Beranda / Lainnya / Dear Joy / 59. Memikirkan Masa Depan

Share

59. Memikirkan Masa Depan

Penulis: Xerin
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-04 10:03:47

Satu malam akhirnya berganti. Hari ini aku beserta dua sahabatku sudah berjanji untuk ke kampus. Ya … tidak ada urusan lain selain skripsi yang sudah harus diselesaikan. Setelah KKN, aku ingat kami masih kuliah dengan sangat normal. Jadi, kalau boleh dikatakan, masa KKN itu adalah hari libur semester kami yang ‘terpaksa’ dikorbankan. Hm, sedikit tidak adil memang rasanya. Ah, apa yang aku pikirkan tentang KKN? Itu kan sudah lewat.

Baru saja aku selesai bersiap-siap, benar saja, Muti bahkan sudah ada di lantai satu. Gadis itu memang terlalu bersemangat! Aku harus salut padanya tentang skripsi ini. Sembilan bulan telah berlalu setelah aku menyelesaikan seminar proposal. Ujian hasil dan sidang akhir sudah menunggu. Mungkin benar bila aku terlalu bersantai. Kali ini, aku harus mengikuti jejak Muti. Ia selangkah lagi sudah melepas gelar sebagai mahasiswa, sedangkan aku … masih ada dua tahap lagi.

<
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Dear Joy   60. Percakapan Serius?

    Pembicaraan ini jelas menjadi jauh lebih serius. Aku tahu, sudah banyak sekali biaya yang dikeluarkan oleh kedua orang tuaku selama membesarkanku. Mungkin, bagi mereka, bila aku hanya menjadi seorang ibu rumah tangga, aku tak bisa menghasilkan uang.Di jaman seperti ini, semua kebutuhan semakin mahal. Tidak ada yang bisa menjamin bila kehidupan rumah tanggaku akan baik-baik saja bila hanya menjadi ibu rumah tanggah. Haha! Apa-apaan ini? Mengapa juga pikiranku sudah sampai sejauh ini? Pacar saja tak punya, mengapa sangat percaya diri sekali mengatakan tentang sebuah pernikahan?“Mama itu kadang berlebihan, deh! Kalau aku menikah dengan orang kaya raya tujuh turunan, bagaimana? Buat apa kerja? Yekaaaan … kan suamiku kaya. Aku tak perlu susah payah mencari uang,” kataku dengan penuh percaya di

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-05
  • Dear Joy   61. Nagita Sakit

    Saat kami sedang bercengkrama, ayah akhirnya datang. Dengan satu kantong plastik besar di tangannya, aku sudah tahu salah satu benda yang dibelinya. Itu adalah popok seperti yang dikatakan oleh ibu. Lalu, kira-kira apa yang sisanya?“Akhirnya Papa datang. Apa Papa juga membeli makanan?” tanyaku. Mataku tak bisa lepas dari kantong itu.“Anak ini … sama sekali tidak berubah. Ah, sayangnya Papa hanya membeli barang yang dibutuhkan oleh si bayi. Kalau kamu mau jadi bayi kembali sih … tidak apa-apa.”“Hahaha! Aku memang masih bayi, bayi umur dua puluh … eh dua puluh satu tahun ini ….”“Mana ada bayi umur dua puluh satu!”

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-06
  • Dear Joy   62. Utang Budi

    Bisa kulihat bagaimana Nagita sedang lemah. Ini sedikit membuatku tersentuh. Kasihan sekali, dia pasti sangat merasa kesepian di saat sedang sakit seperti ini. Tidak ada yang lebih menyedihkan dari anak kos yang sedang sakit. Ah, tidak juga sebenarnya kalau tentang Nagita. Ia masih memiliki uang yang banyak. Sangat berbeda kenyataannya bila ia tidak memiliki uang juga. Lebih kombo penderitaannya kalau sakit dan tak punya uang. Aku benar, kan?“Nagita … kenapa?”“Apa kamu sudah memesankan makanan? Tolonglah, aku sudah sangat lapar.”Saat kalimat itu keluar dari mulutnya, aku langsung terkejut. Benar, aku melupakan tentang satu hal itu. Aku merasa tidak enak pada Nagita sekarang. Hm

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-07
  • Dear Joy   63. Buku Harian Joy

    Gadis di depanku ini memang sedikit aneh. Mungkin kebaikan yang aku berikan langsung diperhitungkannya dan harus dibalas. Padahal, aku saja sama sekali tidak mengharapkan balasan. Ah, bagaimana caranya agar ia merasa tenang? Apa memang aku harus pura-pura sakit sehingga ia bisa merawatku? Kan tidak mungkin!“Nagita, kamu tak perlu sampai memikirkan hal yang tidak perlu seperti itu, ya. Sungguh, aku sama sekali tidak masalah sudah membantumu selama sakit.” Lagi dan lagi aku berusaha mengatakan yang sebenarnya.“Nanti aku traktir makan saja bagaimana? Azalea? Atau … mau makanan junk food seperti biasa?” tawarnya.“Ya, ya, ya … baiklah &h

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08
  • Dear Joy   64. Mimpi Aneh Lainnya

    Malu dan juga takut. Dua hal itu yang menjadi bagian dari perasaanku saat ini. Sudah sangat terlanjur kalau seperti ini. Tidak ada yang bisa aku lakukan sekarang. Lalu, pilihanya hanya ada dua; membayar atau pergi dari tempat ini. Dari pandanganku juga, wajah dua penjaga di sana sudah berubah. Keramahan tidak ada lagi terlihat di wajah mereka.“Kalau tidak ada uang ya bisa langsung pergi saja.”Bahkan saat mengatakan itu, si penjaga sudah tak mau melihat wajahku lagi. Ah, aku sudah seperti gembel kalau begini. Mengapa aku harus mengalami semua ini? Padahal, awalnya aku hanya ingin menolong seseorang. Dan Joy … di mana ia sekarang? Apa ia benar-benar tidak mau melakukan sesuatu untuk mengambil buku harian yang dimilikinya?

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-09
  • Dear Joy   65. Saatnya Berpisah

    Panggilan itu sudah aku akhiri. Mengapa harus berlama-lama kalau bisa segera pergi mandi dan bersiap-siap? Bukankah Muti-lah yang sedari tadi sangat bersemangat agar kami bertemu secara langsung?Kakiku sudah membawaku ke kamar mandi. Sesuai dengan yang aku katakan tadi, aku akan mandi dengan durasi yang lebih lama dari biasanya. Tidak ada alasan khusus tentang itu, hanya saja, aku hanya ingin membuat kulitku jauh lebih halus dan cerah untuk hari ini.Aku cukup lama bersiap-siap sampai benar-benar sangat rapi. Ini adalah hari yang cukup penting. Setelah hari kemarin. Oke, aku sudah tertinggal satu hari untuk bersemangat dengan skripsi ini. Setelah urusan dengan Nagita selesai, aku bisa dengan sangat santai ke kampus.Baru saja satu langkah dari kamar, aku melihat Nagita berjalan ke arahku. Ah, mungkin ha

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-11
  • Dear Joy   66. Selamat Untukmu, Muti!

    Percakapan kami tentang ‘Jodoh masa depan Amel’ masih terus berlanjut. Aku sih bisa memahami mengapa kedua orang tuaku terkesan jauh lebih pemilih sekarang. Sudah ada sebuah contoh yang sangat nyata tentang kegagalan seorang gadis mengatur perasaannya. Itu adalah Joy. Ah, rasanya terus mengungkit kesalahan Joy membuatku sedikit tidak enak.“Sudah sampai,” kataku. Padahal jelas-jelas belum benar-benar tiba.“Apanya ….”Dan setelah sepuluh menit, kami akhirnya sampai di bandara. Aku masih menggendong bayi mungil itu, sementara ayah, ibu dan Bibi Susana sibuk dengan koper-koper mereka. Ini akan menjadi perjalanan pertama bagi orang tuaku bersama seorang bayi kecil.

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-13
  • Dear Joy   67. Buku Harian Milik Joy (1)

    “Apa ada pilihan lain? Haha!”Kami jelas akan menghabiskan waktu dengan sangat baik. Muti, Cintia dan aku. Semoga hari-hari yang baik seperti ini akan selalu datang dan menghampiri kami. Tidak banyak yang aku minta dalam hidup. Memiliki teman-teman yang baik di sekitarku saja sudah sangat cukup.“Eh, habis ini kamu mau ke mana?” Muti memulai lagi dengan pertanyaan yang baru. Dia memang bertanya, tapi matanya lurus menatap ke depan.“Mau menyusulmu. Aku akan mengerahkan semua kemampuanku. Lagipula, setelah melihat ambisi Nagita, aku semakin tidak mau kalah. Bisa-bisa, malah dia yang wisuda lebih dulu, hahaha! Kamu kapan mau daftar wisudanya, hm?”

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-14

Bab terbaru

  • Dear Joy   Epilog

    Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi

  • Dear Joy   86. Akhir yang Bahagia?

    “Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah

  • Dear Joy   85. Sepucuk Surat dari Bima

    “Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.

  • Dear Joy   84. Bima adalah Adam

    Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.

  • Dear Joy   83. Tiada

    Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang

  • Dear Joy   82. Tentang Adam

    Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”

  • Dear Joy   81. Amarah yang Mereda

    “To-tolong ... siapapun di luar sana, tolong aku ....” Suara jerit Seseorang seakan memanggilku. Aku mengenalnya. Itu adalah A40. Kenapa aku bahkan mendengar suaranya sekarang? Apa aku sedang berhalusinasi sekarang? Tidak mungkin!Satu ….Dua ….Tiga.Aku terbangun. Badanku penuh dengan keringat. Itu adalah sebuah mimpi yang terlalu menakutkan untuk diingat. Bagaimana seseorang dibunuh dengan sadis di depan mataku tidak bisa aku lupakan begitu saja. wajah A40 lalu menyadarkanku pada sesuatu. Ia kini terlihat sangat familiar. Aku sangat mengenal wajah itu sekarang. Itu ada di dalam buku harian milik Joy.

  • Dear Joy   80. Kebohongan

    Ini bukan hal yang mudah untuk membicarakan langsung tentang hak asuh Lara. Apa yang akan dipikirkan oleh Bibi Susana? Marahkah ia setelah mendengarkan kalimatku nanti atau malah menyetujuinya dengan syarat ini dan itu? Tidak ada yang tahu tentang itu dengan pasti. Yang jelas, aku berharap baik dari semua ini.“Kalau Lara ingin diadopsi oleh keluarga kami, apa Bibi tidak masalah?” Aku memberanikan diri untuk mengatakannya.Beberapa detik Bibi Susana terdiam. Wajahnya juga sempat terkejut saat mendengarnya. Lalu, ia tersenyum dan menjawab, “Kalau soal hak asuh, sebenarnya Bibi sama sekali tidak memiliki hak yang kuat di sini. Orang tua Joy-lah yang paling berkuasa dan tepat untuk memutuskannya.”

  • Dear Joy   79. Gelisah?

    Lara yang mulai rewel akhirnya pula yang membuat aku dan ibu memutuskan untuk meninggalkan café Diandara. Dalam perjalanan kami tidak saling bicara. Ibuku fokus menyetir sedangkan aku memastikan Lara aman dalam pangkuanku di dalam mobil.“Memangnya ada ya, orang tua yang tidak mengakui anaknya sendiri?” tanyaku tiba-tiba. “Si Bima itu memanglah brengsek. Bisa-bisanya ia malah menuduhku seorang penipu! Memangnya apa yang mau aku ambil darinya? Uang? Bukannya dia saja tidak punya uang? Ckckck!”“Kamu itu mengomel mulu ya kalau sudah tentang Bima,” balas ibu yang mulai kesal mendengar kata demi kata yang keluar dari mulutku.“Ckckck! Soalnya Mama belum tahu semua yang dilakukan oleh Bima pada Joy. Kalau aku ceritakan s

DMCA.com Protection Status