Holla, MyRe. Semoga suka dengan bab ini, MyRe. Dukung novel kita dengan cara vote gems, hadiah, komentar manis dan doa baik tentunya. Papaiii ... IG Author:@deasta18
"Ck." Haiden berdecak pelan, berkacak pinggang sembari memperhatikan istrinya yang sedang berbaring lemah di atas ranjang. Hari ini Haiden berniat ke kantor. Dia sudah rapi dengan setelah jas mahal. Dia terlihat mendekati kata 'sempurna melalui pancaran pesona dan karismanya. Haiden bahkan telah ada dalam mobil–akan berangkat ke kantor. Namun, maid berlari panik. Maid tersebut mengejar mobil yang akan keluar dari pekarangan rumah untuk menghentikan mobil yang membawa tuannya. Haiden menyuruh Nanda berhenti lalu menghampiri maid, di mana maid melapor secara tergesa-gesa, mengatakan kalau sang nyonya pingsang. Untungnya nyonya mereka pingsang dalam keadaan duduk di sofa, sehingga kecemasan mereka tak berkali-kali lipat. Sekarang Lea sudah diperiksa oleh dokter, kondisinya sangat memprihatinkan. Fisik Lea sangat lemah, begitu juga dengan kandungannya. Namun, dokter mengatakan supaya Haiden tidak khawatir berlebihan. Beberapa wanita hamil mengalami hal seperti ini--mudah drop dan j
"Dan-- ja-jangan-jangan anak yang Lea kandung adalah anak Orion," cicit Selly pelan, cukup takut pada Haiden. Akan tetapi tatapan Kenzie juga mengerikan, membuatnya terpaksa bersuara. Nanda cengang mendengar ucapan tante dari Haiden. Bagaimana bisa dia berpikir demikian? "Kau yakin telah membawa otakmu sebelum datang ke sini?" Kenzie mengernyit, kesal mendengar ucapan iparnya. Bagaimana bisa dia berpikir anak yang Lea kandung milik Orion, sedangkan Lea diculik baru beberapa hari lalu. "Bi-bisa saja. Orion bertemu dengan Lea saat Haiden dan Lea berbulan madu, bukan?" Selly mencari pembenaran dan alasan lain. Intinya dia ingin membuat Lea hina dihadapan Kenzie dan Moza. Kenzie memijat pelipis, sakit kepala karena mendengar ucapan Selly. Tadi, menantunya difitnah hamil karena insiden penculikan, sekarang pindah karena bulan madu Haiden dan Lea. Semakin mereka ingin menjatuhkan Lea, semakin mereka terlihat blunder. "Kau juga ingin mati sepertinya!" geram Haiden. Syur' Tuk' Na
"Lalu apa yang kalian banggakan sedangkan kalian tak memiliki peran di keluarga Mahendra?" terang Denis, menatap para kerabat mertua putrinya dengan mimik muka tak bersahabat. Jelas ada pancaran kemarahan yang terlihat nyata karena dia tak menyangka putrinya difitnah oleh keluarga ini. Lea baru selamat dari kasus penculikan, bisa dikatakan kondisi putrinya belum baik-baik saja. Namun, mereka sangat keji dengan melempar ucapan jahat pada Lea. "Yang kami katakan fakta. Dan … bagiamana mungkin Lea lebih baik dari kami?" Ernio, suami Selly, melayangkan tatapan sinis pada Denis. "Jika bukan karena Ziea, memangnya putri yang kau banggakan tersebut memangnya bisa apa? Dia saja menikah dengan Haiden kami karena permintaan Ziea." "Kalian orang yang selalu merasa paling tahu." Kenzie angkat bicara, "fakta dan kebenarannya-- Ziea punya ide untuk bisnis cafenya karena melihat kemampuan Lea dalam memasak. Salah besar jika kalian mengira Lea mendapatkan pekerjaan karena diberi oleh Ziea, dia be
Lea diam-diam ke lantai bawah, dia pusing karena lama terkurung dalam kamar. Sedangkan Haiden, suaminya tertidur sangat pulas, dan oleh sebab itu Lea bisa diam-diam keluar. "Pak Rekq," ucap Lea, terkejut melihat pria yang membantunya selama penculikan ada di rumahnya. "Halo, Nona Lea. Senang bisa bertemu denganmu lagi." Rekq membungkuk hormat pada Lea, tak lupa sebuah senyuman manis menyungging di bibir. "Iya. Terimakasih untuk bantuannya, Pak Rekq," Lea mendekat lalu tersenyum balik pada Rekq. Saat itu dia belum sempat berterimakasih pada Rekq, dan untungnya mereka bertemu di sini."Terimakasih kembali juga pada Nona. Jika bukan karena Nona, mungkin saya dan beberapa maid itu, sudah tak ada di dunia ini," jawab Rekq dengan begitu manis dan sopan. Tak ada rasa apapun selain hormat yang dia miliki pada perempuan ini. Yang membuat Rekq sangat salut pada Lea adalah karena keteguhannya dalam menjaga kehormatannya selama penculikan. Lea tidak tahu siapa suaminya yang sebenarnya di duni
"Kapan pulang, Mas Haiden?" tanya Azalea Ariva pada suaminya melalui sambungan telepon. Perempuan yang kerap kali disapa Lea tersebut terlihat berseri-seri, berdebar hatinya karena tak sabar menunggu kepulangan suaminya. Tiga bulan semenjak pernikahan, Lea tidak pernah disentuh oleh suaminya. Hanya di saat malam pertama saja Haiden menyentuhnya, setelahnya tak ada lagi sentuhan panas yang menyapa Lea. Yah, suaminya memang sibuk. Sehari setelah menikah, Haiden kembali bekerja. Lalu beberapa hari kemudian, Haiden ke luar negeri untuk mengurus bisnis. Hari terus berlalu dan Haiden semakin larut dalam pekerjaan. Hubungan pernikahan mereka begitu monoton dan cukup dingin bagi Lea yang mendambakan kehangatan dari suaminya. Di saat Haiden tak keluar negeri, Lea hanya bertemu dengan suaminya saat pagi–saat mereka sarapan bersama. Itupun tanpa pembicaraan. Ketika sarapan, Haiden selalu membawa tablet dan terus menatap tablet dengan tatapan serius, hal tersebut membuat Lea tak berani untuk s
"Azalea." Lea yang sedang mengoles roti seketika mengangkat pandangan. Seperti biasa, pagi harinya selalu diawali dengan sarapan bersama Haiden. Walau pria itu selalu sibuk dengan tabletnya. "Iya, Mas?" tanya Lea seadanya. Tak ingin antusias karena masih mengingat kejadian tadi malam. Dia begitu excited menunggu kepulangan Haiden dari tempat kerja. Dia pikir malam dingin akan menjadi hangat dan penuh cinta. Namun, dia salah besar. Haiden tak mengharapkan hal yang sama dengannya. Dia berakhir tidur, ditemani kepiluan hati serta kehampaan. Sungguh?! Inikah pernikahan indah dan romantis yang Lea impikan? Dia kira setelah berhasil menaklukan Haiden, dia akan menjadi wanita beruntung yang dimanjakan oleh pria ini. Sayangnya itu tak benar. "Roti untukku?" ucap pria itu, menoleh ke arah piring yang masih kosong lalu menatap Lea–isyarat agar perempuan itu memberinya roti. Lea yang sudah selesai mengoles roti dengan selai coklat campur kacang, bahkan ingin mengigitnya, seketika meletakkan
Hari ini Lea kembali berniat menggoda Haiden. Pernikahan yang masih berusia tiga bulan ini, sudah terlalu dingin. Lea tak ingin membuatnya semakin dingin, dia harus secepatnya menghangatkan hubungan antara dia dan suaminya. Sudah jam delapan malam, Lea telah mengenakan lingerie yang ia beli saat siang tadi. Sejujurnya Lea tak diperbolehkan keluar tanpa izin dari Haiden. Tadi siang dia sama sekali tak izin karena dia merasa tak perlu. Izin tak izin, sepertinya Haiden tak akan peduli untuk saat ini–pria itu hanya peduli pada pekerjaan. Lagipula Lea hanya sebentar, jalan-jalan ke mall untuk menenangkan pikiran sejenak. Tampilannya sudah seksi dan jauh lebih menggoda dari malam sebelumnya. Seperti tadi malam, Lea berias dan mengenakan parfum yang banyak. "Halo, Mas Haiden sayang. Malam ini kamu pulang jam berapa yah kalau boleh tahu?" tanya Lea dengan lembut dan manis. Namun, alih-alih mendapat sambutan hangat, dia malah dimarahi oleh Haiden. 'Kepala maid melapor jika kau keluar dari
"Totalnya empat ratus lima puluh ribut," ucap Lea pada seorang pembeli yang saat ini melakukan transaksi pembayaran. Pembeli tersebut memberikan uang sebanyak lima lembar berwarna pink. Lea menerima uang tersebut kemudian memberi kembalian. "Kembalian lima puluh ribu lagi, Kak. Terimakasih sudah mengunjungi cafe kita, semoga harinya menyenangkan." Pembeli tersebut tersipu malu kemudian segera beranjak dari sana. Lea langsung menghela napas, memanggil salah satu staf dan menyuruhnya berganti tugas. "Ck, mungkin saja perempuan itu seorang model, sedangkan aku hanyalah seorang pelayan cafe. Oleh sebab itu Mas Haiden memilihnya. Ah, aku harus mencari pekerjaan lain intinya. Aku tidak boleh kalah. Menikah dengannya, bukan berarti aku berhenti berjuang. Semangat semangat semangat!" gumam Lea antusias pada akhirnya kalimat untuk mensugesti diri sendiri. Akan tetapi dia mengurungkan niat untuk masuk ke dapur karena ternyata cafe sedang ramai. Lea sebenarnya koki di cafe milik sahabatnya i
Lea diam-diam ke lantai bawah, dia pusing karena lama terkurung dalam kamar. Sedangkan Haiden, suaminya tertidur sangat pulas, dan oleh sebab itu Lea bisa diam-diam keluar. "Pak Rekq," ucap Lea, terkejut melihat pria yang membantunya selama penculikan ada di rumahnya. "Halo, Nona Lea. Senang bisa bertemu denganmu lagi." Rekq membungkuk hormat pada Lea, tak lupa sebuah senyuman manis menyungging di bibir. "Iya. Terimakasih untuk bantuannya, Pak Rekq," Lea mendekat lalu tersenyum balik pada Rekq. Saat itu dia belum sempat berterimakasih pada Rekq, dan untungnya mereka bertemu di sini."Terimakasih kembali juga pada Nona. Jika bukan karena Nona, mungkin saya dan beberapa maid itu, sudah tak ada di dunia ini," jawab Rekq dengan begitu manis dan sopan. Tak ada rasa apapun selain hormat yang dia miliki pada perempuan ini. Yang membuat Rekq sangat salut pada Lea adalah karena keteguhannya dalam menjaga kehormatannya selama penculikan. Lea tidak tahu siapa suaminya yang sebenarnya di duni
"Lalu apa yang kalian banggakan sedangkan kalian tak memiliki peran di keluarga Mahendra?" terang Denis, menatap para kerabat mertua putrinya dengan mimik muka tak bersahabat. Jelas ada pancaran kemarahan yang terlihat nyata karena dia tak menyangka putrinya difitnah oleh keluarga ini. Lea baru selamat dari kasus penculikan, bisa dikatakan kondisi putrinya belum baik-baik saja. Namun, mereka sangat keji dengan melempar ucapan jahat pada Lea. "Yang kami katakan fakta. Dan … bagiamana mungkin Lea lebih baik dari kami?" Ernio, suami Selly, melayangkan tatapan sinis pada Denis. "Jika bukan karena Ziea, memangnya putri yang kau banggakan tersebut memangnya bisa apa? Dia saja menikah dengan Haiden kami karena permintaan Ziea." "Kalian orang yang selalu merasa paling tahu." Kenzie angkat bicara, "fakta dan kebenarannya-- Ziea punya ide untuk bisnis cafenya karena melihat kemampuan Lea dalam memasak. Salah besar jika kalian mengira Lea mendapatkan pekerjaan karena diberi oleh Ziea, dia be
"Dan-- ja-jangan-jangan anak yang Lea kandung adalah anak Orion," cicit Selly pelan, cukup takut pada Haiden. Akan tetapi tatapan Kenzie juga mengerikan, membuatnya terpaksa bersuara. Nanda cengang mendengar ucapan tante dari Haiden. Bagaimana bisa dia berpikir demikian? "Kau yakin telah membawa otakmu sebelum datang ke sini?" Kenzie mengernyit, kesal mendengar ucapan iparnya. Bagaimana bisa dia berpikir anak yang Lea kandung milik Orion, sedangkan Lea diculik baru beberapa hari lalu. "Bi-bisa saja. Orion bertemu dengan Lea saat Haiden dan Lea berbulan madu, bukan?" Selly mencari pembenaran dan alasan lain. Intinya dia ingin membuat Lea hina dihadapan Kenzie dan Moza. Kenzie memijat pelipis, sakit kepala karena mendengar ucapan Selly. Tadi, menantunya difitnah hamil karena insiden penculikan, sekarang pindah karena bulan madu Haiden dan Lea. Semakin mereka ingin menjatuhkan Lea, semakin mereka terlihat blunder. "Kau juga ingin mati sepertinya!" geram Haiden. Syur' Tuk' Na
"Ck." Haiden berdecak pelan, berkacak pinggang sembari memperhatikan istrinya yang sedang berbaring lemah di atas ranjang. Hari ini Haiden berniat ke kantor. Dia sudah rapi dengan setelah jas mahal. Dia terlihat mendekati kata 'sempurna melalui pancaran pesona dan karismanya. Haiden bahkan telah ada dalam mobil–akan berangkat ke kantor. Namun, maid berlari panik. Maid tersebut mengejar mobil yang akan keluar dari pekarangan rumah untuk menghentikan mobil yang membawa tuannya. Haiden menyuruh Nanda berhenti lalu menghampiri maid, di mana maid melapor secara tergesa-gesa, mengatakan kalau sang nyonya pingsang. Untungnya nyonya mereka pingsang dalam keadaan duduk di sofa, sehingga kecemasan mereka tak berkali-kali lipat. Sekarang Lea sudah diperiksa oleh dokter, kondisinya sangat memprihatinkan. Fisik Lea sangat lemah, begitu juga dengan kandungannya. Namun, dokter mengatakan supaya Haiden tidak khawatir berlebihan. Beberapa wanita hamil mengalami hal seperti ini--mudah drop dan j
Namun, tiba-tiba saja Haiden muncul. Pria itu berjalan dengan langkah panjang, akan tetapi wajahnya menunjukkan mimik yang tenang sehingga sangat sulit bagi mereka untuk menebak apa yang sedang pria itu pikirkan serta rasakan. Mendengar langkah kaki, Lea menoleh ke arah belakang–menatap Haiden yang berjalan mendekat ke arahnya. Haiden melewatinya, akan tetap menyempatkan diri untuk mengusap pelan pucuk kepala Lea–saat dia melewati perempuan itu. Bug' Haiden langsung melayangkan tinju ke wajah tantenya, pukulannya sangat kuat sehingga perempuan itu terhempas kasar ke lantai kemudian berakhir tak sadarkan diri, di mana darah segar keluar dari hidung dan mulut. "Haiden!" bentak Tommi–suami dari Sania. Dia berlari ke arah istrinya dan langsung menggendongnya. Sedangkan Haiden, dia menggerakkan lengan–meregangkan otot lengan lalu kembali mengambil ancang-ancang untuk memukul Sania. Persetan, perempuan itu sudah tumbang. Jika dia masih terlihat oleh Haiden dalam bentuk utuh, maka H
Lea berusaha menenangkan diri di halaman samping, taman rumah yang sejuk dan indah. Kewarasan Lea berasa direnggut oleh Haiden, dan sekarang Lea ingin menyendiri–ditemani oleh Haiden. Yap! Lagi-lagi Lea ingin bebas dari Haiden akan tetapi suaminya ini seperti telah direkatkan pada tubuhnya. Lengket dan tak bisa disingkirkan! "Mas tidak kerja yah?" tanya Lea, nadanya cukup sinis karena masih dongkol pada Haiden. Sebenarnya Lea mengusir secara halus. Namun, Lea juga sejujurnya bingung kenapa Haiden tidak ke kantor. Ayolah! Suaminya penggila kerja. "Tidak." Haiden menjawab datar, "kondisimu belum stabil dan siapa tahu juga kau ingin sesuatu. Ibu hamil mengidam bukan?" "O-oh. Iya." Lea menganggukkan kepala, cukup kaku dan lagi-lagi bingung. Haiden tak ingin punya anak tetapi tetap perhatian pada Lea yang sedang mengandung. Konsepnya bagaimana?! *** Karena pusing diikuti terus-terusan oleh Haiden, pada akhrinya Lea memilih tidur siang. Lea berniat hanya pura-pura supaya
"Bagaimana rasanya menjadi ayah?" tanya Haiden, tepat setelah dia duduk di sebelah Reigha. Reigha menoleh padanya, menaikkan sebelah alis karena cukup tertarik dengan pertanyaan Haiden. "Seperti yang kau lihat," jawab Reigha. Haiden seketika menatap kesal pada Reigha. "Aku buta," ketusnya sebab tidak suka dengan jawaban Reigha. Shit! Kenapa harus jawaban itu? Memangnya jawaban seperti itu bisa menjelaskan apa?! Haiden butuh yang lebih rincih, diungkapkan dengan rangkaian kata pendukung untuk meyakinkan. "Jawab yang benar, Rei." Haiden berucap lagi, mendengkus lalu melayangkan tatapan malas pada Reigha. Dia bukan hanya dekat dengan Reigha, tetapi mereka juga sangat kompak sebenarnya. Fakta lucunya, pertemanan keduanya diawali dengan alasan yang konyol. Haiden dan Reigha memiliki hubungan kekerabatan. Namun, dulu mereka tak sedekat ini. Haiden lebih masuk pada pertemanan Rafael, Maxim, Nanda dan yang lainnya karena mereka semua seumuran. Sedangkan Reigha, selain lebih
"Jaga Azalea dengan baik." "Jangan terlalu manja pada Lea juga, Kak Den. Ingat, menantu Mommy sedang hamil. Jangan macam-macam juga!" Haiden menganggukkan kepala pada orangtuanya. Setelah itu, kedua orangtuanya pamit pulang. Haiden sudah lebih baik, begitu juga dengan Lea. Maka dari itu mereka pamit untuk pulang–memberi ruang untuk Haiden dan Lea. Mungkin pasangan itu butuh waktu. Lea menatap mobil mertuanya dengan muka murung. Sejak tadi dia hanya diam, perasaannya berkecamuk dan kepalanya sedikit pusing karena banyak pikiran. Benar dugaannya! Haiden sudah tahu tetapi Haiden dasarnya memang tak ingin membahas apapun. "Masuk dan kembali ke kamar." Haiden merangkul pundak Lea, mengiring istrinya untuk kembali masuk dalam rumah. "Kau harus istirahat," lanjutnya. Lea hanya menganggukkan kepala, berjalan pelan di sebelah suaminya. Sampai sekarang! Haiden tidak menyinggung pasal kehamilannya. Apa Haiden juga berpikiran yang sama dengan para tantenya? Haiden curiga ini anak Orion?
Setelah dokter pergi, Lea langsung menyambar novel. Dia sengaja untuk mengindari Haiden, dia takut menghadapi suaminya. Lea tersenyum perih, merasa dirinya telah gila dan jahat. 'Harusnya berita kehamilanku membawa kebahagiaan, harusnya aku senang karena sebentar lagi aku akan menjadi ibu, harusnya aku bahagia karena mengandung anak dari pria yang kucintai. Tapi-- aku malah sedih, aku takut, aku cemas dan … aku rasa aku akan menjadi gila dalam waktu dekat.' batin Lea, di mana dia ingin menangis akan tetapi ia tahan karena mendengar sebuah langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Haiden kembali ke kamar, setelah sebelumnya mengantar dokter. "Besok, Mama dan Papa akan aku bawa ke sini untuk bertemu denganmu," ucap Haiden, meletakkan botol vitamin dan pil di atas nakas. "Iya, Mas," jawab Lea seadanya, menganggukkan kepala tanpa mau bersitatap dengan suaminya. Dia pura-pura sibuk membaca novel, padahal pikirannya kemana-mana. Jantung Lea berdebar kencang, punggungnya panas akan