"Kok, kayaknya seneng banget lo?" tanya Meity, kebingungan dengan sikap Rosa. Tadi di kelas mengeluh, ditinggal sebentar wajahnya sudah terlihat bunga-bunga. Namun, itu hanya khayalan Meity saja.
"Iya, tadi Esa datang menemuiku," sahut Rosa, senyum-senyum sendiri.
"Sejak jalan dengan Esa, lo jadi suka ketawa sendiri," ejek Meity, membuat Rosa menimpuk sahabatnya dengan kertas fotokopi yang dipegangnya.
"Aku hanya merasa bahagia tak boleh?" dengkus Rosa, mendelik kesal.
Meity tidak menjawab. Ia hanya mesam-mesem menggoda Rosa yang mulai salah tingkah. Sembari menyeruput minumannya, ia menatap wajah Rosa yang memerah.
Rosa segera menghabiskan makan siangnya. Ia masih bersungut, "Ayo, abis ini aku mau cari tempat magang!"
"Ciee, marah ...." Meity menyenggol bahu Rosa.
"Mana ada nyah, Mei. Seriuslah sikit," keluh Rosa, mengambil tas ranselnya dan beranjak.
Rosa berjalan mendahului Meity keluar dari kantin. Meity meneguk jus miliknya yang masih setengah, kemudian berlari mengejar Rosa. Ia berteriak heboh, "Weeei! Tunggu!"
"Kau heboh kali, aku malu dilihati orang tau!" decak Rosa, melirik sahabatnya yang telah menyejajarkan langkah mereka.
"Iya, maaf. Jadi, kita mau magang di mana?" Meity membuka-buka surat kabar Bandung. Mencari-cari perusahaan yang kira-kira menerima murid magang.
Rosa mengambil surat kabar itu, lalu membuangnya ke tempat sampah. Meity melongo melihat kelakuan sahabatnya. Namun, ia tetap mengikuti langkah tegap Rosa keluar dari gerbang kampus.
Mereka menunggu busway yang menuju ke Lembang di halte terdekat. Meity celingukan mencari sesuatu. Rosa mengerutkan dahi, terheran-heran dengan sikap Meity.
"Kau cari apa?" tanya Rosa, mencari tidak sabar.
"Gue lagi nyari busway lah, lama banget, sih. Mana siang ini matahari terik lagi," keluh Meity, semakin aneh.
"Nanti juga kelihatan, tak usah nyah kau cari!" seru Rosa, semakin kebingungan.
Meity malah terkekeh-kekeh. Ia menggaruk rambut cokelat panjangnya yang tidak gatal. Akhirnya, ia berkata, "Kita mau ke mana, sih?"
"Kau, nih ...." Rosa menghela napas panjang. "Kita mau ke Lembang di sana ada perkebunan teh atau strawberry. Coba melamar ke sana."
"Oh, oke!"
"Kujitak pulak kepala kau!""Maaf, deh. Memangnya kita gak bisa melamar ke perusahaan. Kerja di kantoran?""Kenapa pulak kau mendaftar ke jurusan pertanian?""Terpaksa!""Alamak, gila pulak kau, nih. Biar terpaksa pun orang tua sudah bayar uang cukup banyak."Meity hanya mengangguk, kemudian tersenyum manis. Kulit hitamnya yang terawat menambah manis senyumannya. Ia kembali melongok untuk melihat busway yang melintas di jalan raya.
Rosa menahan tubuh Meity, ia memekik, "Awas, kena pulak kepala kau kesambar nanti!"
Meity hanya tersenyum, membuat kesal Rosa dengan tingkah konyol Meity. Akhirnya, busway berhenti di depan mereka. Segera masuk dan duduk bersebelahan. Beruntung busway kosong.
Mereka turun di halte Surapati dan naik angkot menuju Lembang. Agak berdesakan, tapi bagi Rosa perjalanan itu menyenangkan. Ia bisa saja meminta mobil pribadi kepada Anjun, pasti langsung dibelikan. Namun, ia ingin hidup mandiri tanpa fasilitas dari orang tua dan abangnya. Hanya saja, mereka tidak melepaskannya begitu saja.
Uang terus mengalir ke rekeningnya, khawatir adik kesayangan Anjun itu kelaparan di Bandung. Rosa berulang kali meminta orang tua dan abangnya untuk menjatah uang bulanannya. Namun, tidak didengarkan.
Sementara lamunan Rosa buyar, mereka telah tiba di perkebunan strawberi. Rosa membayar ongkos angkutan mereka berdua. Setidaknya, ia mambantu Meity meminimalkan pengeluarannya selama di Bandung. Seringkali ia membantu membayari akomodasi bila ada tugas ke luar ruangan.
"Waw, keren!" pekik Meity, ia berjalan melengang masuk ke sebuah kafe strawberi.
"Kau mau ke mana? Kita ke kebunnya bukan mau ngafe." Rosa menarik tas bahu Meity, hingga tubuh kecilnya terseret.
"Sabar napa, Ros?" keluh Meity, membenahi tas bahunya yang nyaris putus akibat tarikan sekuat tenaga dari Rosa.
Mereka menemui pemilik perkebunan strawberi. Pemilik perkebunan beserta kafe strawberi itu bernama Anggara, bukan asli orang Bandung. Ia berasal dari Jakarta berdarah Jawa.
Pria dewasa berusia tiga puluh tahun itu menyambut Meity dan Rosa. Rosa menyatakan niatnya untuk magang di tempat itu sebagai tugas untuk kuliah kerja nyata. Angga menyetujui niat Rosa. Mereka akan bertugas di kebun strawberi.
Tugas mereka tidak sulit. Akan ada jadwal shift untuk memeriksa setiap tanaman strawberi. Memberi pupuk dan menyetel penyiram otomatis.
"Kalian bisa mulai bekerja besok. Ada sedikit tambahan salary bila mampu meningkatkan jumlah panen pada strawberinya. Atau, membunuh hama tanpa pestisida," ungkap Angga, tersenyum ramah.
"Terima kasih, Mas Angga," ucap Meity, mulai cari perhatian.
Rosa mendelik ke arah Meity untuk menjaga imej. Ia tidak mau merasa malu di hari mereka melamar pekerjaan. Angga hanya mengangguk.
Pria berambut hitam klimis yang diberi minyak rambut itu memasukkan tangannya ke dalam saku saat berbicara dengan Meity dan Rosa. Sikapnya ramah, tetapi tidak banyak berkomentar. Menjelaskan hal yang benar-benar penting. Sisanya ia menyerahkan semua kepada Meity dan Rosa.
"Terima kasih, Pak. Besok kami akan datang tepat waktu menyesuaikan jadwal perkuliahan dengan shift kerja," kata Rosa, sopan.
"Panggil mas saja. Jangan bapak, saya belum bapak-bapak," sahut Angga, menatap wajah Rosa tanpa berkedip.
Meity mengulum bibir, menahan senyum. Ia sudah tahu. Siapa saja yang melihat Rosa akan langsung tertarik pada pandangan pertama.
To be continue
Terima kasih telah membaca cerita ini. Baca juga Elevator Game. Kisah misterius tentang pembunuhan di elevator.
"Lo lihat tadi?" tanya Meity, tersenyum penuh arti."Lihat apa?" sahut Rosa, acuh tak acuh. Ia sebenarnya paham apa yang dimaksud Meity, hanya saja ia tidak tertarik."Baiklah, gue jadi bingung pingin kenal Abang lo ... apa Mas Angga, ya?" Rosa menoyor kepala Meity yang duduk di sebelahnya. Saat itu, mereka sedang menikmati pemandangan Lembang di kafe strawberi. Sejenak melihat-lihat situasi di kafe tersebut. "Kau, nih, jangan permainkan abangku, yak!" seru Rosa, pura-pura marah."Iya, iya, gue akan selalu setia." Meity merangkul Rosa. "Yok, ke kosan gue. Capek banget pengen tidur." Rosa pulang ke indekos Meity. Masih di sekitar Jatinangor, tetapi agak jauh dari kampus. Mereka beristirahat di kamar berukuran 3x3 meter tersebut. Meity langsung tertidur pulas di ranjang bersprei serba pink itu. Rosa menggeleng, ia memperhatikan ponsel miliknya menunggu kabar dari Esa. Namun, hingga pukul 15.00WIB, Esa belum juga menghubunginya. "A
"Ya, jangan kau dekati!" seru Rosa, membuat Esa tersenyum bahagia. "Kamu cemburu?""Ha-ha-ha! Tak lah, Bang. Mana pantas ...." Rosa mencari kata-kata yang pas sebagai alasan, tetapi ia tidak menemukannya. "Cemburu juga gak apa-apa. Saya mempunyai kejutan buat kamu nanti. Bersabarlah," ucap Esa, menciptakan rasa penasaran dalam diri Rosa. Rosa menunduk malu. Ia tidak bisa berkata-kata. Setidaknya ia masih bisa menjaga agar tidak terlalu bucin kepada Esa. "Aku menantikan, Bang," timpal Rosa dengan wajah merona. Mereka menikmati momen berdua saling mengenal satu sama lain. Bercerita banyak hal tentang perkuliahan Rosa, keluarga, dan abangnya, Anjun. Esa harus mengetahui tentang Anjun yang begitu melindungi Rosa. "Kau tahu abangku, tuh, tak akan membiarkan aku tinggal di Jawa kalau Bapak tidak mengizinkan," ungkap Rosa, "beruntung Bapak seorang yang terbuka akan hal baru, ia ingin aku meneruskan perkebunan jeruknya
Susan mengira bahwa Anjun hanya mencintai adiknya saja. Hubungan di antara mereka tidak boleh terjadi. Pada akhirnya, ia bertanya, "Kenapa?" "Aku berdosa kepadanya," sahut Anjun, tidak ada senyum. Mata Anjun menyimpan banyak sendu. Susan menepuk pundak Anjun dan berkata, "Cerita lah agar bebanmu ringan." "Lepas kita selesai kuliah, aku bertemu seorang gadis–""Gadis?""Iya, kenapa kau kaget begitu nyah. Apa kau pikir aku tak suka perempuan?""Bukan, bukan. Ayo, lanjutkan!" Anjun mulai bercerita. Selepas kuliah di Bandung, ia memang bertemu seorang wanita berdarah Batak, tetapi kelahiran Bandung. Mereka sempat bersama beberapa waktu. Hanya saja gadis itu memiliki penyakit bawaan sejak lahir. Di kala kondisi kritisnya, Anjun tidak datang karena terlalu sibuk bekerja di kantor pengacara, Bandung-Jakarta. Ada penyesalan setiap kali, ia mengingatnya. "Kau tahu, seumur hidup aku tak akan bisa melepaskannya," lirih Anjun, terce
Susan hanya bisa melongo. Mata besarnya mengerjap-kerjap tanda tidak percaya dengan apa yang diucapkan Anjun. Apa ia sedang bermimpi kali ini, Anjun mendadak berubah. "Kau tak sedang sakit, kan?" tanya Susan, takut-takut. Mencondongkan tubuhnya sedikit menjauhi Anjun. "Kau mau apa, sih? Tadi kau yang minta sekarang–""Oke, oke, jangan merepet. Ayo, kita menjadi kekasih," sahut Susan, akhirnya memutuskan menyetujui ajakan Anjun yang tiba-tiba. Lagipula usianya hampir tiga puluh tahun. Keluarhanya juga telah memaksanya untuk menikah. Namun, tidak ada pria lain yang menarik bagi Susan. Menurutnya, Anjun merupakan pria tepat untuk membantu dalam bisnis keluarganya. Pria lain yang dikenalnya hanya bisa menjadi pesuruh saja. Atau, memanfaatkan kekayaannya tanpa mau bersusah payah. Susan bukannya tidak menarik di mata pria, tetapi ia yang tidak tertarik dengan pria manapun selain Anjun. "Kau bantu aku awasi Rosa, ya," ujar Anjun, kembali mengambil
Jo hanya mengibas-kibaskan tangan akibat rokok tersebut. Ryo menoleh dan berkata, "Lo gak merokok?" "Gak, gue punya asma," kilah Jo, sedikit malu. Ia memang memiliki penyakit asma bawaan, tetapi tidak parah. Jo hanya tidak bisa menghisap barang yang bernama tembakau apa pun bentuknya. Ia tidak bisa melakukannya. Setiap kali diajarkan merokok oleh temannya, ia akan terbatuk-batuk hingga tidak bisa berhenti dan sesak napasnya kumat. "Parah memang kalau udah punya penyakit bawaan," ujar Ryo, membuka percakapan, "dikit, dikit sakit. Udah gitu kalau gak ngerokok diledekin gak jantan." Jo menunduk, memperhatikan sepatu kets mahalnya. Menurutnya, tidak merokok bukan masalah besar, karena ia punya segalanya. Harta, kedudukan, dan wanita mana saja pasti mau diajak olehnya. "Kau sudah dari tadi menunggu?" Keduanya menoleh saat mendengar suara sopran yang merdu itu berbicara. Ada pemandangan begitu indah di mata kedua lelaki, sesosok bidadari yan
Jo segera menyampirkan jaket pada bahu Rosa. Sontak saja Rosa terkejut karena ia datang tiba-tiba. Pria itu juga sama terkejutnya. "Anda siapa, ya?" tanya Jo, kasar. "Jo, dia pemilik kafe strawberi di mana aku magang," bisik Rosa, menarik kemeja Jo. "Ya, perkenalkan saya Anggara. Kamu siapanya Rosa?" tanya Angga sembari mengulurkan tangan untuk berjabatan. Jo tidak menyambut uluran tangan Angga. Tatapannya penuh permusuhan. Sudah cukup satu saja saingannya, yaitu Esa. Ia tidak akan membiarkan orang lain mendekati Rosa. "Saya calon kekasihnya," sahut Jo, yakin. Rosa membeliak, menatap wajah angkuh Jo. Ia tidak menyangka kalau Jo menyukainya juga. Mereka merupakan pariban yang tidak boleh menikah karena ikatan marga. "Oh, begitu. Masih calon, kan? Saya juga bisa menjadi calon suaminya mungkin," timpal Angga, tenang. Rosa lebih terkejut saat Angga mengatakannya. Ia kebingungan dengan perilaku dua lelaki yang baru saj
"Dia sudah tidur," ucap Susan, hati-hati. Meskipun suaranya sama sekali tidak lembut. Anjun berbalik. Ia tersenyum dan berkata, "Makasih, ya. Kau juga segera balik ke rumah sana. Aku mau segera ke Jakarta malam ini." "Kau tak istirahat dulu nyah?" tanya Susan, berusaha melembutkan suaranya. "Tak lah. Setelah urusan di Jakarta selesai aku langsung balik ke Berastagi, mengurus segala sesuatunya. Bisa kau menunggu?""Iya," sahut Susan, cepat. Susan sendiri bingung. Sebenarnya apa yang harus ia tunggu, keberadaan Anjun, kah? Atau, sesuatu yang lain. Ia tidak mau lagi berharap banyak seperti dahulu. Susan pernah menyimpan harapan kala gadis yang dicintai Anjun telah tiada, Anjun akan berpaling kepadanya. Namun, ia salah, Anjun malah menyalahkan dirinya sendiri. Juga menghindari hubungan baru dengan wanita lain. Rasanya amat perih melihat pria yang dicintai tidak memandangnya. Susan menyadari bahwa saat ini juga Anjun belum memandan
"Tentu saja. Saya sudah berjanji, 'kan?" Angga menyahuti Rosa sembari berjalan untuk membukakan pintu mobil sebelah kiri. Rosa menghampiri. Ia naik ke dalam mobil. Angga menutup pintu lalu berjalan ke pintu lainnya. Ia duduk di belakang kemudi, menyalakan stater mobil. Memutar kemudi sembari ia menoleh ke belakang untuk memundurkan mobil tersebut. Mobil melaju dengan kecepatan sedang melewati jembatan Surapati. Pemandangan kota Bandung di siang hari terlihat jelas. Rosa menikmati perjalanannya, menatap jendela yang dibuka setengah. "Kamu menyukainya?" tanya Angga sembari fokus menyetir "Ya, eh, apa? Menyukai apa?" sahut Rosa, ling-lung. Angga terkekeh-kekeh, "Kamu menyukai Bandung?" "Oh, iya, di sini sejuk. Banyak makanan enak, banyak teman dari berbagai daerah." "Apalagi?""Banyak lapangan pekerjaan juga.""Oh, iya, banyak usaha mikro di sini.""Tapi semuanya dikelola oleh orang di luar Bandung.""Tidak semua
"Baiklah. Asal kau jujur sama Abang." Anjun mengalah. Ia pun tidak tega melihat adiknya menangis hingga tergugu seperti itu. Rosa mengangguk. Ia mulai bercerita. Di mulai dari dua tahun yang lalu. Rosa telah menjalin hubungan bersama Johansen selama dua tahun. Jo berhasil merebut hati Rosa dengan perlakuan yang amat manis. Selama dua tahun itu, Jo bersikap lembut dan perhatian. Hingga malam kelulusan, Jo datang menemui Rosa. Ia mengajaknya ke villa milik ayahnya di Lembang. Di villa itulah semua berawal, Rosa menyerahkan mahkotanya yang paling berharga kepada Jo. Ia begitu yakin bahwa Jo mencintainya. Bahkan, Jo berjanji akan menikahinya setelah ia memperoleh pekerjaan tetap. Setelah acara wisuda, ia merasa malu kepada ayah dan ibunya. Bahkan, tidak berani menatap wajah abangnnya. Ia meminta izin kepada orang tuanya untuk bekerja selama dua tahun sebagai pengalaman. Sebenarnya, Rosa hanya beralasan saja. Ia malu untuk menghadapi kedua orang tuanya. Jika mereka sampai mengetahui k
"Haaah! Dokter kandungan?" "Iya, kamu sedang hamil. Hanya saja saya tidak dapat memastikan, kecuali kamu mau mengetesnya dengan alat tes kehamilan. Atau, kamu mau mengatakan kapan terakhir kali kamu menstruasi." Rosa bersemu merah. Merasa jengah karena harus bercerita kepada dokter laki-laki di depannya. Ia juga tidak ingin aibnya dibuka kepada orang yang tidak dikenal. Melihat reaksi Rosa, dokter tersebut tidak memaksa. Ia memberikan resep, lalu berkata, "Istirahat dan makan yang cukup, ya." "Terima kasih, Dok," sahut Rosa, menunduk malu. Rosa bersyukur dokter tersebut memahami situasi, tanpa memaksanya untuk bercerita. Ia benar-benar kalut saat itu. Bingung dengan situasi yang menimpanya. "Kenapa harus sekarang? Kenapa harus hadir di saat hubungan kami mulai renggang?" Rosa menangis dalam hati. Rosa menyadari bahwa itu kesalahannya. Ia t
Rosa sama sekali tidak punya janji dengan Jo hari itu. Hubungan mereka yang baru dua hari tidak terlalu banyak berkomunikasi karena Rosa yang agak sibuk mengejar ketinggalannya. Begitu pula dengan Jo yang bertekat untuk segera lulus kuliah. Jo sudah menunggak dua tahun selama kuliah di Jakarta. Seharusnya, ia sudah lulus. Hanya saja, akibat perbuatannya selama mengikuti balap liar bersama teman satu geng, membuatnya harus menerima untuk diskors bahkan dikeluarkan. Jo tidak ingin itu terulang kembali. "Jalan ke club, yuk. Kamu sudah terlalu banyak belajar.""Gak mau, Jo. Di sana berisik banget," keluh Rosa, menolak ajakan Jo. "Ya, udah. Ke kafe seberang kampus aja. Gimana?""Baiklah. Ayo, berangkat sekarang." Rosa dan Jo semakin lama semakin dekat. Hubungan mereka sangat romantis di awal. Hingga keduanya lulus bersama dan mulai bekerja di bidang masing-masing. *** "Kamu keterlaluan, Jo!" pekik Rosa, penuh amarah dan kese
"Aduh, ngapa pulak dia kasih-kasih aku barang ini?" "Mana gue tau. Tanya sendiri sana masih di bawah orangnya, tuh." Meity sibuk menghabiskan sarapan Rosa."Kau tidak ke kampus?" Meity menggeleng dengan mulut penuh. Pipinya menjadi gembul akibat makanan yang dikunyah. Acuh tak acuh walau Rosa telah mendelik kesal. "Ya, sudah. Kau tinggal di kos dulu. Aku mau ke kampus mengejar ketinggal," ucap Rosa sembari membereskan beberapa buku yang harus dibawanya. "Lo udah baikan emangnya?""Udah, kok, bye ...." ***Rosa berjalan tergesa-gesa menuju ruang kelasnya. Ia tidak menyadari ada seseorang yang mengikuti langkahnya sedari menginjakkan kaki di depan gerbang universitas. Orang itu ialah Jo. Jo berjalan mendekat dan menepuk pundak Rosa. Ia berkata, "Kenceng banget jalannya." Rosa menoleh dan melambatkan langkahnya. Ia menekan perasaannya sehingga dapat menampilkan wajah biasa. Bahkan tersenyum ramah kepada Jo. "Eh, k
Selama satu minggu Rosa meringkuk di kamarnya. Esa mencarinya ke mana-mana, di kampus tidak ada, di indekos diusir. Meity terus menemani Rosa. Terkadang Susan datang untuk menjenguk dan menanyakan keadaan Rosa. Rosa benar-benar tidak ingin ditemui oleh siapa pun, terutama Esa. Anjun berulang kali menelepon yang juga tidak dijawab. Ia meminta tolong kepada Susan untuk melihat keadaan Rosa dan menghajar lelaki yang telah menyakiti hati adiknya itu. *** "Sumpah, Kak. Aku gak melakukan hal itu." Esa ditanyai oleh Susan di ruangan kantornya. "Lalu apa ini?!" Susan melemparkan foto-foto ke wajah Esa. Esa terperangah mendapati foto-foto tersebut. Ia sama sekali tidak pernah pergi dengan wanita yang ada di dalam foto. Ia mengamati gadis itu dengan seksama. Mata Esa melebar saat melihat siapa wanita yang ada dalam foto. Ia memandang wajah murka Susan, susah payah untuk mengendalikan ketakutannya. "Bu–bukankah dia, Milia?" "Ya, dia Milia
Telah hampir enam bulan Rosa berhubungan dengan Esa. Jo masih mendekati dengan berbagai cara. Juga rencananya telah tersusun matang. "Ros, nanti pulang jam berapa?" tanya Jo saat melihat Rosa melintasi lapangan basket dan ia mengejarnya. "Hmmm jam tiga sudah di kosan. Kenapa pulak rupanya?""Tak apa. Sekarang mau ke mana?""Ke kantin lah, mau makan siang. Kau tak makan siang?" Jo menggeleng. Lalu tersenyum sembari mengedipkan sebelah matanya. Rosa merasa jengah. Bibir ranumnya cemberut. Dengan sebal, ia pergi tanpa pamit lagi kepada Jo. Jo menyeringai menatap punggung Rosa melalui sudut matanya. Ia akan melancarkan rencana untuk memisahkan Rosa dan Esa. Membuat Esa dibenci oleh Rosa dan gadis Batak itu akan menjadi miliknya. *** Malam hari Rosa menerima sebuah paket tanpa nama. Setahunya, ia sama sekali tidak belanja online. Keluarga di Berastagi juga tidak mengabarinya tentang paket. Rosa penasaran dengan isi paket yang
udah jelas bagi Jo bahwa Rosa memiliki abang yang superior. Kehidupan Rosa banyak diatur oleh abangnya tersebut. Ia harus bisa menggantikan peran abang Rosa yang memiliki sifat berkebalikan dengannya. Hal tersebut akan memudahkannya untuk mendekati Rosa. Jo tidak peduli meskipun ia harus merebut Rosa dari Esa. Rosa merupakan mangsa yang besar. Ia akan memperoleh banyak keuntungan. Mereka tiba di kafe strawberi. Rosa turun dari mobil sport. Terlihat Angga sedang memperhatikan Rosa yang berjalan menuju perkebunan. Jo menyeringai, kemudian berbalik masuk ke mobil. Ia memutar balik kemudi untuk keluar dari area parkir kafe. Melaju dengan kecepatan sedang, ia mengendarai mobil ke arah Jakarta. Lewat tol Pasteur. Jo memang biasa menyetir mobil sendiri untuk pulang ke Jakarta. Ia akan menanyakan kepada ayahnya tentang hubungan kekerabatan dalam marga. Keinginannya untuk memiliki Rosa amat besar. Ia tidak peduli lagi tentang adat. *** "S
Rosa menutupi kamera ponselnya. Ia benar-benar sangat malu karena telah mengatakan isi hatinya. Esa terkekeh-kekeh. "Jangan ditutupi! Hilangkan cantiknya." Esa semakin senang menggoda Rosa. "Abang, nih, malu tau!""Gak usah malu. Sering cemburu aku rela, kok.""Taklah, sana kerja lagi. Aku ngantuk!" Esa tersenyum geli. Gadis Batak itu marah karena terlalu malu. Wajahnya telah memerah seperti kepiting rebus. "Iya, Sayang. Met istirahat. Nice dream," ucap Anan sembari mengecup layar ponselnya. Tingkahnya terlihat oleh Susan. Ia berteriak, "Kau ngapain cium-cium ponsel, hah!" "Uups! Eh, Kak Susan." Esa memperlihatkan giginya yang putih. Esa merasa jengah karena ketahuan sedang menciumi ponsel miliknya. Mesam-mesem saking terlalu malu. Susan berkacak pinggang memelototinya. "Awas hati-hati kau, ya, nanti kulapor ke Bang Anjun!""Calm down, Kak. Aku gak ngapa-ngapain, kok." Esa jelas ketakutan kalau sudah di
"Entahlah, aneh kali kulihat, dia yang suruh kita memperhatikan, 'kan?""Betul! Eh, lo perhatiin doi?""Iya, kenapa pulak?""Pantesan." Meity melengos. Ia segera mengemasi barang-barang miliknya ke dalam tas bahu berwarna pink. Rosa mengernyit kebingungan. Ia mengikuti langkah Meity di belakang menuju ke kantin. Tiba di kantin, Rosa melihat Jo tengah duduk bersama Felix dan teman-temannya. Ia segera menarik lengan Meity dan mengajak keluar kampus. "Aku traktir ke kafe, yuk," ajak Rosa, tidak menghiraukan protes Meity. "Gue lapar, Ros. Lom sarapan!" pekik Meity, tubuh mungilnya terseret. "Aku traktir apa aja yang kau mau," sahut Rosa, mempercepat langkahnya. Meity tersenyum senang. Ia langsung menyejajarkan langkah cepat Rosa. Meskipun agak tergopoh-gopoh dan napas yang terengah-engah, Meity berhasil menyusul. Mereka keluar dari kawasan kampus Unpad menuju kafe. Tidak jauh memang, sekitar 500 meteran. Mereka