Semoga suka dengan part ini, MyRe. Jangan lupa dukung novel kita yah ... Papai .... IG:@deasta18
Nanda meletakkan kantong belanjaan yang dia bawa. "Kukira kalian berkumpul untuk merayakan kebahagiaanku. Ternyata untuk mempermasalahkan suatu hal yang tak seharusnya kalian perdebatkan," ucap Nanda datar, pertama kalinya dia terkesan dingin–tak punya senyum dan dengan raut muka serius. Nanda terkenal sangat ceria. Dia mudah senyum, pancaran mata selalu berseri dan tingkahnya identik dengan peng hidup suasana. Namun, kali ini senyuman itu tak ada dan pertama kalinya wajahnya berbalut es. "Bukan begitu, Nanda. Kami khawatir Haiden memaksamu menikahi perempuan itu," ucap Arga, nada pelan dan rendah. "Seandainya Haiden memang memaksa, apa hubungannya dengan kalian?" Nada Nanda begitu tak bersahabat, terkesan ketus dan dingin secara bersamaan. Semua orang hanya diam, menatap Nanda tak enak bercampur takut. Istilah 'seorang pelawak yang tiba-tiba serius, itu mengerikan-- itu benar adanya. Mereka merasakan langsung aura Nanda yang berbeda. "Selamat ulang tahun, Deden," ucap Reigha
"Kita ngapain di sini?" tanya Lea, berkacak pinggang sembari menatap orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Para lelaki terlihat sibuk membuat pemanggangan. Mesin pemanggang ada, tetapi mungkin karena dianggap terlalu kecil oleh para pria, mereka memilih membuat pemanggangan sendiri. Sedangkan di sisi lain, para istri sedang mempersiapkan bahan masakan. "Kurasa kita masuk ke dalam lagi deh kayaknya. Tenaga mungil kita sepertinya tak dibutuhkan," ucap Ziea, ikut memperhatikan. "Jangan begitu. Kita harus membantu," ucap Jenny. "Nih anak lurus banget." Lea memutar bola mata, menatap Jenny malas. "Gini ajah deh supaya kita punya pekerjaan dan terlihat sibuk, kalian suruh anak kalian diantar ke sini. Nah, nanti kita pura-pura jaga anak kalian. Bagaimana?" "Tidak boleh begitu, Lea." Jenny kembali menegur halus Lea. "Kita bantu-bantu Kak Serena yuk," ajaknya kemudian. "Kenapa sih kita nggak beli makanan yang udah siap jadi? Aduh, aku rada malas soalnya kalau harus
"Maaf, trus manfaatnya anda mengatakan itu padaku apa yah?" Kening Lea mengerutkan kening, membentuk integral yang terlihat jelas. Ekspresinya berubah tak bersahabat, terpancing oleh ucapan salah satu teman suaminya. Jika Lea tak salah, pria ini bernama Arga. Seingatnya juga, pria ini ikut bermain ke pulau keluarga Azam, satu tahun lalu. Arga cukup terkejut dengan respon Lea, tak sesuai yang dia harapkan. Dia kira perempuan ini akan … 'benarkah Kak Nanda pernah suka padaku? Aku merasa bersalah. Aku harus bicara dengannya.' Itu respon yang Arga inginkan. Bukan apa-apa, hanya saja Arga masih merasa jika Haiden telah merebut Lea dari Nanda, dan sekarang Haiden menjodohkan Nanda dengan perempuan desa. Cih, Haiden terlalu jahat! "Kamu berharap setelah mengatakan ini aku akan salto? Kayang? Berubah menjadi Spider woman? Atau kamu berharap aku mendadak menjadi istri big boss?" ucap Lea dengan nada nyolot, kesal bercampur emosi pada sosok pria yang duduk di sofa tunggal tersebut. "Bu
"Oh iya, Den. Kenapa kau tak ajak tangan kanan barumu ke sini. Siapa namanya? Rekq yah?" tanya Elang pada Haiden. "Karena tak kuajak," jawab Haiden santai, tanpa menoleh ke arah Elang. Lea memperhatikan suaminya kemudian memperhatikan teman-teman suaminya. Sepertinya Haiden terlihat tak suka pada teman-temannya, terlihat dari respon Haiden yang sangat datar dan acuh tak acuh. Mengenai Melody, entah kenapa Lea mendadak kepikiran. Melody sempat datang ke rumahnya, tetapi Lea tidak bertemu dengannya. Dan waktu itu, dia mendengar suara jeritan kesakitan, namun saat dia memeriksa ruangan sumber jeritan itu, Lea tak menemukan apa-apa. Apa Haiden melakukan sesuatu pada Melody? "Kenapa?" tanya Haiden, mengamati ekspresi istrinya yang terlihat gelisah. Lea menggelengkan kepala, tersenyum tipis pada Haiden. *** Haiden dan Lea tak jadi menginap di rumah Maxim dan Aayara karena pekerjaan Haiden. Sebenarnya itu hanya alasan yang Haiden berikan. Ada beberapa orang yang tak senang Haid
"Ini kunci mobilnya, Tuan." Rekq memberikan kunci mobil pada Haiden. "Aku pamit, Tuan," lanjut Rekq, terkesan terburu-buru. "Tunggu." Haiden menghentikan, membuat Rekq yang sudah memutar badan, kembali menghadap Haiden. "Ah, iya, Tuan? Ada yang bisa kubantu?" tanya Rekq. Seperti biasa, nadanya ramah akan tetapi berwibawa. "Kau ingin pulang?" tanya Haiden. Haiden bertanya untuk memastikan. Ini sudah tengah malam dan hujan kembali turun deras. Apartemen Rekq cukup jauh dari rumah ini, berkendara dalam cuaca seperti ini cukup berbahaya karena jalanan akan sangat licin. Jadi lebih baik Rekq menginap di sini. "Iya, Tuan Haiden." Rekq menjawab sopan. "Hujan." Haiden berucap pelan. "Rumahmu jauh. Jadi menginap lah di sini." Rekq cukup terkejut pada perkataan Haiden. Sebelumnya, Rekq tidak pernah diperlakukan seperti ini–tuannya-Arion, tak pernah peduli. Sikap Haiden yang seperti ini membuat Rekq tersentuh. Namun, karena sesuatu Rekq memilih menolak. Rekq tersenyum manis, lalu
Ceklek' Deg' Jantung Kessy berdebar sangat kencang, bahkan terasa akan pecah ketika melihat siapa yang ada di depan pintu. Bukan driver taksi melainkan pria matang dari toko sebelah. "Selamat malam, Nona," sapa Rekq–di mana dia mendekatkan mikrofon handphone pada bibir, agar suaranya terdengar jelas pada sosok yang ia hubungi. Mata Kessy melebar, dengan kikuk dan gugup menurunkan handphone dari daun telinga. Ya Tuhan! Jadi pria ini yang menelponnya? Tu-tunggu. Dapat darimana pria ini nomornya? Apa jangan-jangan halu-nya nyata? "Jangan salah paham, Nona. Aku mendapat nomormu dari papan informasi di–" Rekq menjeda, memilih menatap sebuah papan persegi empat menggantung di pintu toko. Ada empat nomor yang tertera di sana dan salah satunya milik Kessy. 'Ahahaha … kebelet masuk novel, jadi kepedean gini.' batin Kessy, meringis malu. Namun, dia kembali menampilkan ekspresi kaget. Hei, barusan pria ini-- jangan bilang pria ini bisa membaca pikiran?! "Saya tidak bisa
Lea menghubungi Haiden supaya pria itu pulang untuk menghadapi keluarga Azam yang keukeuh menemui Haiden. Untungnya Haiden datang cepat, bersama Rekq dan Nanda. Haiden mengambil tempat, duduk di sebuah sofa tunggal–menatap Rafael dan ke empat orang lainnya. Mereka orangtua Melody, serta sepupu lainnya. "Maaf menggangumu, Den. Sebenarnya aku tidak enak, tetapi mereka mendesakku untuk mencari Melody di sini," ujar Rafael tak enak. Haiden orang yang sangat sibuk, tentu dia tidak enak karena kedatangannya di sini telah membuat pekerjaan Haiden terhambat. Akan tetapi salah satu anggota keluarga besar Azam, telah menghilang sekitar lima hari. Setelah diselidiki, terakhir kali, Melody datang ke rumah ini. "Haiden, Om yakin sekali kamu tahu di mana Melody berada. Tolong, kasih tahu kami di mana keberadaan Melody, Haiden. Tolong," mohon Satrio, ayah Melody–menatap penuh harap pada Haiden dan memohon agar pria itu memberitahu Melody ada di mana. "I-iya, Haiden. Tolong, beritahu di mana
Lea melebarkan mata ketika maid aneh tersebut membuka masker dan kaca matanya. Jantung Lea berdebar kencang dan tanpa ia bisa cegah sebulir air mata jatuh dari pelupuk. Ja-jadi sosok yang selama ini suaminya bentak-bentak dan hina adalah ibu kandung Lea sendiri? Setelah kecurigaannya, Lea berhasil memaksa maid ini melepas penutup wajah. Sekarang Lea benar-benar kaget, perasaannya campur aduk--tak bisa ia jabarkan. "To--tolong, jangan salahkan Tuan Haiden. Mama di sini atas kemauan Mama," gugup Mira, meraih tangan Lea lalu menggenggamnya kuat, "Papa butuh biaya berobat dan Mama hanya bisa melakukan cara ini supaya bisa mendapatkan uang." Lea hanya diam, memalingkan wajah dengan mimik muka datar. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, rasanya sesak dan cukup sakit. Satu tangan Lea yang bebas, ia angkat ke pipi–mengusap air mata secara kasar. Dia tahu Haiden hanya ingin menghukum mereka, tetapi … ikatan darah ini menjerat Lea. Dia tidak rela ibunya diperlakukan bagai budak r
"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamar–menyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepala–setuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasa–tak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namu
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan … harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannya–a
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduli–tetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maid–ada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa
Alana terdiam di depan pintu ruangan Ethan. Dia sudah membuat kopi untuk Ethan akan tetapi dia tak berani untuk mengantarnya akibat dia … memanggil Ethan dengan embel-embel 'mas. Dia melakukannya tanpa sadar dan sekarang dia sangat malu. "Tapi sepertinya Kak Ed juga tidak sadar kalau tadi aku memangilnya Mas," gumam Alana pelan, mengenal napas pela untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia membuka pintu ruangan Ethan dan langsung masuk. "Ini kopinya, Kak," ucap Alana pelan, meletakkan kopi di dekat suaminya. Ethan mendongak, sejenak mengamati wajah cantik istrinya lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis. "Aku suka." Alana mengerutkan kening, "tapi Kak Ethan belum mencoba kopinya," jawabnya bingung. "Aku suka dipanggil mas olehmu," lanjut Ethan, berhasil membuat pipi Alana memerah dan terasa panas. 'Astaga, jadi Kak Ed sadar? Hah, kok jantungku berdebar-debar kencang? Apakah ini tanda-tanda …- tidak!' Alana langsung membalik tubuh, meletakkan tangan di dada untuk merasakan
"Ugh, Kak Ethan sangat tampan!" gumam Alana pelan, senyum malu-malu ketika melihat suaminya turun dari mobil. Pipinya panas, menyembulkan semu merah yang mempercantik wajahnya. Melihat Ethan berjalan ke rumah, jantung Alana berdebar kencang. Dia segera beranjak dari sana, berjalan buru-buru dan kembali ke tempat semula. "Nyonya, ke-kenapa anda kembali ke sini? Nyonya tidak ingin menyambut Tuan yah?" tanya salah satu maid, cukup bingung karena Alana berlari kecil dari pintu utama. Bukankah seharusnya Alana membukakan pintu untuk suaminya dan menyambutnya? "Ekhm." Alana berdehem singkat, melirik maid dengan wajah datar, "untuk apa?""Jadi … kenapa kami disuruh memantau Tuan, Nyo-Nyonya?" bingung maid tersebut. "Ck." Alana berdecak, "kalian saja yang menyambutnya. Sana sana."Para maid segera beranjak dari sana, menyisakan Alana di ruangan tersebut. Alana meraih novel di atas meja kemudian menutup ke wajah, dia kembali tersenyum malu-malu–mengingat paras Ethan yang sangat tampan.
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi … Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelas–hanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub