Aku tidak menghiraukan tatapan tajam yang dilempar oleh si Jalang Nayla. Gesturku yang santai ketika menghadapinya membuat si Jalang semakin panas.
Sengaja aku mengotak-atik rambut yang tergerai dan bersikap seolah-olah baru saja menghabiskan malam yang panas, walau pun aku tidak mengerti seperti apa malam panas itu. Nanti aku akan bertanya pada Om Jaxon, karena dia tampaknya jauh lebih paham urusan percintaan di atas ranjang.
“Halo, selamat pagi,” sapaku dengan suara semanis madu. “Ada yang bisa kubantu?” tanyaku pura-pura lupa dengan wajahnya.
Dia mendelik semakin tajam, sedang kedua lubang hidung tampak kembang kempis.
Huh, apa dia pikir aku tidak bisa membalas? Lihat, siapa yang sekarang tidur di ranjang ... kamar tamu Gavin.
Yeah, meski tidak di ranjang yang sama, setidaknya kami berada satu atap semalaman.
Karena Jalang di depanku hanya diam dengan mata melotot merah, aku pun mencoba mencairkan suasana. Kasihan
Sebelum Gavin benar-benar keluar dari kamar, aku menarik celan boxernya, membuat langkah Gavin terhenti dan menoleh padaku dengan delikan tajam.Ya ampun, apa dia pikir aku akan menelanjanginya di sini? Aku juga tidak seagresif itu!Bila mau, bisa saja aku melakukannya saat berada di dalam kamarnya pagi tadi.“Ada apa lagi Krista?” tanya Gavin setelah menarik napas panjang dan menyisir rambut acak-acakan.Aku jadi ingin membantunya melakukan itu.“Krista?” panggil Gavin beberapa kali, karena aku terpaku dan menatap dengan pandangan ‘ingin’ ke arah rambut pirangnya yang mencuat ke segala arah.Setelah menata ekspresi, aku pun mengatakan apa yang tadi hendak kuminta.“Seharian aku tidak menghubungi Ayah, apa aku boleh memakai ponselmu? Karena punyaku ketinggalan dalam lemari,” jelasku sembari mengingat lagi benda pipih yang tidak sengaja terlepas di tangan ketika berlari ke dalam pelukan G
Ponsel Gavin berdering tanpa henti, membuatku kewalahan ketika melihat ada banyak notifikasi dari sebuah grup chat yang masuk. Alisku bertaut bingung saat membaca sebuah pesan dengan nama-nama aneh muncul di layar. Bahkan, nama grup itu mesum sekali; DickOnlyForVaginaLovers. Ya ampuuuuun, Gavin, kau sangat mesum! ‘Mr. CockTease: Hey, sejak kapan kau tidur sama anak-anak? Bukankah kau sendiri yang bilang gadis itu masih bau kencur?’ Darahku mendidih ketika membaca pertanyaan itu, karena secara tidak langsung dia mengataiku anak kecil. Tanpa sadar aku melirik ke bawah, pada bongkahan dada yang telah tumbuh sempurna. Apa ini saja tidak bisa jadi bukti bahwa aku salah satu dari golongan wanita dewasa? Apa perlu aku menambah ukurannya lebih besar lagi? Sekarang saja sudah menyaingi melon, apa dia mau aku mengupgrade ke semangka? Tapi bisa-bisa Ayah akan marah bila aku meminta yang aneh-aneh. Natural saja sudah cukup tanpa me
Begitu pagi tiba, aku bergegas keluar kamar dan berjalan sembari berjinjit dengan menajamkan telinga. Setelah memastikan tidak ada tanda-tanda bahwa Gavin bangun pagi itu, aku pun mempercepat jinjitan kaki hingga ke pintu depan.Rasanya lega sekali begitu sampai ke dalam lift yang membawaku turun ke lantai bawah.Sesampainya di lobby, aku pun mendekati salah satu petugas keamanan dan menatap pria itu dengan mata polosku yang menggemaskan.“Paman, apakah aku boleh meminjam ponselmu untuk menelepon seseorang?” tanyaku pada pria yang berjaga di balik meja.Dia menatapku cukup lama, mungkin mencari tahu siapa aku dalam kepala.Semoga saja dia tidak ingat kalau aku datang bersama Gavin, bisa-bisa dia menghubungi si hati freezer dan melaporkan aku berada di lobby.“Apa terjadi sesuatu?” tanya pria itu sembari memperhatikan baju kaus dan celana boxer yang melekat di tubuhku.Aku menggeleng pelan dan mengulas senyum ma
Lama aku terdiam di depan pintu apartemen yang Audrey tempati, namun pencahayaan yang menakutkan di lorong membuatku memberanikan diri untuk membunyikan bell.Sembari melirik sekitar, aku pun berdoa dalam hati Bibi Flo dan Tante Jewel memberiku izin masuk ke dalam.Pada percoban pertama, tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka, maka aku membunyikan bell untuk ke dua serta ke tiga, dan pada kali keempat barulah pintu di depanku terbuka … sedikit, karena hanya selebar penggaris dan Bibi Flo mengintip dari dalam.“Ada apa kau ke sini?” tanya Bibi dengan suara serak khas perokok berat.“Apakah Audrey ada, Bibi?” tanyaku sembari tersenyum lebar, walau dalam hati harap-harap cemas.Bibi Flo memperhatikanku dari kepala hingga kaki dan dia menggeleng dengan raut tidak suka.“Lihatlah anak orang kaya ini, dia pasti baru pulang dari rumah seorang laki-laki,” kata Bibi Flo pada diri sendiri yang seketika melun
“Ya, Oh shit,” desis Gavin sembari memerangkapku di pintu.Aku menelan saliva dan melirik ke arah Slaine dengan pandangan meminta tolong, namun tangan Gavin menahan daguku di tempat hingga sulit bergerak dan hanya bisa menatap lurus ke matanya saja.Seketika aku meringis saat merasakan cengkraman kuat kedua jarinya di pipi, namun tampaknya dia tidak sadar karena diliputi emosi.“Aku baru saja terpejam sebentar, dan kau menghilang dalam sekejab,” geram Gavin sembari menahan kedua bahuku dengan tatapan menunjukan kemarahan. “Apa yang sebenarnya kau pikirkan!”Suara Gavin yang tiba-tiba mengeras membuat tubuhku terlonjak.“Bagaimana bila ada orang jahat di luar sana berniat menculikmu? Membunuhmu? Memperkosamu? Atau bahkan melakukan semuanya bersamaan!”Mataku terpejam dan telingaku berdenging saat mendengar suara teriakan yang berasal dari dalam diafraghmanya.Genggaman Gavin terasa semaki
Hal paling menyebalkan di dunia adalah; kejutan yang tidak terduga dengan hasil menyiksa.Hhhh … entah harus bagaimana menjelaskannya, karena aku sangat malu untuk bercerita.Baiklah, kita mulai dari pertengkaran kecil di rumah Slaine, kemudian berpindah saat Gavin menaruhku di bahu dan berakhir dengan aku yang dilempar ke kursi belakang mobil. Lalu bagaimana akhir kisah kami setelah itu?Yups, aku dikurung di kamar dengan borgol terkunci di kepala ranjang.Please, jangan tanya bagaimana aku bisa berakhir di sini, karena pelakunya adalah Gavin!“Aku ingin pipis!” jeritku sekuat tenaga.Kurang dari dua menit kemudian, aku mendengar suara langkah kakinya dan Gavin pun muncul di ambang pintu dengan wajah datar menatap ke arahku.“Aku ingin pipis!” rengekku lagi yang membuat Gavin menarik napas panjang sembari mendekat.“Dalam setengah jam kau sudah pipis dan bolak-balik kamar mandi sebanyak lim
Suara gemerincing besi beradu membuatku membuka mata sedikit.Dibawah pengaruh kantuk, aku merasa seperti bermimpi ketika mendapati Gavin sedang membukakan borgol di lengan yang berada tepat di atasku.“Sssttt … tidurlah kembali,” bisiknya sembari menyibak rambutku yang mulai mengganggu di wajah.Kelopak mataku yang berat sangat susah diajak bekerja sama.Dengan mata kembali terpejam, aku merasakan sebuah elusan jemari yang hangat di sekitar kulit lecet bekas borgolan.“Mmm …,” gumamku merasa sedikit nyeri ketika jemari itu menyentuh salah satu luka.Tangan yang mengelusku terhenti sesaat, namun dia melanjutkan lagi ketika aku semakin tertidur pulas.“Gavin,” panggilku karena melihat sosoknya samar-samar.Dia tidak menjawab, namun tiba-tiba saja aku merasakan kecupan hangat di lenganku yang terluka. Hawa panas dari bibir dan napasnya membuatku membuka mata kembali.&ldquo
Romantis My Ass.Bukannya membawaku ke dalam tempat belanja, Gavin malah meninggalkanku di mobil yang mesinnya masih menyala. Dan lebih menyebalkannya lagi, dia memborgolku di salah satu rangka kursi.Sebelum keluar, Gavin mengancamku untuk tidak menarik perhatian, karena akan menjadi sia-sia.Hampir semua penduduk Denver mengetahui siapa pemilik mobil ini. Tentu saja mereka akan sangat takut berurusan dengan salah satu anggota organisasi paling dihindari di kota.Bukannya mendapat bantuan, orang-orang itu akan lari menjauh. Walau aku berteriak sekeras pita suara mengizinkan, semua orang akan menjadi tuli tiba-tiba dan menganggapku hanya manekin yang dapat berbicara.Dasar Gavin tegaaaa!Untung saja dia menyalakan pendingin sehingga aku tidak mati kepanasan.Apa dia tidak tahu, menunggu adalah hal paling menyebalkan?Tidak sampai empat puluh menit, Gavin kembali dengan kantung belanjaan di tangan yang tampak penuh menutupi sete
“Kemana kau akan membawaku?” tanya gadis itu ketika Gavin mengemudikan mobil menuju ke jalanan yang jauh dari kota, seolah-olah mereka menuju sebuah tempat terpencil.Dengan tatapan ingin tahu, Krista tidak bisa melepas pandangan pada pria yang menyetir di sebelah.Cukup lama Gavin akhirnya menjawab.“Kau akan tahu bila kita tiba,” ucap pria itu dengan senyuman simpul.Bahkan, Krista melihat sesuatu yang sangat tidak biasa dari cara Gavin menatapnya, seolah pria itu melihat bongkahan berlian dengan ekspresi antusias, yang seketika menghangatkan pipi gadis itu hingga bersemu merah.Bukannya kecanggungan yang tercipta, suasana di sekitar beruba
Saat terbangun pagi itu, Krista meraba sisi ranjang di sampingnya hanya untuk mendapati tempat itu terasa dingin, seolah-olah tidak ada tubuh yang berbaring di sana dalam waktu yang cukup lama. Seketika dia pun terkesiap dan terduduk sembari memperhatikan ke sekitar ruangan.Perlahan-lahan rasa takut mulai menjalari diri, membuat kepanikan menyelimuti hingga dia merasakan getir pada mulut.“Gavin,” panggil gadis itu, layaknya seseorang yang kehilangan.Dengan tergesa-gesa, Krista menyibak selimut sembari berlari keluar kamar menuju tangga ke lantai bawah.Napas gadis itu memburu ketika dia tiba-tiba saja melihat sosok Gavin tengah berdiri di dekat jendela di ruang keluarga dengan ponsel di telinga. Sembari menata napas, Krista memperhatikan pria di hadapan yang berpakaian sangat rapi dengan kemeja biru dongker membalut tubuh, lengkap dasi dan sepatu kulit hitam mengkilat.Mendengar suara yang berasa dari balik tubuhnya, pria itu p
Langit tampak mendung di pemakaman, membuat Krista mendongak sebentar sebelum memusatkan perhatian kembali pada dua batu nisan di hadapan.Lama dia terdiam, dengan kepala menunduk, menyembunyikan tangisan yang tadi sempat mengering.Sementara itu, Gavin yang berada di sampingnya sejak tadi hanya diam sembari mengawasi. Pria itu menatap batu nisan yang sering dia kunjungi selama beberapa tahun terakhir dengan tatapan sama sendunya dengan langit yang hendak menurunkan hujan.Dalam kesunyian yang menyelimuti, keheningan itu pun pecah dengan suara serak Krista yang berkata; “Terima kasih.”Mendengar ucapannya, Gavin hanya menoleh pelan.Kini, gadis itu memandang ke arahnya dengan mata yang basah kembali.“Terima kasih sudah merawat keduanya selama aku tidak ada,” lanjut Krista yang mendapat senyuman lemah.“Bagaimana kau tahu?” tanya Gavin lembut.Dia merapikan anak rambut gadis itu yang diterban
Sentuhan lembut di bahu membangunkan Krista. Tubuhnya menggeliat pelan sembari menoleh ke samping dengan mata sedikit terbuka. Kemudian, dia pun terdiam ketika mendapati wajah Gavin yang mengulas senyuman halus di wajah rupawannya.“Bangunlah sleepy head,” bisiknya pelan sembari mengelus pipi gadis itu.Krista tampak masih dikusai kantuk, membuat Gavin sedikit merasa bersalah telah membangunkan.“Kita ada di mana?” tanya Krista sembari melirik ke luar jendela.Dia pun terdiam saat mendapati bangunan yang sangat familiar.“Kita sudah tiba,” bisik Krista itu gugup saat menyadari mereka telah berada di dalam Kota Denver.Dengan cepat Gavin menggamit lengan gadis itu, lalu meremasnya hati-hati.“Ya. Aku akan membawamu ke tempatku,” ucap Gavin, tanpa melepaskan pegangan keduanya.Kepala Krista menunduk seketika, dia tahu bahwa Gavin mengerti perasaannya saat ini.“Ok
Gavin hendak membawa Krista ke dalam kamar hotel, saat tiba-tiba gadis itu menahannya.Mendapati mata Krista yang mendelik tajam, hati Gavin pun meringis melihat itu.“Masuklah, kita bisa bicarakan di dalam,” ucapnya, membuat Krista tampak ingin pergi, sehingga Gavin pun menangkup wajah gadis itu di antara kedua telapak tangan.Dia mendekatkan wajah dan berbisik pelan dengan tatapan mata yang lembut.“Kau tahu bahwa tidak ada pilihan untuk menghindariku, Baby Girl,” tambahnya sembari mengusap dagu Krista dengan kedua ibu jari penuh kehati-hatian. “Berkali-kali aku meminta kesempatan, namun kau tidak memberikannya. Dan ini satu-satunya cara yang kutahu untuk menghilangkan egomu itu.”Krista meremas jas yang melekat di tubuh Gavin. Dia ingin menumpahkan kemarahan, akan tetapi tatapan pria itu yang tulus membuatnya merenggangkan pegangan. Mata gadis itu berubah panas, sebelum akhirnya lelehan air mata bergulir pelan
Esok paginya, sebuah nada dering membangunkan Krista dari tidur lelap. Seketika dia terjaga dan meraba permukaan meja untuk mencari-cari benda pipih yang sangat ribut sejak tadi menjadi alarm pengganti.Namun, ketika melihat nama yang tertera di layar, seketika Krista menggeram kesal. Dia tidak ingin berbicara dengan pria tua itu di jam sepagi ini. Bisa-bisa mood-nya rusak seharian karena pastilah yang dibicarakan tidak jauh-jauh dari masalah hutang dan bank.Setelah mematikan ponsel, Krista kembali menarik selimut dan mengundang alam mimpi menyelimuti. Akan tetapi, suara gedoran keras yang berasal dari depan pintu membuat Krista menyibak selimut dengan gerakan marah.“Ini masih pagi!” hardiknya kesal.Kepala Krista berputar ke seluruh ruangan, mencari-cari keberadaan Linda yang ternyata tidak pulang sejak semalam.Sembari memijit pelipis, dia bergumam pelan; “Di saat semua orang memiliki kisah cinta yang berbunga, aku malah mende
Suasana hening di dalam mobil tampaknya tidak sedikit pun mengusik Gavin, karena sejak tadi dia terus mengulas senyuman sembari mengelus permukaan kulit Krista yang berada dalam genggaman.Sejak mereka berhenti di parkiran asrama, tidak satu pun dari keduanya keluar dari sana. Bahkan, rasa enggan berpisah terlihat jelas dari wajah Gavin yang terus memegangi tangan Krista.Pandangan pria itu tidak sedikit pun lepas, walau hanya sekedip saja. Seakan tidak ingin gadis itu pergi dan mereka kembali pada situasi semula.“Sebentar lagi libur semester, ikutlah denganku ke Denver,” ucap Gavin lembut.Mendengar itu, Krista membuang wajah dan menatap ke luar jendela. Tampaknya, dia masih belum menerima Gavin sepenuhnya. Atau mungkin, Gavin saja yang terlalu percaya diri bahwa hubungan mereka sudah lebih baik dari sebelumnya.“Jika kau tidak mau ke sana, aku akan menemanimu di sini,” tambahnya yang masih tidak Krista pedulikan.M
Sebuah tamparan mendarat di pipi Gavin hingga meninggalkan jejak merah seukuran lima jari.Seketika pria itu memejamkan mata, dan dia menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka kelopak matanya kembali dengan tatapan mengunci pandangan mereka.Mata sebiru samudra yang diarahkan pada Krista menatap tulus, seolah mengisyaratkan bahwa dia akan menerima tamparan dari wanita itu sebanyak apa pun itu. Dan dengan jari-jemari yang mengelus pipi Krista lembuat, Gavin pun melontarkan pertanyaan yang sama kembali.“Maukah kau menikah denganku, Princess?” Tatapan matanya lurus ke depan, dan tidak sedikit pun dia membiarkan pandangan keduanya lepas.Lagi, satu tamparan mendarat di pipi Gavin yang seketika membuat kepalanya berputar Sembilan puluh derajat ke kiri.Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu pun menoleh pelan untuk menatap Krista yang mendelik tajam dari balik bulu matanya yang basah. Bahkan, sebulir air matanya tampak menetes jatuh hingga
“Aku tidak bisa melakukannya,” jawab Jaxon dari seberang sambungan, membuat Krista terdiam seketika.Detak jantung gadis itu memompa cepat hingga keringat dingin membasahi telapak tangan.Susah payah Krista menata diri akan rasa tidak percaya yang perlahan menguasai.Saat dia hendak bertanya alasannya, pria itu pun menjawab dengan sendirinya.“Dengar, aku tahu bahwa kita punya kesepakatan, tapi untuk masalah ini aku benar-benar tidak bisa membantu. Kau bisa saja meminta yang lain, tapi kali ini aku angkat tangan.”Pembicaraan keduanya pun menjadi hening. Dan saat itulah Krista dapat mendengar suara serangga yang berasal dari danau di taman.Kini, matanya menatap lurus, pada siluet pria yang sabar menunggu di ujung jalan.Bila saja dia meneriakkan nama pria itu, maukah dia berlari ke tempatnya berdiri?Merasa diperhatikan, Gavin memiringkan kepala dan balas menatap dengan seksama. Seolah-olah dia me