“Ning ….”
Seketika isak itu terpaksa berhenti. Dengan mata merah pekat dan tangis yang membanjir di pipi, Roya menoleh. Beranjak dari kursinya dan bersitatap dengan lelaki yang terus melangkah maju.
“Berhenti! Siapa yang mengizinkanmu masuk?”
Falah menghela napas panjang. Sesuai perintah Roya, dari jarak beberapa meter ia kembali mematung. Namun, kali ini dengan menunduk dalam. Tak berani menatap bola mata Roya yang dipenuhi api murka.
“Aku datang ingin menjenguk Kiai Nashih, Ning.”
“Tapi itu tidak perlu. Aku tidak butuh kepedulian atau belas kasih dari penghianat sepertimu. Silakan keluar!” perintah gadis itu dengan telapak tangan terbuka menunjuk pintu. Dadanya sudah kembang kempis menahan gejolak emosi. Bagaimana tidak? Kang Falah seolah enggan berhenti membayangi langkahnya. Padahal telah sejak awal ia tegaskan agar tidak menemui dirinya lagi.
“Tolong, Ning! Dengarkan aku sekali ini saja.”
“Sudahlah, Kang. Tidak ada yang perlu didengar atau dijelaskan. Apa pedulimu? Pulanglah saja pada seorang yang demi dirinya, kau menghianati aku.”
Perih. Sesak itu kembali terasa menghimpit begitu kalimat itu terucap. Namun, memang begitulah kenyataannya. Sungguh lebih baik bagi Roya tidak pernak melihat Kang Falah lagi untuk seumur hidup. Setiap kali wajah itu tertangkap lensa mata, luka yang baru saja terbalut itu kembali basah berdarah-darah.
“Maafkan aku, Ning. Aku-“
“Maaf? Sudah terlambat. Harusnya kau berpikir lebih awal. Kau perlu tahu bahwa tak semua luka bisa sembuh hanya dengan kata maaf.”
Hening. Falah semakin menunduk. Mengakui bahwa semua yang Roya katakan memang benar. Roya sendiri kemudian hanya diam. Membuang pandang pada korden rumah sakit. Menatap cahaya yang masuk untuk mengeringkan genangan di pelupuk matanya.
“Kau sudah tahu apa kesalahanmu, ‘kan, Kang? Kau sudah mendapat jawaban atas sikapku yang begini padamu, ‘kan? Jadi silakan keluar.”
“Kuakui aku memang salah, Ning. Tapi dengarkan aku dulu.”
“Baik, kalau kau keras kepala. Tidak apa. Biarkan aku yang pergi.”
Tanpa banyak bicara lagi, Roya melenggang keluar. Tidak peduli Falah mengejar sembari memanggil-manggil namanya. Tidak peduli juga pada santri jaga yang menatap mereka keheranan. Tak sanggup lagi rasanya jika terus-terusan begini. Terkungkung dalam penjara masa lalu. Tersiksa oleh derita yang tak pernah habis. Terpanggang luka yang setiap hari kian membara.
“Bibi Loya … Bibi Loya ….”
Langkah setengah berlari itu terhenti. Seorang lelaki kecil terus berteriak sambil berusaha menghampirinya dari kejauhan. Disusul di belakangnya seorang lelaki bersarung kotak-kotak yang menjaga balita berjaket karakter itu agar tidak terjatuh. Begitu tapak kecil itu berhenti, peluknya lantas mendarat pada kaki Roya. Tarikan pada bagian bawah gamis Roya membuat gadis itu lantas menggendongnya.
“Ada apa, Sayang? Faqih dari mana?” tanya Roya sembari berusaha menampilkan senyum palsu.
“Atu cali Bibi Loya.”
“Memangnya Faqih mau apa mencari Bibi Roya?”
Sejenak balita kecil itu hanya diam. Manik matanya lekat menatap kristal-kristal tangis yang sekuat tenaga Roya bendung. Jemari mungil miliknya lantas meraba area pipi dan menghapus genangan di sana.
“Dak boleh nangis. Mau Faqih peluk?”
Tanpa perlu jawaban, lelaki kecil itu lantas menghambur dalam dekap Roya, memeluknya semakin erat. Sedang Roya semakin tergugu. Mengingat kalimat itu sering terlontar dari Kang Falah dulu. Mengingat hanya Kang Falah yang mampu membuat tangisnya berhenti. Sekarang Faqih? Seolah ia mewarisi semua hal dari abinya. Seolah ia melihat Falah dalam raga yang berbeda.
Dret …. Dret …. Dret ….
Lekas peluk itu terurai. Roya kini sibuk merogoh kantung baju tempat di mana tadi ia menyimpan benda pipih itu.
“Assalamu’alaikum,”
“Waalaikumussalam, Ning. Njenengan bisa pulang sekarang?” ucap seseorang di seberang.
“Ada apa?”
“Kiai Amin sekeluarga kemari, Ning.”
Deg ….
Andai bisa, ingin sekali bibir Roya mengucap tidak. Dengan alasan yang di reka-reka misalnya. Namun, sekali lagi dia mengingat pesan uminya untuk menghormati tamu. Apalagi kali ini yang datang bukanlah sembarang orang. Kiai Amin yang entah dengan tujuan apa. Roya hanya bisa bersemoga Gus Ahnaf tidak ikut serta. Semoga kedatangan mereka bukan dengan maksud itu.
“Ning?”
“I-iya. Aku segera pulang. Matur kepada mereka untuk menunggu.”
Begitu telepon itu ditutup, Roya menghela napas panjang. Menatap kosong ke pintu keluar. Memantapkan hati bahwa ia tak punya pilihan lain selain pulang.
“Siapa Bibi Loya?”
“Emmm … Faqih ikut Abi, ya, Nak. Bibi Loya mau pulang.”
“Dak mau. Aku mau itut Bibi Loya.”
“Faqih nggak boleh begitu, Nak. Ayo ikut Abi, Bibi Royanya mau pulang. Sebentar, nanti ke sini lagi jemput Faqih, ya,” imbuh Falah mencoba membantu Roya merayu Faqih.
“Dak mau, Abi. Itut Bibi Loya.”
Gerak tangan Falah yang mencoba mengambil Faqih dari gendongan Roya seketika terhenti. Tanpa sengaja, kedua netra itu bertemu. Lantas masing-masing menunduk, membuang muka, tak dapat lagi mendefinisikan rasa hati masing-masing.
“Ya sudah nggak apa-apa, Kang, eh maksudku, Ustaz. Biar Faqih ikut aku.”
“Kalau begitu, biar saya saja yang mengantar njennegan. Barangkali di jalan Faqih rewel.”
Roya hanya bisa mengiyakan. Langkah mereka kemudian beriringan keluar. Tanpa tatapan, tanpa sepatah kata. Hanya Faqih yang berceloteh sesekali menyibukkan mereka berdua. Berkali-kali Roya menghela napas panjang. Menyingkirkan angan-angan yang sempat membuatnya mengira akan bersanding dengan Kang Falah. Menggendong putra-putri mereka. Bermain dan mendidik malaikat-malaikat kecil itu hingga usianya menua. Namun, sekali lagi takdir tak selalu selaras dengan usaha.
Mobil berwarna hitam milik Falah kemudian membawa mereka dalam keheningan. Tak ada lagi pembicaraan apa pun setelah Faqih mulai tertidur pulas dalam pangkuan Roya. Hingga deru mesin mobil yang berhenti seolah mampu menyuarakan debar hati masing-masing. Melalui pantulan spion depan, tatapan mereka bertemu.
“Bisa tolong turunkan Faqih, Kang? A-aku kesulitan keluar kalau harus sambil menggendong,” ucap Roya canggung. Terdengar dengan jelas embusan napas kasar Falah sebelum lelaki itu akhirnya menoleh. Menyorotkan pandang ke jok belakang di mana Roya duduk.
“Tunggu sebentar, Ning.”
“Apa lagi?”
“Kumohon sekali ini saja, aku mau bicara.”
“Tapi aku tidak mau bicara,” jawab Roya ketus sembari membuang pandangan ke balik jendela mobil. Berharap lekas ada abdi dalem yang lewat sehingga dirinya tak perlu lagi berdebat dengan Kang Falah. Tak ingin lagi mendengar apa pun yang akan membuat hatinya kembali remuk, hancur berkeping-keping.
“Ning ….”
Roya tetap diam. Enggan merespon atau hanya sekadar membalas tatap mata Falah. Menatap manik mata itu hanya akan membuat pertahanannya runtuh seketika.
“Tidak apa-apa jika njennegan ku minta maaf atas apa pun yang dariku yang melukaimu, atas segala hal yang membuat tangismu itu terus bercucuran tanpa mampu aku menghentikannya. Sungguh aku tidak bermaksud. Aku pun tak ingin ini terjadi, tapi mengertilah, Ning, aku benar-benar telah kalah, takdir telah mematahkan seluruh perjuanganku untukmu. Kini tolong jangan siksa dirimu sendiri dan membuatku semakin merasa bersalah, Ning.”
“Takdir apa yang kau sebut? Perjuangan apa yang kau maksud? Kau tau, Kang? Hatiku begitu hancur kala itu. Semesta seolah memaksaku meneguk kenyataan pahit bahwa lelaki yang selama ini kunanti-nanti telah beranak istri. Jiwa perempuan mana yang tak porak poranda, Kang? Lalu sekarang apa lagi maumu? Apa lagi yang akan kau lakukan pada hatiku yang sudah sekarat?”
Sejenak Falah terdiam. Dapat dirasakannya luka hebat yang kini membuat Roya kembali berderai air mata. Jika tangannya itu tidak dibungkamkan ke mulut, isaknya sudah jelas membuat hati Falah ikut teriris-iris.
“Itulah yang kupinta, Ning. Percayalah, Ning, bahkan hingga detik ini pun aku tak bisa menghentikan cinta yang terus menerus mengarah padamu. Tapi beginilah kenyataan yang harus kita terima. Baik aku ataupun njenengan, masing-masing dari kita harus lekas berdamai dengan takdir dan menerima kenyataan bahwa memang semuanya kini tak bisa lagi sama. Mau tidak mau, secepatnya kita dituntut untuk membuka lembaran baru, memuulai hidup baru.”
“Maksudmu?”
“Kumohon, Ning. Terimalah Gus Ahnaf. Cintai ia sebagaimana njenengan mencintaiku. Aku melepasmu. Bahagialah dengan duniamu yang baru, Ning.”
Selepas kalimat itu, Tangis Roya semakin membuncah. Tak sanggup lagi menjelaskan apa pun pada seorang yang mungkin tidak akan pernah memahami rasa hatinya. Sungguh ia ingin, tetapi lantas apa daya hatinya yang tak pernah mampu?
"Cukup. Dengarkan Abah, Nduk!""Abah yang kali ini harus mendengarkan Roya," teriaknya sembari meninggalkan ruangan dan membanting pintu. Napasnya memburu. Seirama dengan langkah lebarnya menuju kamar. Wajah bersimbah air mata miliknya dibenamkan pada bantal sambil mengeluarkan sepotong foto lama yang terselip di pinggiran ranjang. Kertas berukuran tiga kali empat yang selalu dipandanginya dengan senyum yang sama seperti dalam foto itu. Sebenarnya bukan hanya sekali. Bahkan bisa dibilang hampir setiap hari pertengkaran yang kian hari makin menghebat itu meletup setiap kali Kiai Nashih mengulang topik bahasan yang sama.Dengan alasan usia yang semakin menua, lelaki nomor satu di pesantren itu terus memaksa Roya menikah dengan Gus Ahnaf. Lelaki yang oleh abahnya itu selalu digadang-gadang akan mampu mengurus pesantren dengan baik sepeninggalnya nanti. Padahal sejauh ini, Roya rasa dirinya tak kurang jika hanya dituntut mampu mengurus lembaga itu sendirian. Jika memang alasan selanjutny
“Monggo pinarak,” hatur Roya ketika kedua manik mata mereka kesekian kalinya bertemu. Lekas dirinya membuang muka dan menyapukan tatap mata yang telah berembun itu pada benda sekenanya. Lelaki yang selama ini ia cintai, yang kerap ia bela matia-matian, lelaki yang ribuan hari ia rindukan. Rindu yang ia peluk sendirian, hari ini membuatnya tertikam. “Njenengan-“ “Silakan istirahat, ngapunten saya tingggal ke dapur dulu,” potong Roya lagi sebelum lelaki itu membuka suara. Sedetik kemudian ia bergegas berlalu sembari memegangi ulu hati yang terasa nyeri. Sempat ditatapnya sekali lagi lelaki berkoko cokelat itu dengan tatap yang telah berkaca-kaca. Berharap bahwa dirinya berhalusinasi lagi seperti yang sudah-sudah. Seperti dirinya yang mengira melihat Kang Falah di terminal sebulan lalu, tetapi ketika mendekat, ia menyeru, “Ayo, Mbak, Kang, Jeporo? Kudus? Ayo, monggo ....” Ya, dia kernet bus bukan Kang Falah.Halusinasi yang sama seperti tadi pagi ketika dirinya melihat lelaki itu se
“Mas….” “I-iya?” jawab Falah setengah terperanjat. Dari ekor mata, tampak perempuan yang telah sah menjadi istrinya dua tahun lalu itu mengelus pundaknya lembut. Menyejajarinya duduk di kursi depan rumah yang sudah sejak pagi sibuk ditata dan dibersihkan oleh mbak-mbak ndalem yang ditempatkan di sana. “Sampeyan kenapa to, Mas? Dari semalam aku perhatikan ngelamun terus.” “Enggak, aku enggak apa-apa,” jawab lagi lelaki itu datar. Memang, perempuan itu memang pandai membaca gerak-gerik. Sedari malam matanya memang seolah enggan untuk terpejam. Namun, bagaimana mungkin dirinya akan menciritakan hal yang mengganggu pikirannya ini pada istrinya. Bagaimana mungkin dirinya menciratakan bayangan Roya yang tak henti-hentinya berkelebat. Sudah dua tahun sedangkan masa lalu itu sempat ingin ia tutup rapat-rapat. “Kebiasaan, kalau ditanya selalu jawabannya enggak apa-apa. Enggak apa-apa tapi kok begitu. Selalu saja menyembunyikan sesuatu dariku. Aku istrimu, Mas. Cobalah berterus terang, b
Setelah beberapa kilometer melewati batas kabupaten, jalanan padat merayap. Kendaraan-kendaraan raksasa yang menangani proyek pembangunan membuat lalu lintas hampir lumpuh. Banyak pengemudi yang mulai kesal. Memencet-mencet klakson berulang kali atau keluar dari kendaraannya sembari menutup pintunya keras. Lantas mereka menepi ke sisi jalan. Singgah di warung-warung sekitar. Sayup-sayup terdengar mereka mulai mengeluh dan sesekali mengumpat. Berbeda dengan Falah yang sejak tadi hanya diam. Setia menatap lurus ke depan. Manik matanya tertuju pada mobil berbadan kuning yang tengah mengerek buis beton. Namun, lain lagi dengan pikiran dan hatinya yang dipenuhi dengan pengakuan abdi dalem tadi tentang Roya. Falah memang mengenalnya sebagai gadis yang teguh pendirian. Sekali memilih, dia akan mempertahankan hal itu mati-matian. Soal setia apalagi. Meski andai ribuan pilihan disodorkan pun, Roya tidak akan pernah berpaling. Namun, sama sekali tak pernah Falah sangka Roya akan sekeras kepal
“Ning ….” Seketika isak itu terpaksa berhenti. Dengan mata merah pekat dan tangis yang membanjir di pipi, Roya menoleh. Beranjak dari kursinya dan bersitatap dengan lelaki yang terus melangkah maju. “Berhenti! Siapa yang mengizinkanmu masuk?” Falah menghela napas panjang. Sesuai perintah Roya, dari jarak beberapa meter ia kembali mematung. Namun, kali ini dengan menunduk dalam. Tak berani menatap bola mata Roya yang dipenuhi api murka. “Aku datang ingin menjenguk Kiai Nashih, Ning.” “Tapi itu tidak perlu. Aku tidak butuh kepedulian atau belas kasih dari penghianat sepertimu. Silakan keluar!” perintah gadis itu dengan telapak tangan terbuka menunjuk pintu. Dadanya sudah kembang kempis menahan gejolak emosi. Bagaimana tidak? Kang Falah seolah enggan berhenti membayangi langkahnya. Padahal telah sejak awal ia tegaskan agar tidak menemui dirinya lagi. “Tolong, Ning! Dengarkan aku sekali ini saja.” “Sudahlah, Kang. Tidak ada yang perlu didengar atau dijelaskan. Apa pedulimu? Pula
Setelah beberapa kilometer melewati batas kabupaten, jalanan padat merayap. Kendaraan-kendaraan raksasa yang menangani proyek pembangunan membuat lalu lintas hampir lumpuh. Banyak pengemudi yang mulai kesal. Memencet-mencet klakson berulang kali atau keluar dari kendaraannya sembari menutup pintunya keras. Lantas mereka menepi ke sisi jalan. Singgah di warung-warung sekitar. Sayup-sayup terdengar mereka mulai mengeluh dan sesekali mengumpat. Berbeda dengan Falah yang sejak tadi hanya diam. Setia menatap lurus ke depan. Manik matanya tertuju pada mobil berbadan kuning yang tengah mengerek buis beton. Namun, lain lagi dengan pikiran dan hatinya yang dipenuhi dengan pengakuan abdi dalem tadi tentang Roya. Falah memang mengenalnya sebagai gadis yang teguh pendirian. Sekali memilih, dia akan mempertahankan hal itu mati-matian. Soal setia apalagi. Meski andai ribuan pilihan disodorkan pun, Roya tidak akan pernah berpaling. Namun, sama sekali tak pernah Falah sangka Roya akan sekeras kepal
“Mas….” “I-iya?” jawab Falah setengah terperanjat. Dari ekor mata, tampak perempuan yang telah sah menjadi istrinya dua tahun lalu itu mengelus pundaknya lembut. Menyejajarinya duduk di kursi depan rumah yang sudah sejak pagi sibuk ditata dan dibersihkan oleh mbak-mbak ndalem yang ditempatkan di sana. “Sampeyan kenapa to, Mas? Dari semalam aku perhatikan ngelamun terus.” “Enggak, aku enggak apa-apa,” jawab lagi lelaki itu datar. Memang, perempuan itu memang pandai membaca gerak-gerik. Sedari malam matanya memang seolah enggan untuk terpejam. Namun, bagaimana mungkin dirinya akan menciritakan hal yang mengganggu pikirannya ini pada istrinya. Bagaimana mungkin dirinya menciratakan bayangan Roya yang tak henti-hentinya berkelebat. Sudah dua tahun sedangkan masa lalu itu sempat ingin ia tutup rapat-rapat. “Kebiasaan, kalau ditanya selalu jawabannya enggak apa-apa. Enggak apa-apa tapi kok begitu. Selalu saja menyembunyikan sesuatu dariku. Aku istrimu, Mas. Cobalah berterus terang, b
“Monggo pinarak,” hatur Roya ketika kedua manik mata mereka kesekian kalinya bertemu. Lekas dirinya membuang muka dan menyapukan tatap mata yang telah berembun itu pada benda sekenanya. Lelaki yang selama ini ia cintai, yang kerap ia bela matia-matian, lelaki yang ribuan hari ia rindukan. Rindu yang ia peluk sendirian, hari ini membuatnya tertikam. “Njenengan-“ “Silakan istirahat, ngapunten saya tingggal ke dapur dulu,” potong Roya lagi sebelum lelaki itu membuka suara. Sedetik kemudian ia bergegas berlalu sembari memegangi ulu hati yang terasa nyeri. Sempat ditatapnya sekali lagi lelaki berkoko cokelat itu dengan tatap yang telah berkaca-kaca. Berharap bahwa dirinya berhalusinasi lagi seperti yang sudah-sudah. Seperti dirinya yang mengira melihat Kang Falah di terminal sebulan lalu, tetapi ketika mendekat, ia menyeru, “Ayo, Mbak, Kang, Jeporo? Kudus? Ayo, monggo ....” Ya, dia kernet bus bukan Kang Falah.Halusinasi yang sama seperti tadi pagi ketika dirinya melihat lelaki itu se
"Cukup. Dengarkan Abah, Nduk!""Abah yang kali ini harus mendengarkan Roya," teriaknya sembari meninggalkan ruangan dan membanting pintu. Napasnya memburu. Seirama dengan langkah lebarnya menuju kamar. Wajah bersimbah air mata miliknya dibenamkan pada bantal sambil mengeluarkan sepotong foto lama yang terselip di pinggiran ranjang. Kertas berukuran tiga kali empat yang selalu dipandanginya dengan senyum yang sama seperti dalam foto itu. Sebenarnya bukan hanya sekali. Bahkan bisa dibilang hampir setiap hari pertengkaran yang kian hari makin menghebat itu meletup setiap kali Kiai Nashih mengulang topik bahasan yang sama.Dengan alasan usia yang semakin menua, lelaki nomor satu di pesantren itu terus memaksa Roya menikah dengan Gus Ahnaf. Lelaki yang oleh abahnya itu selalu digadang-gadang akan mampu mengurus pesantren dengan baik sepeninggalnya nanti. Padahal sejauh ini, Roya rasa dirinya tak kurang jika hanya dituntut mampu mengurus lembaga itu sendirian. Jika memang alasan selanjutny