Holla, MyRe. Semoga suka dengan Bab ini yah ...
"Lea menemui Arumika dan sepertinya mereka sudah berdamai, Den," lapor Nanda pada Haiden, sedang bertelponan dengan Haiden. Kebetulan Nanda berada di tempat ini, ingin bertemu dengan Arga--sahabat lamanya (teman satu circle dengan Rafael). Nanda melihat Lea yang bertemu dengan Arumika. Sempat dia khawatir tetapi setelah mengamati, kekhawatiran itu lenyap. 'Humm. Awasi sampai Azalea pulang,' ucap Haiden dingin dari seberang sana. Tentu dia kesal, istrinya pergi keluar tanpa izin. Awas saja nanti! Setelah mengatakan itu, Haiden memutus sambungan telepon. Nanda menghela napas dan memilih tetap di sana. Melihat Lea dan Arumika pergi dari tempat itu, Nanda segera ikut pergi. Namun, sebelumnya Nanda mengirim pesan pada Arga jika dia tidak bisa datang dalam pertemuan mereka. Untungnya Arga tak masalah. Dan untungnya juga Lea pulang ke rumah, setelah sebelumnya mengantar Arumika pulang. Nanda menghela napas dan berniat kembali ke kantor. Akan tetapi di tengah jalan, dia melihat sebuah to
"Ayolah …." rengek Nanda yang saat ini sudah di ruangan Haiden–mengusik Haiden yang sedang sibuk bekerja dengan permintaan konyolnya. Haiden berdecak pelan, langsung melayangkan tatapan tajam pada Nanda. "Kau lihat aku sedang berkerja?" dingin Haiden. Nanda tiba-tiba menutup mata. "Tidak. Aku tidak melihatmu," jawabnya, membuat Haiden berdecak marah, mengambil pulpen kemudian melemparnya ke arah Nanda. "Ack." Nanda meringis karena ujung pulpen mendarat sempurna di keningnya. "Jangan mengganguku. Keluar!" marah Haiden. Nanda memnggelengkan kepala. "Tidak mau! Aku akan berbaring di depan pintumu jika kau tidak mempercepat pernikahanku dengan Nami." "Apa-apaan kau ini?!" geram Haiden, menatap sinis pada sang kepercayaan kesayangan. "Kau ini kenapa? Pulang-pulang langsung minta menikah." "Ada laki-laki yang mendekati Nami, Den. Ck, aku trauma yang namanya dengan perebut." Di awal kalimat Nanda cemberut, tetapi diakhir dia melayangkan tatapan sindiran pada Haiden. Haiden terlihat g
"Ck, aku terjebak dengan Bos yang sangat bucin pada istrinya ini." Nanda mendumel pelan, kesal karena Haiden memaksanya ikut untuk berburu eskrim semangka. Nanda sedang asyik-asyiknya menonton film animasi kesukaannya, tetapi tiba-tiba Haiden memaksanya ikut mencari eskrim. Nanda sejujurnya malas, tetapi katanya Lea sedang mengidap. Baiklah, katakan dia belum move on dan dia tak tega pada Lea yang sedang hamil. "Kau bilang apa?" Haiden melayangkan tatapan tajam, menatap marah pada Nanda. "Tidak, Bos. Ehehehe …." Nanda cengenges lalu buru-buru beranjak dari sana–dia takut Haiden memukulnya. Saat ini mereka berada di sebuah minimarket. Haiden sibuk mengumpulkan semua es krim semangka yang ada di lemari pendingin, sepertinya pria galak namun bucin itu, berniat ingin memborong semua es krim semangka. Nanda memilih mencari jajanan, akan tetapi melihat sebuah odol anak kecil dengan karakter favoritnya, Nanda tanpa pikir panjang mengambilnya. "Nanda, cepatlah!" Suara Haiden memang
"Ouh, kau lama karena kau melakukan adegan-- argk, kau menodai Lea?! Tidaaaaaak!" jerit Nanda horor, tak percaya sekaligus tercengang. Haiden langsung meletakkan dokumen secara kasar. Dia berdiri kemudian mengepalkan tangan. "Katakan, kau ingin kupukul dengan tangan kiri atau kanan?" geram Haiden, kesal karena Nanda menyebutnya telah menodai Lea. Hell! Lea itu istrinya. Bukankah yang dia lakukan dengan Lea adalah ibadah?"Sial salah." Nada menggaruk daun telinga, kemudian duduk secara kikuk ke tempat sebelumnya. "Maaf, Bos," ujarnya takut bercampur ragu ketika Haiden terus melayangkan tatapan dingin. "Lea itu istriku!" dingin Haiden, berdecak kesal lalu kembali duduk. Dia meraih dokumen lalu membukanya lagi. "Aku masih polos, Bos." Nanda cengengesan. "Cih." Haiden berdecis sinis. "Polos tetapi isi Drive penuh video tutorial berkembang biak, Heh?"Nanda melebarkan mata, buru-buru meraih HP kemudian langsung menghapus semua video tutorial di HP-nya. Lagi-lagi dia cengengesan, berke
"Rafael saja-- Kakak kandung Ega, tidak pernah memerintah Ega seperti tadi." Arga menatap sinis ke arah Haiden, sedikit tak suka karena Haiden begitu enteng memerintah Reigha. "Apa yang kau permasalahkan, Ga? Haiden itu bukan hanya teman Reigha, tetapi kakak iparnya. Wajar saja Haiden menyuruh Reigha seperti tadi," tegur Rafael pada Arga. "Lagipula Haiden hanya menyuruh Ega menemani Nanda, bukan hal aneh.""Ck." Maxim berdecak, "kalau kau protes, kenapa bukan kau saja yang menemani Nanda keluar?" datar Maxim, geleng-geleng kepala karena merasa aneh pada Arga yang mempermasalahkan hal sepele seperti tadi. Namun, dia tahu kenapa Arga, Alvin dan yang lainnya cukup sinis pada Haiden. Ada masalah yang mungkin hanya kesalahan pahaman. "Katakan saja, to the poin." Haiden berucap santai, meriah buku milik Reigha yang terletak di atas meja kemudian membukanya. Hal tersebut semakin membuat Arga kesal. Bukankah Reigha sudah mengakatan untuk tak membuka buku itu, lalu kenapa pria ini lancang
Sedangkan Reigha, dia ikut-ikutan berhenti–di belakang Nanda. *** Rafael dengan ragu menanyakan hal yang mengganjal dalam benak–hal yang mereka perdebatkan beberapa hari ini bersama teman-temannya. "Aku bukan menuduhmu dan tolong jangan marah. Tapi-- benarkah kau menjodohkan Nanda dengan keluarga Pandora? Kau memaksa Nanda menikahi salah satu putri Pandora?" tanya Rafael hati-hati. Haiden dengan santai menganggukan kepala. "Aku memang menjodohkan Nanda dengan salah satu putri Pandora." "Kau tidak berhak mengatur Nanda, Haiden!" Arga menyahut dingin, mendapat anggukan dari Risky, Elang dan Alvin. Ini lah hal yang membuat mereka tak suka pada Haiden--sekarang. Karena mereka merasa Haiden terlalu ikut campur pada kehidupan Nanda. Haiden otoriter, kejam dan seenaknya. Bagaimanapun Nanda adalah sahabat mereka. Sedangkan Haiden-- Nanda baginya sekedar kepercayaan. Atau-- mentang-mentang Nanda hanya kepercayaannya, Haiden merasa seenaknya pada Nanda?! "Ya, Dude. Biarkan Nanda men
Nanda meletakkan kantong belanjaan yang dia bawa. "Kukira kalian berkumpul untuk merayakan kebahagiaanku. Ternyata untuk mempermasalahkan suatu hal yang tak seharusnya kalian perdebatkan," ucap Nanda datar, pertama kalinya dia terkesan dingin–tak punya senyum dan dengan raut muka serius. Nanda terkenal sangat ceria. Dia mudah senyum, pancaran mata selalu berseri dan tingkahnya identik dengan peng hidup suasana. Namun, kali ini senyuman itu tak ada dan pertama kalinya wajahnya berbalut es. "Bukan begitu, Nanda. Kami khawatir Haiden memaksamu menikahi perempuan itu," ucap Arga, nada pelan dan rendah. "Seandainya Haiden memang memaksa, apa hubungannya dengan kalian?" Nada Nanda begitu tak bersahabat, terkesan ketus dan dingin secara bersamaan. Semua orang hanya diam, menatap Nanda tak enak bercampur takut. Istilah 'seorang pelawak yang tiba-tiba serius, itu mengerikan-- itu benar adanya. Mereka merasakan langsung aura Nanda yang berbeda. "Selamat ulang tahun, Deden," ucap Reigha
"Kita ngapain di sini?" tanya Lea, berkacak pinggang sembari menatap orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Para lelaki terlihat sibuk membuat pemanggangan. Mesin pemanggang ada, tetapi mungkin karena dianggap terlalu kecil oleh para pria, mereka memilih membuat pemanggangan sendiri. Sedangkan di sisi lain, para istri sedang mempersiapkan bahan masakan. "Kurasa kita masuk ke dalam lagi deh kayaknya. Tenaga mungil kita sepertinya tak dibutuhkan," ucap Ziea, ikut memperhatikan. "Jangan begitu. Kita harus membantu," ucap Jenny. "Nih anak lurus banget." Lea memutar bola mata, menatap Jenny malas. "Gini ajah deh supaya kita punya pekerjaan dan terlihat sibuk, kalian suruh anak kalian diantar ke sini. Nah, nanti kita pura-pura jaga anak kalian. Bagaimana?" "Tidak boleh begitu, Lea." Jenny kembali menegur halus Lea. "Kita bantu-bantu Kak Serena yuk," ajaknya kemudian. "Kenapa sih kita nggak beli makanan yang udah siap jadi? Aduh, aku rada malas soalnya kalau harus
"Jam tangan," gumam Ethan, membuka kado yang Alana berikan padanya. Dia sudah di rumahnya, di dalam kamar dan sedang bersantai. Senyuman tipis muncul di bibirnya, mengusap jam tangan pemberian perempuan yang ia cintai. Ethan mencoba jam tangan tersebut ke pergelangan tangan dan ternyata pas. Dia lagi-lagi tersenyum tipis, merasa semakin senang ketika jam tersebut telah ada di pergelangan tangan. Namun, karena dia takut jam tersebut lecet dan terkena debu, Ethan melepas jam itu. Dia kembali memasukkan ke dalam kotak lalu membawanya ke walk in closet. Tetapi Ethan mengurungkan niat, memilih menyimpan jam tersebut di atas nakas sebelah ranjang. Karena dengan begitu, setiap hari Ethan akan melihat jam ini. Setelah meletakkan jam tersebut di atas nakas, Ethan mengeluarkan sebuah surat dari saku celana. Surat tersebut adalah surat yang Alana lempar tadi. Dia diam-diam memungutnya karena dia sangat penasaran dengan isi surat tersebut. [Untuk, Kak Ethan. Selamat hari kasih sayang dan ci
Alana mendekati Daddynya lalu merampas kertas kecil tersebut. "Daddy sama Mommy rese banget sih," ucap Alana dengan nada cemberut, dia meremas kertas secara diam-diam kemudian membuangnya secara sembarang arah. Sebenarnya tak ada yang istimewa pada kertas itu, soalnya yang menulis adalah staf toko jam tangan. Palingan hanya ucapan terimakasih. Namun, kalau daddynya membaca, tetap saja Alana merasa malu. "Jadi Alana dan Kak Ethan kencan sambil mencari kado? Kalian ingin tukar kado yah?" tanya Nanda dengan nada hangat tetapi tatapan jahil pada Alana. "Enggak, Uncle," bantah Alana, memilih di sebuah sofa tunggal. Sebetulanya Alana sudah tak punya muka dan dia ingin sekali meninggalkan tempat ini. Namun, dia takut sekali mommynya mengatakan hal-hal aneh pada Ethan. Alana juga takut kalau Ethan me-melamarnya. Awalnya Alana tak masalah dilamar oleh Ethan. Itu bukan sebuah ancaman baginya karena dia putri kesayangan sang Haiden. Daddynya tak mungkin merelakan Alana pada Ethan. Namun
"Kamu dari mana sih, Alana sayang?" tanya Lea ketika putrinya telah kembali. Dia langsung menghampiri sang putri, menatap Alana lekat dan penuh perhatian. Lea tentu khawatir pada Alana. Tadi malam putrinya hampir terkena masalah yang luar biasa mengerikan. Pagi ini, ada berita buruk tentang seseorang yang membenci putrinya. Lea khawatir orang tersebut melakukan aksi kejahatan pada Alana; menyerang Alana secara fisik. Lea sangat panik tetapi dia tidak berani memberitahu suaminya karena dia takut jika Haiden mengamuk. Meski sekarang suaminya jauh lebih lembut dan hangat, tetapi Haiden tetaplah Haiden. Sumbu pendek, nuklir ataupun gunung berapi. Jadi Lea tak ingin mengambil resiko. Dia memilih menghubungi Ethan, pria yang sudah ia dan suaminya setujui untuk menjadi menantu. Sebenarnya ada opsi menghubungi putranya, tetapi sifat Ebrahim tak jauh dari dadanya–sangat mudah marah. Takutnya, Ebrahim memarahi adiknya yang pergi tanpa pamit. "Aku habis jalan-jalan, Mommy," jawab Lea,
"Aku calon suami Alana." Deg deg deg Alana reflek mendongak pada Ethan, menatap pria itu dengan mimik muka campuran tegang dan malu-malu. Namun, Alana tak seperti biasanya, di mana dia akan kesal serta tak terima ketika Ethan menyebutnya pasangan. Alana hanya … merasa gugup. Satria menatap Ethan dengan senyuman remeh, pria ini pasti orang yang mengaku-ngaku sebagai calon suami Alana. Atau jangan-jangan dia fans fanatik dari Alana? "Kau ini--" Satria menatap Ethan dari atas hingga bawah. 'Pakaiannya sangat berkelas, dia penuh wibawa dan karisma. Orang sepertinya seharusnya jarang menonton televisi. Ah, bisa saja dia berpenampilan seperti ini untuk memikat perempuan. Tapi tak bisa ku pungkiri, dia memiliki aura yang mahal.' batin Satria, dia memperhatikan penampilan Ethan untuk menghina pria ini. Akan tetapi, dia tidak memiliki bahan untuk menghina pria ini. Bahkan semua yang pria ini pakai harganya hampir setara dengan harga mobil miliknya yang biasa ia pakai ke lokasi shooting.
"Angkat kamera kalian dan kalau berani, menghadap padaku!" dingin Haiden, nada menggeram marah dan tatapan sangat tajam–penuh emosi. Alih-alih mengangkat kamera, para wartawan tersebut bergerak mundur. Mereka menunduk dalam, menutupi wajah agar tidak dilihat oleh sang legendaris Mahendra. Rurom menyebut, apabila dalam keadaan marah Haiden menatap seseorang, maka orang tersebut akan menghilang. Tak ada yang bisa membenarkan rumor tersebut, akan tetapi banyak yang menyebutnya nyata. "Kalian berani mengganggu putriku, Hah?!" bentar Haiden dengan suara menggelegar–para wartawan tersentak kaget, tubuh bgemetar hebat dan jantung berdebar kencang. "Ma-maafkan kami, Tuan Haiden," ucap salah satu dari wartawan tersebut. "Kalian semua pantas mati!" dingin Haiden. Lea melepas pelukannya pada putrinya lalu buru-buru menghampiri suaminya. "Mas Deden Terlope-lope, tenangkan diri kamu," peringat Lea, memeluk suaminya sembari satu tangan mengusap dada bidang sang suami. "Sebaiknya kita p
"Putriku. Di-dimana putriku?" Haiden dan yang lainnya datang ke sana. Ebrahim yang memberitahu supaya daddynya datang ke tempat ini. Awalnya Ebrahim dan Ethan sepakat ingin menutup-nutupi masalah ini dari Haiden dan Lea. Akan tetapi, daddynya terus menghubunginya–menyuruh Ebrahim untuk mencari Alana ada di mana. Pada akhirnya Ebrahim mengatakan yang sejujurnya. "Daddy …." Alana langsung berdiri, menangis sembari menatap ke arah daddynya. Haiden merentangkan tangan supaya putrinya datang dan memeluknya. Alana langsung berlari dan …- Bug' Memeluk sosok perempuan di sebelah daddynya–mommynya. Haiden yang masih merentangkan tangan–berharap dipeluk oleh putrinya, terlihat memasang muka kaku dan dengan mata berkedut-kedut. Hell! Dia hanya mendapat angin untuk dipeluk. Semua orang yang melihat itu, berusaha menahan tawa. Lucu akan tetapi salah waktu saja. "Su-sudah, Den. Tak ada yang ingin memelukmu," ucap Reigha, menurunkan tangan Haiden yang masih direntangkan. "Nanti kita
"Sudah?" tanya Ethan, melirik sekilas pada Alana yang masih berendam dalam bath up. Sebenarnya Ethan ingin sekali melirik Alana lebih dari satu detik, tetapi … damn! Dia takut dia mencelakai gadis ini. Alana menekuk kaki lalu memeluk diri sendiri. Dia sudah sadar dan tubuhnya tidak lagi merasa terbakar. "Sudah, Kak," jawabnya pelan, malu karena keadaannya hampir telanjang. "Humm." Ethan berdehem singkat, meraih handuk lalu memberikannya pada Alana. "Aku keluar," ucapnya setelah itu."Kak Ethan, bajuku basah dan aku tidak punya baju lagi," cicit Alana ketika Ethan berniat keluar dari kamar mandi. "Humm." Ethan hanya berdehem, dia keluar dari kamar mandi lalu menghubungi seseorang untuk mengantar pakaian pada Alana. Orang yang dia hubungi adalah Zana, perempuan itu dekat dengan Alana dan tentunya tahu selera berpakaian Alana. Satu lagi. Zana sepupunya dan mereka lumayan dekat. Tak lama Zana datang dengan Ebrahim, di mana raut muka Ebrahim sangat tak bersahabat–khawatir dan marah
Alana menjauhkan pandangan, meraih handphonenya dan pura-pura sibuk dengan ponsel. Jantung Alana berdebar kencang, padahal dia hanya bersitatap dengan Ethan tetapi kenapa dia gugup? Ada getaran yang tak ia pahami di dalam hati. Di sisi lain, Ethan menghela napas, Alana tidak suka padanya dan dia tidak ingin memaksa. Acara berlanjut dan begitu meriah. Di depan sana, orangtuanya membanggakan Ethan, granddad dan grandma-nya juga memuji Ethan. Di tempatnya Alana ikut senang melihatnya. Dia masih ingat waktu Ethan termenung di ruangannya karena masalah yang iklan. Masih teringat jelas wajah murung Ethan ketika kakaknya menyalahkannya di depan banyak orang, karena masalah tersebut. Namun, di sini Ethan terlihat bersinar. Dia bisa membuktikan dirinya sendiri dan akhirnya dia diakui. Tanpa sadar Alana tersenyum dan bertepuk tangan kecil. Akan tetapi senyumannya langsung lenyap ketika Ethan menatapnya. Lagi-lagi jantungnya berdebar kencang dan Alana tidak nyaman dengan tatapan Ethan. Semua
"Dia memang Azam, tetapi dia berdiri diatas kakinya sendiri. Dia tidak pernah mengandalkan nama belakangnya. Dan Kakak perhatikan Kak Ethan sangat memperhatikanmu, kau sangat beruntung jika mendapatkannya. Karena Kak Ethan tidak peduli pada sekitarnya, dan kau satu-satunya yang akan dia perhatikan.""Kak! Tolong jangan paksa aku. Aku nggak suka Kak Ethan," pekik Alana. Ebrahim menghela napas, berdiri dari sebelah adiknya lalu mengusap pucuk kepala Alana. "Terserah. Tapi-- gengsinya jangan lama-lama. Yang suka pada Kak Ethan itu bukan hanya kau.""Ih apaan sih?!" ketus Alana, langsung menutup pintu dengan kasar–setelah Ebrahim keluar dari kamarnya. Semua orang gila! Sudah Alana bilang kalau dia tidak suka pada Ethan, tetapi orang-orang terus keukeuh menganggap Alana suka pada Ethan. Hell! Bukan hanya Ethan laki-laki di dunia ini, dan … big no untuk pria Azam. Sekalipun Ebrahim sudah menasehati, itu tak mempan pada Alana. Tidak tetap tidak suka! Tok tok tok'Alana membuka pintu deng