"Gimana, susah ya..” Kak Hikaru muncul, akhirnya ia masuk dan membantuku membangunkan kak Aimi. Dalam beberapa panggilan dari kak Hikaru, kak Aimi terbangun dengan cepatnya. Ia buru-buru berjalan ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Sesuatu yang aku usahakan sampai hitungan menit dengan mudahnya dilakukan kak Hikaru. Jelas aku kalah telak ini namanya. Aku kembali sambil terheran sampai akhirnya kami kumpul bersama di meja makan. “Tadi si Yuuki bangunin kamu tahu, kesian lama banget dia manggil-manggil, kamunya gak bangun sama sekali.” Terang kak Usa. Kak Shin yang selalu saja adu mulut dengan kak Aimi menyalahkannya karena membuatku repot. “Maaf maaf Yuuki, aku emang susah bangun ehehehe..” “Gapapa kok kak,” jawabku tersenyum kembali heran tentang kak Hikaru yang dengan cepat membangunkan kak Aimi. Tapi tak seorang pun dari mereka yang membahas lebih lanjut, aku sendiri pun tak berani untuk bertanya. Aku rasa, itu tak sopan. “Loh, mau kemana? Bukannya libur??” Tanya ka
Hari-hari penuh kesibukan membuat pentas seni sedikit lebih dekat. Semua anak menuruti kesibukannya masing-masing. Walau begitu, kami tak melupakan pembelajaran sih.. “Yuuki..” Panggil kak Imada. Kakak cantik itu berjalan menghampiriku dengan anggunnya. Aku menunggu kedatangannya sambil menyuruh Hiromi untuk kembali ke kelas lebih dulu. “Ada apa kak?” “Formulir pentas seni yang masih kurang udah dibawa ke ruang OSIS?” “Oh iya aku lupa belum ngomong, udah kak. Tadi pagi aku berangkat langsung kubawa ke ruang OSIS setelah terkumpul.” “Gitu? Oh ya oke deh. Makasih ya.” “Sama-sama kak.” Dia buru-buru pergi dengan map tipis di tangannya. Mungkin menuju ruang OSIS. Di persiapan pentas kali ini, OSIS kekurangan orang. Dan karena aku ingin cari kegiatan tambahan, aku ikut mendaftarnya. Awalnya aku takut kalau sampai bermusuhan lebih lanjut dengan kak Imada. Tapi ternyata lagi-lagi keadaan berjalan tak seperti yang kubayangkan. Kak Imada malah seperti orang yang berbeda p
Kringg.. kring.. “Selamat datang..” Kusampaikan senyum hangat untuk penjaga kasir. Hari ini adalah hari dimana kelanjutan cerita dari novel favoritku mulai dijual di toko buku. Sangat kunantikan, aku langsung mencarinya di toko buku yang biasa kudatangi setelah kegiatan sekolah selesai. “Yatta! Aku belum kehabisan!!” “Yuuki??” Panggil seseorang yang suaranya sangat kukenali. Bagaimana tidak kukenal, suara itu yang selama ini selalu bersamaku... Ya, dia Kyohei. Pacar Minami itu berdiri di belakangku memegang tumpukan komik. Karena tak ingin menimbulkan masalah, aku buru-buru ke kasir untuk membayar. “Hei, tunggu aku..” Serunya. Tentu saja aku memilih untuk mengabaikannya. Aku beruntung kasir sedang sepi jadi aku bisa langsung membayar tanpa perlu mengantri. Dan karena komik yang Kyohei pegang lebih dari dua buah, ia tak sempat mengejarku. Syukurlah aku bisa lolos. “Pagi!” “Selamat pagi cantik... Berangkat pagi ya?” “Apaan juga dah, umm iya nih mau ke OSIS dulu
“Nyesel darimananya sih, emang aku ada ngomong nyesel?” “Kamu kira aku gak tahu??” Jari telunjuk Minami sudah berada di depan wajah Kyohei yang menunduk menatap dalam mata Minami. “Kamu akhir-akhir ini selalu merhatiin Yuuki loh!” Kyohei kaget mendengar ucapan itu. Ia melihat wajah Minami yang memerah. Terlihat jelas amarah sedang memburu dalam diri remaja itu. Dengan cepat, Kyohei memeluknya, seakan tak pedulikan dimana mereka sedang berada sekarang. “Gak gitu.. Maaf,” lirih Kyohei yang tak lama ia lepas pelukannya karena terdengar langkah kaki mendekat. “Rukun banget ya pasangan satu ini~” Ucap Shima meledek. Ia tak mendapat jawaban apapun karena Kyohei menarik Minami untuk pergi dari sana setelah melemparkan tatapan sinis untuk Shima. “Kamu itu loh Ma, suka banget ngeledek Kyohei ya...” Ujar Takumi menggelengkan kepalanya. Shima menyeringai tak memberi Takumi jawaban. … “Kami tunggu kalian di agensi kami.” Ucap laki-laki berjas rapi tersenyum dengan hangatnya.
“Hei hei Kyohei!” “Ah iya, gimana?” “Dipanggil juga dari tadi. Itu loh, Minami udah nungguin kamu di halaman belakang.” Kyohei pergi, ia lepaskan pandangannya akan Yuuki Shima. Dia berjalan terburu dengan mengerutkan keningnya. Sepertinya hal ini hasil dari melihat Yuuki yang tetap terlihat bahagia walaupun ditinggal olehnya. Mata yang seakan memburu mangsa, mulutnya bergumam, “Kutandai itu orang.” … Selepas semua pekerjaan tuntas, aku duduk bersantai. Kusenderkan kepalaku di sandaran kursi mengarah ke langit yang masih cerah. Kedua mataku kupejamkan saat angin berhembus. Bayangan-bayangan tak berguna mulai menjalar di pikiranku. Aku meratapi perasaan yang sedang merindukan Kyohei. Hal mana yang terlewat sampai pertemanan kami jadi seperti ini.. Apa hal seperti ini akan berlaku juga jika yang pacaran itu aku? Apa iya, semua yang sudah kita lalui bersama itu terasa sia-sia buat dia?? Berputar-putar otot kepalaku semakin menegang rasanya. Sampai,, “nggak panas,
“Eh! Kita foto dulu yuk sebelum naik panggung!” “Wah, ide bagus.” Ujar Shima bersemangat, hal ini juga disetujui oleh yang lain. CEKREK!!! --- “Yah, yang paling ditunggu-tunggu oleh pecinta band nih!! Kaze band! Kita beri sorakan meriah!!!” Semakin tak terkendali tanganku gemetar lebih hebat. Tak tak tak.. suara stik drum kak Kenta mulai memimpin. Aku dan gitar listrik milik kak Masao turut masuk bersama mengikuti ketukan drum yang cepat. “Itsumo itooshii fushigi na hitomi zurui yo ne~” Lagu dengan judul Koiiro milik Mosawo kami pilih sebagai opening. Dengan lihainya, suara Shima si anak populer itu meraih seluruh hati penonton. Bagaimana tidak, kami memilih lagu cinta sedalam ini apalagi Shima yang jadi vokalis. Teriakan penonton semakin kudengar samar, aku lebih fokus pada teman bandku yang terlihat lebih senang daripada saat latihan. Ini.. terlalu menyenangkan untukku. “Encore.. encore!!!!” Seru penonton dengan antusias setelah semua lagu sudah kami b
“Astaga..” “Sorry sorry, abisnya kamu aku panggil berkali-kali ga denger,” ucap Kyohei dengan tangannya yang masih bersandar di pundakku. Aku langsung melepas tangan itu, “kamu ngapain?” “Aku mau ajak kamu buat tidur di rumahku dulu. Kamu cuma sendirian kan di rumah ini?” Sambil melepas headset aku sedikit mundur dari tempatku berdiri. Bertanya-tanya darimana dia tahu hal ini, kutolak ajakannya. Aku jelas tahu, dirumah Kyohei ada orang tua dan kakak perempuannya tapi mengingat Minami mana mungkin aku terima dengan senang hati tawaran itu. Dia terus memaksa sampai aku kewalahan menolaknya, tapi untungnya kak Usa datang. Dengan cepat, tangannya menahan Kyohei yang ingin meraih lagi tanganku. Aku bernapas dengan lega akhrinya. “Kamu gapapa?” Tanya kak Usa setelah Kyohei pergi. “Gapapa, makasih ya kak..” “Mau kemana kamu malem-malem loh?” “Mau beli cemilan kak.” “Aduh ini anak satu,” ujarnya menggelengkan kepalanya. Ujung-ujungnya, aku pergi ditemani olehnya. P
Suara pintu terbuka menghadirkan Nara disana. “Aku pulang,” wanita itu melepas sepatunya sambil duduk, “Selamat datang kak.” Jawab Sana ramah—mama Nara dan Kyohei—. Ibu rumah tangga itu membantu anaknya meraih salah satu tas berisi barang belanjaan untuk dibawa ke dapur. Celemek pink hadiah dari anaknya dulu masih menempel lekat di tubuhnya. “Papa kemana ma?” Tanya Nara kemudian. “Ada apa nyariin papa, udah kangen ya sama papa?” Sahut Yamada muncul dari ruang baca—papa Nara dan Kyohei— Niat meledek, tawanya terhenti karena anak perempuannya menatap sinis tanpa sepatah katapun. Sambil bergerak tangan mereka ini, Nara bercerita tentang pertemuannya dengan Yuuki tadi. Mata Sana dan Yamada melirik Nara seketika. “Jadi maksud kamu, Kyohei sekarang punya pacar?” “Iya, ma..” “Jadi itu, alasan Yuu udah gak pernah main ke rumah kita… Lalu bagaimana menurut kamu, Ra?” Nara terdiam, “mereka saling menjaga jarak, ya?” Sambung Yamada yang sejak tadi terdiam. “Kalau d
“Yuu~” panggil Shima dengan sangat lantang. Dia berdiri, tangannya terpaku memegang tepian pintu. Kepala itu melongok ke dalam kelas, tepat lurus guna memandangku.Huft! Ini anak satu emang aneh!!Beberapa murid di kelasku, memang sudah mengerti kalau aku siswi yang sering bersama Shima. Namun, tetap saja mereka masih terheran saking lekatnya jarak di antara kami berdua. Padahal, dulu aku dan Kyohei tak sedekat ini di sekolah ini. Memang, semua tergantung orangnya bukan?“Hei, Yuuki. Bukannya itu, sahabat dekatmu? Samperin gih, keburu berisik!” tegas Hiromi sembarangan sambil cekikikan. Aku meliriknya sinis, kurang tepat candaan itu dilontarkan dengan nada bicara yang tak tanggung-tanggung.Karena sudah dibilang begitu dan memang aku tak ingin bising lebih lanjut, kuhampiri Shima daripada ia yang masuk melesat ke meja. Dia dan Souta kan seperti air dan minyak!“Apa, gimana, kenapa?” tanyaku sangat gemas. Lihat lihat, dia meringis kegirangan kini. Kalau saja dia ini anak kecil, sudah k
"Kamu ngomong sama aku?"Souta mengangguk dengan pasti sebagai jawaban atas pertanyaanku. Dia menarik kursi tempat ia duduk di kelas ini, dan menaruh tasnya pada gantungan di samping meja.Karena aku cukup bingung atas ucapannya tiba-tiba, kulirik Takumi sambil berharap ia memberiku kunci jawaban atas sikap Souta, dia kan datang bersama Souta, harusnya ngerti dong..Namun, salah ternyata aku berharap.Takumi hanya mengedikkan bahunya sambil meringis. Seakan ia tahu, tetapi pura-pura tak tahu.Kocak ini anak, pikirku saat itu.Aku jadi terus penasaran apa yang sebenarnya Souta maksud, tetapi dia tak mau menjawab dan akhirnya kulupakan begitu guru yang menjadi wali kelas kami masuk.Bu Yukino, beliau yang akan jadi wali kelas duaku di sekolah ini. Beliau adalah guru yang jarang sekali kulihat semenjak aku masuk sekolah. Pernah kami berpapasan, dan hanya sekedar tegur sapa saja. Bahkan kala itu, aku belum mengerti namanya. Sedikit tak sopan, tetapi terlalu banyak guru yang ada. Daya ing
“Sampahnya, udah semua kan? Gak ada yang ketinggalan?” tanya Kak Masao memastikan lagi. Puas sudah menikmati piknik bersama ini, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Tadinya.Ya, tadinya. Niat untuk pulang jadi tertunda saat Kak Kenta melihat ada kedai yang menjual teh sakura. Teh sakura ini, dibuat oleh kelopak bunga sakura yang diseduh dengan air panas. “Wah, enak ya. Manis!” kataku terlalu bersemangat. Sayangnya, yang merasakan minuman itu manis hanya aku dan Souta saja. Karena yang lain lumayan suka manis ternyata. Jadi, bagi mereka teh ini belum terasa manis.Tak lupa juga, kami membeli beberapa permen dan camilan bertema sakura untuk dibawa pulang. “Selamat datang,” ucap Kak Aimi menyambutku dengan senyuman hangat. Aku berikan oleh-oleh yang kubawa dari taman untuk semua orang di kos. Berbicara tentang kos, lagi-lagi keuanganku makin menipis. Aku harus mengumpulkan uang lagi untuk membayar kos. Sepertinya, aku butuh part time demi mengisi dompet unguku yang sudah tipis ini
“Selamat tinggal bukanlah sebuah kata yang menyedihkan Ia menghubungkan kita dengan mimpi kita masing-masing” Menggema, suara Shima disusul Kak Masao mengisi penuh aula ini. Semua siswa kelas tiga terharu mendengar lagu Ikimono Gakari yang berjudul Yell. Bahkan beberapa dari mereka meneteskan air matanya sampai mengalir ke lantai licin itu. Suasana semakin haru, aku semakin membayangkan bagaimana jadinya jika aku di posisi mereka. Perpisahan bisa menjadi hal yang menakutkan, bisa juga jadi hal indah. Semua tergantung bagaimana kita mengatur mindset kita, ya kan? Namun, bagaimana aku di masa nanti saat datangnya perpisahan itu? Apa aku mampu untuk berpikir positif? Atau …. Entahlah, biar diriku di tahun-tahun berikutnya yang menjalaninya. Aku percayakan saja, padanya. Usai acara perpisahan, semua siswa berfoto dengan teman dan keluarga mereka. Beberapa masih sibuk menyatakan perasaannya. Lihat, bahkan baru saja kami melewati salah satu kakak kelas yang sedang menyatakan perasaann
“Sini, duduk.” Aku ditawari mama, ingin dibuatkan teh atau kopi untuk kuminum. Tanpa sungkan, kukatakan saja apa yang kumau. Itu bukan permintaan yang sulit, kan? “Jadi, ada apa Mama memanggilku?” tanyaku terus terang. Aku pikir, Mama hanya merindukanku setelah dirinya dan Papa telah resmi bercerai.Aku kira, Mama akan kesepian dan merindukan anak satu-satunya ini dengan tulus dan penuh rasa haru. Tetapi aku salah. Tujuannya memanggilku kesini hanya untuk dijadikan tong sampah atas segala unek-uneknya akan Papa. Seakan melepas beban, Mama terus bercerita tentang bagaimana ia tersakiti oleh mantan suaminya. Padahal, aku sudah mengetahui cerita-cerita itu. Entah Mama yang lupa, atau segala ingatan menyakitkan itu yang terlalu membekas padanya. Aku hanya diam, duduk, mendengarkan semua keluhnya. Sampai-sampai, aku seperti kurang darah dibuatnya. Kepala ini mulai berputar, dan aku ingin pergi dari sini. Srakk! Suara dari seragamku berpadu dengan tempat yang sejak tadi aku duduki be
Michio muncul dari belakang, ia bertanya sedang apa aku duduk sendirian di sini. Katanya, dia baru saja pulang dari rumah temannya. Kami mengobrol banyak hal setelahnya.Michio bercerita tentang temannya yang sedang sakit karena cedera saat bermain bola voli. Dia benar-benar menggambarkan bagaimana perasaan sedihnya akan temannya itu, seolah-olah dia sendiri yang merasakan.Karena terus menangapi ceritanya, Michio dengan sengaja mengganti topik pada pembahasan mengenai band sekolah kami. Dia khawatir, bagaimana perasaan setiap anggota setelah dicurangi oleh keadaan. Aku tersenyum pahit mendengar pertanyaannya. “Bisa ditebak mungkin, gimana suasana band saat ini,” jawabku lirih.Michio menyemangatiku dan terus membuatku yakin bahwa semua ini akan berlalu, “Kalian pasti akan kembali bangkit dan bahagia seperti semula,” katanya. Dia tak memberi banyak motivasi atau solusi, tetapi setiap ucapan yang ia beri itu membuatku lebih tenang di pikiran. Michio benar-benar fokus pada apa yang seda
Malam ini, aku mempersiapkan diri untuk lomba besok pagi.Akhirnya, tiba juga saat band kami akan berhadapan dengan band dari sekolah-sekolah lain. Ada rasa bersemangat, ada juga rasa takut. Belum sempat bisa membayangkan bagaimana penampilan kami, hati ini sudah berdegup tak berirama.Membuatku sulit untuk tidur pasti nanti.Entah terlelap di pukul berapa, mata ini akhirnya terbuka karena suara alarm berbunyi dengan nyaring di telinga. Bangun dari tidur, aku duduk terdiam cukup lama sambil mengumpulkan seluruh nyawa.Rasa malas untuk keluar dari zona nyaman, bercampur dengan perasaan yang menggebu-gebu. Waktu juga terus berlalu, membuatku terpaksa untuk keluar dari kamar dan pergi mandi.Karena ini pertama kalinya bermain band di hadapan banyak orang dan dari luar sekolah, tentu saja aku berpakaian serapi mungkin. Tak lupa juga rambut yang kuhiasi dengan beberapa jepit rambut, sedikit aku mengepangnya.Memakai jaket dan syal yang melingkar di leher, kubuka pintu dengan semangat. “Ak
[“Ashita koso wa" tteKyou mo shimyureeshonKimi to no koi waAmai musuku no kaori ga shitanda~]Menahan malu, akhirnya kami sudah memulai latihan untuk lagu Suki Dakara di mana aku turut bernyanyi di dalamnya. Sungguh, mood yang sangat dipaksakan.“Bagus bukan? Kalau dinyanyikan bersama Yuuki??” tanya Kak Kenta dengan muka sombongnya seakan ia minta dipuji.“Iya, iya. Ide bagus Ken!” balas Kak Masao menanggapi sahabatnya dengan ekspresi datar. Walaupun dia tahu temannya tak begitu menanggapi, Kak Kenta tetap cengengesan dengan bangga. Dia keluar dari zona drumnya, lalu merangkul Kak Masao. “Kalau gitu, kita istirahat dulu lima belas menit. Setelah itu, kita latihan lagu yang kemarin dan pastinya kita mainkan Suki Dakara lagi, fufufu~”Biarpun mereka ini cukup menyebalkan dan tak jarang aku kewalahan mengikutinya, aku sangat senang dengan keseharianku ini. Meskipun Kyohei tak ada lagi di dalam hari-hariku, aku rasa, tak apa. Ya, aku tak apa.***“Mau ngapain?”“Ah, mau balik ke
Pagi yang ramai, adalah pagi di mana Shima berjalan bersamaku dari depan sampai masuk ke kelas. Tak ada henti-hentinya, dia terus berbicara dan terkadang memberiku pertanyaan yang membuatku kewalahan. Sepertinya sekarang aku sudah terbiasa dengan tatapan tak suka dari anak-anak lain yang jelas iri saat Shima mendekatiku.Entahlah, mungkin saja aku sudah mulai bodoamat terhadap mereka.“Pagi,” sapaku cepat pada beberapa temanku saat mata kami bertatapan.Baru juga masuk kelas, sudah ada catatan tugas saja di papan tulis. Karena guru sedang mengadakan rapat hari ini, semua murid diberi tugas untuk beberapa jam kedepan. Untung saja bukan tugas kelompok, karena sejujurnya aku malas untuk kegiatan seperti itu.Mengeluarkan headset berkabel saat jam istirahat tiba, aku berniat mendengarkan musik yang akan Kaze band bawakan untuk lomba. Sepertinya moodku hari ini sedang aneh, atau ini karena perceraian papa dan mama ya?Kunaikkan volume musik mendekati full volume, kulihat beberapa anak y