MyRe, Ada yang ingin gabung dengan Mas Deden, galau bareng? Semoga suka dengan bab ini, MyRe. Jangan lupa dukung novel kita dengan cara vote gems, komentar manis (di kolom berbintang, bukan di sini yah, MyRe) hadiah dan doa manis dari kita. Sehat selalu untuk kalian semua dan semoga selalu bahagia. Papai …. IG:@deasta18 (Yang mau jumpa Mak Lea, yuk langsung follow Ig penulis. Visual Lea sudah keluar nih, MyRe.)
Lea baru saja duduk di sofa, sudah di rumah, akan tetapi deringan ponselnya langsung menyita perhatiannya. Lea sebenarnya malas untuk mengangkat telepon, akan tetapi dia takut yang menelponnya ingin memberikan hal penting. Di sisi lain, melihat nyonya-nya pulang, maid langsung menghubungi sang tuan untuk memberi tahu jika nyonya-nya telah pulang ke rumah. Lea mengernyit karena mendapat telepon dari pamannya. Tumben! Karena biasanya tantenya yang menelpon, maksud Lea–meskipun pamannya yang ingin mengobrol dengannya, pasti menelpon dari HP tantenya. Ini tak biasanya. Lea mengangkat telpon, perasaannya campur aduk. Dia senang karena dia memang merindukan orangtua angkatnya, akan tetapi dia juga deg degkan–takut jika Haiden telah mengadu pada orangtua angkatnya tentang masalah keduanya. Orangtua angkatnya selalu berpihak padanya, tetapi Lea hanya tak mau membebani. Pasti mereka akan cemas pada Lea jika semisal Haiden memang mengatakan pertengkaran antara keduanya. "Halo, Pah. Ada a
Besoknya, setelah pemakaman paman dan tantenya–orang baik yang bersedia dipanggil papa dan mama oleh Lea, kini Lea hanya diam di dalam kamarnya, di rumah paman dan tantenya. Lea duduk di lantai sembari menyender pada body samping ranjang. Dia menekuk kaki, menatap lurus ke arah depan. Pandangan Lea kosong dan wajahnya pucat pias. Tes' Air mata Lea kembali jatuh, terasa panas ketika melintasi kulit pipi. Rasa sakit itu kembali datang, menyerang dan menggerogoti hati Lea. Isakan pelan tetapi pilu keluar dari bibirnya. Sungguh! Lea tak bisa menahan semua ini. Sebesar apapun dia menolak rasa sakit ini, lama akan tetap kalah. 'Aku kira aku akan sangat kuat menghadapi apapun, selama ada kalian bersamaku. Seandainya cinta pertama Mas Haiden datang, lalu aku dibuang olehnya. Aku yakin aku akan merasa fine-fine saja karena aku punya kalian. Dulu-- aku melewati masa sulitku berkat bantuan kalian. Sekarang … aku dilanda masalah sulit, tetapi kalian pergi. Baru empat bulan aku menjadi anak
Satu bulan berlalu dan Lea masih stay dengan perasaan duka yang melanda dirinya. Dia lebih banyak diam dan sering menghindar dari Haiden, dia tak ingin berinteraksi banyak dengan suaminya. Ziea sudah melahirkan, bayi kembar yang sangat menggemaskan. Si kakak bernama Zira Dominik Azam, lalu di adek bernama Razie Dominik Azam. Yah, si kembar Ziea tak identik, perempuan dan laki-laki. Sahabatnya tersebut sangat bahagia, tentunya Lea juga bahagia. Selama berkunjung–melihat keponakannya yang baru lahir, Lea tak hentinya memperlihatkan ekspresi senang. Meskipun sejujurnya Lea masih diselimuti perasaan kehilangan yang begitu dalam. Akan tetapi, dia tidak akan merusak kebahagian sahabatnya dengan memperlihatkan kesedihan pada hari bahagia sahabatnya. Keluarga besar Azam dan Mahendra berbahagia karena kelahiran anak kembar Ziea dan Reigha. Sang pewaris selanjutnya untuk keluarga Azam telah lahir, dan cucu pertama bagi keluarga Mahendra (bagi mertua Lea). Melihat kebahagiaan itu, Lea seben
Setelah menemui Lea, Haiden beranjak dari rumahnya. Dia pulang khusus memeriksa kondisi istrinya. Semenjak Lea kehilangan orangtua angkatnya, Lea menjadi pendiam dan Haiden sangat khawatir pada istrinya. "Bos, kau yakin ingin kembali ke kantor?" tanya Nanda, di mana saat ini dia dan Haiden sudah dalam mobil. "Tidak ke kantor. Tapi ke restoran di hotel milik Daddy," jawab Haiden datar. "Wow! Tobat, Brother. Kau sudah punya istri." Haiden menatap malas pada Nanda. "Isi kepalamu terlalu negatif!" "Memangnya kau ke sana ingin bertemu siapa?" tanya Nanda, menatap sejenak pada Haiden lewat kaca depan mobil. "Jema Airina Patro," jawab Haiden tenang. Ngigggg! Nada mendadak me-rem, membuat Haiden menjorok ke depan. "NANDA!" Marah Haiden, melayangkan tatapan murka pada tangan kanannya tersebut. Nanda menoleh ke belakang, menatap Haiden dengan muka konyol. Dia sejujurnya takut melihat wajah marah Haiden, tetapi Nanda mengabaikannya. "Kau ingin menemui perempuan? U-untuk apa?
"Ck." Haiden menatap kakinya yang diinjak kuat oleh Lea, setelah itu buru-buru menghampiri Lea untuk mencegahnya pergi. Namun-- Brak' Pintu ditutup dengan kuat, sebelum Haiden sempat keluar dari kamar. Haiden langsung membuka pintu, akan tetapi sialnya pintu terkunci dari luar. "Azalea, buka pintunya!" marah Haiden dari dalam, sembari mendobrak pintu. Sayangnya, tak ada jawaban sama sekali dari luar. Lea sendiri, setelah mengunci pintu kamar, dia segera pergi. Para maid menahan Lea, tetapi Lea memegang pisau–mengancam akan mengakhiri hidupnya jika ada yang berani menghalanginya untuk keluar dari rumah ini. Maid tak bisa berbuat apa-apa, membiarkan sang nyonya pergi dari rumah ini. Haiden berhasil keluar dari kamar, tetapi Lea sudah pergi. Brak' Prang' Haiden menendang guci besar, hiasan di ruangan tersebut. Suara dari guci besar tersebut menggema, pecahannya berserak. Para maid begitu takut, menunduk dan menjauh dari sang tuan yang sudah seperti iblis mengamuk.
Haiden menatap rumah di depannya, di mana rumah tersebut adalah tempat yang Lea rencanakan sebagai persembunyiannya. Haiden menaikkan sebelah alis, menyunggingkan smirk tipis karena geli pada makhluk mungil di sebelahnya. "Jadi kau ingin bersembunyi di sini-- di rumah Orangtua angkatmu?" tanya Haiden pelan, menarik koper Lea ke arah rumah. Saat dia akan masuk, Lea menghalangi dan mendorongnya supaya menjauh dari pintu. "Ya, mulai sekarang aku akan tinggal di sini. Dan aku bukan istrimu lagi," ucap Lea penuh keyakinan, meraih sebuah surat dari dalam tas kemudian menyerahkannya pada Haiden. Surat perceraian! Haiden mengepalkan tangan, mengatupkan rahang dengan kuat dan menatap Lea murka. "Azalea, kau--" Haiden berniat memarahi Lea, akan tetapi perempuan itu lebih dulu bersuara. "Aku sudah lelah denganmu, Mas. Sekarang aku ingin bebas darimu," ucap Lea dingin, "selama menjadi istrimu, aku sangat-sangat tersiksa. Aku tidak merasakan kebahagiaan apapun. Yang kurasakan
Lea sudah selesai merapikan kamar dan pakaiannya. Pekerjaannya selesai setengah delapan malam. "Anginnya kencang banget. Sepertinya bakal turun hujan," monolog Lea, berjalan ke arah jendela untuk menutupnya. Namun, niatan tersebut Lea urungkan, terpaku pada sosok Haiden yang masih di sana. Pria itu sudah bangun dan kini menatap lesu ke arah jendela kamar Lea–lebih tepatnya pada Lea. "Azalea," panggil pria itu dari bawah. Nadanya rendah dan lemah, membuat Lea yang mendengarnya prihatin dan tak kuat. Brak' Namun, Lea tak ingin luluh. Dia segera menutup jendela kamar dan segera menjauh dari sana. Demi Tuhan! Lea sangat kasihan pada Haiden, semenjak pagi dan sekarang sudah malam, pria itu masih di sana. Pakaiannya belum diganti dan Lea yakin Haiden belum makan apapun semenjak tadi pagi. Syurrr' Hujan turun dengan lebat, Lea sedikitnya merasa lega. Dia yakin sekali Haiden akan pergi, Haiden tak akan bertahan karena hujan yang lebat dan dingin. Lea memutuskan untuk memasa
"CEPAT KE SINI!!" teriak Lea, setengah marah dan kesal. Dia berkacak pinggang, melayangkan tatapan gusar pada Haiden. Pria itu sangat konsisten untuk tetap duduk di bawah pohon mangga. Tak peduli apakah akan turun hujan atau meteor sekalipun. Dia kira dengan begitu Lea akan luluh?! Cih, benar lagi! Lea luluh. Demi Tuhan! Sebesar apapun Lea menanam kebencian pada suaminya, agar dia tegaan melihat Haiden kehujanan, tetapi tetap saja dia berujung tak sanggup. Apalagi pria ini pewaris Mahendra. Jika terjadi sesuatu pada Haiden, Lea yang akan diserang keluarga pria ini. Haiden berdiri tetapi tak beranjak dari bawah pohon. "Kau belum memaafkan ku, Azalea." "Jangan keras kepala! Nanti kalau kamu sakit, aku juga yang repot. Kalau keluargamu tahu, aku yang akan disalahkan," ucap Lea, setengah kesal dan geram pada Haiden. Pria itu tetap berdiri di sana, membuat Lea semakin geram. Lea masuk ke dalam rumah, dia mengambil payung kemudian menyusul Haiden ke bawah pohon. Dia mena
Lea diam-diam ke lantai bawah, dia pusing karena lama terkurung dalam kamar. Sedangkan Haiden, suaminya tertidur sangat pulas, dan oleh sebab itu Lea bisa diam-diam keluar. "Pak Rekq," ucap Lea, terkejut melihat pria yang membantunya selama penculikan ada di rumahnya. "Halo, Nona Lea. Senang bisa bertemu denganmu lagi." Rekq membungkuk hormat pada Lea, tak lupa sebuah senyuman manis menyungging di bibir. "Iya. Terimakasih untuk bantuannya, Pak Rekq," Lea mendekat lalu tersenyum balik pada Rekq. Saat itu dia belum sempat berterimakasih pada Rekq, dan untungnya mereka bertemu di sini."Terimakasih kembali juga pada Nona. Jika bukan karena Nona, mungkin saya dan beberapa maid itu, sudah tak ada di dunia ini," jawab Rekq dengan begitu manis dan sopan. Tak ada rasa apapun selain hormat yang dia miliki pada perempuan ini. Yang membuat Rekq sangat salut pada Lea adalah karena keteguhannya dalam menjaga kehormatannya selama penculikan. Lea tidak tahu siapa suaminya yang sebenarnya di duni
"Lalu apa yang kalian banggakan sedangkan kalian tak memiliki peran di keluarga Mahendra?" terang Denis, menatap para kerabat mertua putrinya dengan mimik muka tak bersahabat. Jelas ada pancaran kemarahan yang terlihat nyata karena dia tak menyangka putrinya difitnah oleh keluarga ini. Lea baru selamat dari kasus penculikan, bisa dikatakan kondisi putrinya belum baik-baik saja. Namun, mereka sangat keji dengan melempar ucapan jahat pada Lea. "Yang kami katakan fakta. Dan … bagiamana mungkin Lea lebih baik dari kami?" Ernio, suami Selly, melayangkan tatapan sinis pada Denis. "Jika bukan karena Ziea, memangnya putri yang kau banggakan tersebut memangnya bisa apa? Dia saja menikah dengan Haiden kami karena permintaan Ziea." "Kalian orang yang selalu merasa paling tahu." Kenzie angkat bicara, "fakta dan kebenarannya-- Ziea punya ide untuk bisnis cafenya karena melihat kemampuan Lea dalam memasak. Salah besar jika kalian mengira Lea mendapatkan pekerjaan karena diberi oleh Ziea, dia be
"Dan-- ja-jangan-jangan anak yang Lea kandung adalah anak Orion," cicit Selly pelan, cukup takut pada Haiden. Akan tetapi tatapan Kenzie juga mengerikan, membuatnya terpaksa bersuara. Nanda cengang mendengar ucapan tante dari Haiden. Bagaimana bisa dia berpikir demikian? "Kau yakin telah membawa otakmu sebelum datang ke sini?" Kenzie mengernyit, kesal mendengar ucapan iparnya. Bagaimana bisa dia berpikir anak yang Lea kandung milik Orion, sedangkan Lea diculik baru beberapa hari lalu. "Bi-bisa saja. Orion bertemu dengan Lea saat Haiden dan Lea berbulan madu, bukan?" Selly mencari pembenaran dan alasan lain. Intinya dia ingin membuat Lea hina dihadapan Kenzie dan Moza. Kenzie memijat pelipis, sakit kepala karena mendengar ucapan Selly. Tadi, menantunya difitnah hamil karena insiden penculikan, sekarang pindah karena bulan madu Haiden dan Lea. Semakin mereka ingin menjatuhkan Lea, semakin mereka terlihat blunder. "Kau juga ingin mati sepertinya!" geram Haiden. Syur' Tuk' Na
"Ck." Haiden berdecak pelan, berkacak pinggang sembari memperhatikan istrinya yang sedang berbaring lemah di atas ranjang. Hari ini Haiden berniat ke kantor. Dia sudah rapi dengan setelah jas mahal. Dia terlihat mendekati kata 'sempurna melalui pancaran pesona dan karismanya. Haiden bahkan telah ada dalam mobil–akan berangkat ke kantor. Namun, maid berlari panik. Maid tersebut mengejar mobil yang akan keluar dari pekarangan rumah untuk menghentikan mobil yang membawa tuannya. Haiden menyuruh Nanda berhenti lalu menghampiri maid, di mana maid melapor secara tergesa-gesa, mengatakan kalau sang nyonya pingsang. Untungnya nyonya mereka pingsang dalam keadaan duduk di sofa, sehingga kecemasan mereka tak berkali-kali lipat. Sekarang Lea sudah diperiksa oleh dokter, kondisinya sangat memprihatinkan. Fisik Lea sangat lemah, begitu juga dengan kandungannya. Namun, dokter mengatakan supaya Haiden tidak khawatir berlebihan. Beberapa wanita hamil mengalami hal seperti ini--mudah drop dan j
Namun, tiba-tiba saja Haiden muncul. Pria itu berjalan dengan langkah panjang, akan tetapi wajahnya menunjukkan mimik yang tenang sehingga sangat sulit bagi mereka untuk menebak apa yang sedang pria itu pikirkan serta rasakan. Mendengar langkah kaki, Lea menoleh ke arah belakang–menatap Haiden yang berjalan mendekat ke arahnya. Haiden melewatinya, akan tetap menyempatkan diri untuk mengusap pelan pucuk kepala Lea–saat dia melewati perempuan itu. Bug' Haiden langsung melayangkan tinju ke wajah tantenya, pukulannya sangat kuat sehingga perempuan itu terhempas kasar ke lantai kemudian berakhir tak sadarkan diri, di mana darah segar keluar dari hidung dan mulut. "Haiden!" bentak Tommi–suami dari Sania. Dia berlari ke arah istrinya dan langsung menggendongnya. Sedangkan Haiden, dia menggerakkan lengan–meregangkan otot lengan lalu kembali mengambil ancang-ancang untuk memukul Sania. Persetan, perempuan itu sudah tumbang. Jika dia masih terlihat oleh Haiden dalam bentuk utuh, maka H
Lea berusaha menenangkan diri di halaman samping, taman rumah yang sejuk dan indah. Kewarasan Lea berasa direnggut oleh Haiden, dan sekarang Lea ingin menyendiri–ditemani oleh Haiden. Yap! Lagi-lagi Lea ingin bebas dari Haiden akan tetapi suaminya ini seperti telah direkatkan pada tubuhnya. Lengket dan tak bisa disingkirkan! "Mas tidak kerja yah?" tanya Lea, nadanya cukup sinis karena masih dongkol pada Haiden. Sebenarnya Lea mengusir secara halus. Namun, Lea juga sejujurnya bingung kenapa Haiden tidak ke kantor. Ayolah! Suaminya penggila kerja. "Tidak." Haiden menjawab datar, "kondisimu belum stabil dan siapa tahu juga kau ingin sesuatu. Ibu hamil mengidam bukan?" "O-oh. Iya." Lea menganggukkan kepala, cukup kaku dan lagi-lagi bingung. Haiden tak ingin punya anak tetapi tetap perhatian pada Lea yang sedang mengandung. Konsepnya bagaimana?! *** Karena pusing diikuti terus-terusan oleh Haiden, pada akhrinya Lea memilih tidur siang. Lea berniat hanya pura-pura supaya
"Bagaimana rasanya menjadi ayah?" tanya Haiden, tepat setelah dia duduk di sebelah Reigha. Reigha menoleh padanya, menaikkan sebelah alis karena cukup tertarik dengan pertanyaan Haiden. "Seperti yang kau lihat," jawab Reigha. Haiden seketika menatap kesal pada Reigha. "Aku buta," ketusnya sebab tidak suka dengan jawaban Reigha. Shit! Kenapa harus jawaban itu? Memangnya jawaban seperti itu bisa menjelaskan apa?! Haiden butuh yang lebih rincih, diungkapkan dengan rangkaian kata pendukung untuk meyakinkan. "Jawab yang benar, Rei." Haiden berucap lagi, mendengkus lalu melayangkan tatapan malas pada Reigha. Dia bukan hanya dekat dengan Reigha, tetapi mereka juga sangat kompak sebenarnya. Fakta lucunya, pertemanan keduanya diawali dengan alasan yang konyol. Haiden dan Reigha memiliki hubungan kekerabatan. Namun, dulu mereka tak sedekat ini. Haiden lebih masuk pada pertemanan Rafael, Maxim, Nanda dan yang lainnya karena mereka semua seumuran. Sedangkan Reigha, selain lebih
"Jaga Azalea dengan baik." "Jangan terlalu manja pada Lea juga, Kak Den. Ingat, menantu Mommy sedang hamil. Jangan macam-macam juga!" Haiden menganggukkan kepala pada orangtuanya. Setelah itu, kedua orangtuanya pamit pulang. Haiden sudah lebih baik, begitu juga dengan Lea. Maka dari itu mereka pamit untuk pulang–memberi ruang untuk Haiden dan Lea. Mungkin pasangan itu butuh waktu. Lea menatap mobil mertuanya dengan muka murung. Sejak tadi dia hanya diam, perasaannya berkecamuk dan kepalanya sedikit pusing karena banyak pikiran. Benar dugaannya! Haiden sudah tahu tetapi Haiden dasarnya memang tak ingin membahas apapun. "Masuk dan kembali ke kamar." Haiden merangkul pundak Lea, mengiring istrinya untuk kembali masuk dalam rumah. "Kau harus istirahat," lanjutnya. Lea hanya menganggukkan kepala, berjalan pelan di sebelah suaminya. Sampai sekarang! Haiden tidak menyinggung pasal kehamilannya. Apa Haiden juga berpikiran yang sama dengan para tantenya? Haiden curiga ini anak Orion?
Setelah dokter pergi, Lea langsung menyambar novel. Dia sengaja untuk mengindari Haiden, dia takut menghadapi suaminya. Lea tersenyum perih, merasa dirinya telah gila dan jahat. 'Harusnya berita kehamilanku membawa kebahagiaan, harusnya aku senang karena sebentar lagi aku akan menjadi ibu, harusnya aku bahagia karena mengandung anak dari pria yang kucintai. Tapi-- aku malah sedih, aku takut, aku cemas dan … aku rasa aku akan menjadi gila dalam waktu dekat.' batin Lea, di mana dia ingin menangis akan tetapi ia tahan karena mendengar sebuah langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Haiden kembali ke kamar, setelah sebelumnya mengantar dokter. "Besok, Mama dan Papa akan aku bawa ke sini untuk bertemu denganmu," ucap Haiden, meletakkan botol vitamin dan pil di atas nakas. "Iya, Mas," jawab Lea seadanya, menganggukkan kepala tanpa mau bersitatap dengan suaminya. Dia pura-pura sibuk membaca novel, padahal pikirannya kemana-mana. Jantung Lea berdebar kencang, punggungnya panas akan