Semoga suka, MyRe. Semangat puasa ….
"Berkedip.""Eh." Alana tersentak kaget, reflek mengerjap dan menarik kepala karena jarak wajah Ethan yang begitu dekat dengannya. Sial! Sejak kapan Ethan sudah di dekatnya, dan … bagaimana bisa Alana tak menyadari itu?"Kau bengong karena apa?" tanya Ethan dengan nada rendah dan serak, menyentuh ujung hidung istrinya–menoelnya dengan pelan. "A-aku bengong karna sedang ingin bengong saja. Ada adegan bengong di skenario film, aku sedang belajar untuk mendalami karakter," alibi Alana, sedikit gugup karena pengaruh jantungnya yang berdebar dan jarak wajah Ethan yang masih dekat. Oh my god! Ethan sangat tampan dan … wow, rasanya Alana sulit mengedipkan mata."Berkedip." Ethan menegur agar istrinya berkedip. Alana berkedip lalu memalingkan wajah, pura-pura meraih ponsel dan memainkannya. Ethan beranjak dari sana, dia ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuh. Alana sendiri, sebenarnya sudah fokus pada handphone. Akan tetapi, ketika mendengar pintu kamar mandi tersebut, entah kenapa kepala
"Kurasa kau sedang jatuh cinta padaku," ucap Ethan tiba-tiba, mengabaikan perkataan Alana dan mengalihkan topik.Deg deg deg'Jantung Alana berdebar mendengar perkataan Ethan, wajahnya langsung merah keseluruhan–tak bisa menahan salah tingkah dan gugup yang berkolaborasi jadi satu. Kalimat tuduhan Ethan membuatnya seperti seorang tersangka dalam sebuah persidangan! "Kak Ethan ada-ada saja. Siapa yang jatuh cinta?" jawab Alana, mengelak dan tak mau mengaku. Dia menatap naskah dan kembali berpura-pura fokus mempelajari dialognya. "Aku punya bukti." Ethan tiba-tiba bangkit dari kursi kerja, berjalan menghampiri istrinya yang duduk di sofa. "Hah? A-apa? Bukti apa?" panik Alana. Dia takut menjadi terdakwa di persidangan ini. Sial, jangan sampai dia menjadi terpidana setelah ini. 'Oke, Alana. Calm dwon, Princess! Kamu kan tak mencintai Kak Ethan, jadi kamu nggak harus panik seperti ini.' batin Alana, berusaha menenangkan diri agar tidak gugup dan panik. "Kau diam-diam mengambil fotoku.
"Bagaimana, Tuan Ethan?" tanya Tia kembali, terlihat begitu antusias karena dia yakin sekali Ethan akan menyetujui ucapannya. Secara dia teman dekat Alana. "Aku kan sudah bilang kalau kamu nggak bisa menginap di rumahku. Kak Ebrahim di sana!" jawab Alana dengan nada kesal, terkenal ketus karena benar-benar benci pada Tia. Ingin sekali dia menjambak rambut Tia, tetapi sayang Alana tak terlalu mahir jambak-jambakan sehingga dia memilih memendam perasaan tersebut. Tia menoleh ke arah Alana, tatapannya terlihat malas dan sedikit mencemooh. Alana yang melihatnya semakin kesal, entah kenapa juga Alana merasa Tia semakin memiliki keberanian padanya. "Aku bertanya pada Tuan Ethan, Al, bukan padamu. Lagipula-- apa kamu tega kalau aku harus menginap di hot--"Cittttt'BugLuke tiba-tiba me-rem mendadak, membuat Tia menghentikan ucapannya. Tubuhnya terpental ke depan dan kepala terbentur keras ke dasboard mobil. Kebetulan Tia tak memakai sabuk pengaman! "Maaf-- kucing menyeberang lagi, Tuan,
"Hentikan!" dingin seseorang, berhasil membuat tiga pria yang sedang menyetubuhi seorang perempuan secara paksa, menyudahi perbuatan mereka. Ketiga orang tersebut bergegas mengenakan pakaian, terlihat marah dan kesal karena aksi mereka dihentikan oleh sosok pria dingin. Namun, melihat banyaknya pengawal di belakang pria itu, mereka tidak berani memukulnya. "Kau siapa?!" galak salah satu dari tiga pria. Dia mungkin bosnya, terlihat dari tampangnya yang lebih sangar dari dua pria di sampingnya. Perempuan yang menjadi korban pelecehan tersebut buru-buru memungut pakaiannya, menutupi tubuhnya yang telanjang sebisa mungkin lalu meringkuk ketakutan di sebelah tong sampah besar. Luke melihat sejenak pada sosok perempuan itu, tak lain adalah Tia. Bukan dia yang menyuruh ketiga pria ini, akan tetapi dia sangat senang dengan apa yang terjadi pada Tia. "Pergi dari sini atau kalian kujebloskan ke penjara." Luke berkata datar. "Cih." Pria berambut gondrong, yang berbicara sebelumnya pada Luk
Namun, meskipun begitu dia merasa sedikit senang karena Ethan sepertinya peduli padanya. Buktinya Luke datang ke sini atas perintah Ethan. "Cih." Luke berdecis geli, sedikit merasa iba pada perempuan ini. "Kasihan sekali kau, Nona. Tuan Ethan lah yang membuatmu merasakan ini." "A-apa maksudmu?!" Tia memucat, menatap Luke dengan tampang gugup. "Padahal kau sudah sering mendengarnya, jika Tuan Ethan sangat keji pada orang-orang yang mengusiknya. Tetapi kau tetap nekat," ucap Luka, tersenyum tipis pada Tia. Air mata perempuan itu langsung jatuh, sekarang dia paham apa maksud dari perkataan Luke sebelumnya. Ethan yang membuatnya begini, sengaja menyuruh Luke menurunkannya di tempat sepi supaya menjadi santapan para preman di sini. Keji? Tidak! Ethan iblis! "A-aku melakukan kesalahan apa?" suara Tia bergetar hebat. Dia hancur dan orang yang menghancurkannya adalah Ethan–pria yang ia sukai. "Kesalahanmu? Ahaha …." Ethan tertawa jahat, "kurasa kau lebih hina dari preman tadi dan
"Hueeek …." Alana mengeluarkan isi perutnya dan mengenai pakaian Ethan. Setelah memuntahi suaminya, Alana terlihat begitu panik. Ethan ingin ke kantor, pria ini sudah sangat rapi dan hanya tinggal mengenakan tuxedo. Namun, Alana malah memuntahi kemeja Ethan–mengenai celana pria itu juga. Ba-bagaimana jika Ethan marah? Alana menjauh dari Ethan, menutup mulut sambil menatap Ethan dengan mata membelalak. "Ma-mag … hueeek …." Alana berniat meminta maaf akan tetapi dia kembali muntah. Ethan menghampiri Alana kemudian menggiring perempuan itu ke kamar mandi. Setelah di sana, Alana kembali muntah di wastafel. Ethan tetap di sana, memijat tengkuk istrinya. Ethan juga membantu istrinya untuk membersihkan wajah. Setelah itu, menawa Alana keluar–mendudukkan Alana di atas ranjang. "Berbaringlah," ucap Ethan lembut. Alana menggelengkan kepala, "aku mau ganti pakaian, Kak. Ugh …-" Alana menutup mulut. "Kau mau muntah lagi?" Alana menganggukkan kepala. "Parfumnya … iyuhhh banget!
"Lalu kenapa dia sok-sokan memecatku?" teriak Tia dengan nada menggelegar, melayangkan tatapan marah pada siapapun karena merasa disudutkan oleh mereka semua. "Memangnya siapa yang membayar gajimu?" tanya salah satu manager aktor, menatap aneh pada Tia. Dia kira perempuan ini perempuan naif dan lugu, tetapi mengejutkan-- Tia tak selugu yang mereka lihat. Sebetulnya, semua orang di ruangan ini tahu kenapa Alana memecat Tia, karena mereka sendiri menyaksikan Tia yang berupaya mencari perhatian pada Ethan–setiap kali Ethan berkunjung ke lokasi syuting. Tetapi di sini mereka tak ada yang berani menyinggung karena menghargai Alana yang juga tak menyinggung masalah tersebut. "Aku digaji oleh Tuan Ebrahim Mahendra," jawab Tia angkuh, mengangkat kepala sembari menatap siapapun dengan ekspresi arogan. Semua orang di sana seketika bersitatap, merasa semakin muak serta aneh pada Tia. Hell! Bukannya …- "Kamu sakit?" ucap salah satu aktor, menatap aneh dan sinis pada Tia. "Diam kalian!"
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi … Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelas–hanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub
"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamar–menyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepala–setuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasa–tak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namu
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan … harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannya–a
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduli–tetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maid–ada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa
Alana terdiam di depan pintu ruangan Ethan. Dia sudah membuat kopi untuk Ethan akan tetapi dia tak berani untuk mengantarnya akibat dia … memanggil Ethan dengan embel-embel 'mas. Dia melakukannya tanpa sadar dan sekarang dia sangat malu. "Tapi sepertinya Kak Ed juga tidak sadar kalau tadi aku memangilnya Mas," gumam Alana pelan, mengenal napas pela untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia membuka pintu ruangan Ethan dan langsung masuk. "Ini kopinya, Kak," ucap Alana pelan, meletakkan kopi di dekat suaminya. Ethan mendongak, sejenak mengamati wajah cantik istrinya lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis. "Aku suka." Alana mengerutkan kening, "tapi Kak Ethan belum mencoba kopinya," jawabnya bingung. "Aku suka dipanggil mas olehmu," lanjut Ethan, berhasil membuat pipi Alana memerah dan terasa panas. 'Astaga, jadi Kak Ed sadar? Hah, kok jantungku berdebar-debar kencang? Apakah ini tanda-tanda …- tidak!' Alana langsung membalik tubuh, meletakkan tangan di dada untuk merasakan
"Ugh, Kak Ethan sangat tampan!" gumam Alana pelan, senyum malu-malu ketika melihat suaminya turun dari mobil. Pipinya panas, menyembulkan semu merah yang mempercantik wajahnya. Melihat Ethan berjalan ke rumah, jantung Alana berdebar kencang. Dia segera beranjak dari sana, berjalan buru-buru dan kembali ke tempat semula. "Nyonya, ke-kenapa anda kembali ke sini? Nyonya tidak ingin menyambut Tuan yah?" tanya salah satu maid, cukup bingung karena Alana berlari kecil dari pintu utama. Bukankah seharusnya Alana membukakan pintu untuk suaminya dan menyambutnya? "Ekhm." Alana berdehem singkat, melirik maid dengan wajah datar, "untuk apa?""Jadi … kenapa kami disuruh memantau Tuan, Nyo-Nyonya?" bingung maid tersebut. "Ck." Alana berdecak, "kalian saja yang menyambutnya. Sana sana."Para maid segera beranjak dari sana, menyisakan Alana di ruangan tersebut. Alana meraih novel di atas meja kemudian menutup ke wajah, dia kembali tersenyum malu-malu–mengingat paras Ethan yang sangat tampan.
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi … Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelas–hanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub