“Bruk!”
Suara keras benda jatuh mengagetkan anak-anak yang berada di dalam kelas. Satu persatu dari mereka mengintip lewat celah kaca yang tertutup korden hijau.
"Eh ayo semua duduk kembali."
Bu Guru yang mengajar pun ikut mengecek dengan segera membuka pintu, ternyata ada anak kelas sebelah yang terpleset karena membawa tumpukan buku yang berat.
"Loh kok bisa jatuh?" Ucap Bu Guru dengan lembut.
"Eh iya Bu, tadi gak hati-hati malah kepleset.
Bu Guru ikut membantu menata buku dan anak itu mengatakan jikalau ia di perintah untuk memanggil Damar agar masuk ke ruangan guru.
"Eh maaf Bu. Tadi Saya di suruh panggil Damar buat ke ruang guru katanya. Sama makasih juga udah bantu." Ucap anak itu membungkuk seraya berterima kasih karena sudah mau membantunya.
"Iya..iya hati-hati ya!"
Bu Guru ber
“Mak, Hendri pergi dulu ya?” Ucap Hendri terburu-buru pergi dengan membawa topi hitam dan jaket kulit di pundaknya.“Sarapannya udah di makan belum Hen?” Sahut Emaknya dari belakang rumah yang sedang sibuk mencuci baju-baju milik pelanggannya.“Udah Mak!”Emaknya lantas kembali fokus mencuci semua pakaian yang tampak menumpuk, segala jenis pakaian sudah pernah di cucinya. Emak Hendri menjadi buruh cuci sejak suaminya meninggal dunia, ia harus putar otak untuk mencari uang sebagai pengganti tulang punggung keluarganya. Apalagi kebutuhan hidup yang banyak di tambah hutang-hutangnya menggunung di warung membuat Emak Hendri harus lebih giat bekerja.Emak Hendri memeriksa satu persatu baju yang akan ia cuci, ia terheran-heran pada celana hendri seperti ada sesuatu yang mengganjal. Dengan cepat wanita itu merogoh celana dan terdapat sebuah ktp seorang wanita paruh
.“Mba Delia…!Mba!” Suara panggilan Bibi Susi menyadarkan Delia dari lamunannya dengan cepat ia usap air mata di pipi.“Iya Bi!”“Mba Delia di mana ya?”“Di sini Bi! Di gudang.”“Ealah kok bisa di sini Mba! Banyak debunya Mba takut batuk nanti.”Delia tersenyum lucu pada Bibi lalu bertanya ke mana saja tadi, “Bibi dari tadi ke mana aja sih? Delia bosen di Rumah sendirian.” Ketus Delia sebal karena di tinggal sendirian.“Maaf ya Mba tadi Bibi ke Kantor Polisi.”“Loh emang Bibi salah apa?” Ucap Delia terkejut mendengar pernyataan Bibi Susi yang baru saja dari Kantor Polisi.“Nggak Mba! Bibi gak salah apa-apa, jadi waktu itu Bibi sempet kecopet ktp Bibi ilang. Eh, alhamdulillahnya copetnya udah di tangkep B
“Damar apa Kita bisa selalu bersama?” Ucap Delia ragu sembari menuntun sepedanya di jalanan tepi laut.Damar menoleh menatap wajah gadis kecil yang tampak menyimpan keraguan di hati. “Kenapa Kamu mengatakan itu?”Delia terdiam melangkahkan kaki, hatinya resah dan berkata.“Gak apa-apa sih! Aku cuma takut jika suatu saat nanti Kita berpisah Damar.”“Aku akan terus bersamamu. Delia!” Sahut Damar tegas lalu mencubit pipi sahabatnya yang memerah, tangan Damar langsung gemetar hatinya bergejolak menatap mata Delia yang indah.Ada sedikit lekungan di bibir mungil Delia yang tersenyum lega dengan pernyataan Damar, gadis kecil itu menaruh sepedanya di tepi jalan, kedua matanya menyorot laut biru yang nampak tenang. Delia menyuruh Damar untuk duduk di sampinya seraya menikmati suasana Laut yang begitu syahdu. Di saat-saat mentari mulai tenggelam meninggalka
Amarah tak tertahankan memuncak dengan segera Papa Damar menarik keras tangan istrinya yang membuatnya terkejut. Mulutnya mengaga tak bisa berkutik di pergoki sang suami ketika bersama kekasihnya.“Oh…Seperti ini kelakuan Kamu. Selama ini?” Bentak Papa Damar dengan menunjuk, suara keras mengglegar hingga membuat kerumunan orang-orang yang penasaran.“Kok Kamu bisa ke sini Mas?”“Memang kenapa? Aku ngikutin Kamu dari tadi, jadi teman Aku bener! Kalau Kamu selingkuh?”“Selingkuh? Kamu yang selingkuh Mas! Kamu aja mau ninggalin istri dan Anak-anak Kamu demi Aku.” Ketus istri mudanya dengan mudah berbicara tanpa merasa bersalah sedikit pun.“Terus seluruh hutang Kamu gimana? Kamu udah menghancurkan hidup Aku.”Istri mudanya menatap dengan tersenyum mengejek ia berkata.”Itu urusan Kamu Mas! K
“Papah, yeah… Papa udah pulang.” Ucap Gistara berlari kecil menemui Papanya yang langsung memberikan dekapan erat.“Aduh…Anak Papa! Papa belikan sesuatu buat Kamu.”Papanya segera mengeluarkan bungkusan cokelat berwarna-warni di sakunya, hal ini membuat Gistara tersenyum manis mendapatkan oleh-oleh makanan kesukaannya.“Aduh…! Gistara makannya jangan banyak-banyak Nak!”Mamanya khawatir jika gigi anaknya bermasalah karena terlalu banyak makan cokelat, apalagi umur Gistara yang masih kecil sangat rentan terkena sakit gigi. Namun gadis kecil itu sangat sulit untuk di beri tahu ia malah meledek Mamanya dengan eksperi yang lucu. Yang membuat Mamanya geleng-geleng kepala tersenyum gemas.“Gak apa-apa sekali-kali ya kan Gistara!” Ucap Papa Damar seraya memberikan rangkaian bunga mawar pada istrinya itu.
"Papa."Semua orang menoleh pada sosok anak laki-laki yang memanggilnya Papa, mereka membuka jalan agar anak itu bisa lebih dekat dengan Papanya. Matanya berkaca-kaca menatap polos sosok Papanya yang hilang arah ingin mengakhiri hidup. Hatinya ikut hancur mengapa Papa yang dia banggakan berakhir seperti ini. Kerumunan orang-orang sekitar menatap sendu ikut merasakan kesedihan yang anak itu alami. Namun bayang-bayang perlakuan papanya tiba-tiba terlintas membuat anak itu mengurungkan niat, perlahan-lahan dia mulai melangkah mundur meninggalkan tempat itu.“Damar…Kamu Nak.”Papanya menoleh lalu turun dari jembatan untuk mendekati sang putra yang menangis tersedu-sedu. Rasanya ingin sekali memeluk erat sang putra namun dengan cepat di tangkis, Damar belum bisa sepenuhnya menerima Papanya lagi. Setelah apa yang di lakukannya pada waktu itu, memberi luka batin yang teramat menyakitkan. Papanya terkejut tangannya gemetar
Semilir angin di pagi hari begitu sejuk, gadis kecil terpaku di bawah pohon beringin yang sangat rindang. Dia sedang membaca beberapa catatan pada secarik kertas yang tampak lusuh. Matanya sesekali terpejam mengingat kembali materi yang baru di pelajari, raut wajahnya nampak kesal karena dari kemarin dia belum bisa memahami materinya juga. Walau sudah di baca beberapa kali tetap saja otaknya kurang memahami. Angin berhembus semakin kencang hingga menerbangkan kertas yang di pegangnya. kertas itu terbang semakin tinggi menari-nari di udara dan membuat gadis kecil itu berlari-lari kecil mengikuti langkah angin pergi. Hal ini menyebabkan badannya terasa lelah, keringat di dahi menetes membasahi lehernya. Dia lalu duduk di kursi taman sekolah, matanya muram menatap secarik kertas catatannya sudah tenggelam di antara air selokan.“Ih… Kenapa kertasnya bisa jatuh sih.” Gerutunya kesal, karena dia rela begadang untuk mencatat semua materi yang mungki
“Untuk sisa waktu tinggal sepuluh menit lagi ya? Jangan lupa jawabannya di cek kembali.” Tutur seorang pengawas mengingatkan agar tidak tergesa-gesa dalam mengerjakan soal.“Baik Bu!”Semua anak-anak terlihat fokus mengecek satu-satu jawaban di layar komputer, mereka takut jikalau ada soal yang terlewat belum di kerjakan. Delia mulai mengulang membaca soal mungkin saja ada jawaban yang salah. Sedangkan Romi tampak melirik kanan kiri mencari celah agar bisa melihat jawaban teman lain. Terlihat di layar komputernya masih ada beberapa soal yang belum di kerjakan. Anak laki-laki itu tampak santai dia menatap ke jam dinding dan nampak waktu tersisa lima menit lagi. Tanpa keraguan sedikit pun Romi mengeklik setiap jawaban pada soal lalu segera mengirimnya, karena takut jikalau terlalu lama akan terkena terkendala.“Yang sudah selesai bisa keluar ya? Kartu ujiannya jangan lupa di tumpuk pada kotak
Sinar rembulan begitu terang menyorot permukaan air laut yang tampak bergelombang, suara tawa terus terdengar bersamaan serangga malam yang ikut bergeming. Wajah dua sosok manusia yang saling menatap seraya tersenyum menikmati hamparan laut yang begitu tenang. Sesekali mereka bersenda gurau untuk memecah keheningan malam yang tak terasa mulai larut. Delia mengecek jam yang pada ponsel genggamnya tampak waktu menunjuk sepuluh malam. Namun suasana laut masih begitu ramai, banyak orang berlalu lalang untuk sekedar bersantai sembari menikmati indahnya bintang-bintang di langit.“Gimana Kamu jadi cari model untuk promosiin baju kamu?” Ucap Romi dengan menatap lama mata Delia yang tampak bersinar terkena cahaya rembulan.Delia terdiam sebentar dia masih asyik sendiri tatkala bola matanya menyorot ke ujung hamparan air laut yang tampak tenang. Bibirnya sedikit tersenyum dengan menggaguk dia berkata “Iya Rom, Tapi…!” D
“Kring….Kring…”Suara lonceng sepeda terdengar begitu nyaring Ibu Delia menoleh,menatap ke luar kaca dan tampak putri cantiknya yang baru sampai mengantar bunga pesanan dari pelanggan. Wanita itu hanya tersenyum kecil, dengan kelakuan putrinya yang membuatnya cemas.“Ibu… Delia pulang!” Ucap gadis itu dengan begitu riang, lalu segera berlari menuju sang ibu yang terdiam seraya menatap tajam.“Ya ampun Delia! Ke mana aja tadi?”“He he.. Maaf Ibu, tadi Delia istirahat sebentar di Taman, suasananya asyik sih! Jadi kelupaan deh!”“Hmm… Kebiasaan deh Kamu!” Seru Ibunya lalu mencubit lembut pipi sang putri yang memerah.“Iya maaf.. Terus pesanan bunganya gimana Bu?”“Udah dianterin sama karyawan Ibu tadi! Kalau nungguin Kamu dulu, nanti pelanggan p
Keesokan harinya“Ini pesanan bunganya jangan lupa ya? Rumahnya dekat lapangan bola samping taman itu!” Ucap ibunya lalu segera mengemas dengan begitu cantik, sebuah rangkaian bunga mawar merah pesanan seorang pelanggan.“Iya Ibu! Alamatnya sudah di tulis kan ya?”“Sudah sayang! Kamu memangnya gak repot? kalau harus mengantar pesanan sebanyak ini?” Ibunya bertanya pada Delia karena dia tak ingin merepotkan sang putri.“Ngga kok! Delia masih sanggup, nanti kalau susah bawanya Delia kan bisa nganterin satu persatu Bu!” Ucap Delia meyakinkan ibunya, jikalau dia memang tak direpotkan sedikit pun.“Kamu lagi gak sibuk nih? Nanti gimana butik Kamu?”“Ngga Ibu, Delia sengaja mau bantu Ibu! Sudah lama Delia gak ke Toko. Delia senang kok!” Ujar Delia mengagut seraya tersenyum manis pada sang ibu yang t
Delia termenung menatap suasana yang tak asing baginya, suara desiran laut begitu syahdu. Dengan gelombang air yang nampak tenang, Delia menatap lama matanya tertuju pada jernihnya air yang berwarna hijau kebiruan. Perasannya tampak heran dia seperti tak asing dengan tempat ini sebelumnya. Ada rasa rindu yang terpendam begitu dalam, entah mengapa tiba-tiba air matanya jatuh hingga membasahi pipinya yang merah. Dia teringat akan sahabatnya dulu yang telah lama pergi, entah ke mana tak ada kabar sedikit pun darinya. Kepalanya langsung tertunduk Delia mencoba menahan untuk tidak menangis namun air matanya tak bisa dibendung lagi. Tangisnya begitu pilu hingga membuat dadanya sakit karena menahan napas yang tersengal-sengal. Delia ingin berteriak sekencang mungkin namun suaranya tak bisa keluar seperti tertahan.“Delia” Suara panggilan yang begitu jelas membuat gadis itu terkejut, dia langsung menoleh ke arah belakang dan terlihat sosok laki-laki kecil ya
12 tahun kemudian“Tok…tok…tok”Suara ketukan pintu di depan terdengar keras Bibi Susi dengan terburu-buru berlari kecil untuk membukakannya. “Iya tunggu sebentar!”Dari kejauhan sosok laki-laki muda sedang berdiri mematung menghadap ke pintu, senyuman kecil nampak terlihat di bibir Bibi Susi yang merah. “Eh Mas Romi! Cari Mba Delia ya?” Romi tersenyum lebar seraya mengangguk tubuhnya semakin tinggi hingga melampaui Bibi Susi. Anak laki-laki itu sudah beranjak dewasa. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, Bibi Susi tak menyangka pertumbuhan anak-anak itu yang amat cepat. Sejak lulus sd Romi selalu bersama Delia, mereka begitu dekat hingga kedua orang tuanya saling mengenal satu sama lain. Romi selalu bersama Delia sejak smp sampai sma mereka berada di sekolahnya yang sama, hanya saja mereka tak berada di satu kelas.“Delia…Ini a
Satu bulan kemudian….“Selamat ulang tahun kami ucapkan…Selamat panjang umur Kita kan doakan!” Suara nyanyian ulang tahun menggema hingga ke setiap sudut ruang tamu. Anak-anak itu tampak bahagia penuh senyum sembari mendendangkan sebuah lagu untuk Delia. Namun gadis kecil itu tampak terdiam lesu hanya sesekali tersenyum kecil.“Delia selamat ya?” Ucap Romi lalu memberikan sebuah hadiah yang sudah terbungkus rapih dalam kertas kado berwarna cokelat.Delia tersenyum lalu memanggut menerima hadiah dari Romi, entah hadiah apa yang anak laki-laki itu berikan, Begitu pun dengan Ayuna dan teman-teman lain mereka semua cukup gembira bisa berkumpul bersama kembali. Ada perasaan rindu yang terselip di relung hati terdalamnya, gadis kecil itu mengingkan Damar juga, agar dapat mengucapkan selamat di hari ulang tahunnya saat ini. Namun semua itu tak bisa dia rasakan lagi, karena sejak Damar pergi dia
Di atas ranjang tidur sesosok gadis kecil terbaring lemas, wajahnya pucat pasi bibirnya terus bergetar. Dia berkomat-kamit seperti mengatakan sesuatu, tetapi suaranya yang lirih tak begitu terdengar. Sang Ibu hanya menatap dengan penuh sendu kedua tangannya menggengam erat tangan kecil putinya yang tak berdaya. Sudah beberapa jam sang putri tak sadarkan diri karena demam tinggi akibat kelelahan dan tak mau makan seharian. Sang Dokter menyarankan agar ibunya bisa beristirahat, namun wanita itu tetap bersih kukuh untuk menemani putri kecilnya duduk di samping ranjang.“Ibu…ibu...!” Suara lirih gadis kecil itu membuat Ibunya tersadar, lantas segera mengusap lembut rambut putrinya yang berantakan.“Kenapa sayang?” Ucap Ibunya dengan begitu lembut, hatinya sakit melihat kondisi putrinya yang menyedihkan.“Damar mana? Delia pengin ketemu Damar!” Ucap Delia dengan suara parau, air mata
“Delia ayo ke luar Nak! Makan dulu ya? Nanti Kamu sakit.” Ucap ibunya dengan raut wajah begitu cemas, sejak kemarin sore Delia bertingkah sangat aneh. Dia terus saja terdiam membisu dan tak mau ke luar dari kamar. Ibunya paham pasti Delia baru saja bertemu dengan Damar untuk yang terakhir kalinya. Karena gadis kecil itu masih tak percaya dengan apa yang terjadi kemarin, dia belum siap menghadapi perpisahan yang begitu cepat hingga membuatnya sedih."Iya Mba Delia! Ayok makan dulu Bibi masakin makanan yang enak." Bibi Ikut cemas dengan apa yang di lakukan Delia, gadis kecil itu sangat marah hingga tak menghiraukan siapa pun yang memanggilnya."Sayang! Keluar yuk, nanti Ibu kasih hadiah apa pun yang Delia inginkan!"Ibu Delia terus saja membujuk putrinya untuk keluar, entah berapa kali dia terus memanggil namanya. Hingga membuat tenggorokannya kering dan serak, begitu pun dengan Bibi Susi dan Ayah Delia, mereka m
Beberapa hari kemudian“Damar tumben Kamu ajak akau kesini?” Ucap Delia begitu senang karena sudah beberapa hari ini dia tak pernah bertemu dengan Damar.Kedua kakinya tak memakai alas kaki berlari-lari kecil di antara pasir putih Pantai yang tenang. Delia menggenggam erat tangan Damar seraya mengajaknya untuk bermain. Anak laki-laki itu hanya tertegun menatap wajah manis sahabatnya yang begitu ceriya. Bibirnya tak bisa berkata-kata membungkam rasanya ingin mengatakan semuanya pada Delia namun hatinya sungguh sulit tuk mengatakannya.“Delia memang Kamu belum tahu?” Ucap Damar tertunduk, dia berusaha menarik napas yang berat. Damar lantas melepas genggaman tangannya yang membuat Delia kebingungan. Apa yang sedang terjadi sebenarnya? Kenapa sahabatnya begitu serius saat ini. Pertanyaan tersebut terus berkecamuk di dalam hati.“Memang apa yang sedang terjadi Damar?