul-mukul Falah setelah mobil yang ditunjuk-tunjuknya kemudian menghilang di perempatan jalan.
“Kang … Kang…,” panggil Falah pada kang dalem yang berseliweran.
“Iya, Ustaz?”
“Mau tanya. Rumah sakit tempat Kiai Nashih dirawat di mana, ya?”
“Oh njenengan mau ke sana? Apa boleh bareng, Ustaz? Ini ada beberapa barang yang tertinggal.”
“Oh bisa, bisa. Masukkan saja ke mobil. Saya tunggu, ya. Terima kasih.”
Beberapa menit kemudian mobil mulai meninggalkan pesantren. Menyusuri jalanan pinggiran Kabupaten Tuban yang lengang. Kang Falah sibuk memperhatikan akses jalan yang terhitung bagus. Beraspal dan dalam kondisi baik. Hanya saja lokasinya yang melewati hutan pasti akan gelap gulita di malam hari.
“Ngapunten, Ustaz. Njenengan Ustaz baru, nggih?”
“Iya, saya menggantikan Ustaz Mun’im.”
“Oh, nggih, Ustaz. Beliau memang sudah lama gerah. Ditambah lagi dengan Abah Yai. Beberapa bulan terakhir memang dewan guru keteteran.”
“Tapi ada Ning Roya, ‘kan?”
“Inggih, Ustaz. Ning Roya memang sangat membantu. Beliau mampu menggantikan Abah Yai meng-handle pesantren. Tetapi tetap saja pesantren membutuhkan tenaga laki-laki. Untuk ngajar di putra. Masak iya Ning Roya juga,” kelakarnya.
“Haha benar juga. Jadi, selain saya, apa Kiai Nashih merekrut guru lain juga?”
“Setahu saya tidak, Ustaz. Hanya saja dengar-dengar Abah Yai akan mejodohkan Ning Roya dengan Gus dari Sabilun Naja, siapa ya namanya saya lupa. Nan, gus dari Sabilun Naja itu siapa namanya?”
“Gus Ahnaf. Dasar pikun kamu, Lek. Kenapa memangnya?”
“Ini loh, Ustaz tanya.”
“Oh namanya Gus Ahnaf, Ustaz. Tapi saya tidak tahu kabar selanjutnya. Dengar-dengar dari mbak-mbak ndalem, ning Roya menolak keras.”
“Loh, kenapa memangnya?”
“Kurang tau nggih, Ustaz. Tapi katanya Naya, si mbak-mbak ndalem yang deket sama Ning Roya, katanya Ning Roya mencintai orang lain.”
Deg ….
“O-orang lain siapa?” tanya Falah memastikan.
“Siapa, Nan, namanya?”
“Wah enggak tau kalau itu, Lek. Belum ada kabar terbaru haha.”
Falah tertegun. Menatap kosong jalanan sambil berpikir keras. Tidak salah lagi, lelaki yang dimaksud itu pasti dirinya. Falahul Albab, lelaki yang pernah menolongnya di terminal. Lelaki yang dengan terang-terangan Roya mengakui perasaannya. Lelaki yang janjinya mungkin masih ia tunggu hingga saat ini. Janji yang pada akhirnya diingkari. Syukurlah jika hingga sekarang kisah itu masih tertutup rapat. Namun, bukankah sebaik apa pun menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga? Entah bagaimana nanti jika Kiai Nashih mengetahui segalanya. Apakah seisi pesantren masih akan menerima penghianat sepertinya?
Setelah beberapa kilometer melewati batas kabupaten, jalanan padat merayap. Kendaraan-kendaraan raksasa yang menangani proyek pembangunan membuat lalu lintas hampir lumpuh. Banyak pengemudi yang mulai kesal. Memencet-mencet klakson berulang kali atau keluar dari kendaraannya sembari menutup pintunya keras. Lantas mereka menepi ke sisi jalan. Singgah di warung-warung sekitar. Sayup-sayup terdengar mereka mulai mengeluh dan sesekali mengumpat. Berbeda dengan Falah yang sejak tadi hanya diam. Setia menatap lurus ke depan. Manik matanya tertuju pada mobil berbadan kuning yang tengah mengerek buis beton. Namun, lain lagi dengan pikiran dan hatinya yang dipenuhi dengan pengakuan abdi dalem tadi tentang Roya. Falah memang mengenalnya sebagai gadis yang teguh pendirian. Sekali memilih, dia akan mempertahankan hal itu mati-matian. Soal setia apalagi. Meski andai ribuan pilihan disodorkan pun, Roya tidak akan pernah berpaling. Namun, sama sekali tak pernah Falah sangka Roya akan sekeras kepal
“Ning ….” Seketika isak itu terpaksa berhenti. Dengan mata merah pekat dan tangis yang membanjir di pipi, Roya menoleh. Beranjak dari kursinya dan bersitatap dengan lelaki yang terus melangkah maju. “Berhenti! Siapa yang mengizinkanmu masuk?” Falah menghela napas panjang. Sesuai perintah Roya, dari jarak beberapa meter ia kembali mematung. Namun, kali ini dengan menunduk dalam. Tak berani menatap bola mata Roya yang dipenuhi api murka. “Aku datang ingin menjenguk Kiai Nashih, Ning.” “Tapi itu tidak perlu. Aku tidak butuh kepedulian atau belas kasih dari penghianat sepertimu. Silakan keluar!” perintah gadis itu dengan telapak tangan terbuka menunjuk pintu. Dadanya sudah kembang kempis menahan gejolak emosi. Bagaimana tidak? Kang Falah seolah enggan berhenti membayangi langkahnya. Padahal telah sejak awal ia tegaskan agar tidak menemui dirinya lagi. “Tolong, Ning! Dengarkan aku sekali ini saja.” “Sudahlah, Kang. Tidak ada yang perlu didengar atau dijelaskan. Apa pedulimu? Pula
"Cukup. Dengarkan Abah, Nduk!""Abah yang kali ini harus mendengarkan Roya," teriaknya sembari meninggalkan ruangan dan membanting pintu. Napasnya memburu. Seirama dengan langkah lebarnya menuju kamar. Wajah bersimbah air mata miliknya dibenamkan pada bantal sambil mengeluarkan sepotong foto lama yang terselip di pinggiran ranjang. Kertas berukuran tiga kali empat yang selalu dipandanginya dengan senyum yang sama seperti dalam foto itu. Sebenarnya bukan hanya sekali. Bahkan bisa dibilang hampir setiap hari pertengkaran yang kian hari makin menghebat itu meletup setiap kali Kiai Nashih mengulang topik bahasan yang sama.Dengan alasan usia yang semakin menua, lelaki nomor satu di pesantren itu terus memaksa Roya menikah dengan Gus Ahnaf. Lelaki yang oleh abahnya itu selalu digadang-gadang akan mampu mengurus pesantren dengan baik sepeninggalnya nanti. Padahal sejauh ini, Roya rasa dirinya tak kurang jika hanya dituntut mampu mengurus lembaga itu sendirian. Jika memang alasan selanjutny
“Monggo pinarak,” hatur Roya ketika kedua manik mata mereka kesekian kalinya bertemu. Lekas dirinya membuang muka dan menyapukan tatap mata yang telah berembun itu pada benda sekenanya. Lelaki yang selama ini ia cintai, yang kerap ia bela matia-matian, lelaki yang ribuan hari ia rindukan. Rindu yang ia peluk sendirian, hari ini membuatnya tertikam. “Njenengan-“ “Silakan istirahat, ngapunten saya tingggal ke dapur dulu,” potong Roya lagi sebelum lelaki itu membuka suara. Sedetik kemudian ia bergegas berlalu sembari memegangi ulu hati yang terasa nyeri. Sempat ditatapnya sekali lagi lelaki berkoko cokelat itu dengan tatap yang telah berkaca-kaca. Berharap bahwa dirinya berhalusinasi lagi seperti yang sudah-sudah. Seperti dirinya yang mengira melihat Kang Falah di terminal sebulan lalu, tetapi ketika mendekat, ia menyeru, “Ayo, Mbak, Kang, Jeporo? Kudus? Ayo, monggo ....” Ya, dia kernet bus bukan Kang Falah.Halusinasi yang sama seperti tadi pagi ketika dirinya melihat lelaki itu se
“Ning ….” Seketika isak itu terpaksa berhenti. Dengan mata merah pekat dan tangis yang membanjir di pipi, Roya menoleh. Beranjak dari kursinya dan bersitatap dengan lelaki yang terus melangkah maju. “Berhenti! Siapa yang mengizinkanmu masuk?” Falah menghela napas panjang. Sesuai perintah Roya, dari jarak beberapa meter ia kembali mematung. Namun, kali ini dengan menunduk dalam. Tak berani menatap bola mata Roya yang dipenuhi api murka. “Aku datang ingin menjenguk Kiai Nashih, Ning.” “Tapi itu tidak perlu. Aku tidak butuh kepedulian atau belas kasih dari penghianat sepertimu. Silakan keluar!” perintah gadis itu dengan telapak tangan terbuka menunjuk pintu. Dadanya sudah kembang kempis menahan gejolak emosi. Bagaimana tidak? Kang Falah seolah enggan berhenti membayangi langkahnya. Padahal telah sejak awal ia tegaskan agar tidak menemui dirinya lagi. “Tolong, Ning! Dengarkan aku sekali ini saja.” “Sudahlah, Kang. Tidak ada yang perlu didengar atau dijelaskan. Apa pedulimu? Pula
Setelah beberapa kilometer melewati batas kabupaten, jalanan padat merayap. Kendaraan-kendaraan raksasa yang menangani proyek pembangunan membuat lalu lintas hampir lumpuh. Banyak pengemudi yang mulai kesal. Memencet-mencet klakson berulang kali atau keluar dari kendaraannya sembari menutup pintunya keras. Lantas mereka menepi ke sisi jalan. Singgah di warung-warung sekitar. Sayup-sayup terdengar mereka mulai mengeluh dan sesekali mengumpat. Berbeda dengan Falah yang sejak tadi hanya diam. Setia menatap lurus ke depan. Manik matanya tertuju pada mobil berbadan kuning yang tengah mengerek buis beton. Namun, lain lagi dengan pikiran dan hatinya yang dipenuhi dengan pengakuan abdi dalem tadi tentang Roya. Falah memang mengenalnya sebagai gadis yang teguh pendirian. Sekali memilih, dia akan mempertahankan hal itu mati-matian. Soal setia apalagi. Meski andai ribuan pilihan disodorkan pun, Roya tidak akan pernah berpaling. Namun, sama sekali tak pernah Falah sangka Roya akan sekeras kepal
“Mas….” “I-iya?” jawab Falah setengah terperanjat. Dari ekor mata, tampak perempuan yang telah sah menjadi istrinya dua tahun lalu itu mengelus pundaknya lembut. Menyejajarinya duduk di kursi depan rumah yang sudah sejak pagi sibuk ditata dan dibersihkan oleh mbak-mbak ndalem yang ditempatkan di sana. “Sampeyan kenapa to, Mas? Dari semalam aku perhatikan ngelamun terus.” “Enggak, aku enggak apa-apa,” jawab lagi lelaki itu datar. Memang, perempuan itu memang pandai membaca gerak-gerik. Sedari malam matanya memang seolah enggan untuk terpejam. Namun, bagaimana mungkin dirinya akan menciritakan hal yang mengganggu pikirannya ini pada istrinya. Bagaimana mungkin dirinya menciratakan bayangan Roya yang tak henti-hentinya berkelebat. Sudah dua tahun sedangkan masa lalu itu sempat ingin ia tutup rapat-rapat. “Kebiasaan, kalau ditanya selalu jawabannya enggak apa-apa. Enggak apa-apa tapi kok begitu. Selalu saja menyembunyikan sesuatu dariku. Aku istrimu, Mas. Cobalah berterus terang, b
“Monggo pinarak,” hatur Roya ketika kedua manik mata mereka kesekian kalinya bertemu. Lekas dirinya membuang muka dan menyapukan tatap mata yang telah berembun itu pada benda sekenanya. Lelaki yang selama ini ia cintai, yang kerap ia bela matia-matian, lelaki yang ribuan hari ia rindukan. Rindu yang ia peluk sendirian, hari ini membuatnya tertikam. “Njenengan-“ “Silakan istirahat, ngapunten saya tingggal ke dapur dulu,” potong Roya lagi sebelum lelaki itu membuka suara. Sedetik kemudian ia bergegas berlalu sembari memegangi ulu hati yang terasa nyeri. Sempat ditatapnya sekali lagi lelaki berkoko cokelat itu dengan tatap yang telah berkaca-kaca. Berharap bahwa dirinya berhalusinasi lagi seperti yang sudah-sudah. Seperti dirinya yang mengira melihat Kang Falah di terminal sebulan lalu, tetapi ketika mendekat, ia menyeru, “Ayo, Mbak, Kang, Jeporo? Kudus? Ayo, monggo ....” Ya, dia kernet bus bukan Kang Falah.Halusinasi yang sama seperti tadi pagi ketika dirinya melihat lelaki itu se
"Cukup. Dengarkan Abah, Nduk!""Abah yang kali ini harus mendengarkan Roya," teriaknya sembari meninggalkan ruangan dan membanting pintu. Napasnya memburu. Seirama dengan langkah lebarnya menuju kamar. Wajah bersimbah air mata miliknya dibenamkan pada bantal sambil mengeluarkan sepotong foto lama yang terselip di pinggiran ranjang. Kertas berukuran tiga kali empat yang selalu dipandanginya dengan senyum yang sama seperti dalam foto itu. Sebenarnya bukan hanya sekali. Bahkan bisa dibilang hampir setiap hari pertengkaran yang kian hari makin menghebat itu meletup setiap kali Kiai Nashih mengulang topik bahasan yang sama.Dengan alasan usia yang semakin menua, lelaki nomor satu di pesantren itu terus memaksa Roya menikah dengan Gus Ahnaf. Lelaki yang oleh abahnya itu selalu digadang-gadang akan mampu mengurus pesantren dengan baik sepeninggalnya nanti. Padahal sejauh ini, Roya rasa dirinya tak kurang jika hanya dituntut mampu mengurus lembaga itu sendirian. Jika memang alasan selanjutny