Home / Lainnya / Dear Joy / 52. Rencana Selanjutnya

Share

52. Rencana Selanjutnya

Author: Xerin
last update Last Updated: 2022-02-15 11:54:34

Tidak banyak kata yang akhirnya keluar. Kami bertiga sama-sama menyadari bila makan siang ini harus dihabiskan dengan tenang. Ah, aku sangat merindukan kebersamaan ini. Lalu, pikiranku kembali pada situasi KKN kami. Kebersamaan itu mungkin tidak akan lagi aku rasakan. Teman-teman satu posko yang sudah seperti saudara sendiri. Mungkin bisa kalau kami berjanji untuk bertemu di suatu tempat. Lupakan saja, semuanya sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Pada akhirnya, rencana sematang apapun hanya akan jadi wacana.

Muti sekali lagi ternyata memperhatikanku sejak tadi. Ya, bagai seorang ibu yang terus memperhatikan tindak-tanduk anaknya. Ia lalu segera mengomentari tentang apa yang sedang menjadi bahan pikiranku tadi.

“Kamu itu, sementara makan bisa-bisanya ,menghayal. Astaga, Mel … sungguh, aku jadi takut ka

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Dear Joy   53. Kabar Tentang Bayi Joy

    Dan benar saja. Setelah kami bertiga selesai makan dan beres-beres, Muti bahkan sudah siap dengan ponselnya. Sepertinya ia sudah mulai membuka sebuah aplikasi untuk mengantar kami ke Mall. Luar biasa sekali seorang Muti yang sangat bersemangat tentang semua ini. Aku hampir tidak mempercayai ini. Namun, ya … seperti itulah kenyataannya.“Serius Muti … kamu sudah memesan taxi online? Waow! Luar biasa sekali!” Itu bukan sebuah kekaguman tentu saja. “Aku bahkan belum mengganti pakaian dan bersiap-siap ….”“Ssstt! Tenang saja, masih ada lima belas menit sebelum ia sampai di sini,” ucap Muti dengan sangat santai sambil menunjukkan layar ponselnya.

    Last Updated : 2022-02-15
  • Dear Joy   54. Menjadi Dewasa?

    “Ah … memang seperti itulah seharusnya. Mereka para orang dewasa jelas lebih tahu tentang apa yang harus dilakukan dan tidak. Memangnya aku ini apa?” ucapku tanpa sadar. Itu adalah kalimat yang aku keluarkan setelah menanggapi kalimat Muti.“Hei, sekarang kenapa lagi? Apa ada sesuatu yang terjadi pada orang tuamu?” tanya Muti sangat penasaran dengan ucapanku tadi.“Hm … ya begitulah. Pada intinya adalah … untuk anak-anak yang belum menghasilkan uang seperti kita ini alangkah lebih baik jika menurut saja.”Terang saja, apa yang aku katakan itu tidak memberikan sebuah alasan yang cukup untuk membuat mereka mengerti—atau mungkin sebenarnya mengerti. Seperti itulah pandangan orang-orang pada anak-anak mere

    Last Updated : 2022-02-17
  • Dear Joy   55. Nagita si Penghuni Baru

    “Kalian berdua lagi ngapain, sih? Kayak orang TBC saja!”Cintia muncul tiba-tiba setelah puas membaca sebuah buku. Aku dan Muti hanya bisa tertawa melihatnya. Itu sangatlah lucu melihat wajah Cintia yang masih menyimpan rasa ingin tahu. Jelas saja dan aku sangat mengerti tentang itu. Namun, rasanya seperti diinterogasi untuk apa yang mau aku lakukan. Memangnya salah bila aku tertarik dengan sebuah buku?Kami benar-benar menikmati saat-saat kebersamaan ini. Mungkin saat tua dan sudah hidup masing-masing, sangatlah sulit untuk berkumpul. Anggap saja, kami membuat kenangan sebanyak-banyaknya.“Hahaha! Itu lucu sekali!”“Hei! Jangan menambah

    Last Updated : 2022-02-18
  • Dear Joy   56. Situasi Macam Apa Ini?

    Tidak bisa! Semua ini tidak bisa aku diamkan begitu saja! Muti dan Cintia sudah harus mengetahui kisah ini dengan segera! Semua itu ada dalam pikiranku. Tentang si penghuni baru yang sedikit ambisius dengan perkuliahannya dan juga bagaimana ada seseorang yang akhirnya menempati ‘kamar keramat’ di ujung sana.Aku tak mau menunggu lama, segera kuambil ponselku dan mulai mencari nomor kontak Muti dan Cintia. Panggilan grup adalah rencanaku. Mungkin, ini akan menjadi sebuah percakapan yang akan sangat panjang. Who knows!Satu panggilan ….Dua panggilan ….Tiga panggilan ….

    Last Updated : 2022-02-18
  • Dear Joy   57. Semua Terasa Aneh

    Tidak lama kemudian, aku juga menaiki angkot lainnya. Hm … bisa dibilang, ini adalah sebuah terminal, tapi bukan juga untuk bus. Mungkin memang sengaja dibuat untuk pemberhentian para pejalan kaki sembari menunggu angkot yang datang. Apapun itu, intinya tempat ini cukup aman karena banyak ibu-ibu yang sama menunggu. “Neng mau ke mana? Ini sudah cukup malam,” tanya seorang ibu-ibu yang duduk di sampingku. Mungkin benar bila aku bisa saja mengabaikan pertanyaannya. Lagipula, aku juga tak mengenalnya. Namun, apa bisa aku melakukan itu? Aku rasa, tidak. Di dunia ini ada beberapa norma yang berlaku. Coba saja kalau tidak membalasnya, kira-kira apa yang ada di dalam pikirannya atau bahkan penumpang yang lain? &nb

    Last Updated : 2022-03-01
  • Dear Joy   58. Tentang A40

    Semua mulai terasa semakin aneh. A40 dengan segala tingkahnya sedikit mengintimidasi. Lalu, bagaimana dengan keadaan teman-teman kos lainnya? Di mana mereka berada sekarang? Bagaimana kondisi mereka? Tidak ada yang bisa menjelaskan keadaan ini padaku ataukah memang benar seperti yang dikatakan oleh A40?“Orang-orang di tempat ini sudah tidak ada. Sejak awal aku sudah mengatakan padamu, kan … kalau aku akan melindungimu.”“Omong kosong macam apa lagi ini? Apa kamu sekarang sedang main-main denganku? Aku enggak suka, ya!” Aku mulai membentak. Sejujurnya, aku sangat takut dengan keadaan ini. Namun, bila terlihat ketakutan, rasanya hanya akan semakin membuatku menjadi tidak konsentrasi.“Huahaha! Amel … Amel ….”

    Last Updated : 2022-03-02
  • Dear Joy   59. Memikirkan Masa Depan

    Satu malam akhirnya berganti. Hari ini aku beserta dua sahabatku sudah berjanji untuk ke kampus. Ya … tidak ada urusan lain selain skripsi yang sudah harus diselesaikan. Setelah KKN, aku ingat kami masih kuliah dengan sangat normal. Jadi, kalau boleh dikatakan, masa KKN itu adalah hari libur semester kami yang ‘terpaksa’ dikorbankan. Hm, sedikit tidak adil memang rasanya. Ah, apa yang aku pikirkan tentang KKN? Itu kan sudah lewat. Baru saja aku selesai bersiap-siap, benar saja, Muti bahkan sudah ada di lantai satu. Gadis itu memang terlalu bersemangat! Aku harus salut padanya tentang skripsi ini. Sembilan bulan telah berlalu setelah aku menyelesaikan seminar proposal. Ujian hasil dan sidang akhir sudah menunggu. Mungkin benar bila aku terlalu bersantai. Kali ini, aku harus mengikuti jejak Muti. Ia selangkah lagi sudah melepas gelar sebagai mahasiswa, sedangkan aku … masih ada dua tahap lagi.

    Last Updated : 2022-03-04
  • Dear Joy   60. Percakapan Serius?

    Pembicaraan ini jelas menjadi jauh lebih serius. Aku tahu, sudah banyak sekali biaya yang dikeluarkan oleh kedua orang tuaku selama membesarkanku. Mungkin, bagi mereka, bila aku hanya menjadi seorang ibu rumah tangga, aku tak bisa menghasilkan uang.Di jaman seperti ini, semua kebutuhan semakin mahal. Tidak ada yang bisa menjamin bila kehidupan rumah tanggaku akan baik-baik saja bila hanya menjadi ibu rumah tanggah. Haha! Apa-apaan ini? Mengapa juga pikiranku sudah sampai sejauh ini? Pacar saja tak punya, mengapa sangat percaya diri sekali mengatakan tentang sebuah pernikahan?“Mama itu kadang berlebihan, deh! Kalau aku menikah dengan orang kaya raya tujuh turunan, bagaimana? Buat apa kerja? Yekaaaan … kan suamiku kaya. Aku tak perlu susah payah mencari uang,” kataku dengan penuh percaya di

    Last Updated : 2022-03-05

Latest chapter

  • Dear Joy   Epilog

    Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi

  • Dear Joy   86. Akhir yang Bahagia?

    “Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah

  • Dear Joy   85. Sepucuk Surat dari Bima

    “Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.

  • Dear Joy   84. Bima adalah Adam

    Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.

  • Dear Joy   83. Tiada

    Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang

  • Dear Joy   82. Tentang Adam

    Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”

  • Dear Joy   81. Amarah yang Mereda

    “To-tolong ... siapapun di luar sana, tolong aku ....” Suara jerit Seseorang seakan memanggilku. Aku mengenalnya. Itu adalah A40. Kenapa aku bahkan mendengar suaranya sekarang? Apa aku sedang berhalusinasi sekarang? Tidak mungkin!Satu ….Dua ….Tiga.Aku terbangun. Badanku penuh dengan keringat. Itu adalah sebuah mimpi yang terlalu menakutkan untuk diingat. Bagaimana seseorang dibunuh dengan sadis di depan mataku tidak bisa aku lupakan begitu saja. wajah A40 lalu menyadarkanku pada sesuatu. Ia kini terlihat sangat familiar. Aku sangat mengenal wajah itu sekarang. Itu ada di dalam buku harian milik Joy.

  • Dear Joy   80. Kebohongan

    Ini bukan hal yang mudah untuk membicarakan langsung tentang hak asuh Lara. Apa yang akan dipikirkan oleh Bibi Susana? Marahkah ia setelah mendengarkan kalimatku nanti atau malah menyetujuinya dengan syarat ini dan itu? Tidak ada yang tahu tentang itu dengan pasti. Yang jelas, aku berharap baik dari semua ini.“Kalau Lara ingin diadopsi oleh keluarga kami, apa Bibi tidak masalah?” Aku memberanikan diri untuk mengatakannya.Beberapa detik Bibi Susana terdiam. Wajahnya juga sempat terkejut saat mendengarnya. Lalu, ia tersenyum dan menjawab, “Kalau soal hak asuh, sebenarnya Bibi sama sekali tidak memiliki hak yang kuat di sini. Orang tua Joy-lah yang paling berkuasa dan tepat untuk memutuskannya.”

  • Dear Joy   79. Gelisah?

    Lara yang mulai rewel akhirnya pula yang membuat aku dan ibu memutuskan untuk meninggalkan café Diandara. Dalam perjalanan kami tidak saling bicara. Ibuku fokus menyetir sedangkan aku memastikan Lara aman dalam pangkuanku di dalam mobil.“Memangnya ada ya, orang tua yang tidak mengakui anaknya sendiri?” tanyaku tiba-tiba. “Si Bima itu memanglah brengsek. Bisa-bisanya ia malah menuduhku seorang penipu! Memangnya apa yang mau aku ambil darinya? Uang? Bukannya dia saja tidak punya uang? Ckckck!”“Kamu itu mengomel mulu ya kalau sudah tentang Bima,” balas ibu yang mulai kesal mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku.“Ckckck! Soalnya Mama belum tahu semua yang dilakukan oleh Bima pada Joy. Kalau aku ceritakan s

DMCA.com Protection Status