***** “Jangan nekat, Pak Manager! Atau Anda saya pecat sekarang juga, ha?” “Viona! kau tak bisa melakukan ini sama aku! Kau sudah berjanji akan memberiku jabatan itu, Viona …! Vi …. Sial! Dia putus lagi!” Reno meremas ponselnya. Wajah menghitam itu terlihat ditekuk dan semakin tegang. Aku tersenyum miring. “Sekarang, aku perintahkan kau keluar! Kembali ke ruangan kerjamu! Ingat, saat ini, aku adalah atasanmu!” perintahku mengagetkannya. “Kau …!” sergahnya tak percaya. “Ya, aku. Aku adalah BOS mu, ingat, BOS mu, Tuan RENO yang terhormat! Patuh pada perintahku, atau kau kupecat!” ancamku lagi. “Kau bukan BOS! Kau hanya PECUNDANG!” Reno mengejarku. Kulihat tangannya mengepal dan siap mendarat di rahangku. Secepatnya aku menghindar. Daripada kulawan dan aku berakhir di penjara lagi seperti dulu. Kurogoh dan kutekan intercom di dalam saku jasku. Hitungan detik, beberapa anak buah Pak Dirut yang kini menjadi anak buahku sudah menerobos masuk ke dalam ruangan itu. “Seret dia keluar!
**** “Ya, aku akan mengikuti saran kamu! Sekarang ambilkan untukku semua dokumen itu!” ucapku pura-pura menyetujui rencananya. “Baik, sebentar saya ambilkan.” Kuhela nafas panjang. Otakku tak henti berpikir. Bahkan pikiran ini semakin berkecamuk. Kini aku sadar, apa yang dikeluhkan oleh Pak Alatas kemarin itu benar adanya. Bahwa dia dikelilingi oleh orang-orang yang hendak menghancurkan dirinya, karena punya maksud dan tujuan tak benar. Bahkan pria paruh baya itu tak beda membedakan yang mana musuh dan yang mana teman. LIhatlah, bahkan seorang sekretaris saja bisa begini mencurigakan bagiku. “Ini, Pak. Berkas-berkasnya.” Risma masuk lagi dengan beberapa map berwarna merah dan biru di tangannya. “Ini proposal awal yang kita ajukan. Ini surat perjanjian kerja sama kedua belah pihak. Dan yang ini surat orderan tahap pertama. Semua sudah lengkap,” paparnya seraya menyerahkan map itu satu persatu kepadaku. “Hem,” sahutku bergumam, seraya mengamati isi map pertama. Kucoba memaham
**** Aku baru saja mengakhiri rapat tertutup dengan para manager dan sekretaris manager di perusahaan milik Mbak Viona ini. Atas petunjuk Pak Alatas yang kutelpon tadi siang, kubereskan semua kuruwetan yang terjadi. Sekretaris Manager Pemasaran kuperintahkan memegang kendali di bidang pemasaran. Reno sudah dibawa polisi. Kursi manager pemasaran tak mungkin kosong kalau ingin perusahaan ini tetap berjalan. Aku tahu Reno pasti akan membayar pengacara termahal dan terhebat untuk membela kasusnya. Sama seperti dulu, saat dia menuntutku hingga aku terkurung lama di dalam penjara. Padahal dia yang telah mencuri istriku. Kali ini, aku yakin dia akan berbuat yang sama. Pasti dia akan memutar balikkan fakta. Dia yang melakukan penipuan dan penggelapan uang perusahaan atas pengiriman barang kepada PT IRA Properti, tapi dengan kelicikan dan uang yang dia punya, bisa saja aku yang berakhir di penjara. Tetapi, kali ini itu tak akan terjadi. Aku memegang kartu matinya. Aku akan mengguna
**** “Rekam pakai hape Abang!” titahku kepada Bang Karmin. Pria itu mengangguk, lalu mengutak-atik ponselnya. Aku belum punya ponsel seperti itu. Ponsel jadul milikku tak memiliki alat untuk merekam. “Saya takut menghadap dia, Pak Reno! Saya takut dia akan menanyakan tentang dokumen yang saya buang ke tempat sampah itu. Soalnya, saya baru ingat, waktu itu saya sempat melihat dia ada di dekat pembuangan sampah halaman depan saat saya buang kardus itu. Saat itu dia memang sedang cari rongsokan. Saya takut, Pak Reno! Saya takut dia menyelidiki hal itu. Kalau saya ketahuan sekongkol dengan Pak Reno mencuri dokumen penting itu bagaimana? Saya tidak mau di penjara, Pak! Saya takut dipecat! Saya takut, Pak Reno!” Bang Karmin sontak menatapku. Sepertinya dia sangat terkejut dengan pengakuan OB itu. Segera kutempelkan telunjuk di bibirku, sebagai isyarat agar dia tetap tenang dan lanjutkan merekam. “Oh, istri Pak Reno sudah menghubungi pengacara handal? Dia bisa membebaskan Bapak dar
**** “Ninda … mau apa dia ke sini?” gumamku tersentak kaget. Perempuan itu melangkahkan kakinya panjang – panjang menuju ke arah kami. “Bang … aku mencari Abang di rumah kumuh itu! Di sana aku bertemu perempuan lebay, sok cantik, sok garang, sok kuat. Kami sempat adu mulut juga. Tapi, saat kubilang aku mau jumpai Abang untuk minta maaf, dia akhirnya luluh juga. Ternyata meskipun garang di punya hati yang baik juga. Nah, dia memberi aku alamat baru abang.” Ninda berceloteh sambil berjalan masuk. Kami semua membisu. Aku bingung mau bersikap bagaimana pada perempuan murahan itu. Dan parahnya aku merasa sangat takut Bu Asya akan marah dan menduga yang tidak tidak dengan kedatangan Ninda ke sini. Jujur, aku sangat takut dia cemburu. Eh, apa pula aku ini. Kok, bisa pula aku berpikir kalau Bu Asya bakal cemburu. Memangnya dia suka sama aku? Bah! Aku semakin ngawur saja. “Bima, Sayang … Ini Mama, Nak! Mama kangeeeen … banget, sini, Sayang!” ucap Ninda berjalan mendekati anakku. S
**** Mungkin sekarang Bu Asya semakin tak simpati padaku. Mungkin sekarang dia benci, jijik, kecewa, dan entahlah … aku sangat takut. Aku kini berdiri di depannya, tanpa bicara sepatah jua. Aku takut untuk bersuara. Sikapnya yang tenang dan begitu anggun justru semakin menakutiku. Sepertinya ini kali terakhir dia ada di depanku. selanjutnya mungkin dia akan menghindariku. Itu semakin membuatku resah. “Jadi ….” Bibir ranum merah lembut itu bergerak pelan. Tetapi suaranya menggantung. Kuberanikan diri untuk menatapnya. “Jadi?” tanyaku mengulanga kata-katanya. “Maaf, saya baru tahu kalau Bu Ninda itu adalah mamanya Bima,” ucapnya dengan nada yang begitu tenang. Aku tercekat. Betapa aku ingin mengatakan kalau bagiku Ninda bukan ibu anakku. Bagiku Ibu Bima sudah lama mati. Tetapi, melihat wajah anggun dan begitu berkharisma, kemampuanku untuk bersuara mendadak sirna. “Saya turut prihatin atas perceraian Bapak dengan Bu Ninda. Satu yang ingin saya tekankan, bahwa tak baik merahasi
***** “Iya, tapi … Bu Guru bilang, Bima harus makan bareng Papa.” Bima melorotkan tubuhnya dari gendonganku. “Ayo, Pa! Kita ke meja makan, Bima udah laper banget!” ajaknya sedikit memaksa. Telunjuk tanganku dia tarik kencang menuju ruang makan. Penasaran, kuikuti langkah kecilnya. Aroma makanan langsung tercium dari arah ruang makan menyerang cuping hidungku. Benar saja, makanan sudah terhidang di atas meja makan besar dan panjang yang tersedia di sana. Kupindai menu makanan itu dengan netraku. Beberapa jenis makanan yang begitu sederhana dan sangat mengguggah selera. Satu piring besar ayam goreng bumbu kelawas, satu piring besar tempe dan tahu goreng, satu mangkuk sup iga sapi, satu mangkuk kecil saos sambal tomat hasil olahan sendiri, bukan saos dari botol, dan satu toples kerupuk. Benarkah Bu Asya yang memasak ini semua? “Ini tadi, dibeli Bu Guru, ya?” selidikku seraya menarik sebuah kursi. Kugendong Bima dan kududukkan dia di sana. Lalu kuhenyakkan tubuhku di sampingnya
***** Aku terpana. Bu Asya menyambutku dengan senyum termanisnya. Bima yang sudah berseragam rapi, tengah menikmati nasi goreng di sampingnya. “I – ibu … su sudah datang?” tanyaku terbata. “Iya, saya ditelpon Mbak Asri. Katanya dia tidak bisa cepat datang ke sini, untuk membuat sarapan. Soalnya anaknya demam. Nanti agak siangan baru dia bisa datang, setelah bawa anaknya berobat dulu. Itu sebabnya saya datang. Sekalian jemput Bima sekolah, biar kami berangkat bareng.” “Oh.” Hanya itu yang terucap di bibirku. “Pak Bara mandi, sana! Terus sarapan! Atau Bapak mau sarapan di kantor saja, ya?” “Iii, em, gimana juga boleh. Baik, saya mandi dulu!” Aku gelagapan. “Ya!” Buru-buru aku kembali ke kamar utama. Langsung menuju kamar mandi yang tersedia di sana. Melakukan rutinitas mandi, lalu segera keluar lagi setelah menyeka asal tubuh basahku dengan sebuah handuk. Hanya dengan mengenakan handuk sebatas pinggang aku keluar dari kamar mandi. “Ups, Bu Asya!” Aku terkejut saat mendapati
*****[Kenapa belum datang, Pak Bara? Cepat, saya butuh Bapak sekarang?]Pesan dan Mbak Viona masuk lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Kuscroll daftar nomor di kontakku. Kutekan nomor Bang Karmin.“Hallo, Pak Bara, selamat malam! Ada apa malam-malam begini nelpon saya? Ada masalah kah?” Terdengar nada panik dari suaranya. Bang Karmin langsung mengangkat telponku.“Abang segera datang, cepat! Mbak Viona sedang kumat! Jangan pakai lama! Sepuluh menit, lekas!” perintahku.“Viona kumat? Astaga! Bukankah penyakitnya sudah lama sekali tidak kumat? Gimana kumatnya, Pak? Apakah dia menjerit-jerit, pingsan, atau gimana?”“Tak bisa kujelaskan, pokoknya Abang cepat datang kalau tak mau kehilangan dia, cepat!”“Ok, baik! Sepuluh menit aku sudah sampai di situ!”“Hem. Tapi Abang jangan bilang kalau aku yang nelpon Abang! Mbak Viona katanya tak mau diganggu oleh siapapun. Dari tadi dia teriak-teriak enggak jelas. Dia mengunci diri di dalam kamar. Kami takut dia kenapa napa di dalam kamarnya. Sepert
****[Kutunggu di kamarku malam ini, atau videonya kukirim ke nomor Kak Asya!]Kubaca sekali lagi pesan yang dikirim Mbak Viona lewat aplikasi WA. Perempuan ini benar-benar sudah tidak waras. Dia berusaha agar akupun bertindak tidak waras seperti dia. Tidak, Viona! Kau tak bisa mengancam aku!“Bima, udah makannya? Kalau udah, yuk, belajar sebentar, lalu bobok!” kataku tak menghiraukan pesan perempuan itu.“Udah, Pa! Eeem, Bima mau belajar sama Mama, ya? Bobok juga sama Mama,” ujarnya memohon. Sontak aku dan Asya saling tatap.“Enggak bisa, dong! Bima, kan udah disediakan kamar sendiri!” Mbak Viona yang langsung menjawab. “Mama Asya sama Papa, masih pengantin baru, mereka enggak boleh diganggu. Bima boboknya sendiri aja, ya!” imbuhnya lagi. Bima terdiam dengan wajah murung. Sepertinya dia kecewa dengan jawaban Mbak Viona.“Enggak apa-apa, kok, Bima bobok bareng Mama aja! Yuk, sekarang ita belajar dulu!” kata Asya membuat Bimaku langsung semringah. “Hore … terima kasih, Ma! Bima
*****“Hallo … halllo Mbak Viona … Hallo …!” Tak sadar aku berteriak di ponselku.Perempuan sakit itu sudah memutusnya. Rasanya tak percaya dengan apa yang aku dengar. Bagaiamna bisa aku tidur dengan Viona tadi pagi. Astaga! Ini kiamat! Bagaimana ini? Bagaimana kalau sampai Asya tahu hal ini. Gawat gawat! Kok bisa sih, aku meniduri perempuan itu?Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin itu terjadi. Sama sekali aku tak pernah tertarik pada gadis itu selama ini. Dekat saja dengannya aku ogah. Apalagi kalau sampai menidurinya. Dia pasti ngarang! Perempuan itu sakit jiwa. Apapun bisa saja dia bilang, padahal hanya khayalan gilanya.Kebingunganku belum lagi hilang ketika sebuah notif pesan masuk terdengar di gawaiku. Cepat-cepat kuusap layar. Sebuah kiriman video. Dari perempuan sinting itu lagi. Tak selera aku melihat video kirimannya. Tetapi sontak aku tersadar, bukankah barusan dia bilang akan mengirim ke nomorku video rekaman kami tadi pagi? Astaga! Kalau videonya ada, berarti kej
*****“Aawww … sakit ….” Sontak kuhentikan gerakanku. Jerit kecil yang terdengar dari bibir Asya adalah keanehan paling parah yang kuarasakan. Benar, sejak awal aku merasakan ada yang berbeda dengan yang kami alkukan tadi malam.Tadi malam, semua berjalan lancar. Kami menyatu dengan begitu gampang. Tapi pagi ini, kurasakan milik Asya sangat berubah. Begitu sulit untuk kemasuki, terasa begitu sempit dan puncaknya adalah jerit kesakitannya barusan.Apa sebenarnya ini? Aku kebingungan.“Sudah, lanjutkan!” bisiknya setelah beberapa detik kami berdiam diri. Kulihat dia menggigit bibir bawahnya. Kusaksikan tangannya mencengkram akin seprei tempat tidur ini. Ini bukan sandiwara, Asyaku sepertinya benar benar kesakitan.Kenapa sakitnya sekarang? Bukankah harusnya tadi malam?“Sayang … sakit banget, ya?” tanyaku kebingungan.“Enggak, kok. Aku bisa nahan. Abang teruskan saja!” jawabnya pelan.“Tapi, kamu ….” sergahku masih belum paham.“Aku enggak apa-apa. Menurut beberapa referensi yang k
POV Bara****“Bang … Abang ….”Samar kudengar suara merdu itu memanggil namaku. Kurasakan belaian halus di lenganku. Entah aku masih berada di alam mimpi, atau alam nyata. Yang kurasakan adalah lega dan bahagia yang membuncah di dalam dada.“Bangun, dong! Udah siang banget! Sekarang udah hampir jam sepuluh, loh! Masa kita bobok gak bangun-bangun, sih?” Suara merdu itu kudengar mulai mengoceh. Kupaksa memori otakku untuk bekerja maksimal. Kucoba mengumpulkan nyawa yang belum kembali sepenuhnya. Siluet siluet kejadian kemarin melintas seketika. Saat aku mengucapkan kalimat sakral, lalu disambut dengan teriakan ‘SAH’ dari para hadirin. Menyalam para tamu undangan, lalu tadi malam ….“Sya …?” sontak kubuka kedua netra lebar-lebar. Sekarng aku sudah ingat semuanya, aku sudah menikah kemarin, aku sudah sah menjadi seorang suami lagi. Asya, gadis yang begitu kudamba telah sah menjadi milikku. Dan tadi malam ….Kami sudah melewati malam pertama yang begitu melenakan.“Iya, Abang? Kok,
****“Jangan takut, Pak Bara …,” bisikku pelan. Kurasakan hentakan nafasnya semakin tak normal. Kadang memburu kadang lemas seolah tak berdaya. Kuintenskan sentuhan jemariku di titik kelemahannya. Wajahnya kian memarah, mata sayunya mulai terpejam. Dia mulai terhanyut, dan hilang dalam gelisah yang kian menyiksa.Pak Baraku mulai dicekik hasrat, aku tau pasti bagaimana sistem kerja pil yang telah dia teguk melalui kopi susu hangat itu. Saat ini, yang dibutuhkan olehnya hanyalah pelampiasan. Sama seperti yang dialami oleh Bang Karmin dulu, saat pertama kali aku harus memaksanya melakukan itu. Jika aku tidak nekat menjeratnya dengan pil itu, tentu hingga detik ini dia tak akan pernah menyentuhku.Dan kali ini adalah giliran Pak Baraku. Pria tampan super dingin yang selalu menolakku. Pria miskin tapi begitu sombong, yang tega menyakiti hatiku lalu menikahi kakakku! Tapi, maaf, pak Bara. Aku Viona, aku tak akan pernah mau kalah. Aku punya seribu cara untuk menaklukkanmu!“Sya … As
****“Mbak Viona?” Pak Bara tergagap, dia kucek berulang-ulang kedua netranya. Terlihat jelas kalau dia masih dilanda kantuk yang teramat berat. Astaga, pria ini tetap saja terlihat sangat tampan meski dia baru bangun tidur. Bahkan kelopak matanya belum terbuka sempurna. Dia tampak masih begitu lesu karena nyawanya belum berkumpul sepenuhnya. Tetapi pesonanya …. Aaaahk, Pak Bara … kau membuatku semakin mabuk kepayang saja.“Mbak Vi!” panggilnya lagi menyebut namaku.“I-iya, saya, Pak.” Tersadar aku dari lamunanku. Namun hanya sesaat. Selanjutnya aku sudah bisa menguasai diri kembali. Akting hebatku akan segera kumulai lagi.“Baru bangun, nih, ceritanya? Tadi malam pasti melelahkan sekali, ya, sampai sampai gak bisa bangun padahal udah lewat subuh,” godaku membuat pria itu salah tingkah.“Ti-tidak juga. Ini, udah pagi, ya? Mbak Vi, ngapain ke sini?” tanyanya keheranan.“Ssst! Jangan berisik, nanti Kak Asya terbangun, kasihan dia, sepertinya capek banget ngikutin resepsi semalam, di
*****“Selamat menikmati malam pertamanya, ya! Semoga suka kamarnya!” ucapku menyalam dan memeluk Kak Asya. Aku yang memilih hotel ini untuk tempat ijab kabul dan resepsi pernikahan istimewanya. Aku juga yang memilihkan kamar ini untuk tempat mereka melewati malam pertama. Usai resepsi, mereka akan melangsungkan bulan madu. Kupersiapkan semaksimal mungkin. Termasuk rencana cantik di balik semuanya.Kulihat kedua matanya berkaca-kaca. Bibirnya mengucapkan kalimat terima kasih yang tiada terkira. Kakakku yang sangat baik. Kakakku yang selalu beruntung dalam hidupnya. Tidak tahukah kau aku sangat iri padamu?“Terima kasih, Vi! Kamu baik banget. Kakak janji, nanti, kalau kamu nikah, kakak akan melakukan hal yang sama buat kamu! Cepat nyusul, ya!” Dia mengucap doa.Doamu akan segera terkabul, Kak Asya. Kau lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya. Obat penenang yang kau suruh aku konsumsi setiap hari itu memang sangat berguna. Obat itu mampu menenangkan emosiku. Aku tak lagi meledak
****“Sya …!” panggilku dengan suara serak. Aku berusaha menghalau rasa kantuk ini. Kepala ini rasanya berat sekali. Kedua kelopak mata seolah direkatkan dengan lem. Ini aneh sekali. Baru saja kami baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba diserang kantuk berat? “Sayang?” gumamku lagi membelai pipi wanita yang tadi pagi sudah sah sebagai istriku itu. Aku sudah berhak menyentuhnya, harusnya. Mestinya malam ini kami bisa melewati malam ini dengan penuh cinta. Tetapi, tak bisa. Kami tergelatak diserang rasa kantuk yang luar biasa.“Sya ….” gumamku lirih. Tak ada sahutan. Asya seperti sudah benar-benar tertidur. Suara dengkurnya bahkan sudah terdengar halus. Kupikir itu karena kami begitu kelelahan menjani resepsi pernikahan seharian tadi.“Sayang? Kita bobok dulu, nih, ceritanya?” tanyaku melepas pelan gelas dari tangannya. Kuletakkan di atas nakas dengan cara memanjangkan jangkauan tanganku. Hampir saja gelas itu terlepas, karena tenagaku juga benar-benar sudah lenyap. Aku juga sudah diland