Semilir angin di pagi hari begitu sejuk, gadis kecil terpaku di bawah pohon beringin yang sangat rindang. Dia sedang membaca beberapa catatan pada secarik kertas yang tampak lusuh. Matanya sesekali terpejam mengingat kembali materi yang baru di pelajari, raut wajahnya nampak kesal karena dari kemarin dia belum bisa memahami materinya juga. Walau sudah di baca beberapa kali tetap saja otaknya kurang memahami. Angin berhembus semakin kencang hingga menerbangkan kertas yang di pegangnya. kertas itu terbang semakin tinggi menari-nari di udara dan membuat gadis kecil itu berlari-lari kecil mengikuti langkah angin pergi. Hal ini menyebabkan badannya terasa lelah, keringat di dahi menetes membasahi lehernya. Dia lalu duduk di kursi taman sekolah, matanya muram menatap secarik kertas catatannya sudah tenggelam di antara air selokan.
“Ih… Kenapa kertasnya bisa jatuh sih.” Gerutunya kesal, karena dia rela begadang untuk mencatat semua materi yang mungki
“Untuk sisa waktu tinggal sepuluh menit lagi ya? Jangan lupa jawabannya di cek kembali.” Tutur seorang pengawas mengingatkan agar tidak tergesa-gesa dalam mengerjakan soal.“Baik Bu!”Semua anak-anak terlihat fokus mengecek satu-satu jawaban di layar komputer, mereka takut jikalau ada soal yang terlewat belum di kerjakan. Delia mulai mengulang membaca soal mungkin saja ada jawaban yang salah. Sedangkan Romi tampak melirik kanan kiri mencari celah agar bisa melihat jawaban teman lain. Terlihat di layar komputernya masih ada beberapa soal yang belum di kerjakan. Anak laki-laki itu tampak santai dia menatap ke jam dinding dan nampak waktu tersisa lima menit lagi. Tanpa keraguan sedikit pun Romi mengeklik setiap jawaban pada soal lalu segera mengirimnya, karena takut jikalau terlalu lama akan terkena terkendala.“Yang sudah selesai bisa keluar ya? Kartu ujiannya jangan lupa di tumpuk pada kotak
Tatapan polos adik kecilnya seperti menyimpan ketakutan Damar tak mengerti apa yang sedang terjadi, Gistara terdiam membisu tangan kecilnya terus menunjuk pada jendela kayu di kamarnya. Berusaha menjelaskan jika ada sosok laki-laki bertubuh besar yang terus menatap dari celah kecil itu. Anak laki-laki itu semakin keheranan apa yang adik kecilnya bicarakan.“Kakak tadi ada Om jahat yang terus mengintip di jendela.” Ucap Gistara lirih tangan kanannya berusaha menutup mulut.“Siapa Om jahat itu Gistara?”“Gistara gak tahu Gistara takut. Kaka”Damar berusaha menghampiri adiknya yang terdiam di bawah ranjang yang begitu gelap, “Ka Sekar di mana Dek!”Dia bertanya keberadaan Kak Sekar sosok tetangga yang biasa menjaganya, namun Gistara pun tak tahu karena terakhir kali Kak Sekar pamit untuk pergi sebentar, namun sampai saat ini tak kunjun
“Ibu Delia pergi dulu.”“Ya, hati-hati di jalan Nak!”“Iya Ibu.”Pagi-pagi sekali Delia pergi mengendarai sepedanya untuk menuju ke pasar. Hawa dingin terasa menusuk hingga membuat kedua tangannya terasa kaku. Warna putih kabut memenuhi sekitar jalanan matanya menyipit mencoba mencari celah. Gumpalan kabut itu seperti asap yang menghalangi pandangan matanya. Mungkin dia tak akan pernah tahu entah apa yang ada depannya saat ini. Suasana jalanan sepi di tambah kabut tebal yang menghalangi pandangan matanya membuat Delia kesulitan untuk mengayuh sepeda. Di sana mulai terdengar suara burung yang saling bersahutan menyambut pagi hari yang cerah. Namun sinar sang mentari belum tampak membuat hawa dingin embun pagi terasa menyelinap pada celah-celah kulit. Beberapa kali gadis kecil itu menghirup udara segar, aroma khas tumbuhan di pagi hari terasa begitu menyegarkan.&nbs
“Del mau ke mana Kita?”“Ke tepi Laut aja yuk, Romi!”“Siap…Jangan lupa pegangan ya!”Romi begitu bahagia hari ini bisa bersama Delia berjalan-jalan menaiki sepeda, Delia memang sosok yang cuek Romi pun heran mengapa Delia begitu dekat dengan Damar. Setiap kali Romi ingin mengobrol selalu saja tak bisa, karena Damar terus bersama dengan Delia. Begitu pun sebaliknya, ikatan mereka sangat lengket seperti perekat yang tidak bisa lepas. Karena kebersamaan mereka hingga membuat semua orang tahu jika mereka memang dekat. Delia menyadarkan kepalanya pada tubuh Romi yang gempal membuat anak laki-laki itu tampak gerogi. Hatinya bergejolak, anak laki-laki itu memang menyukai Delia sejak lama. Perasaannya dia simpan dalam-dalam karena tahu jika sosok gadis kecil itu mana mungkin menyukainya. Delia masih termenung kedua bola matanya menatap langit, dia sangat menikmati sejuknya angin yang b
Suara parau tak begitu jelas terdengar dari telepon, Delia hanya menatap sang ibu yang tampak gelisah duduk di depan televisi. Raut wajahnya begitu serius, siapa sebenarnya yang sedang di telepon ibunya. Mengapa suara tangisan terdengar terisak-isak seperti meminta tolong. Keningnya mengkerut bertanya-tanya apa yang sedang terjadi sebenarnya. Entahlah, mungkin bukan sesuatu hal yang perlu dia ketahui batinnya dalam hati. Dan saat ini dia begitu rindu pada Damar karena sudah beberapa hari tidak pernah berjumpa. Delia pun ingin menghubungi Damar lewat ponsel, tetapi Ibunya selalu menyembunyikan ponselnya. Entah di mana ponsel itu berada, sang Ibu selalu membatasi Delia untuk bermain gadget karena takut jikalau menjadi kebiasaan.Apalagi dari kemarin Delia sedang sibuk menghadi ujian kelulusan sekolah dasar, pasti dia butuh konsentrasi lebih untuk memahami materi pelajaran. Jika sang Ibu mengizinkan anaknya bemain ponsel bisa saja Delia tak bersemangat untuk belajar.&nb
“Damar gak mau pindah Mah!” Ucap Damar berteriak kencang, dia sangat marah karena mamanya meminta untuk tinggal bersama sang nenek.“Damar! Maafin Mama, Kita sudah tidak bisa tinggal di sini lagi! Mama gak bisa mempertahankan rumah ini.” Ucap Mamanya memberi pengertian pada Damar agar mau menuruti semua keinginannya. Damar tampak kecewa pada keputusan sang mama untuk meninggalkan tempat ini.Damar begitu kecewa, kenapa dia harus meninggalkan rumah ini? Yang mana memiliki sejuta kisah di dalamnya. Rumah yang menyimpan segala kenangan semasa hidupnya. Bagaimana anak laki-laki itu menjelaskan pada sahabatnya nanti. Pasti Delia akan begitu kecewa jikalau Damar tak bisa mempertahankan janjinya. Damar sudah berjanji tak akan pernah meninggalkan Delia sendiri, dia akan terus bersama sampai kapan pun. Damar tampak begitu sedih hatinya berkecamuk, perasaanya sangat tak karuan. Air mata mengalir deras di pipi, dia sudah tak bis
Beberapa hari kemudian“Damar tumben Kamu ajak akau kesini?” Ucap Delia begitu senang karena sudah beberapa hari ini dia tak pernah bertemu dengan Damar.Kedua kakinya tak memakai alas kaki berlari-lari kecil di antara pasir putih Pantai yang tenang. Delia menggenggam erat tangan Damar seraya mengajaknya untuk bermain. Anak laki-laki itu hanya tertegun menatap wajah manis sahabatnya yang begitu ceriya. Bibirnya tak bisa berkata-kata membungkam rasanya ingin mengatakan semuanya pada Delia namun hatinya sungguh sulit tuk mengatakannya.“Delia memang Kamu belum tahu?” Ucap Damar tertunduk, dia berusaha menarik napas yang berat. Damar lantas melepas genggaman tangannya yang membuat Delia kebingungan. Apa yang sedang terjadi sebenarnya? Kenapa sahabatnya begitu serius saat ini. Pertanyaan tersebut terus berkecamuk di dalam hati.“Memang apa yang sedang terjadi Damar?
“Delia ayo ke luar Nak! Makan dulu ya? Nanti Kamu sakit.” Ucap ibunya dengan raut wajah begitu cemas, sejak kemarin sore Delia bertingkah sangat aneh. Dia terus saja terdiam membisu dan tak mau ke luar dari kamar. Ibunya paham pasti Delia baru saja bertemu dengan Damar untuk yang terakhir kalinya. Karena gadis kecil itu masih tak percaya dengan apa yang terjadi kemarin, dia belum siap menghadapi perpisahan yang begitu cepat hingga membuatnya sedih."Iya Mba Delia! Ayok makan dulu Bibi masakin makanan yang enak." Bibi Ikut cemas dengan apa yang di lakukan Delia, gadis kecil itu sangat marah hingga tak menghiraukan siapa pun yang memanggilnya."Sayang! Keluar yuk, nanti Ibu kasih hadiah apa pun yang Delia inginkan!"Ibu Delia terus saja membujuk putrinya untuk keluar, entah berapa kali dia terus memanggil namanya. Hingga membuat tenggorokannya kering dan serak, begitu pun dengan Bibi Susi dan Ayah Delia, mereka m
Sinar rembulan begitu terang menyorot permukaan air laut yang tampak bergelombang, suara tawa terus terdengar bersamaan serangga malam yang ikut bergeming. Wajah dua sosok manusia yang saling menatap seraya tersenyum menikmati hamparan laut yang begitu tenang. Sesekali mereka bersenda gurau untuk memecah keheningan malam yang tak terasa mulai larut. Delia mengecek jam yang pada ponsel genggamnya tampak waktu menunjuk sepuluh malam. Namun suasana laut masih begitu ramai, banyak orang berlalu lalang untuk sekedar bersantai sembari menikmati indahnya bintang-bintang di langit.“Gimana Kamu jadi cari model untuk promosiin baju kamu?” Ucap Romi dengan menatap lama mata Delia yang tampak bersinar terkena cahaya rembulan.Delia terdiam sebentar dia masih asyik sendiri tatkala bola matanya menyorot ke ujung hamparan air laut yang tampak tenang. Bibirnya sedikit tersenyum dengan menggaguk dia berkata “Iya Rom, Tapi…!” D
“Kring….Kring…”Suara lonceng sepeda terdengar begitu nyaring Ibu Delia menoleh,menatap ke luar kaca dan tampak putri cantiknya yang baru sampai mengantar bunga pesanan dari pelanggan. Wanita itu hanya tersenyum kecil, dengan kelakuan putrinya yang membuatnya cemas.“Ibu… Delia pulang!” Ucap gadis itu dengan begitu riang, lalu segera berlari menuju sang ibu yang terdiam seraya menatap tajam.“Ya ampun Delia! Ke mana aja tadi?”“He he.. Maaf Ibu, tadi Delia istirahat sebentar di Taman, suasananya asyik sih! Jadi kelupaan deh!”“Hmm… Kebiasaan deh Kamu!” Seru Ibunya lalu mencubit lembut pipi sang putri yang memerah.“Iya maaf.. Terus pesanan bunganya gimana Bu?”“Udah dianterin sama karyawan Ibu tadi! Kalau nungguin Kamu dulu, nanti pelanggan p
Keesokan harinya“Ini pesanan bunganya jangan lupa ya? Rumahnya dekat lapangan bola samping taman itu!” Ucap ibunya lalu segera mengemas dengan begitu cantik, sebuah rangkaian bunga mawar merah pesanan seorang pelanggan.“Iya Ibu! Alamatnya sudah di tulis kan ya?”“Sudah sayang! Kamu memangnya gak repot? kalau harus mengantar pesanan sebanyak ini?” Ibunya bertanya pada Delia karena dia tak ingin merepotkan sang putri.“Ngga kok! Delia masih sanggup, nanti kalau susah bawanya Delia kan bisa nganterin satu persatu Bu!” Ucap Delia meyakinkan ibunya, jikalau dia memang tak direpotkan sedikit pun.“Kamu lagi gak sibuk nih? Nanti gimana butik Kamu?”“Ngga Ibu, Delia sengaja mau bantu Ibu! Sudah lama Delia gak ke Toko. Delia senang kok!” Ujar Delia mengagut seraya tersenyum manis pada sang ibu yang t
Delia termenung menatap suasana yang tak asing baginya, suara desiran laut begitu syahdu. Dengan gelombang air yang nampak tenang, Delia menatap lama matanya tertuju pada jernihnya air yang berwarna hijau kebiruan. Perasannya tampak heran dia seperti tak asing dengan tempat ini sebelumnya. Ada rasa rindu yang terpendam begitu dalam, entah mengapa tiba-tiba air matanya jatuh hingga membasahi pipinya yang merah. Dia teringat akan sahabatnya dulu yang telah lama pergi, entah ke mana tak ada kabar sedikit pun darinya. Kepalanya langsung tertunduk Delia mencoba menahan untuk tidak menangis namun air matanya tak bisa dibendung lagi. Tangisnya begitu pilu hingga membuat dadanya sakit karena menahan napas yang tersengal-sengal. Delia ingin berteriak sekencang mungkin namun suaranya tak bisa keluar seperti tertahan.“Delia” Suara panggilan yang begitu jelas membuat gadis itu terkejut, dia langsung menoleh ke arah belakang dan terlihat sosok laki-laki kecil ya
12 tahun kemudian“Tok…tok…tok”Suara ketukan pintu di depan terdengar keras Bibi Susi dengan terburu-buru berlari kecil untuk membukakannya. “Iya tunggu sebentar!”Dari kejauhan sosok laki-laki muda sedang berdiri mematung menghadap ke pintu, senyuman kecil nampak terlihat di bibir Bibi Susi yang merah. “Eh Mas Romi! Cari Mba Delia ya?” Romi tersenyum lebar seraya mengangguk tubuhnya semakin tinggi hingga melampaui Bibi Susi. Anak laki-laki itu sudah beranjak dewasa. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, Bibi Susi tak menyangka pertumbuhan anak-anak itu yang amat cepat. Sejak lulus sd Romi selalu bersama Delia, mereka begitu dekat hingga kedua orang tuanya saling mengenal satu sama lain. Romi selalu bersama Delia sejak smp sampai sma mereka berada di sekolahnya yang sama, hanya saja mereka tak berada di satu kelas.“Delia…Ini a
Satu bulan kemudian….“Selamat ulang tahun kami ucapkan…Selamat panjang umur Kita kan doakan!” Suara nyanyian ulang tahun menggema hingga ke setiap sudut ruang tamu. Anak-anak itu tampak bahagia penuh senyum sembari mendendangkan sebuah lagu untuk Delia. Namun gadis kecil itu tampak terdiam lesu hanya sesekali tersenyum kecil.“Delia selamat ya?” Ucap Romi lalu memberikan sebuah hadiah yang sudah terbungkus rapih dalam kertas kado berwarna cokelat.Delia tersenyum lalu memanggut menerima hadiah dari Romi, entah hadiah apa yang anak laki-laki itu berikan, Begitu pun dengan Ayuna dan teman-teman lain mereka semua cukup gembira bisa berkumpul bersama kembali. Ada perasaan rindu yang terselip di relung hati terdalamnya, gadis kecil itu mengingkan Damar juga, agar dapat mengucapkan selamat di hari ulang tahunnya saat ini. Namun semua itu tak bisa dia rasakan lagi, karena sejak Damar pergi dia
Di atas ranjang tidur sesosok gadis kecil terbaring lemas, wajahnya pucat pasi bibirnya terus bergetar. Dia berkomat-kamit seperti mengatakan sesuatu, tetapi suaranya yang lirih tak begitu terdengar. Sang Ibu hanya menatap dengan penuh sendu kedua tangannya menggengam erat tangan kecil putinya yang tak berdaya. Sudah beberapa jam sang putri tak sadarkan diri karena demam tinggi akibat kelelahan dan tak mau makan seharian. Sang Dokter menyarankan agar ibunya bisa beristirahat, namun wanita itu tetap bersih kukuh untuk menemani putri kecilnya duduk di samping ranjang.“Ibu…ibu...!” Suara lirih gadis kecil itu membuat Ibunya tersadar, lantas segera mengusap lembut rambut putrinya yang berantakan.“Kenapa sayang?” Ucap Ibunya dengan begitu lembut, hatinya sakit melihat kondisi putrinya yang menyedihkan.“Damar mana? Delia pengin ketemu Damar!” Ucap Delia dengan suara parau, air mata
“Delia ayo ke luar Nak! Makan dulu ya? Nanti Kamu sakit.” Ucap ibunya dengan raut wajah begitu cemas, sejak kemarin sore Delia bertingkah sangat aneh. Dia terus saja terdiam membisu dan tak mau ke luar dari kamar. Ibunya paham pasti Delia baru saja bertemu dengan Damar untuk yang terakhir kalinya. Karena gadis kecil itu masih tak percaya dengan apa yang terjadi kemarin, dia belum siap menghadapi perpisahan yang begitu cepat hingga membuatnya sedih."Iya Mba Delia! Ayok makan dulu Bibi masakin makanan yang enak." Bibi Ikut cemas dengan apa yang di lakukan Delia, gadis kecil itu sangat marah hingga tak menghiraukan siapa pun yang memanggilnya."Sayang! Keluar yuk, nanti Ibu kasih hadiah apa pun yang Delia inginkan!"Ibu Delia terus saja membujuk putrinya untuk keluar, entah berapa kali dia terus memanggil namanya. Hingga membuat tenggorokannya kering dan serak, begitu pun dengan Bibi Susi dan Ayah Delia, mereka m
Beberapa hari kemudian“Damar tumben Kamu ajak akau kesini?” Ucap Delia begitu senang karena sudah beberapa hari ini dia tak pernah bertemu dengan Damar.Kedua kakinya tak memakai alas kaki berlari-lari kecil di antara pasir putih Pantai yang tenang. Delia menggenggam erat tangan Damar seraya mengajaknya untuk bermain. Anak laki-laki itu hanya tertegun menatap wajah manis sahabatnya yang begitu ceriya. Bibirnya tak bisa berkata-kata membungkam rasanya ingin mengatakan semuanya pada Delia namun hatinya sungguh sulit tuk mengatakannya.“Delia memang Kamu belum tahu?” Ucap Damar tertunduk, dia berusaha menarik napas yang berat. Damar lantas melepas genggaman tangannya yang membuat Delia kebingungan. Apa yang sedang terjadi sebenarnya? Kenapa sahabatnya begitu serius saat ini. Pertanyaan tersebut terus berkecamuk di dalam hati.“Memang apa yang sedang terjadi Damar?