Aku mendengar suara tembakan yang berasal dari luar, dan dengan tenaga yang tersisa, aku pun bersembunyi di antara kumpulan jaket sedangkan kedua tangan penuh memegang sepatu boots berbahan cukup keras untuk membuat kepala seseorang berdarah-darah.
Dalam keadaan panik, aku mendengar seseorang memanggil.
Ya Tuhan, apakah si pembunuh tahu namaku?
Masih diselimuti ketakutan, aku mencoba mengecilkan diri dengan meringkuk di sudut lemari, sedang kedua tangan yang tadi memegang sepatu menahan mulutku yang entah mengapa terisak menahan tangis.
“Mommy,” bisikku dengan bulir air mata yang jatuh mendarat di pipi.
Kepalaku bersandar pada dinding, dan adrenalin yang tadi menguasai, perlahan melebur dan mengakibatkan tubuhku menjadi lemas tiba-tiba hingga aku kesulitan mengangkat kepala dengan tubuh gemetar, sedang mataku menjadi berat.
Kemana para polisi, mengapa mereka tidak kunjung tiba?
Keheningan yang tadi kurasakan, berubah menja
Mataku terasa berat saat kami keluar dari mobil. Bahkan Gavin sampai harus memapah setengah jalan dan berakhir dengan menggendongku hingga ke kamar. Kepalaku menyandar dada bidangnya sekaligus mencari kehangatan dikarenakan udara malam yang berhembus dingin.Aku sudah tidak peduli akan tidur dimana, bagiku bisa berada satu atap dengan Gavin saja sudah cukup.Aahhh … lama-lama aku membeli parfum yang dia pakai dan menyebarkan di seluruh ruangan agar terus bisa merasakan kehadirannya di sisiku saat kami berjauhan.“Apa kita akan tidur di kamar yang sama?” tanyaku sembari memainkan dasinya yang sudah tidak berbentuk.Kudengar dia mendengus dan mengabaikan pertanyaanku, karena kurang dari lima menit kemudian pertanyaan tersebut terjawab.Tidak, kami tidak tidur dalam satu kamar yang sama.Ugh! Aku masih belum puas bersamanya!“Krista, lepaskan lilitan di leherku, sesak,” ucapnya dengan wajah memerah, yang ku
Setelah menangis hingga mataku berubah menjadi bengkak, Gavin pun membawaku ke dapur dan kami makan es krim bersama. Eerrrr … lebih tepatnya hanya aku yang makan es krim, karena sejak tadi dia tidak menyentuh mangkuknya sedikit pun.Gavin hanya duduk diam di seberang meja sedangkan aku menikmati es krim rasa vanilla yang dia ambilkan dari kulkas. Dia bilang es krim itu dibeli oleh asisten rumah tangga yang selalu datangs etiap tiga kali seminggu. Katanya, dia perlu meluruskan agar aku tidak berpikir bahwa Gavin suka es krim.Padahal aku tidak peduli bila dia suka atau tidak, karena aku akan menghabiskan semua setiap kali berkunjung ke sini di masa depan nanti.Mmm … aku tidak tahu kalau es krim merek eskimo rasanya bisa seenak ini.Apa karena berasal dari kulkas Gavin jadi rasanya berbeda?Tanpa sadar aku juga menjilati lelehan es yang mengalir di jari, dan saat itulah aku mendengar suara menggeram yang asalnya dari pria di hadapan.
Aku terbangun ketika jam sudah menunjukan pukul Sepuluh pagi. Untuk sesaat aku terdiam dalam posisi duduk dan mendengarkan pergerakan seseorang dalam apartemen.Siapa lagi jika bukan Gavin.Dan setelah tidak terdengar suara sedikit pun, aku segera bangkit dari kasur.Dengan penampilan sehabis bangun tidur yang membuat rambutku acak-acakan ke segala arah serta tubuh hanya dibalut kemeja putih Gavin yang kujadikan piyama, aku pun turun ke lantai bawah. Tanpa peduli dengan kaki jenjang yang tidak dibalut celana, serta kemeja yang hanya sebatas paha, aku melenggang begitu saja ketika menuruni tangga.Untung saja suasana di apartemen terasa hangat, sehingga kaki telanjangku tidak kedinginan.Baru saja aku sampai di lantai bawah ketika indraku mencium aroma biji kopi panggang. Aroma wangi tersebut membawa langkahku hingga ke dapur, dan saat itulah aku menemukan Gavin sedang memunggungi, tampak sibuk dengan mesin di hadapan.Kepalanya menoleh sedik
Aku tidak menghiraukan tatapan tajam yang dilempar oleh si Jalang Nayla. Gesturku yang santai ketika menghadapinya membuat si Jalang semakin panas.Sengaja aku mengotak-atik rambut yang tergerai dan bersikap seolah-olah baru saja menghabiskan malam yang panas, walau pun aku tidak mengerti seperti apa malam panas itu. Nanti aku akan bertanya pada Om Jaxon, karena dia tampaknya jauh lebih paham urusan percintaan di atas ranjang.“Halo, selamat pagi,” sapaku dengan suara semanis madu. “Ada yang bisa kubantu?” tanyaku pura-pura lupa dengan wajahnya.Dia mendelik semakin tajam, sedang kedua lubang hidung tampak kembang kempis.Huh, apa dia pikir aku tidak bisa membalas? Lihat, siapa yang sekarang tidur di ranjang ... kamar tamu Gavin.Yeah, meski tidak di ranjang yang sama, setidaknya kami berada satu atap semalaman.Karena Jalang di depanku hanya diam dengan mata melotot merah, aku pun mencoba mencairkan suasana. Kasihan
Sebelum Gavin benar-benar keluar dari kamar, aku menarik celan boxernya, membuat langkah Gavin terhenti dan menoleh padaku dengan delikan tajam.Ya ampun, apa dia pikir aku akan menelanjanginya di sini? Aku juga tidak seagresif itu!Bila mau, bisa saja aku melakukannya saat berada di dalam kamarnya pagi tadi.“Ada apa lagi Krista?” tanya Gavin setelah menarik napas panjang dan menyisir rambut acak-acakan.Aku jadi ingin membantunya melakukan itu.“Krista?” panggil Gavin beberapa kali, karena aku terpaku dan menatap dengan pandangan ‘ingin’ ke arah rambut pirangnya yang mencuat ke segala arah.Setelah menata ekspresi, aku pun mengatakan apa yang tadi hendak kuminta.“Seharian aku tidak menghubungi Ayah, apa aku boleh memakai ponselmu? Karena punyaku ketinggalan dalam lemari,” jelasku sembari mengingat lagi benda pipih yang tidak sengaja terlepas di tangan ketika berlari ke dalam pelukan G
Ponsel Gavin berdering tanpa henti, membuatku kewalahan ketika melihat ada banyak notifikasi dari sebuah grup chat yang masuk. Alisku bertaut bingung saat membaca sebuah pesan dengan nama-nama aneh muncul di layar. Bahkan, nama grup itu mesum sekali; DickOnlyForVaginaLovers. Ya ampuuuuun, Gavin, kau sangat mesum! ‘Mr. CockTease: Hey, sejak kapan kau tidur sama anak-anak? Bukankah kau sendiri yang bilang gadis itu masih bau kencur?’ Darahku mendidih ketika membaca pertanyaan itu, karena secara tidak langsung dia mengataiku anak kecil. Tanpa sadar aku melirik ke bawah, pada bongkahan dada yang telah tumbuh sempurna. Apa ini saja tidak bisa jadi bukti bahwa aku salah satu dari golongan wanita dewasa? Apa perlu aku menambah ukurannya lebih besar lagi? Sekarang saja sudah menyaingi melon, apa dia mau aku mengupgrade ke semangka? Tapi bisa-bisa Ayah akan marah bila aku meminta yang aneh-aneh. Natural saja sudah cukup tanpa me
Begitu pagi tiba, aku bergegas keluar kamar dan berjalan sembari berjinjit dengan menajamkan telinga. Setelah memastikan tidak ada tanda-tanda bahwa Gavin bangun pagi itu, aku pun mempercepat jinjitan kaki hingga ke pintu depan.Rasanya lega sekali begitu sampai ke dalam lift yang membawaku turun ke lantai bawah.Sesampainya di lobby, aku pun mendekati salah satu petugas keamanan dan menatap pria itu dengan mata polosku yang menggemaskan.“Paman, apakah aku boleh meminjam ponselmu untuk menelepon seseorang?” tanyaku pada pria yang berjaga di balik meja.Dia menatapku cukup lama, mungkin mencari tahu siapa aku dalam kepala.Semoga saja dia tidak ingat kalau aku datang bersama Gavin, bisa-bisa dia menghubungi si hati freezer dan melaporkan aku berada di lobby.“Apa terjadi sesuatu?” tanya pria itu sembari memperhatikan baju kaus dan celana boxer yang melekat di tubuhku.Aku menggeleng pelan dan mengulas senyum ma
Lama aku terdiam di depan pintu apartemen yang Audrey tempati, namun pencahayaan yang menakutkan di lorong membuatku memberanikan diri untuk membunyikan bell.Sembari melirik sekitar, aku pun berdoa dalam hati Bibi Flo dan Tante Jewel memberiku izin masuk ke dalam.Pada percoban pertama, tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka, maka aku membunyikan bell untuk ke dua serta ke tiga, dan pada kali keempat barulah pintu di depanku terbuka … sedikit, karena hanya selebar penggaris dan Bibi Flo mengintip dari dalam.“Ada apa kau ke sini?” tanya Bibi dengan suara serak khas perokok berat.“Apakah Audrey ada, Bibi?” tanyaku sembari tersenyum lebar, walau dalam hati harap-harap cemas.Bibi Flo memperhatikanku dari kepala hingga kaki dan dia menggeleng dengan raut tidak suka.“Lihatlah anak orang kaya ini, dia pasti baru pulang dari rumah seorang laki-laki,” kata Bibi Flo pada diri sendiri yang seketika melun
“Kemana kau akan membawaku?” tanya gadis itu ketika Gavin mengemudikan mobil menuju ke jalanan yang jauh dari kota, seolah-olah mereka menuju sebuah tempat terpencil.Dengan tatapan ingin tahu, Krista tidak bisa melepas pandangan pada pria yang menyetir di sebelah.Cukup lama Gavin akhirnya menjawab.“Kau akan tahu bila kita tiba,” ucap pria itu dengan senyuman simpul.Bahkan, Krista melihat sesuatu yang sangat tidak biasa dari cara Gavin menatapnya, seolah pria itu melihat bongkahan berlian dengan ekspresi antusias, yang seketika menghangatkan pipi gadis itu hingga bersemu merah.Bukannya kecanggungan yang tercipta, suasana di sekitar beruba
Saat terbangun pagi itu, Krista meraba sisi ranjang di sampingnya hanya untuk mendapati tempat itu terasa dingin, seolah-olah tidak ada tubuh yang berbaring di sana dalam waktu yang cukup lama. Seketika dia pun terkesiap dan terduduk sembari memperhatikan ke sekitar ruangan.Perlahan-lahan rasa takut mulai menjalari diri, membuat kepanikan menyelimuti hingga dia merasakan getir pada mulut.“Gavin,” panggil gadis itu, layaknya seseorang yang kehilangan.Dengan tergesa-gesa, Krista menyibak selimut sembari berlari keluar kamar menuju tangga ke lantai bawah.Napas gadis itu memburu ketika dia tiba-tiba saja melihat sosok Gavin tengah berdiri di dekat jendela di ruang keluarga dengan ponsel di telinga. Sembari menata napas, Krista memperhatikan pria di hadapan yang berpakaian sangat rapi dengan kemeja biru dongker membalut tubuh, lengkap dasi dan sepatu kulit hitam mengkilat.Mendengar suara yang berasa dari balik tubuhnya, pria itu p
Langit tampak mendung di pemakaman, membuat Krista mendongak sebentar sebelum memusatkan perhatian kembali pada dua batu nisan di hadapan.Lama dia terdiam, dengan kepala menunduk, menyembunyikan tangisan yang tadi sempat mengering.Sementara itu, Gavin yang berada di sampingnya sejak tadi hanya diam sembari mengawasi. Pria itu menatap batu nisan yang sering dia kunjungi selama beberapa tahun terakhir dengan tatapan sama sendunya dengan langit yang hendak menurunkan hujan.Dalam kesunyian yang menyelimuti, keheningan itu pun pecah dengan suara serak Krista yang berkata; “Terima kasih.”Mendengar ucapannya, Gavin hanya menoleh pelan.Kini, gadis itu memandang ke arahnya dengan mata yang basah kembali.“Terima kasih sudah merawat keduanya selama aku tidak ada,” lanjut Krista yang mendapat senyuman lemah.“Bagaimana kau tahu?” tanya Gavin lembut.Dia merapikan anak rambut gadis itu yang diterban
Sentuhan lembut di bahu membangunkan Krista. Tubuhnya menggeliat pelan sembari menoleh ke samping dengan mata sedikit terbuka. Kemudian, dia pun terdiam ketika mendapati wajah Gavin yang mengulas senyuman halus di wajah rupawannya.“Bangunlah sleepy head,” bisiknya pelan sembari mengelus pipi gadis itu.Krista tampak masih dikusai kantuk, membuat Gavin sedikit merasa bersalah telah membangunkan.“Kita ada di mana?” tanya Krista sembari melirik ke luar jendela.Dia pun terdiam saat mendapati bangunan yang sangat familiar.“Kita sudah tiba,” bisik Krista itu gugup saat menyadari mereka telah berada di dalam Kota Denver.Dengan cepat Gavin menggamit lengan gadis itu, lalu meremasnya hati-hati.“Ya. Aku akan membawamu ke tempatku,” ucap Gavin, tanpa melepaskan pegangan keduanya.Kepala Krista menunduk seketika, dia tahu bahwa Gavin mengerti perasaannya saat ini.“Ok
Gavin hendak membawa Krista ke dalam kamar hotel, saat tiba-tiba gadis itu menahannya.Mendapati mata Krista yang mendelik tajam, hati Gavin pun meringis melihat itu.“Masuklah, kita bisa bicarakan di dalam,” ucapnya, membuat Krista tampak ingin pergi, sehingga Gavin pun menangkup wajah gadis itu di antara kedua telapak tangan.Dia mendekatkan wajah dan berbisik pelan dengan tatapan mata yang lembut.“Kau tahu bahwa tidak ada pilihan untuk menghindariku, Baby Girl,” tambahnya sembari mengusap dagu Krista dengan kedua ibu jari penuh kehati-hatian. “Berkali-kali aku meminta kesempatan, namun kau tidak memberikannya. Dan ini satu-satunya cara yang kutahu untuk menghilangkan egomu itu.”Krista meremas jas yang melekat di tubuh Gavin. Dia ingin menumpahkan kemarahan, akan tetapi tatapan pria itu yang tulus membuatnya merenggangkan pegangan. Mata gadis itu berubah panas, sebelum akhirnya lelehan air mata bergulir pelan
Esok paginya, sebuah nada dering membangunkan Krista dari tidur lelap. Seketika dia terjaga dan meraba permukaan meja untuk mencari-cari benda pipih yang sangat ribut sejak tadi menjadi alarm pengganti.Namun, ketika melihat nama yang tertera di layar, seketika Krista menggeram kesal. Dia tidak ingin berbicara dengan pria tua itu di jam sepagi ini. Bisa-bisa mood-nya rusak seharian karena pastilah yang dibicarakan tidak jauh-jauh dari masalah hutang dan bank.Setelah mematikan ponsel, Krista kembali menarik selimut dan mengundang alam mimpi menyelimuti. Akan tetapi, suara gedoran keras yang berasal dari depan pintu membuat Krista menyibak selimut dengan gerakan marah.“Ini masih pagi!” hardiknya kesal.Kepala Krista berputar ke seluruh ruangan, mencari-cari keberadaan Linda yang ternyata tidak pulang sejak semalam.Sembari memijit pelipis, dia bergumam pelan; “Di saat semua orang memiliki kisah cinta yang berbunga, aku malah mende
Suasana hening di dalam mobil tampaknya tidak sedikit pun mengusik Gavin, karena sejak tadi dia terus mengulas senyuman sembari mengelus permukaan kulit Krista yang berada dalam genggaman.Sejak mereka berhenti di parkiran asrama, tidak satu pun dari keduanya keluar dari sana. Bahkan, rasa enggan berpisah terlihat jelas dari wajah Gavin yang terus memegangi tangan Krista.Pandangan pria itu tidak sedikit pun lepas, walau hanya sekedip saja. Seakan tidak ingin gadis itu pergi dan mereka kembali pada situasi semula.“Sebentar lagi libur semester, ikutlah denganku ke Denver,” ucap Gavin lembut.Mendengar itu, Krista membuang wajah dan menatap ke luar jendela. Tampaknya, dia masih belum menerima Gavin sepenuhnya. Atau mungkin, Gavin saja yang terlalu percaya diri bahwa hubungan mereka sudah lebih baik dari sebelumnya.“Jika kau tidak mau ke sana, aku akan menemanimu di sini,” tambahnya yang masih tidak Krista pedulikan.M
Sebuah tamparan mendarat di pipi Gavin hingga meninggalkan jejak merah seukuran lima jari.Seketika pria itu memejamkan mata, dan dia menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka kelopak matanya kembali dengan tatapan mengunci pandangan mereka.Mata sebiru samudra yang diarahkan pada Krista menatap tulus, seolah mengisyaratkan bahwa dia akan menerima tamparan dari wanita itu sebanyak apa pun itu. Dan dengan jari-jemari yang mengelus pipi Krista lembuat, Gavin pun melontarkan pertanyaan yang sama kembali.“Maukah kau menikah denganku, Princess?” Tatapan matanya lurus ke depan, dan tidak sedikit pun dia membiarkan pandangan keduanya lepas.Lagi, satu tamparan mendarat di pipi Gavin yang seketika membuat kepalanya berputar Sembilan puluh derajat ke kiri.Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu pun menoleh pelan untuk menatap Krista yang mendelik tajam dari balik bulu matanya yang basah. Bahkan, sebulir air matanya tampak menetes jatuh hingga
“Aku tidak bisa melakukannya,” jawab Jaxon dari seberang sambungan, membuat Krista terdiam seketika.Detak jantung gadis itu memompa cepat hingga keringat dingin membasahi telapak tangan.Susah payah Krista menata diri akan rasa tidak percaya yang perlahan menguasai.Saat dia hendak bertanya alasannya, pria itu pun menjawab dengan sendirinya.“Dengar, aku tahu bahwa kita punya kesepakatan, tapi untuk masalah ini aku benar-benar tidak bisa membantu. Kau bisa saja meminta yang lain, tapi kali ini aku angkat tangan.”Pembicaraan keduanya pun menjadi hening. Dan saat itulah Krista dapat mendengar suara serangga yang berasal dari danau di taman.Kini, matanya menatap lurus, pada siluet pria yang sabar menunggu di ujung jalan.Bila saja dia meneriakkan nama pria itu, maukah dia berlari ke tempatnya berdiri?Merasa diperhatikan, Gavin memiringkan kepala dan balas menatap dengan seksama. Seolah-olah dia me