Semoga suka dengan bab ini, MyRe. Hari ini kita up tiga bab lagi, MyRe. Papai …. Sehat selalu untuk kalian semua dan semangat!! IG:@deasta18
Haiden membawa Lea ke halaman samping, dia ingin menanyakan sesuatu pada istrinya. "Jujurlah, kau menangis karena apa?" tanya Haiden, melayangkan tatapan dingin serta tajam–memperingati Lea supaya tidak berbohong padanya. Lea ingin menunduk supaya menyembunyikan tampang muka gugup dan takut, akan tetapi Haiden tiba-tiba mencengkeram pipinya–mengangkat dan memaksa Lea supaya mendongak padanya. "Kan aku sudah bilang, Mas. Aku hanya …-" "Jujur!" potong Haiden dengan nada menggeram. "Aku paling tidak suka kau berbohong, Azalea." "Aku katakan. Tapi-- tidak mungkin kita membahas ini sekarang, Mas. Jangan sekarang, Mas," jawab Lea pelan, memegang lembut punggung tangan Haiden yang mencengkeram pipinya. Hal itu membuat Haiden melepas cengkeramannya, beralih membelai pipi Lea secara halus. "Masalah Melody, aku tidak melukainya. Hanya mengurungnya supaya dia jera mengusik kita. Aku hanya memberi sedikit pelajaran padanya, Sweetheart," ucap Haiden. Tiba-tiba sudah berubah lembut, tatapa
"Nanda."Langkah Nanda berhenti saat akan memasuki mobil miliknya. Dia berniat pulang karena semua orang juga sudah pulang. Gabriel–pemimpin keluarga Azam (Daddy Rafael dsn Reigha) sudah meminta maaf pada Haiden. Haiden juga sudah memaafkan dan masalah ini dianggap selesai. Nanda menoleh ke arah Rafael, orang yang memanggilnya. Rafael sepertinya juga ingin kembali, tetapi pria itu mungkin melihat Nanda sehingga dia mengurungkan niat untuk kembali. "Ada apa, Bos?" Nanda mendekat pada Rafael. "Terimakasih telah melindungi ku dari amukan Haiden," ucap Rafael tulus, menepuk pelan pundak Nanda. Nanda tersenyum lalu mengagukkan kepala. "Kau temanku.""Humm." Rafael berdehem pelan, "sepertinya sekarang kau lebih dekat dengan Haiden dibandingkan aku dan yang lainnya."Nanda cukup kaget mendengar ucapan Rafael, akan tetapi dia berusaha untuk terlihat biasa saja. "Sebenarnya aku juga ingin dekat denganmu dan lainnya, seperti waktu dulu. Tapi-- kalian membatasi pertemanan kita. Aku paham dan
"Bos, kau yakin bolos bekerja?" tanya Nanda, di mana saat ini mereka berada di apartemennya–khusus untuk belajar memasak rendang. Haiden bilang Lea mengidam makan rendang buatan Haiden, dan demi membuat rendang yang enak dan bergizi, Haiden ingin belajar terlebih dahulu. "Tentu." Haiden meletakkan semua bahan untuk memasak rendang di atas meja dapur. Hari ini, Haiden sengaja bolos–dihadapan Lea, dia pamit ke kantor, akan tetapi kenyataannya dia pergi apartemen Nanda untuk belajar memasak rendang. Sebelum ke sini, Haiden, Nanda dan Rekq lebih dulu ke supermarket untuk membeli bahan. Sekarang Haiden sudah siap untuk memaksa. "Tapi--" Nanda duduk di kursi mini bar, bersebelahan dengan kitchen. Dia asyik mengunyah kentang goreng yang sebelumnya ia beli, saat berbelanja tadi. Pria berbelanja?! Sejujurnya mereka tidak. Namun, Haiden telah positif terkena virus bucin, sehingga Haiden sudah tak terselamatkan lagi. Dalam artian, Haiden akan melakukan apapun demi menyenangkan istrinya terk
Setelah mengundang chef untuk belajar memasak rendang dan setelah lima kali percobaan, akhirnya Haiden yakin jika dia bisa memasak rendang. Sekitar jam sembilan malam, dia pulang ke rumah. Tanpa lelah dan masih sangat bersemangat, Haiden malam ini Haiden berniat memasak rendang untuk istrinya–seperti janjinya pada Lea. Sedangkan Lea, dia begitu risau dan cemas karena sudah jam sembilan malam suaminya belum pulang. Dulu, Haiden memang terbiasa pulang tengah malam. Namun, itu dulu! Sekarang Haiden selalu pulang tepat waktu. Paling lama jam setengah delapan. Tapi kenapa hari ini Haiden kembali terlambat pulang? Apa terjadi suatu pada suaminya? "Aku sudah menghubungi Mas Haiden tetapi dia sama sekali tak mengangkat telepon dariku. Ck," monolog Lea, berjalan mondar mandir di ruang keluarga untuk menunggu Haiden pulang. Dia sudah di sini semenjak jam enam sore. "Azalea." Suara hangat yang memanggil namanya tersebut membuat jantung Lea berdebar tak karuan. Ada perasaan lega, senang dan
"Ini untukmu saja," tolak Haiden, mendorong tangan Lea yang menyuapinya dari depan mulut. Potongan love itu untuk istrinya. Dan kenapa malah dia yang menemukannya? Lea mengerjap secara berulang, menatap Haiden dengan perasaan campur aduk. Haiden tiba-tiba menolak suapan dari Lea. Apa karena Lea menyuapi langsung dengan tangan? Haiden jijik? 'Astaga, aku ini kenapa sih? Permasalah begini saja aku langsung baper.' batin Lea, menurunkan tangan dan meletakkan rendang tersebut. Makanan di mulutnya ia telan susah payah, entah kenapa dia sakit hati karena Haiden menolak suapannya. Awalnya Haiden mau. Lalu kenapa saat Lea menyuapi, Haiden cepat-cepat menolak? Bahkan, Haiden menepis tangannya. "Kenapa?" tanya Haiden, memperhatikan istrinya yang tiba-tiba menunduk dan berhenti makan. Lea menggelengkan tangan, kembali makan dalam keadaan diam serta tak bersemangat. Haiden tak ingin disuapi olehnya, itu mengganggu ketenangan hati Lea. "Sweetheart, kau kenapa?" Haiden kembali bertanya.
Bukan hanya itu, pria itu menangkup pipi Lea lalu menciumnya dihadapan Nanda. Bukan hanya Nanda yang terkejut, Lea dan para staf butik juga terkejut melihatnya. Akan tetapi tak ada dari mereka yang berani menegur. Mereka mengenal sosok pria yang baru datang tersebut. Dia-- CEO dari JVM Elektronik yang terkenal pemarah. "Ma-Mas Haiden!" pekik Lea pelan, malu, risih dan cukup deg degkan dengan apa yang suaminya lakukan. Selain terkejut karena Haiden tiba-tiba muncul di sini, Lea juga tambah terkejut karena pria ini langsung menyosor. Ayolah, ini tempat umum!! Haiden tak peduli, menatap istrinya datar kemudian langsung melayangkan tatapan tajam pada Nanda. "Kau senang mengobrol dengan istriku, Heh?!" "Bu-bukan begitu, Bos." Nanda panik seketika. "Lalu kenapa kau tak bilang kalau Nyonya HaiLe ikut kemari?!" tuntut Haiden, memperlihatkan wajah marah yang kentara jelas. Haiden meneguk saliva secara kasar dan gugup. Ya Tuhan! Haiden bisa membunuhnya hanya karena cemburu. L
'Cih, bahkan mereka berani mesum di tempat umum.' batin Pepita, tersenyum culas karena merasa senang dan menang. Dengan foto ini, dia bisa menghancurkan rumah tangga Lea dan Haiden. Lalu setelah itu-- dia bisa mendapatkan Haiden. Setelah mendapatkan foto Lea dan pria mesum itu, Pepita memutuskan untuk mendekat ke sana–menarik Nami yang bengong dengan cukup kasar. Lumayan! Dengan adanya rencana pernikahan antara Nami dan Nanda, Pepita bisa memanfaatkan Nami sebaik mungkin. Mengenai foto yang Pepita ambil tadi, akan dia sebar setelah pulang dari tempat ini. ***Wajah Lea masam, kusut dan menahan malu karena kelakuan Haiden. Pria ini memeluk pinggangnya erat lalu menelusup pada ceruk lehernya–mencium kulit leher Lea tanpa peduli ini tempat umum."Mas Haiden!" pekik Lea, memukul pundak Haiden kemudian mendorongnya supaya Haiden menjauh darinya. "Mas, ini tempat umum. Jangan begini!" bisik Lea, berdesis karena benar-benar risih serta malu. Bayangkan saja! Nanda sampai pura-pura membac
"Aku takut terlambat datang ke sini dan aku ti-tidak sempat sarapan," cicit Nami malu bercampur tak enak. Dia sudah sadarkan diri dan saat ini masih di rumah sakit. Saat matanya bersitatap dengan Pepita, Nami langsung menundukkan kepala karena takut pada Pepita. Benar memang jika dia tak sempat sarapan, tetapi bukan karena takut terlambat ke butik. Dia dan Nanda janjian ke butik jam sepuluh pagi. Jelas dia bisa sarapan. Yang membuat Nami tak sarapan itu karena harus menyiapkan dress Pepita serta membersihkan kamar sepupunya tersebut. Pamannya selalu berangkat jam setengah tujuh dan selalu memilih sarapan di kantor. Setiap kali pamannya berangkat, Pepita akan bersikap jahat padanya. Walau begitu, selama ini Pepita selalu membiarkannya ikut sarapan. Tapi entah kenapa tadi pagi Pepita benar-benar jahat padanya, dia tak diizinkan sarapan sebelum menyelesaikan semua pekerjaannya. Sepertinya Nami melakukan kesalahan sehingga Pepita marah padanya. "Tidak sempat sarapan padahal kita be
"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamar–menyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepala–setuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasa–tak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namu
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan … harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannya–a
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduli–tetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maid–ada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa
Alana terdiam di depan pintu ruangan Ethan. Dia sudah membuat kopi untuk Ethan akan tetapi dia tak berani untuk mengantarnya akibat dia … memanggil Ethan dengan embel-embel 'mas. Dia melakukannya tanpa sadar dan sekarang dia sangat malu. "Tapi sepertinya Kak Ed juga tidak sadar kalau tadi aku memangilnya Mas," gumam Alana pelan, mengenal napas pela untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia membuka pintu ruangan Ethan dan langsung masuk. "Ini kopinya, Kak," ucap Alana pelan, meletakkan kopi di dekat suaminya. Ethan mendongak, sejenak mengamati wajah cantik istrinya lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis. "Aku suka." Alana mengerutkan kening, "tapi Kak Ethan belum mencoba kopinya," jawabnya bingung. "Aku suka dipanggil mas olehmu," lanjut Ethan, berhasil membuat pipi Alana memerah dan terasa panas. 'Astaga, jadi Kak Ed sadar? Hah, kok jantungku berdebar-debar kencang? Apakah ini tanda-tanda …- tidak!' Alana langsung membalik tubuh, meletakkan tangan di dada untuk merasakan
"Ugh, Kak Ethan sangat tampan!" gumam Alana pelan, senyum malu-malu ketika melihat suaminya turun dari mobil. Pipinya panas, menyembulkan semu merah yang mempercantik wajahnya. Melihat Ethan berjalan ke rumah, jantung Alana berdebar kencang. Dia segera beranjak dari sana, berjalan buru-buru dan kembali ke tempat semula. "Nyonya, ke-kenapa anda kembali ke sini? Nyonya tidak ingin menyambut Tuan yah?" tanya salah satu maid, cukup bingung karena Alana berlari kecil dari pintu utama. Bukankah seharusnya Alana membukakan pintu untuk suaminya dan menyambutnya? "Ekhm." Alana berdehem singkat, melirik maid dengan wajah datar, "untuk apa?""Jadi … kenapa kami disuruh memantau Tuan, Nyo-Nyonya?" bingung maid tersebut. "Ck." Alana berdecak, "kalian saja yang menyambutnya. Sana sana."Para maid segera beranjak dari sana, menyisakan Alana di ruangan tersebut. Alana meraih novel di atas meja kemudian menutup ke wajah, dia kembali tersenyum malu-malu–mengingat paras Ethan yang sangat tampan.
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi … Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelas–hanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub