Holla, MyRe. Hari ini dua bab dulu yah. Semoga suka dengan Bab hari ini. BTW, siapa yang mau ikut Lea ke Negara api? Dukung novel kita dengan cara Vote gems, hadiah, komentar manis dan doa baik tentunya. IG:@deasta18
"Ck." Haiden menatap kakinya yang diinjak kuat oleh Lea, setelah itu buru-buru menghampiri Lea untuk mencegahnya pergi. Namun-- Brak' Pintu ditutup dengan kuat, sebelum Haiden sempat keluar dari kamar. Haiden langsung membuka pintu, akan tetapi sialnya pintu terkunci dari luar. "Azalea, buka pintunya!" marah Haiden dari dalam, sembari mendobrak pintu. Sayangnya, tak ada jawaban sama sekali dari luar. Lea sendiri, setelah mengunci pintu kamar, dia segera pergi. Para maid menahan Lea, tetapi Lea memegang pisau–mengancam akan mengakhiri hidupnya jika ada yang berani menghalanginya untuk keluar dari rumah ini. Maid tak bisa berbuat apa-apa, membiarkan sang nyonya pergi dari rumah ini. Haiden berhasil keluar dari kamar, tetapi Lea sudah pergi. Brak' Prang' Haiden menendang guci besar, hiasan di ruangan tersebut. Suara dari guci besar tersebut menggema, pecahannya berserak. Para maid begitu takut, menunduk dan menjauh dari sang tuan yang sudah seperti iblis mengamuk.
Haiden menatap rumah di depannya, di mana rumah tersebut adalah tempat yang Lea rencanakan sebagai persembunyiannya. Haiden menaikkan sebelah alis, menyunggingkan smirk tipis karena geli pada makhluk mungil di sebelahnya. "Jadi kau ingin bersembunyi di sini-- di rumah Orangtua angkatmu?" tanya Haiden pelan, menarik koper Lea ke arah rumah. Saat dia akan masuk, Lea menghalangi dan mendorongnya supaya menjauh dari pintu. "Ya, mulai sekarang aku akan tinggal di sini. Dan aku bukan istrimu lagi," ucap Lea penuh keyakinan, meraih sebuah surat dari dalam tas kemudian menyerahkannya pada Haiden. Surat perceraian! Haiden mengepalkan tangan, mengatupkan rahang dengan kuat dan menatap Lea murka. "Azalea, kau--" Haiden berniat memarahi Lea, akan tetapi perempuan itu lebih dulu bersuara. "Aku sudah lelah denganmu, Mas. Sekarang aku ingin bebas darimu," ucap Lea dingin, "selama menjadi istrimu, aku sangat-sangat tersiksa. Aku tidak merasakan kebahagiaan apapun. Yang kurasakan
Lea sudah selesai merapikan kamar dan pakaiannya. Pekerjaannya selesai setengah delapan malam. "Anginnya kencang banget. Sepertinya bakal turun hujan," monolog Lea, berjalan ke arah jendela untuk menutupnya. Namun, niatan tersebut Lea urungkan, terpaku pada sosok Haiden yang masih di sana. Pria itu sudah bangun dan kini menatap lesu ke arah jendela kamar Lea–lebih tepatnya pada Lea. "Azalea," panggil pria itu dari bawah. Nadanya rendah dan lemah, membuat Lea yang mendengarnya prihatin dan tak kuat. Brak' Namun, Lea tak ingin luluh. Dia segera menutup jendela kamar dan segera menjauh dari sana. Demi Tuhan! Lea sangat kasihan pada Haiden, semenjak pagi dan sekarang sudah malam, pria itu masih di sana. Pakaiannya belum diganti dan Lea yakin Haiden belum makan apapun semenjak tadi pagi. Syurrr' Hujan turun dengan lebat, Lea sedikitnya merasa lega. Dia yakin sekali Haiden akan pergi, Haiden tak akan bertahan karena hujan yang lebat dan dingin. Lea memutuskan untuk memasa
"CEPAT KE SINI!!" teriak Lea, setengah marah dan kesal. Dia berkacak pinggang, melayangkan tatapan gusar pada Haiden. Pria itu sangat konsisten untuk tetap duduk di bawah pohon mangga. Tak peduli apakah akan turun hujan atau meteor sekalipun. Dia kira dengan begitu Lea akan luluh?! Cih, benar lagi! Lea luluh. Demi Tuhan! Sebesar apapun Lea menanam kebencian pada suaminya, agar dia tegaan melihat Haiden kehujanan, tetapi tetap saja dia berujung tak sanggup. Apalagi pria ini pewaris Mahendra. Jika terjadi sesuatu pada Haiden, Lea yang akan diserang keluarga pria ini. Haiden berdiri tetapi tak beranjak dari bawah pohon. "Kau belum memaafkan ku, Azalea." "Jangan keras kepala! Nanti kalau kamu sakit, aku juga yang repot. Kalau keluargamu tahu, aku yang akan disalahkan," ucap Lea, setengah kesal dan geram pada Haiden. Pria itu tetap berdiri di sana, membuat Lea semakin geram. Lea masuk ke dalam rumah, dia mengambil payung kemudian menyusul Haiden ke bawah pohon. Dia mena
"Supaya bulan madu kita selama dua bulan di desa impianmu terlaksa," ucap Haiden lembut, mendaratkan kecupan khidmat pada kening istrinya. Kecupan tersebut cukup lama menempel di kening Lea, mengartikan sebuah perasaan yang mendalam. Setelah Haiden melepas kecupan itu, Lea mendongak pada Haiden. Tatapannya sayu, dia lelah tetapi banyak pertanyaan dalam benaknya. Namun, meski begitu, keindahan maniknya sama sekali tak pudar, membuat Haiden betah menatap mata Lea. "Apa aku bisa mempercayai Mas Haiden?" tanya Lea. Dia tersentuh dengan semua penjelasan Haiden. Akan tetapi dia takut ini semua hanya jebakan. Dulu, Haiden sering melontarkan perkataan sarkas padanya kemudian tiba-tiba pria ini mendadak manis setelah melamar Lea. Sekarang Lea takut jika fase ini sama dengan fase dahulu. Bisa saja Haiden lelah menyakitinya dan ingin beralih ke fase baik. Haiden mengusap penuh kasih sayang pucuk kepala istrinya. "Kesalahanku membuatmu meragukanku," ucapnya dengan nada serak dan berat, "te
"Kau cinta pertamaku, Stupid!" Deg' Jantung Lea seketika berdebar kencang, air mukanya kaku dan matanya melebar. Dia cinta pertama Haiden? Lea memegang kepala dengan kedua tangan, berusaha mengingat apa yang Haiden katakan padanya ketika mereka di Paris dulu. Benarkah Haiden mengatakan jika Lea adalah cinta pertama Haiden? Sial! Hal sebesar itu-- kenapa Lea bisa melewatkannya? Ting' Handphone Lea kembali berbunyi. Lea menoleh ke arah nakas, di mana Haiden meletakkan handphonenya di sana. Lea langsung menyambar handphone tersebut dan membuka pesan–lagi-lagi dari nomor tak dikenal itu. [Kamu memang istrinya, tetapi akulah yang Kak Haiden cintai. Aku pacar pertama Kak Haiden, kisah kami membekas hingga sekarang.] Haiden merampas handphone, dia membaca pesan dari nomor tak di kenal tersebut. Haiden mendengkus kemudian memblokir nomor itu. "Pacar pertama bukan berarti cinta pertama," ucap Haiden tegas, supaya Lea tidak terpengaruh oleh pesan tersebut. "Biasanya pacar pertama
"Mas hanya ingin punya anak dengan cinta pertama Mas Haiden," ucap Lea. Dia bukan berniat menghancurkan perasaan senang yang saat ini menyelimuti dirinya. Hanya saja dia ingin memastikan jika kebahagiaan ini bukan kebahagiaan semu. Haiden cukup terkejut mendengar ucapan istrinya. Dia tak menduga jika waktu itu Lea mendengar obrolannya dengan teman-temannya. Pantas saja setelah dari sana, Lea seperti menjaga darinya. "Cinta pertamaku adalah kau, dan itu benar-- aku hanya ingin memiliki anak darimu. Tapi …-" Haiden menjeda sejenak. Mungkin dia dan Lea akan memiliki pemikiran berbeda mengenai anak. Dari cara Lea berbicara tentang anak, mungkin istrinya menginginkan anak. Sedangkan Haiden, untuk sekarang tidak, "untuk sekarang aku tidak ingin siapapun ada diantara kita, termasuk anak, Azalea. Aku tidak ingin." "Kenapa?" tanya Lea pelan. Suasana hatinya seperti keadaan seseorang yang terbangun di hari petang–ada perasaan aneh dan tak nyaman. Haiden menjelaskan dia hanya ingin punya an
"Ada apa, Mom, Dad?" tanya Haiden, sudah di lantai utama–ruang tamu. Di mana orangtuanya telah menunggunya di sana. Kenzie–daddy Haiden, melayangkan tatapan tajam pada Haiden. Dari wajahnya pria tua yang masih saja tampan tersebut terlihat sangat marah. "Di mana menantu Mommy dan Daddy?" tanya Kenzie dingin. Seseorang telah melaporkan padanya jika putra dan menantunya bertengkar. Pertengkaran tersebut membuat Lea pergi dari rumah dan meminta diceraikan juga oleh Haiden. Haiden mengalihkan tatapan dari orangtuanya menuju istrinya. Dia menatap Lea yang baru datang, perempuan cantik itu langsung tersenyum manis dan segera menyalam mertuanya secara bergantian. "Menantu Mommy semakin cantik saja," puji Moza pada menantunya. "Hehehe ...." Lea hanya cengengesan sebagai jawaban. Setelah menyalam kedua mertuanya, Lea duduk di sebelah suaminya. Tanpa dia sadari gerak-geriknya diperhatikan oleh mertuanya. Moza dan Kenzie khawatir pada Lea, dan mereka ingin memastikan apakah kondisi men
Lea diam-diam ke lantai bawah, dia pusing karena lama terkurung dalam kamar. Sedangkan Haiden, suaminya tertidur sangat pulas, dan oleh sebab itu Lea bisa diam-diam keluar. "Pak Rekq," ucap Lea, terkejut melihat pria yang membantunya selama penculikan ada di rumahnya. "Halo, Nona Lea. Senang bisa bertemu denganmu lagi." Rekq membungkuk hormat pada Lea, tak lupa sebuah senyuman manis menyungging di bibir. "Iya. Terimakasih untuk bantuannya, Pak Rekq," Lea mendekat lalu tersenyum balik pada Rekq. Saat itu dia belum sempat berterimakasih pada Rekq, dan untungnya mereka bertemu di sini."Terimakasih kembali juga pada Nona. Jika bukan karena Nona, mungkin saya dan beberapa maid itu, sudah tak ada di dunia ini," jawab Rekq dengan begitu manis dan sopan. Tak ada rasa apapun selain hormat yang dia miliki pada perempuan ini. Yang membuat Rekq sangat salut pada Lea adalah karena keteguhannya dalam menjaga kehormatannya selama penculikan. Lea tidak tahu siapa suaminya yang sebenarnya di duni
"Lalu apa yang kalian banggakan sedangkan kalian tak memiliki peran di keluarga Mahendra?" terang Denis, menatap para kerabat mertua putrinya dengan mimik muka tak bersahabat. Jelas ada pancaran kemarahan yang terlihat nyata karena dia tak menyangka putrinya difitnah oleh keluarga ini. Lea baru selamat dari kasus penculikan, bisa dikatakan kondisi putrinya belum baik-baik saja. Namun, mereka sangat keji dengan melempar ucapan jahat pada Lea. "Yang kami katakan fakta. Dan … bagiamana mungkin Lea lebih baik dari kami?" Ernio, suami Selly, melayangkan tatapan sinis pada Denis. "Jika bukan karena Ziea, memangnya putri yang kau banggakan tersebut memangnya bisa apa? Dia saja menikah dengan Haiden kami karena permintaan Ziea." "Kalian orang yang selalu merasa paling tahu." Kenzie angkat bicara, "fakta dan kebenarannya-- Ziea punya ide untuk bisnis cafenya karena melihat kemampuan Lea dalam memasak. Salah besar jika kalian mengira Lea mendapatkan pekerjaan karena diberi oleh Ziea, dia be
"Dan-- ja-jangan-jangan anak yang Lea kandung adalah anak Orion," cicit Selly pelan, cukup takut pada Haiden. Akan tetapi tatapan Kenzie juga mengerikan, membuatnya terpaksa bersuara. Nanda cengang mendengar ucapan tante dari Haiden. Bagaimana bisa dia berpikir demikian? "Kau yakin telah membawa otakmu sebelum datang ke sini?" Kenzie mengernyit, kesal mendengar ucapan iparnya. Bagaimana bisa dia berpikir anak yang Lea kandung milik Orion, sedangkan Lea diculik baru beberapa hari lalu. "Bi-bisa saja. Orion bertemu dengan Lea saat Haiden dan Lea berbulan madu, bukan?" Selly mencari pembenaran dan alasan lain. Intinya dia ingin membuat Lea hina dihadapan Kenzie dan Moza. Kenzie memijat pelipis, sakit kepala karena mendengar ucapan Selly. Tadi, menantunya difitnah hamil karena insiden penculikan, sekarang pindah karena bulan madu Haiden dan Lea. Semakin mereka ingin menjatuhkan Lea, semakin mereka terlihat blunder. "Kau juga ingin mati sepertinya!" geram Haiden. Syur' Tuk' Na
"Ck." Haiden berdecak pelan, berkacak pinggang sembari memperhatikan istrinya yang sedang berbaring lemah di atas ranjang. Hari ini Haiden berniat ke kantor. Dia sudah rapi dengan setelah jas mahal. Dia terlihat mendekati kata 'sempurna melalui pancaran pesona dan karismanya. Haiden bahkan telah ada dalam mobil–akan berangkat ke kantor. Namun, maid berlari panik. Maid tersebut mengejar mobil yang akan keluar dari pekarangan rumah untuk menghentikan mobil yang membawa tuannya. Haiden menyuruh Nanda berhenti lalu menghampiri maid, di mana maid melapor secara tergesa-gesa, mengatakan kalau sang nyonya pingsang. Untungnya nyonya mereka pingsang dalam keadaan duduk di sofa, sehingga kecemasan mereka tak berkali-kali lipat. Sekarang Lea sudah diperiksa oleh dokter, kondisinya sangat memprihatinkan. Fisik Lea sangat lemah, begitu juga dengan kandungannya. Namun, dokter mengatakan supaya Haiden tidak khawatir berlebihan. Beberapa wanita hamil mengalami hal seperti ini--mudah drop dan j
Namun, tiba-tiba saja Haiden muncul. Pria itu berjalan dengan langkah panjang, akan tetapi wajahnya menunjukkan mimik yang tenang sehingga sangat sulit bagi mereka untuk menebak apa yang sedang pria itu pikirkan serta rasakan. Mendengar langkah kaki, Lea menoleh ke arah belakang–menatap Haiden yang berjalan mendekat ke arahnya. Haiden melewatinya, akan tetap menyempatkan diri untuk mengusap pelan pucuk kepala Lea–saat dia melewati perempuan itu. Bug' Haiden langsung melayangkan tinju ke wajah tantenya, pukulannya sangat kuat sehingga perempuan itu terhempas kasar ke lantai kemudian berakhir tak sadarkan diri, di mana darah segar keluar dari hidung dan mulut. "Haiden!" bentak Tommi–suami dari Sania. Dia berlari ke arah istrinya dan langsung menggendongnya. Sedangkan Haiden, dia menggerakkan lengan–meregangkan otot lengan lalu kembali mengambil ancang-ancang untuk memukul Sania. Persetan, perempuan itu sudah tumbang. Jika dia masih terlihat oleh Haiden dalam bentuk utuh, maka H
Lea berusaha menenangkan diri di halaman samping, taman rumah yang sejuk dan indah. Kewarasan Lea berasa direnggut oleh Haiden, dan sekarang Lea ingin menyendiri–ditemani oleh Haiden. Yap! Lagi-lagi Lea ingin bebas dari Haiden akan tetapi suaminya ini seperti telah direkatkan pada tubuhnya. Lengket dan tak bisa disingkirkan! "Mas tidak kerja yah?" tanya Lea, nadanya cukup sinis karena masih dongkol pada Haiden. Sebenarnya Lea mengusir secara halus. Namun, Lea juga sejujurnya bingung kenapa Haiden tidak ke kantor. Ayolah! Suaminya penggila kerja. "Tidak." Haiden menjawab datar, "kondisimu belum stabil dan siapa tahu juga kau ingin sesuatu. Ibu hamil mengidam bukan?" "O-oh. Iya." Lea menganggukkan kepala, cukup kaku dan lagi-lagi bingung. Haiden tak ingin punya anak tetapi tetap perhatian pada Lea yang sedang mengandung. Konsepnya bagaimana?! *** Karena pusing diikuti terus-terusan oleh Haiden, pada akhrinya Lea memilih tidur siang. Lea berniat hanya pura-pura supaya
"Bagaimana rasanya menjadi ayah?" tanya Haiden, tepat setelah dia duduk di sebelah Reigha. Reigha menoleh padanya, menaikkan sebelah alis karena cukup tertarik dengan pertanyaan Haiden. "Seperti yang kau lihat," jawab Reigha. Haiden seketika menatap kesal pada Reigha. "Aku buta," ketusnya sebab tidak suka dengan jawaban Reigha. Shit! Kenapa harus jawaban itu? Memangnya jawaban seperti itu bisa menjelaskan apa?! Haiden butuh yang lebih rincih, diungkapkan dengan rangkaian kata pendukung untuk meyakinkan. "Jawab yang benar, Rei." Haiden berucap lagi, mendengkus lalu melayangkan tatapan malas pada Reigha. Dia bukan hanya dekat dengan Reigha, tetapi mereka juga sangat kompak sebenarnya. Fakta lucunya, pertemanan keduanya diawali dengan alasan yang konyol. Haiden dan Reigha memiliki hubungan kekerabatan. Namun, dulu mereka tak sedekat ini. Haiden lebih masuk pada pertemanan Rafael, Maxim, Nanda dan yang lainnya karena mereka semua seumuran. Sedangkan Reigha, selain lebih
"Jaga Azalea dengan baik." "Jangan terlalu manja pada Lea juga, Kak Den. Ingat, menantu Mommy sedang hamil. Jangan macam-macam juga!" Haiden menganggukkan kepala pada orangtuanya. Setelah itu, kedua orangtuanya pamit pulang. Haiden sudah lebih baik, begitu juga dengan Lea. Maka dari itu mereka pamit untuk pulang–memberi ruang untuk Haiden dan Lea. Mungkin pasangan itu butuh waktu. Lea menatap mobil mertuanya dengan muka murung. Sejak tadi dia hanya diam, perasaannya berkecamuk dan kepalanya sedikit pusing karena banyak pikiran. Benar dugaannya! Haiden sudah tahu tetapi Haiden dasarnya memang tak ingin membahas apapun. "Masuk dan kembali ke kamar." Haiden merangkul pundak Lea, mengiring istrinya untuk kembali masuk dalam rumah. "Kau harus istirahat," lanjutnya. Lea hanya menganggukkan kepala, berjalan pelan di sebelah suaminya. Sampai sekarang! Haiden tidak menyinggung pasal kehamilannya. Apa Haiden juga berpikiran yang sama dengan para tantenya? Haiden curiga ini anak Orion?
Setelah dokter pergi, Lea langsung menyambar novel. Dia sengaja untuk mengindari Haiden, dia takut menghadapi suaminya. Lea tersenyum perih, merasa dirinya telah gila dan jahat. 'Harusnya berita kehamilanku membawa kebahagiaan, harusnya aku senang karena sebentar lagi aku akan menjadi ibu, harusnya aku bahagia karena mengandung anak dari pria yang kucintai. Tapi-- aku malah sedih, aku takut, aku cemas dan … aku rasa aku akan menjadi gila dalam waktu dekat.' batin Lea, di mana dia ingin menangis akan tetapi ia tahan karena mendengar sebuah langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Haiden kembali ke kamar, setelah sebelumnya mengantar dokter. "Besok, Mama dan Papa akan aku bawa ke sini untuk bertemu denganmu," ucap Haiden, meletakkan botol vitamin dan pil di atas nakas. "Iya, Mas," jawab Lea seadanya, menganggukkan kepala tanpa mau bersitatap dengan suaminya. Dia pura-pura sibuk membaca novel, padahal pikirannya kemana-mana. Jantung Lea berdebar kencang, punggungnya panas akan