Pramusaji mendekat, meminta maaf karena pesanan Maxim dan Kendra agak terlambat. Menurutnya, ada insiden di dapur yang membuat salah satu koki harus mengalami cedera. Si pramusaji juga mempersilakan jika Maxim dan Kendra ingin membatalkan pesanan dan pindah ke restoran lain.
Maxim memandang ke arah Kendra, meminta pendapat gadis itu. Setelah Kendra memberi isyarat, barulah Maxim menjawab. “Kami akan menunggu. Mudah-mudahan tidak terlalu lama.”
Pramusaji itu undur diri setelah mengucapkan terima kasih dengan sikap hormat. Kendra dan Maxim pun kembali mengobrol. Lelaki itu kembali mengingatkan Kendra agar tak lagi mengulangi kecerobohannya.
“Aku memang salah. Tapi waktu itu rasanya aku sudah melakukan hal yang benar. Aku pulang setelah Judith menyebut-nyebut namamu dengan setumpuk puja-puji selama lebih setengah jam. Waktu itu, aku benar-benar sudah tidak tahan lagi,” aku Kendra.
“Harusnya, segala hal yang terlalu berlebihan it
“Aku tidak merasa cemburu walaupun itu wajar saja kalau memang terjadi,” gumam Kendra. “Coba bayangkan kalau kamu ada di posisiku. Aku pengin bicara denganmu tapi malah bertemu dengan Judith dan dia setengah memaksaku untuk minum kopi. Selanjutnya, aku menghabiskan lebih setengah jam yang penuh penderitaan karena mendengar dia terus memujimu.” Gadis itu mengibaskan tangan. “Ah, aku tak mau mengingat-ingat lagi itu.”Maxim menjawab sembari meremas tangan Kendra. “Tapi mungkin aku akan rajin mengingatkanmu. Karena kamu punya andil besar sudah membuat kita berdua menderita.”Kendra mencebik. Saat itu pesanan minuman mereka baru saja datang. Pramusaji kembali menggumamkan kata maaf karena hari itu pihak restoran tak bisa menyiapkan makanan dengan cepat. Kendra memesan jus sirsak sedangkan Maxim memilih kopi. Pramusaji juga menawarkan mereka minuman tambahan yang akan diberikan pihak restoran dengan cuma-cuma. Keduanya hanya m
Maxim tak menjawab pertanyaan Kendra. Dia malah berujar, “Meski menolak saran Sean, aku tak bisa menahan diri untuk melihatmu. Makanya aku sengaja turun ke lantai dasar untuk minum kopi. Padahal, mana pernah aku buang-buang waktu untuk duduk di gerai kopi selama puluhan menit tanpa melakukan sesuatu yang penting? Waktu itu keinginanku cuma satu. Siapa tahu bisa melihatmu walau dari kejauhan. Minimal bisa mengurangi rasa rinduku.”Kata-kata Maxim itu membuat hati Kendra menghangat seketika. Dia membalas remasan tangan Maxim. “Apa saat itu kamu melihatku?” Kendra ingin tahu. Jawaban yang diberikan Maxim berupa gelengan kepala.“Saat itu, aku malah bertemu Judith di Cafe-In. Dia menghalangi pandanganku ke arah pintu masuk dan malah mengajak berbincang. Intinya, dia meminta diberi kesempatan untuk lebih mengenalku. Tapi, tentu saja kutolak. Kamu kan mengenalku. Sekali bilang tidak, maka sulit untuk berubah pikiran. Apalagi yang berkaitan
Kendra berdeham. Gadis itu merasa sangat tidak nyaman karena harus memberi tahu Maxim tentang fakta yang mungkin belum disadari lelaki itu. Mendadak, kepalanya terasa berdenyut. Padahal, ini adalah salah satu saat paling membahagiakan dalam hidup Kendra. Dia seharusnya tak merasakan keluhan fisik apa pun. Ini adalah hari yang luar biasa untuknya, kan?“Ada apa, sih? Bicara saja, Ken,” pinta Maxim tak sabar. “Aku sudah lapar, nih.” Lelaki itu mengerling ke arah makanan di atas meja yang menguarkan aroma harum nan menggelitik perut.Kendra tak memiliki waktu untuk menunda-nunda. Setelah memberanikan diri dan mengepalkan tangan kanannya yang bebas, dia pun membuka mulut. “Begini, Max. Memang hubungan kita baru berumur satu jam kurang lebih. Banyak yang bisa terjadi di masa depan. Kita pun belum tahu apakah nantinya kita bisa tetap bersama atau tidak. tapi, kurasa tetap perlu membahas satu fakta penting. Ibuku seorang penderita skizofrenia, ka
“Kamu mau menjemputku ke kantor nanti sore? Bukannya kamu biasanya punya setumpuk pekerjaan sampai malam?” tanya Kendra pagi itu. Maxim meneleponnya pukul setengah enam pagi. Keduanya baru memadu kasih sekitar dua minggu.“Khusus hari ini, aku pengin pulang lebih cepat. Sekali-kali mau pacaran dulu. Tapi karena jam terbangku masih minim untuk urusan pacar, paling-paling kita makan di luar atau nonton, kalau waktunya masih sempat. Aku bosan cuma makan di lantai dua belas dan sekitarnya saja,” balas Maxim. “Kemungkinan besar aku berangkat dari sini sekitar pukul empat. Paling telat setengah lima. Bagaimana?”“Memangnya kalau yang jam terbangnya sudah tinggi, tak lagi makan malam atau nonton di bioskop?” canda Kendra. “Mungkin itu aktivitas standar tapi aku suka.”“Hmmm, baiklah. Jadi, bagaimana? Apa pengaturan waktunya sudah pas kalau aku menjemputmu jam segitu?” desak Maxim.Kendra mem
“Kamu punya semacam fobia yang berkaitan dengan kompor?” Maxim keheranan. Kedua alis lelaki itu terangkat. “Memangnya ada hal seperti itu?”Mereka baru selesai makan malam. Maxim mengajak Kendra mencicipi menu asal Manado yang juga berada di lantai dua. Setelah itu, mereka kembali ke lantai dua puluh satu karena ada beberapa hal yang harus dibereskan Maxim. Lelaki itu sempat meminta maaf berkali-kali karena akhirnya Kendra malah menemaninya bekerja.“Ada, Max. Kalau berkaitan dengan hidupnya Kendra Elanith, ada banyak hal aneh bin ajaib,” kelakar Kendra sambil tertawa keci.“Bisa cerita detailnya seperti apa?” Maxim ingin tahu.“Aku tidak terlalu ingat awalnya seperti apa karena waktu itu masih kecil. Tapi pas kejadian itu, aku lumayan bisa mengingatnya dengan baik. Ibu mulanya hanya duduk di kursi makan setelah menyalakan api kompor. Beberapa kali begitu. Tapi biasanya setelah beberapa lama, Ibu memat
“Hei, kamu masih terlalu kecil saat itu! Jangan berpikir seperti itu, Kendra-ku. Itu sama sekali tidak sehat. Jangan mencari alasan untuk menyalahkan diri sendiri karena itu sama sekali bukan salahmu,” respons Maxim buru-buru.Kendra tertawa kecil. “Kenapa kamu selalu menyebut ‘Kendra-ku’, sih? Itu terdengar janggal dan menggelikan, Max,” komentarnya. “Telingaku sampai gatal.”“Itu panggilan istimewamu dariku, Ken. Karena Honey, Babe, Cinta, dan sejenisnya itu, sudah terlalu mainstream. Kamu tahu sendiri kalau aku ini makhluk langka, anomali. Aku tak suka meniru apa yang sudah dilakukan banyak orang karena menjadi tak istimewa. Makanya, aku tak mau memanggilmu dengan nama-nama yang sudah banyak beredar di pasaran,” aku Maxim dengan gaya santai. “Aku cuma pengin kamu merasa istimewa. Walau mungkin panggilan kesayangan ciptaanku itu cukup sederhana. Jangan marah, oke?”“Kenapa a
Kendra merespons. “Kamu sudah memberitahuku soal rencana ke Singapura. Aku tidak akan lupa. Aku juga sudah bosan mendengamu minta maaf sejak tadi. Kalau dihitung, mungkin totalnya sudah puluhan kali. Apa nggak bosan merasakan soda rasa cuka, Max?” seloroh Kendra.“Aku cuma ingin kamu merasa nyaman dan bukannya kesal karena harus menungguiku bekerja,” aku Maxim, membela diri.“Aku baik-baik saja meski harus datang ke sini dan menungguimu membereskan semua pekerjaanmu. Apa yang salah dengan itu? Toh, aku juga tidak memiliki pekerjaan lain. Jadi, ketimbang pulang dan tidur, aku lebih suka di sini.” Kendra berargumen. Kamu pasti masih ingat kalau aku orang yang tahan menunggu sampai tiga jam, kan?”“Astaga! Daftar dosaku mulai diungkit lagi.”Kendra terkekeh. “Aku cuma memberi contoh nyata, Max. Siapa tahu kamu lupa.”Maxim kemudian menimpali, “Kalau nanti jam kerja Buana Bayi suda
Hari itu mereka batal menonton karena tak ada film yang menarik minat keduanya. “Salahku. Harusnya tadi melihat jadwal film yang sedang tayang lebih dulu sebelum datang ke sini,” sesal Kendra. “Kalau begini, jadinya malah buang-buang waktu, kan?”“Kenapa kamu harus merasa bersalah, sih?” kritik Maxim. “Kalaupun ada yang patut disalahkan, itu kita berdua. Bukan kamu atau aku saja. Karena seharusnya kita berdua memang mencari informasi lebih dulu. Tapi, aku merasa ini sama sekali tidak buang-buang waktu, kok! Yang penting, kita punya waktu untuk bersama.”“Max, jangan terus-terusan merayu. Nanti aku malah betul-betul muntah,” komentar Kendra. Tangan kanan gadis itu berada di genggaman sang pacar.“Aku tidak bisa merayu sama sekali,” aku Maxim. “Kamu mau mampir ke suatu tempat. Pengin makan sesuatu?” dia menawarkan.Kendra menggeleng. “Aku pengin pulang saja. Lagi pula,
Seperti dugaan Sean, Maxim meradang sepulang dari Singapura dan mendapati kekasihnya sudah berkantor di tempat Sean. Lelaki itu berusaha keras membuat Kendra mempertimbangkan tawaran untuk bergabung di Buana Bayi. Ketika ditolak, Maxim mulai mengomel. Dia bahkan merasa bahwa Kendra sok idealis. Juga pemilik The Matchmaker yang sudah membuat keputusan tidak masuk akal. Bla bla bla.Kendra sampai merasa pelipisnya berdenyut. Padahal, gadis itu sudah berjuang untuk memberi tahu Maxim dengan bahasa seringan mungkin. Dia pun sengaja menunda mengabari sang kekasih setelah Maxim kembali bekerja di hari Senin. Kendra mendatangi ruang kerja Maxim setelah jam kantor usai.Awalnya, Maxim begitu senang karena pacarnya datang berkunjung. Namun begitu diberi tahu bahwa Kendra sudah empat hari bekerja di kantor Sean, Maxim pun langsung menunjukkan kekesalannya. Lelaki itu juga tak senang karena Kendra tak mengatakan apa pun saat didesak Rossa untuk mengundurkan diri. Sean yang menyus
Kendra terpana mendengar kata-kata Sean barusan. “Kamu ... apa?”Sean tidak buru-buru menjawab. Lelaki itu bersandar di kursinya dengan gaya santai. “Sebelumnya, aku cuma bilang kalau aku melakukan ini bukan karena Maxim. Tapi karena kamu sendiri, Ken.”Kendra yang tak paham maksud lelaki itu, mengerutkan glabelanya. “Maksudmu?”“Begini. Selama kamu mewakili The Matchmaker, aku menilai bahwa kamu adalah orang yang berkomitmen pada pekerjaan. Punya kemauan keras juga. Contoh nyata yang tak terbantahkan adalah bagaimana kamu bisa membujuk Maxim sehingga akhirnya bersedia mengikuti acara kencan yang masih diejeknya sebagai acara norak sampai detik ini. Buatku, itu adalah poin plus, Ken.”“Aku boleh menganggap itu sebagai pujian?” gurau Kendra.“Tentu saja! Karena itu memang pujian, kok!” sahut Sean. “Nah, sekarang kita sampai pada poin utamanya, yaitu tawaran pekerjaan yang
“Oke. Memangnya kamu kira aku ini laki-laki bawel yang akan melapor ini-itu pada Maxim? Nanti juga dia akan tahu,” kata Sean. “Tapi memang berita ini bikin aku kaget setengah mati. Tidak menyangka ada drama baru hanya karena kamu dan Maxim berpacaran. Lalu, masih ditambah lagi dengan Aiden. Ck ck ck.” Sean geleng-geleng kepala.“Itu bukan salahku,” Kendra membela diri, merujuk pada Aiden.Sean menyeringai. “Kamu ternyata penuh pesona ya, Ken. Aku tak bisa membayangkan seperti apa reaksi Maxim kalau dia tahu bahwa ada laki-laki kelas kakap yang jadi pesaingnya. Siap-siap saja diikuti pengawal pribadi yang akan memastikan kamu tidak diganggu oleh laki-laki mana pun,” guraunya.Kendra mencebik tapi akhirnya dia malah tertawa. Gadis itu merasa geli membayangkan Maxim yang pencemburu itu mengetahui jika ada pria lain yang menyukai Kendra. Namun di sisi lain, Kendra tahu Maxim sudah berjuang untuk sedikit berubah sehingg
Pertanyaan Sean itu mengagetkan Kendra. Tadinya dia mengira lelaki itu menelepon cuma untuk menganggunya karena Maxim sedang berada di Singapura. Atau sekadar memamerkan hubungan dengan pasangan kencan pilihan Sean di acara Dating with Celebrity yang masih berlanjut hingga kini.“Kamu tahu dari mana?” Kendra balik bertanya. Dia merasa heran karena Sean bisa mengetahui informasi itu.“Bisakah kamu datang ke kantorku, Ken? Kurang nyaman kalau harus bicara di telepon. Sementara sepuluh menit lagi aku harus bertemu dengan salah satu klien,” pinta Sean. “Aku punya waktu luang di atas jam tiga.”Kendra menjawab tanpa pikir panjang, “Oke. Aku akan ke kantormu. Mumpung sedang jadi pengangguran dan tak punya jadwal meeting dengan klien,” guraunya.“Sip, kutunggu ya, Ken.”“Eh iya, tolong jangan dulu ngomong apa pun soal ini pada Maxim ya, Sean,” sergah Kendra sebelum l
Setelah meninggalkan mantan kantornya, Kendra langsung pulang. Dia sempat mampir ke supermarket untuk berbelanja beberapa kebutuhan. Gadis itu juga membeli camilan dalam jumlah lumayan banyak. Mungkin dia akan menghabiskan satu minggu ke depan dengan bersantai di depan televisi sembari menikmati aneka makanan kecil.Selama ini, Kendra memang ingin mencari pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Namun, itu menjadi cita-cita yang sengaja ditangguhkannya. Hingga detik ini, Kendra sama sekali belum serius berusaha untuk mencari pekerjaan lain di luar The Matchmaker. Akan tetapi hari ini dia harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tak pernah terbayangkan. Jauh lebih mudah berimajinasi bahwa dirinya akan meninggalkan The Matchmaker atas keinginan sendiri, bukan karena dipaksa untuk membuat pilihan.Membayangkan dia sudah resmi menjadi pengangguran, Kendra pun menjadi luar biasa cemas. Mendadak, masa depannya terlihat buram dan gelap. Apa yang akan dilakukann
Kendra meninggalkan kantor The Matchmaker dengan kehebohan di belakangnya. Karena gadis itu memang tak menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Dia tak mau kelak pengunduran dirinya malah diikuti dengan tuduhan ini-itu yang sama sekali tak benar. Karena tentunya Kendra tak lagi ada di biro jodoh itu untuk membela diri.Paling tidak, Kendra merasa berhak memberi tahu kebenaran versi dirinya. Terserah saja jika dianggap sikapnya kekanakan. Apakah setelah ini Rossa akan berkoar-koar tentang versinya yang bisa saja berbeda, itu masalah lain. Kendra tak mau memikirkan hal itu dan memusingkan sesuatu yang tak bisa dikontrolnya.“Kamu betul-betul harus mengundurkan diri?” Neala masih tak percaya. Kendra sengaja mengajak Neala dan Pritha ke ruang rapat supaya mereka bisa bicara bertiga dengan leluasa. Gadis itu merasa berutang penjelasan pada keduanya, orang-orang terdekat Kendra di The Matchmaker.“Iya. Untuk apa aku bohong?” komentar Kendra dengan
Keluar dari ruangan Rossa, kepala Kendra terasa berputar. Dia berharap semuanya cuma mimpi buruk yang kebetulan datang bertandang tanpa aba-aba. Akan tetapi, Kendra tahu yang ini bukan mimpi.Demi menenangkan diri, gadis itu buru-buru menuju toilet yang bersebelahan dengan pantri. Dia butuh waktu untuk memikirkan apa yang akan dilakukan saat ini. Langsung pulang atau menunggu hingga jam kerja berakhir? Masing-masing ada risikonya.Jika Kendra langsung pulang, pasti dia akan menghadapi banyak pertanyaan dari rekan sejawatnya. Padahal, Kendra merasa saat ini dia butuh ruang untuk bernapas. Karena ada banyak sekali kejutan yang didapatnya hari ini. Bertubi-tubi pula.Sementara jika gadis itu menunggu hingga jam kantor berakhir dan berpura-pura tak terjadi sesuatu, sisa hari ini mungkin akan berjalan lancar dan aman. Dia bisa menghindari hujan pertanyaan mengapa harus mengundurkan diri hari ini. Kecuali Rossa memutuskan untuk meminta Kendra meninggalkan kantor secep
Tubuh Kendra menegang selama beberapa sekon. Dia menatap Rossa dengan kening berkerut. “Ini serius, Mbak?” Kendra mencari tahu. “Saya harus putus dari Maxim?”“Tidak ada yang mengharuskan,” sahut Rossa cepat. “Tadi kan saya cuma bertanya. Kalau saya memintamu putus dari Maxim, bagaimana? Apa kamu bersedia?”Kendra menjawab di detik yang sama, “Tidak, Mbak. Maaf. Saya tidak melihat alasan kenapa saya dan Maxim harus putus. Kami tidak melanggar kontrak apa pun. Selain itu secara etika, saya juga tidak merasa ada masalah. Karena saya dan Maxim berpacaran berbulan-bulan setelah syuting Dating with Celebrity selesai. Tidak ada ‘cinta lokasi’ selama saya mengurusi Maxim sebagai klien kita.” Kendra membuat tanda petik di udara.Rossa beranjak dari tempat duduknya. Perempuan itu melangkah ke arah kulkas kecil di sudut ruang kerjanya. Rossa mengambil dua kaleng soda. Salah satunya diserahkan
Rossa tersenyum masam. “Tapi versi Judith tidak seperti itu. Kamu menjadi orang ketiga yang membuat hubungannya dengan Maxim menjadi jauh. Intinya, Judith mengkritik keras kebijakan-kebijakan The Matchmaker sehingga ada klien yang akhirnya malah berpacaran dengan pegawai di sini dan meninggalkan pasangan kencan yang sudah dipilih. Menurut kamu, mendengar tuduhan semacam itu dilontarkan oleh salah satu peserta kencan sekaligus sponsor acara Dating with Celebrity, apa yang harus saya lakukan?”Pertanyaan Rossa itu sungguh sulit untuk dijawab. Karena bukan kapasitas Kendra untuk mengajari perempuan itu apa yang harus dilakukan atau sebaliknya. Namun kalimat-kalimat bosnya yang menempatkan Kendra sebagai si penggoda, menyedot konsentrasi gadis itu lebih besar. Dia mustahil diam saja tanpa membela diri.“Tuduhan Judith sama sekali tidak benar, Mbak. Saya tak pernah menjadi orang ketiga yang merusak hubungannya dengan Maxim. Seperti yang saya bilang tadi, k