Senja kali ini terasa murung, sebab awan hitam menggantung begitu pekat di langit kelabu di luar sana. Cuaca kali ini begitu menggambarkan raut wajah Reanna. Setelah menyandang tas selempangnya, wanita itu bergegas menuju pintu keluar florist. "Aku pulang dulu," pamitnya pada Tisha yang berdiri di dekat meja kasir. Namun, sahabatnya itu segera meraih salah satu pergelangan tangannya untuk menahan kepergiannya. Hal yang membuat Reanna menoleh ke arahnya dengan kernyitan di kening."Sebaiknya kamu pulang bersamaku nanti, Re. Dohyun akan segera datang menjemputku menggunakan mobil. Di luar mendung, kamu akan kehujanan di jalan kalau pulang sekarang."Reanna tampak memberikan senyum tipis. Ia tahu bahwa Tisha begitu peduli padanya dan ia bersyukur memiliki sahabat sebaik dia. Tetapi, ia memang berniat ingin pergi sekarang, maka dengan gerakan pelan Reanna mengurai cekalan tangan sahabatnya itu di pergelangan tangannya."Tidak apa-apa, aku memang sengaja ingin menikmati hujan," lirihnya.
Pria berambut pirang itu terdiam cukup lama di dalam mobilnya, menatap awan hitam yang menutupi cahaya jingga senja. Mendung, sama seperti perasaannya saat ini. Seakan alam pun mengerti dengan apa yang ia rasakan di detik ini. Setelah kembali menghela napas panjang sekali lagi, pria itu keluar dari mobilnya dan menuju Carnation florist, seperti biasanya. "Apakah dia datang ke sini hari ini?" pertanyaan yang nyaris serupa ia tanyakan kembali pada gadis sahabat Reanna di depannya, dengan harapan yang sama. Ia ingin sekali bertemu Reanna. "Reanna sudah pulang," jawab Tisha seadanya. Kali ini ia jujur, Reanna memang sudah pulang dari tiga puluh menit lalu. Setelah mengetahui fakta yang Reanna ceritakan padanya beberapa hari lalu, entah kenapa pandangan Tisha pada dokter di depannya ini berubah. Entahlah, ia merasa sedikit kecewa. Awalnya ia mengira jika pria di depannya adalah pria sempurna, pria yang tepat untuk menyembuhkan luka hati sahabatnya. Namun, kenyataan seakan menamparnya
Dinginnya udara malam seakan tiada lagi mereka rasakan. Mengabaikan pakaian keduanya yang lembab karena diguyur hujan, mereka berjalan beriringan berteman kesunyian menelusuri lorong-lorong putih rumah sakit itu, menuju salah satu bangsal tempat Sang gadis kecil di rawat. Tangan kiri besar pria itu meraih tangan kanan Reanna, menggenggamnya. Mencoba menyalurkan energi positif yang tersisa di dirinya pada wanita di sebelahnya. Nathan sangat tahu apa yang Reanna rasakan saat ini, karena ia pun merasakan hal yang sama; khawatir. Gadis kecil kesayangan mereka kini sedang terbaring lemah di dalam sana. Tepat di balik pintu yang saat ini berada di hadapan mereka. Pria itu menekan gagang pintu setelah anggukan kecil ia terima dari wanita di sampingnya. Dan setelah pintu itu terbuka sempurna, terlihatlah sosok Kia yang terbaring dengan memejamkan mata di ranjangnya, dengan jarum infus yang tertancap pada pergelangan tangan kiri mungilnya. Ada Kakek dan Neneknya yang menungguinya di sana, ya
"Anda hanya perlu melupakannya." Setelah beberapa detik mencari jawaban yang menurutnya tepat, pada akhirnya Reanna berucap begitu. Ia masih berusaha mempertahankan senyumannya yang jujur saja justru terlihat menyedihkan.Nathan terdiam mendengarnya. Ia lantas memandang dalam kedua mata indah Reanna—yang terlihat bergerak gelisah ketika mata birunya menatap, sebelum pada akhirnya kata yang begitu mengejutkan meluncur dari bibir merah kecokelatannya."Menikahlah denganku.""Ap—" Reanna speechless. Ia kembali membuka dan menutup mulutnya tanpa suara lengkap dengan tawa sumbang yang justru terdengar memilukan di telinga.Dokter itu melamarnya? Yang benar saja!"Anda tidak perlu menikahi saya, Pak. Itu hanyalah sebuah kesalahan. Saya bisa memakluminya." Reanna menjeda ucapannya sebentar, hanya untuk kembali memaksakan senyuman sebelum melanjutkan. "Lagi pula kita melakukannya hanya sekali, saya tidak akan hamil. Jadi, Anda tidak perlu menikahi saya.""Hamil atau tidak, aku akan tetap meni
Langkah kaki panjangnya tampak gontai menjejak lantai dingin menuju kamar Kia. Wajah khas bangun tidur masih menghiasi rautnya, pula dirinya sesekali menguap lebar. Seperti biasanya, ritual pagi Nathan adalah mengecek kondisi Sang putri di kamarnya.Pagi ini merupakan pagi terbaik untuk pria itu. Setelah beberapa hari selalu menyambut pergantian hari dengan murung, kini dadanya dilingkupi semangat baru. Pasalnya Kia baru tadi malam dibawa pulang dari rumah sakit, dan kini kondisi balita cantik itu berangsur semakin baik."Selamat pagi, Princessnya Papa," sapanya setelah membuka pintu kamar Kia. Ternyata Nathan datang di waktu yang tepat, di mana gadis kecil itu baru saja membuka mata. "Pagi, Papa~" Kia membalas sapaan ayahnya dengan suara serak. Mata lebarnya tampak mengerjap lucu lengkap dengan menguap kecil, menggemaskan sekali. Hal yang membuat Nathan bergerak untuk menciumi kedua pipi bulatnya."Bagaimana keadaanmu, Sayang? Masih pusing?" tanya pria itu setelahnya. Ia duduk di te
Meja makan di rumah Nathan tak pernah seramai ini sebelumnya, tentu karena adanya satu anggota baru yang turut duduk bersama. Ya, dia Reanna. Meskipun masih tampak kikuk, wanita cantik itu cukup mudah berbaur dengan keluarga. Ia bahkan makin perhatian pada anak semata wayang Si dokter pirang."Kia mau makan yang mana, Nak? Biar Kakak ambilkan," tawar Reanna pada Kia yang duduk di kursi di sisinya. Senyum manis itu seakan tak pernah pudar menghiasi raut wajahnya."Yang itu." Kia menunjuk sepiring ikan goreng dengan jari telunjuk mungilnya. Dan Reanna dengan sigap segera menuruni keinginan gadis kecil itu, ia mengambilkan sebuah ikan yang ukurannya paling besar ke atas piring Kia, memancing senyuman lebar balita itu."Mau disuapi sekalian?" tawarnya lagi. Namun, Kia membalasnya dengan gelengan kepala. "Tidak. Kia cudah bica makan cendiri, Kak~" lalu balita imut itu mulai menyuap makanan di atas piringnya langsung dengan tangan, tanpa sendok ataupun garpu. Tentu setelah mencuci tangann
Dalam fisiologi, senyum adalah ekspresi wajah yang terjadi akibat bergeraknya atau timbulnya suatu gerakan di bibir atau kedua ujungnya, atau pula di sekitar mata. Kebanyakan orang senyum untuk menampilkan kebahagiaan dan rasa senang. Dan hal tersebutlah yang terjadi pada Nathan. Pria blasteran itu seakan tak pernah berhenti tersenyum seharian. Bahkan ketika dirinya harus pulang larut malam karena banyaknya jadwal operasi, raut bahagia itu tetap terpatri. Bagaimana tidak? Setiap kali dirinya memikirkan jika ketika ia pulang nanti akan ada Reanna yang menyambutnya, dadanya terasa dipenuhi euforia."Hmm ... sepertinya cuaca hari ini sangat cerah, ya? Berbeda sekali dengan hari-hari lalu yang selalu mendung," sindir Arvi yang berjalan di sisinya menuju parkiran. Sesekali mata Si dokter anak itu kedapatan melirik ke arah Nathan dengan senyum jenaka."Tidak perlu menyindir begitu, Ar. Aku tahu maksudmu." Nathan justru terkekeh ringan menanggapinya. Ia meraih kunci mobil di saku celana saa
Puas. Satu kata yang kini berada dalam benak Reanna ketika baru saja selesai menyisir rambut halus gadis kecil di depannya. Lihat saja, bahkan hanya dengan merapikan sedikit surai pirang Kia, balita itu sudah terlihat begitu istimewa. "Kamu cantik sekali, Sayang." Tak pelak bibir mungil itu merekah setelah mendengar pujian dari kakak tersayangnya, sebuah senyuman ceria terangkai dari wajah imutnya ketika menatap pantulan wajahnya sendiri pada cermin di hadapannya. Gadis kecil itu melirik sekilas melalui ekor mata pada wanita yang duduk di belakangnya."Kuncil dua, Kak~""Baiklah. Sesuai permintaanmu, Sayang." Wanita itu kembali menyunggingkan senyuman. Kedua tangannya kembali terangkat, kembali menyisir rambut gadis kecil itu lalu membaginya menjadi dua.Dari arah kanan mereka, muncul sosok Tisha yang baru saja melayani seorang pelanggan. Gadis cantik dengan rambutnya yang terurai panjang itu melayangkan sebuah senyuman ketika netranya menangkap sosok Kia beserta Reanna. Ia menduduk
"Selamat, Dok. Bayi lelaki Anda lahir dengan sehat tanpa kurang suatu apa pun." Di belakang sosok perawat berseragam putih tersebut, terlihatlah sosok dokter kandungan wanita, seseorang yang bertanggung jawab melakukan proses persalinan operasi caesar Reanna. Sesosok bayi mungil berbalut kain putih terlihat dalam gendongan si dokter, tangisannya terdengar menggema.Tentu Nathan segera mendekat, meninggalkan dua sosok lain di belakang tubuhnya di ambang pintu, karena memang hanya sang dokter piranglah—yang notabenenya adalah suami pasien—yang boleh memasuki ruang pemulihan.Pria pirang itu menerima buntalan bayi merah tersebut dengan hati-hati, mengamati sejenak wajah mungil Sang putra. Jari telunjuk tangan kanannya yang bebas menyentuh pelan pipi tembam anaknya, dia ... benar-benar mirip dirinya dan juga Reanna.Namun, ia tak mampu lama-lama mengagumi anugerah Tuhan yang dititipkan padanya beserta istri tercinta. Hatinya masihlah khawatir sebelum melihat kondisi wanitanya. Ia mengalihk
"Bagaimana hasilnya, dr. Karin?" Nathan menelan salivanya dengan sedikit gugup ketika seorang dokter obgyn wanita mengamati monitor hitam alat USG-nya, ia harap-harap cemas. Tentu ia berharap jika hasil pemeriksaan rekan sesama dokter kandungannya itu bisa sedikit berbeda dari hasil yang ia dapatkan ketika memeriksa kandungan Sang istri beberapa hari lalu. Sedangkan Reanna, wanita hamil yang terbaring di ranjang tinggi tempat praktik dr. Karin hanya diam mengamati pula mendengarkan pembicaraan kedua orang dokter kandungannya. Ia pun sejujurnya gugup, namun berusaha menormalkan detakan jantungnya. "Janin dalam keadaan sehat, ketuban cukup, plasenta tidak menghalangi jalan lahir dan belum terjadi pengapuran. Hanya saja bayi dalam posisi oksiput posterior atau terlentang di dalam kandungan, mungkin hal tersebut yang membuat janin belum masuk panggul hingga sekarang," jawab dr. Karin apa adanya, tanpa melepas atensi dari layar monitor yang menampilkan keadaan kandungan Sang pasien, istri
"Tunggu sebentar, Sayang." Kedua tangan kekar itu melepaskan rengkuhannya dari tubuh Sang istri kemudian menarikkan sebuah kursi makan untuknya, menimbulkan suara decitan kecil akibat kaki tempat duduk yang bergesekan dengan lantai keramik di bawah kakinya. Sedangkan Reanna hanya tersenyum manis menanggapinya. Telapak tangan kanan dan kirinya tiada henti membelai permukaan perutnya yang terasa menegang, tentu diikuti gerakan janinnya yang semakin brutal dari dalam kandungan. Ah, bayi mereka memang super aktif."Pelan-pelan." Setelahnya, pria itu menuntun tubuh berisi Sang wanita untuk mendudukkan diri dengan hati-hati. Sungguh, Nathan sangat over protektif pada Sang istri akhir-akhir ini. Bahkan jika boleh, ia akan dengan senang hati menggendong tubuh Reanna tanpa mengizinkannya menapaki bumi.Reanna terkekeh sembari menggeleng singkat kala mendapatkan perlakuan suaminya yang begitu hangat, meskipun ia akui itu sedikit berlebihan. Namun, ia menerima segala perhatian itu dengan senang
"Kamu yakin?" mata biru itu menatap menelisik raut jelita Sang istri di depan cermin riasnya. Hari masihlah pagi, namun wanitanya sudah terlihat begitu rapi. Tubuh dengan kandungan yang sudah sangat besar itu terbalut dengan manisnya dress hamil selutut berwarna lilac, sedangkan rambut kelam yang dahulu begitu panjang kini terpangkas sebatas bahu, dikuncir sebagian; meninggalkan separuhnya lagi tergerai di belakang. "Tentu." Wanita itu menjawab dengan pasti, tak lupa mengurva senyuman manis untuk Sang suami. Ia lantas meletakkan sebuah lipstik berwarna pink kembali ke tempat semula, tentu setelah ia selesai mengoleskan benda itu pada kedua belah bibir ranumnya."Tapi, perutmu sudah sangat besar, Sayang ... apa itu tidak apa-apa?" raut tampan Si dokter pirang masihlah terlihat cemas. Mengabaikan kemeja hitam yang belum terkancing sempurna—yang melekat di tubuhnya, pria yang akan kembali bergelar sebagai ayah itu memposisikan diri di belakang tubuh Sang istri. Kedua netra biru itu kem
"Mama ... !!" teriakan keras nan memekakkan telinga dari Kia adalah hal yang menyambut Reanna dan Nathan saat mereka baru saja membuka pintu utama rumah Joana. Balita cantik nan menggemaskan itu berlari sambil merentangkan tangan, lalu masuk ke dalam dekapan ibu sambungnya ketika wanita yang tengah hamil muda itu merendahkan tubuh menyambutnya. Rasa hangat yang menjalari dada menuntun sudut-sudut bibir wanita itu menarik lengkungan senyuman."Merindukan Mama, hm?" tanyanya seraya membalas dekapan."Lindu~" pelukan balita itu semakin erat. Lengan-lengan mungilnya mengalungi leher Reanna, mencium wangi parfum yang biasa ibunya pakai penuh kerinduan. "Mama ke mana caja? Kenapa Kia tidak diajak?""Mama tidak ke mana-mana, Sayang. Hanya pergi sebentar untuk menenangkan diri." Reanna melepas pelukan demi menatap wajah imut Sang putri. Tangan-tangannya menangkup kedua pipi bak bapao Kia, lalu memberikan ciuman sayang di dahi.Dari arah ruang keluarga muncul sosok Joana, ia menebar senyum ba
"Apakah ... kamu sudah mencintaiku, Mas?" suara lembut nan pelan itu mengalun perlahan, menembus kesunyian. Sedangkan Nathan sejenak terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan Sang istri yang di luar dugaan."Apakah aku harus menjawabnya?" pria itu menjawab pertanyaan Reanna dengan pertanyaan lainnya. Dan hal itu justru membuat raut wajah wanita itu mendung seketika. Spekulasi negatifnya kembali menyeruak dalam dada. Pria itu memang tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya."Tidak perlu. Aku sudah tahu jawabannya." Reanna menunduk, menatap permukaan meja kaca di hadapannya dengan sendu. "Kamu tidak pernah mencintaiku," lanjutnya, semakin lirih di akhir kata."Tidak semua wanita bisa peka ternyata.""?" Reanna tersentak mendengar ucapan suaminya. Dengan spontan, ia menoleh cepat pada raut tampan Si dokter pirang."Tanpa kamu mengatakannya pun aku sudah tahu bagaimana perasaanmu padaku," ungkap Nathan, menatap tepat pada kedua mata indah istrinya penuh arti."Apa yang kamu tahu?" t
"Ekhem! Jadi?" ucapan Alona menyita kembali atensi mereka. Ah, Nathan hampir lupa tujuan utama ia mengajak Sang istri datang ke sana."Sebelumnya perkenalkan ... dia Reanna, istri kecilku." Kedua tangan besar Nathan hinggap di kedua bahu Sang istri, memperkenalkan. Meresponsnya, Alona menggulirkan pandangan mata kemudian tersenyum dengan manisnya kala menatap wajah istri Si dokter tampan. "Hay, Reanna ... kamu cantik sekali."Reanna hanya tersenyum malu-malu membalasnya. Di puji begitu membuat wajah ayunya sedikit merona."Dan Rea, dia bernama Alona, calon istri Arvi, Si dokter anak yang adalah sahabatku. Dia tunangan pria di sebelahnya." Kembali, Nathan berujar memperkenalkan."Salam kenal." Reanna berucap seadanya, sedikit membagi senyumnya."Kamu bisa memanggilku Kakak, atau mungkin Tante? Aku dua tahun lebih muda dari suamimu," ungkap Alona dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya."Kakak saja. Kamu terlihat masih sangat muda, Kak Alona.""Terima kasih.""Al, berikan penjela
"Pulanglah bersamaku."Ucapan itu menggema di dalam telinga Reanna. Wanita itu masih saja terdiam terpaku, menatap mata biru yang terus menatap lembut pada kedua mata indahnya. "Kembalilah, Rea ... kami sangat membutuhkanmu." Pria pirang di depannya kembali bersuara.Sedangkan Reanna memejam mata sarat akan luka kala ingatan tempo hari lalu menyeruak dalam kepala cantiknya. Ketika Sang suami dengan begitu akrabnya membersamai wanita lain selain dirinya."Kamu tidak membutuhkanku, Mas. Aku bukan apa-apa bagimu," ungkap wanita itu, selirih tiupan angin. Namun, cukup mampu di dengar Sang suami.Embusan napas pria itu terdengar berat setelahnya. Ia tidak habis pikir dengan jalan pemikiran Sang istri."Kamu istriku, Rea. Kamu bagian terpenting dalam keluarga. Keluarga kita, yang artinya bukan hanya tentang aku dan Kia. kamu pun ada di dalamnya." Nathan berusaha meyakinkan istrinya."...." Reanna tampak menunduk pedih mendengarnya. Apakah ia harus percaya? Sedangkan ia melihat sendiri de
[Saya sedang dalam perjalanan ke sana. Mungkin memang sedikit memakan waktu sebab jalanan menuju ke Florist cukup macet. Saya harap kamu bisa menahan Reanna untuk tetap berada di sana sampai saya sampai.]Pesan itu masuk hampir satu jam lalu, dan Tisha baru saja membuka ponselnya karena dirinya sedikit sibuk. Tentu pesan itu berasal dari nomor Si dokter tampan, suami sahabatnya. Sedangkan Reanna sudah tampak lebih baik sekarang, dia sedang merangkai sebuket bunga mawar merah untuk membunuh waktu, sebab Tisha memang belum memberinya tugas apa pun untuk mulai bekerja.[Sekarang sampai di mana?]Tisha membalas pesan itu dengan sedikit tergesa lalu melirik Reanna sejenak. Dan nyatanya dirinya tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan balasan dari pria di seberang telepon sana.[Mungkin 5 menit lagi saya sampai. Posisi saya sudah dekat.]"Rea ... aku titip Florist padamu, ya? Sebentar saja." Tisha membuka suara, ia memang sedang berpikir untuk memberikan pasangan suami-istri itu r