Holla, MyRe. Semoga suka dengan bab ini. Maaf yah, kemalaman banget, MyRe. Hari ini kita 2 bab dulu lagi yah. Sehat selalu untuk kalian dan semangat! Love kalian semua, MyRe kesayangan Haiden dan Mak Lea. Papai.... IG:@deasta18
"Cih." Haiden berdecis geli lalu pada akhirnya terkekeh, tak tahan dengan tingkah menggemaskan istinya. Para maid yang memperhatikan, diam-diam tersenyum karena salah tingkah serta baper melihat tingkah tuan dan nyonya-nya. Kedua pasangan itu–apabila normal, memanglah sangat romantis. Tuannya yang pemarah selalu takluk oleh tingkah menggemaskan sang nyonya. Bug' Haiden menyentak tangan istrinya sehingga Lea berakhir dalam dekapannya. Satu tangan Haiden secepatnya melilit di pinggang Lea, memeluknya erat, possesive dan mesra. Senyuman Haiden mengembang sempurna, membuatnya semakin tampan dan mempesona. Kepala Haiden menunduk untuk menatap wajah cantik istrinya, manik gelapnya hanya terfokus pada Lea–menatap perempuan itu dengan berat. Dari pelukan, tatapan hingga senyumannya pada Lea, Haiden menunjukan jika dialah pemilik perempuan ini. Dia begitu posesif! Cup' Haiden mencium singkat bibir Lea, setelah itu menggesekkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Lea. "Kau sangat suka me
Lea berdecak kesal karena Haiden begitu menyebalkan. Pria itu bilang hanya mandi, tetapi …- Biasanya seseorang akan merasa segar dan berenergi setelah mandi. Namun Lea tidak. Dia merasa lelah, mengantuk dan ingin segera merebahkan tubuh di atas ranjang. Suaminya memang gila! Haiden tak pernah memikirkan anak dalam perut Lea. Lea ingin menasehati akan tetapi Haiden sndiri mengaku dia memang egois sehingga tak cocok menjadi seorang ayah. Haiden masih mementingkan kebutuhan pribadi dibandingkan keselamatan calon anak mereka. Namun, dibilang egois pun juga tak benar rasanya. Waktu luang yang singkat, Haiden selalu menyempatkan diri mengusap-usap perut Lea sembari membaca buku parenting. Haiden ingin menjadi sosok ayah yang baik! Memang aneh! "Kau mau kemana? Istirahat, Azalae." Haiden menyeru dan menegur Lea yang berniat keluar kamar. Lea yang sudah di ambang pintu menoleh ke arah suaminya. Wajah dongkol masih terpasang, akan tetapi seketika berubah kagum dan tengil ketika meliha
Kesannya Haiden sengaja mencari-cari kesalahan maid tersebut. Lea mengulurkan tangan, menyentuh lalu menggenggam tangan suaminya. Ucapan Haiden terlalu kasar dan menyakitkan. Meskipun itu untuk menegur, akan tetapi Lea rasa Haiden sudah berlebihan. "Mas Haiden," cicit Lea secara pelan. "Tolong, jangan berkata kasar seperti itu. Dia punya hati dan lagipula kesalahannya hanya sepele," tegur Lea pelan dan lembut. Haiden balas menggenggam tangan istrinya, bahkan dia mengangkat tangan Lea ke arah bibir lalu menciumnya lembut. "Apapun yang berkenaan denganmu, itu bukan hal sepele, Sweetheart." Lea semakin tak enak, menoleh pada maid tersebut. Sejenak mata mereka bertubrukan, Lea mengernyit karena merasa tak asing dengan mata perempuan itu. Namun, mungkin itu hanya perasaan saja. Lea juga mengabaikan hal tersebut, semakin tak enak hati ketika melihat air mata maid yang jatuh. Pasti perkataan suaminya terlalu menyakitkan sehingga maid ini tak bisa membendung air matanya. 'Kenapa hatik
Ketika Lea telah masuk ke dalam rumah, Haiden langsung beranjak dari sana–kembali ke ruang kerja. Sedangkan Lea, dia ke dapur untuk membuatkan Haiden kopi. Setelah itu, Lea segera ke ruang kerja Haiden–mengantar kopi pada suaminya. Haiden menatap lekat pada Lea yang saat ini datang ke ruang kerja-nya. Setiap gerak-gerik perempuan itu tak luput dari pantauan Haiden, matanya tak beranjak dari sang istri. "Aku membuatkan kopi untuk Mas Haiden." Lea berucap senang, menunjukkan raut ceria dengan senyuman lebar yang membuat Haiden terpana melihatnya, "kopi cinta," lanjut Lea, meletakkan kopi di depan suaminya. Lea kemudian meletakkan tangan di dada, melakukan gerakan seperti mencabut sesuatu di sana–di mana dengan cepat dia membentuk finger heart. Setelah itu, Lea mengarahkan finger heart tersebut ke arah Haiden; ia memiringkan sedikit kepala, tersenyum dengan mulut terbuka dan mengedipkan mata genit ke arah suaminya. Haiden mengamati tingkah tengil dan kecentilan istrinya. Persekian
Air mata Mira jatuh ketika menyuapkan makanan pemberian putrinya ke dalam mulutnya. Rasanya sangat sakit dan sesak tiada tara. Dulu dia menyakiti Lea yang ia anggap tak berguna. Dia tanpa belas kasih tak memberinya makan. Namun, saat dia mengalami hal serupa, di mana Haiden tak mengizinkannya untuk makan, Lea lah orang yang menyelamatkannya. Lea tidak tahu dia siapa akan tetapi Lea membantunya secara tulus. Sedangkan dulu, dia tahu Lea adalah putri kandungnya. Akan tetapi kenapa dia tega menyiksanya? 'Keluargaku dulu jahat padaku.' Ucapan Lea tersebut tak hilang dari benak Mira. Dia terus memikirkannya dan itu membuat air matanya banjir. "Mama dulu membuatmu kelaparan, Nak. Tetapi saat Mama yang kelaparan, kamu datang memberi Mama makanan." Mira bergumam pelan, terus menangis menatap kotak bekal yang Lea berikan padanya. "Kamu tumbuh menjadi anak yang sangat baik hati. Kamu-- berhati malaikat." Mira lagi-lagi bermonolog sendiri, tersenyum tipis karena terharu pada Lea. "S
"Mas Haiden kok se benci itu sih sama pelayan tadi?" Lea memicingkan mata, memberontak kecil supaya Haiden menurunkannya dari gendongannya. Untungnya Haiden menuruti, mungkin karena mereka sudah di depan, di mana Nanda sudah menunggu di sana. "Dia pantas untuk dibenci," jawab Haiden dingin, membuat Lea kembali mengerutkan kening karena bingung dan tak mengerti. Jika Haiden membenci maid itu, berarti Haiden mengenal maid tersebut bukan? Karena tidak mungkin Haiden membenci tanpa mengenali. "Mas menge …." Lea ingin menanyakan pasal maid tersebut pada Haiden akan tetapi ucapannya terpotong, terhenti karena Nanda tiba-tiba bersuara secara ceria. "Halo, Adek Lea." Nanda menyapa dengan riang, tersenyum lebar pada Lea. Lea gagal fokus, pertanyaan yang ingin ia lontarkan pada suaminya langsung buyar. Atensinya seketika teralihkan pada sosok Nanda. "Hai, Abang Nanda. Kelihatanya lagi happy banget nih. Ada sesuatu yah, Kak?" balas Lea ceria, mengimbangi lawan bicaranya yang juga antusias p
"Bagaimana keadaanmu, Nyonya Mira Pratama?" Rekq bertanya dengan nada dingin, menarik sebuah kursi lalu duduk di sana. Mira ada di halaman belakang, diperintahkan untuk membersihkan semua taman yang ada di rumah ini. Tak ada yang diperbolehkan untuk membantunya, Mira harus menyelesaikan sendiri. Mira membungkuk ragu pada Rekq. Dia tidak pernah membungkuk pada seorang bawahan karena dia seorang nyonya besar keluarga Pratama. Akan tetapi, roda hidup sungguh berputar! Sekarang Mira bahkan setara dengan para pelayan. Dia harus memberi hormat pada setiap orang yang tinggi posisinya di rumah ini–bahkan pada kepala maid. Dulu, Mira sangat bangga dengan kekayaan yang dia miliki. Dia arogant dan angkuh. Namun, sekarang dia tidak bisa bersikap sombong lagi. Dia seorang jelata! "Terimakasih atas perhatiannya, Tuan Rekq. Saya baik-baik saja." Mira berkata pelan, menunduk karena seorang pelayan dilarang bersitatap dengan majikannya. Di mansion ini, pelayan harus disiplin dan harus bekerja se
Lagipula bagiamana caranya menolong sedangkan dia belum tentu selamat dari Haiden setelah ini. Awalnya dia mau-mau saja diminta tolongi oleh Jema supaya bisa masuk ke rumah mewah Haiden ini karena Jema bilang dia ingin bertemu dengan Lea untuk menanyakan pasal kematian orangtuanya. Ternyata orangtua Jema bekerja sebagai kepercayaan orangtua angkat Lea. Namun, sebuah insiden kecelakaan terjadi dan merenggut nyawa otangtua Jema. Ada hal yang janggal sehingga Jema ingin menemui Lea untuk membahas itu. Sayangnya, ternyata Jema datang ke sini bukan untuk itu. Dia mengatakan alasan sebelumnya hanya supaya Kevan bersedia menolongnya masuk ke rumah ini. Alasan Jema ke sini tak lain adalah untuk melabrak Lea yang sedang hamil. Kevan menoleh pada Melody, di mana perempuan itu terlihat sedang menikmati pertengkaran Lea dan Jema. Apakah perempuan iblis itu adalah dalang dari kekacauan ini? "Nyonya Lea." Rekq berlari cepat ke arah Lea yang terlihat sangat kacau. Tanpa tahu apa yang terjadi, R
"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamar–menyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepala–setuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasa–tak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namu
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan … harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannya–a
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduli–tetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maid–ada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa
Alana terdiam di depan pintu ruangan Ethan. Dia sudah membuat kopi untuk Ethan akan tetapi dia tak berani untuk mengantarnya akibat dia … memanggil Ethan dengan embel-embel 'mas. Dia melakukannya tanpa sadar dan sekarang dia sangat malu. "Tapi sepertinya Kak Ed juga tidak sadar kalau tadi aku memangilnya Mas," gumam Alana pelan, mengenal napas pela untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia membuka pintu ruangan Ethan dan langsung masuk. "Ini kopinya, Kak," ucap Alana pelan, meletakkan kopi di dekat suaminya. Ethan mendongak, sejenak mengamati wajah cantik istrinya lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis. "Aku suka." Alana mengerutkan kening, "tapi Kak Ethan belum mencoba kopinya," jawabnya bingung. "Aku suka dipanggil mas olehmu," lanjut Ethan, berhasil membuat pipi Alana memerah dan terasa panas. 'Astaga, jadi Kak Ed sadar? Hah, kok jantungku berdebar-debar kencang? Apakah ini tanda-tanda …- tidak!' Alana langsung membalik tubuh, meletakkan tangan di dada untuk merasakan
"Ugh, Kak Ethan sangat tampan!" gumam Alana pelan, senyum malu-malu ketika melihat suaminya turun dari mobil. Pipinya panas, menyembulkan semu merah yang mempercantik wajahnya. Melihat Ethan berjalan ke rumah, jantung Alana berdebar kencang. Dia segera beranjak dari sana, berjalan buru-buru dan kembali ke tempat semula. "Nyonya, ke-kenapa anda kembali ke sini? Nyonya tidak ingin menyambut Tuan yah?" tanya salah satu maid, cukup bingung karena Alana berlari kecil dari pintu utama. Bukankah seharusnya Alana membukakan pintu untuk suaminya dan menyambutnya? "Ekhm." Alana berdehem singkat, melirik maid dengan wajah datar, "untuk apa?""Jadi … kenapa kami disuruh memantau Tuan, Nyo-Nyonya?" bingung maid tersebut. "Ck." Alana berdecak, "kalian saja yang menyambutnya. Sana sana."Para maid segera beranjak dari sana, menyisakan Alana di ruangan tersebut. Alana meraih novel di atas meja kemudian menutup ke wajah, dia kembali tersenyum malu-malu–mengingat paras Ethan yang sangat tampan.
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi … Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelas–hanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub