**** Sungguh aku tak merasa lapar sedikitpun. Semua rasa hilang ditimpa rasa maluku. Tetapi, perasaanku akan tambah runyam bila mengecewakan Bu Asya lagi. “Baik, saya menunggu di mobil! Bapak sarapan saja dulu!” Karmin memutuskan. Aku melangkah menuju ruang makan. “Papa, lihat ini, wadah bekal makan siang Bima!” Bima menyambutku dengan sebuah wadah bekal di tangannya. “Keren, kan? Ini sudah sama dengan punya teman-teman. Steven tidak akan menghina Bima lagi! Bu Guru yang membelikannya untuk Bima, Pa!” lanjutnya begitu gembira. Sontak kulirik gadis itu, tatapan kami beradu. Tapi hanya sesaat. Detik berikutnya dia sudah menunduk. “Iya, bagus! Belajar yang baik, ya! Jangan kecewakan Bu Guru!” ucapku mengusap kepalanya. Kutarik sebuah kursi, lalu kuhenyakkan tubuhku di sana. Bu Asya mengisi sebuah piring dengan nasi goreng buatannya, sepertinya itu untukku. “Bima tunggu di mobil, ya, Bu Guru!” ucap Bima menyadang tas sekolahnya. “Papa, Bima berangkat sekolah, ya!” pamitnya pad
**** “Ya, Bu Asya sangat egois. Ibu hanya memikirkan kepentingan Ibu saja! Demi tidak kehilangan papa Ibu, Ibu rela mengorbankan perasaan orang lain,” sungutku semakin kesal. “Saya tidak bermaksud mengorbankan Bapak. Ok, kalau saat ini Pak Bara belum bisa mencintai Viona. saya yakin dengan berjalannya waktu, Pak Bara pasti bisa pelan pelan mencintai dia. Saya akan bantu agar kalian dekat, saya akan bantu agar Pak Bara bisa jatuh cinta sama Viona.” “Lalu, bagaimana dengan perasaanku sendiri?” “Perasaan Bapak?” “Ya, perasaanku kepada Bu Asya? Ke mana kutaruh perasaanku ini? Jawab, Bu Asya! Bisakah Ibu membunuh rasa sayangku pada Bu Asya yang sudah terlanjur tumbuh subur ini? Ibu bisa? jawab!” teriakku mengebrak meja makan, lalu bangkit dari dudukku. Kutatap dia dengan tatapan tajam. Perempuan itu tercekat. Bibirnya kini mengatup rapat. Dia bahkan tak mampu lagi menatapku. “Bunuh dulu rasa cintaku pada Bu Asya! Kalau Ibu berhasil, baik, aku berjanji akan kupenuhi permintaan Ibu
***** “Kalau Bapak enggak mulung, kita mau makan apa?” Sayup, kudengar suara itu. Sepertinya dari bilik Bang Harjo. Kutajamkan pendengaran. “Beras sudah habis! Jangankan untuk makan siang nanti, untuk pagi ini saja kita harus makan angin! Sisa uang kemarin udah dibelikan salap untuk luka borok kaki Bapak, kan. Obat sia-sia! Boroknya enggak sembuh, uangnya habis! Mana mahal! Sekarang malah enggak bisa kerja!” “Jadi gimana, kakiku sakitnya ampun-ampun, Dek. Abang gak tahan sakitnya kalau di bawa berjalan. Kalau abang paksa bawa kerja, luka boroknya juga bisa tamah parah karena ngeinjak tanah jorok, air tergenang, tanah becek. Abang takut malah tambah lonyot kaki abang. Abang enggak punya sepatu model bot yng bisa melindungi kaki itu, Dek. Izinkan Abang enggak kerja hari ini, ya! Abang mau membalur luka kaki abang dengan ramuan yang ditumbuk halus itu. Siapa tahu bisa kering besok pagi abang kerja lagi.” “Terus, sekarang mau makan apa? Kalau kerja juga paling cuma dapat seliter b
**** “Buat apa, sih, Pak Bara. Percuma juga, kan, meski saya kirim sama Bapak. Jangankan memeriksa laporan keuangan, menghidupkan laptop saja Bapak enggak bisa, kan? Terus, apa yang mau Bapak periksa. Bukannya tugas Bapak di sini hanya untuk menggantikan Pak Dirut saja?” Perempuan itu kembali merendahkanku. Sial, kenapa pula aku kepedean mau memeriksa laporan keuangan perusahaan ini. Kukira, gampang. Ternyata aku salah. Benar kata perempuan itu. Aku tak tahu apa apa. Jangankan mau memeriksanya, menyalakan laptop ini saja aku tak paham. Bagaimana caraku melihatnya, coba. Tetapi aku tak boleh terlihat bodoh! Aku harus mempertahankan wibawaku. “Sepertinya aku perlu mencari sekretaris baru, ya?” ancamku tetap tanpa menatapnya. Aku mendengar dia mendengus kesal. Sepertinya aku benar benar akan memecatnya. Baik, aku akan cari penggantinya. “Baik, saya kirim segera,” jawabnya lalu beranjak pergi. Segera kuraih intercom di saku celana. Aku harus membicarakan ini dengan Bang Karmin. Hit
**** Aku disambut bak orang hebat dan istimewa. Padahal aku hanya orang pengganti. Aku tak punya keahlian apa-apa. Perasaan terbebani ini makin sempurna karena harus berdampingan dengan perempuan di sebelahku ini. Uh, bisa stress berat aku selama melewati acara ini nanti. Eh, kenapa dia? Aku terkejut saat menoleh ke samping. Mbak Viona tertidur dengan cara bersandar di sandaran jok mobil. Sejak kapan dia tidur. Bah! Bisa-bisanya dia tidur padahal waktu sudah sangat mepet begini. “Pak Bara turun saja. Lihat, panitia acara itu sudah menunggu Bapak. Mereka akan mengantar Pak Bara ke dalam!” Bang Karmin membukakan pintu mobil untukku. “Ta-tapi … ini?” tanyaku menunjuk Mbak Viona. Suara dengkur terdengar halus dari mulutnya. Itu tandanya dia benar-benar sedang pulas. “Maaf, Pak. Yang diundang di acara ini hanya untuk satu orang saja. Hanya Direktur Utama. Mbak Viona sepertinya sengaja mencari kesempatan agar bisa dekat dengan Pak Bara. Dari pada Mbak Viona bikin masalah, terpaksa s
**** Mobil ditepikan oleh Bang Karmin dengan segera seperti perintahku. Lama kami terdiam. Aku sibuk menetralkan suasana hatiku. Entah mengapa aku merasa sangat tersinggung setelah mengetahui kalau ternyata selama ini Bu Asya selalu mengikuti apapun yang aku lakukan di perusahaan itu. Bang Karmin pun sama, dia juga selalu melaporkan segala sesuatunya. Aku yakin, info tentang aku yang sedang belajar cara menyalakan laptop pun sudah dia laporkan kepada wanita itu. Tentu saja aku merasa sangat malu. Harga diriku terkoyak. Kalau yang memata-matai aku adalah Pak Alatas, aku masih bisa terima. Tapi kalau yang memata-matai itu adalah Bu Asya, apa urusannya? “Maaf, Pak Bara, tolong jangan salah paham. Tak ada maksud Mbak Asya memata-matai Bapak.” Bang Karmin mengulang kalimatnya setelah lama kami saling membisu. “Kalau begitu, jelaskan padaku sekarang. Apa maksudnya mencari tahu semuanya! Kalau alasan Abang masuk akal, aku mungkin bisa terima. Tapi, kalau tidak masuk akal, dengan
**** Jujur, aku pria yang sehat. Apalagi sudah sangat lama tak pernah disuguhi pemandangan seperti ini. Bisa-bisa khilaf juga aku. Tapi, aaargh …, aku harus tetap waras. Bu Asya, nama itu masih tersemat di relung hati terdalam. Harapanku masih membuncah, apalagi setelah mendengar penjelasan dari ajudanku. “Ih, Pak Bara ngelamun! Lamunan apa, coba? Kalau Bapak butuh teman makan malam, aku bisa, kok, Pak. Kebetulan aku juga lagi kosong.” Aku tersentak. Ada ya, wanita se agresif ini. Tapi, akan tetap kulayani agar bisa mengulur waktu hingga Ainy kembali masuk ke ruangan ini. “Pak Bara, kabarnya udah tujuh tahun lebih, ya, menduda. Eeeem, apa enggak kangen, gitu?” lanjut Risma seraya memilin milin ujung gaunnya. Bah, kenapa pula gaunnya dia singkap ke atas. Iya, sih, gaun yang dia kenakan sudah panjang, sudah menutup sampai mata kaki. Tapi, kalau diangkat ke atas seperti itu, tetap saja paha putih mulusnya itu terlihat jelas. Entah bagaimana cara bilangnya lagi. Hah, ini bukan f
*****Aini mengikuti perintahku. Dengan seksama dia baca berkas berlembar lembar itu. Risma terlihat makin panik. Lima menit kemudian, Aini mulai membacakan isinya dengan bahasa sederhana seperti yang kuminta.“Stopp! Kamu diam!” Tiba-tiba Risma menyerangnya. Berkas yang ada di tangan Aini dia sambar, lalu dia sobek dengan kasar.Aku terpana. Perempuan itu telah menghancurkan barang bukti.“Aini! Kau gagal! Jadi, kau terpaksa aku pecat! Kecuali kau mau jujur apa sebenarnya yang terjadi sehingga kau membangkang padaku! Kalau kau jawab jujur, kau kuberi kesempatan sekali lagi! Jelaskan!” Aku sengaja mengancam Aini, berharap dia mau jujur.“Baiklah, saya kan jujur. Sebenarnya saya tidak membangkang, Pak. Tapi … tapi saya ….”“Aini! Kau diam! Aku yang menerima kau bekerja dulu di sini, kan? Kau ingat itu, kan?” Risma mendorong bahu Aini dengan kasar.“Cukup, Kak Ris! Aku udah gak tahan! Terserah Kakak! Aku udah siap mesti kakak pecat aku sekarang! Toh, Pak Bara juga akan pecat saya
*****[Kenapa belum datang, Pak Bara? Cepat, saya butuh Bapak sekarang?]Pesan dan Mbak Viona masuk lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Kuscroll daftar nomor di kontakku. Kutekan nomor Bang Karmin.“Hallo, Pak Bara, selamat malam! Ada apa malam-malam begini nelpon saya? Ada masalah kah?” Terdengar nada panik dari suaranya. Bang Karmin langsung mengangkat telponku.“Abang segera datang, cepat! Mbak Viona sedang kumat! Jangan pakai lama! Sepuluh menit, lekas!” perintahku.“Viona kumat? Astaga! Bukankah penyakitnya sudah lama sekali tidak kumat? Gimana kumatnya, Pak? Apakah dia menjerit-jerit, pingsan, atau gimana?”“Tak bisa kujelaskan, pokoknya Abang cepat datang kalau tak mau kehilangan dia, cepat!”“Ok, baik! Sepuluh menit aku sudah sampai di situ!”“Hem. Tapi Abang jangan bilang kalau aku yang nelpon Abang! Mbak Viona katanya tak mau diganggu oleh siapapun. Dari tadi dia teriak-teriak enggak jelas. Dia mengunci diri di dalam kamar. Kami takut dia kenapa napa di dalam kamarnya. Sepert
****[Kutunggu di kamarku malam ini, atau videonya kukirim ke nomor Kak Asya!]Kubaca sekali lagi pesan yang dikirim Mbak Viona lewat aplikasi WA. Perempuan ini benar-benar sudah tidak waras. Dia berusaha agar akupun bertindak tidak waras seperti dia. Tidak, Viona! Kau tak bisa mengancam aku!“Bima, udah makannya? Kalau udah, yuk, belajar sebentar, lalu bobok!” kataku tak menghiraukan pesan perempuan itu.“Udah, Pa! Eeem, Bima mau belajar sama Mama, ya? Bobok juga sama Mama,” ujarnya memohon. Sontak aku dan Asya saling tatap.“Enggak bisa, dong! Bima, kan udah disediakan kamar sendiri!” Mbak Viona yang langsung menjawab. “Mama Asya sama Papa, masih pengantin baru, mereka enggak boleh diganggu. Bima boboknya sendiri aja, ya!” imbuhnya lagi. Bima terdiam dengan wajah murung. Sepertinya dia kecewa dengan jawaban Mbak Viona.“Enggak apa-apa, kok, Bima bobok bareng Mama aja! Yuk, sekarang ita belajar dulu!” kata Asya membuat Bimaku langsung semringah. “Hore … terima kasih, Ma! Bima
*****“Hallo … halllo Mbak Viona … Hallo …!” Tak sadar aku berteriak di ponselku.Perempuan sakit itu sudah memutusnya. Rasanya tak percaya dengan apa yang aku dengar. Bagaiamna bisa aku tidur dengan Viona tadi pagi. Astaga! Ini kiamat! Bagaimana ini? Bagaimana kalau sampai Asya tahu hal ini. Gawat gawat! Kok bisa sih, aku meniduri perempuan itu?Tapi tidak mungkin. Tidak mungkin itu terjadi. Sama sekali aku tak pernah tertarik pada gadis itu selama ini. Dekat saja dengannya aku ogah. Apalagi kalau sampai menidurinya. Dia pasti ngarang! Perempuan itu sakit jiwa. Apapun bisa saja dia bilang, padahal hanya khayalan gilanya.Kebingunganku belum lagi hilang ketika sebuah notif pesan masuk terdengar di gawaiku. Cepat-cepat kuusap layar. Sebuah kiriman video. Dari perempuan sinting itu lagi. Tak selera aku melihat video kirimannya. Tetapi sontak aku tersadar, bukankah barusan dia bilang akan mengirim ke nomorku video rekaman kami tadi pagi? Astaga! Kalau videonya ada, berarti kej
*****“Aawww … sakit ….” Sontak kuhentikan gerakanku. Jerit kecil yang terdengar dari bibir Asya adalah keanehan paling parah yang kuarasakan. Benar, sejak awal aku merasakan ada yang berbeda dengan yang kami alkukan tadi malam.Tadi malam, semua berjalan lancar. Kami menyatu dengan begitu gampang. Tapi pagi ini, kurasakan milik Asya sangat berubah. Begitu sulit untuk kemasuki, terasa begitu sempit dan puncaknya adalah jerit kesakitannya barusan.Apa sebenarnya ini? Aku kebingungan.“Sudah, lanjutkan!” bisiknya setelah beberapa detik kami berdiam diri. Kulihat dia menggigit bibir bawahnya. Kusaksikan tangannya mencengkram akin seprei tempat tidur ini. Ini bukan sandiwara, Asyaku sepertinya benar benar kesakitan.Kenapa sakitnya sekarang? Bukankah harusnya tadi malam?“Sayang … sakit banget, ya?” tanyaku kebingungan.“Enggak, kok. Aku bisa nahan. Abang teruskan saja!” jawabnya pelan.“Tapi, kamu ….” sergahku masih belum paham.“Aku enggak apa-apa. Menurut beberapa referensi yang k
POV Bara****“Bang … Abang ….”Samar kudengar suara merdu itu memanggil namaku. Kurasakan belaian halus di lenganku. Entah aku masih berada di alam mimpi, atau alam nyata. Yang kurasakan adalah lega dan bahagia yang membuncah di dalam dada.“Bangun, dong! Udah siang banget! Sekarang udah hampir jam sepuluh, loh! Masa kita bobok gak bangun-bangun, sih?” Suara merdu itu kudengar mulai mengoceh. Kupaksa memori otakku untuk bekerja maksimal. Kucoba mengumpulkan nyawa yang belum kembali sepenuhnya. Siluet siluet kejadian kemarin melintas seketika. Saat aku mengucapkan kalimat sakral, lalu disambut dengan teriakan ‘SAH’ dari para hadirin. Menyalam para tamu undangan, lalu tadi malam ….“Sya …?” sontak kubuka kedua netra lebar-lebar. Sekarng aku sudah ingat semuanya, aku sudah menikah kemarin, aku sudah sah menjadi seorang suami lagi. Asya, gadis yang begitu kudamba telah sah menjadi milikku. Dan tadi malam ….Kami sudah melewati malam pertama yang begitu melenakan.“Iya, Abang? Kok,
****“Jangan takut, Pak Bara …,” bisikku pelan. Kurasakan hentakan nafasnya semakin tak normal. Kadang memburu kadang lemas seolah tak berdaya. Kuintenskan sentuhan jemariku di titik kelemahannya. Wajahnya kian memarah, mata sayunya mulai terpejam. Dia mulai terhanyut, dan hilang dalam gelisah yang kian menyiksa.Pak Baraku mulai dicekik hasrat, aku tau pasti bagaimana sistem kerja pil yang telah dia teguk melalui kopi susu hangat itu. Saat ini, yang dibutuhkan olehnya hanyalah pelampiasan. Sama seperti yang dialami oleh Bang Karmin dulu, saat pertama kali aku harus memaksanya melakukan itu. Jika aku tidak nekat menjeratnya dengan pil itu, tentu hingga detik ini dia tak akan pernah menyentuhku.Dan kali ini adalah giliran Pak Baraku. Pria tampan super dingin yang selalu menolakku. Pria miskin tapi begitu sombong, yang tega menyakiti hatiku lalu menikahi kakakku! Tapi, maaf, pak Bara. Aku Viona, aku tak akan pernah mau kalah. Aku punya seribu cara untuk menaklukkanmu!“Sya … As
****“Mbak Viona?” Pak Bara tergagap, dia kucek berulang-ulang kedua netranya. Terlihat jelas kalau dia masih dilanda kantuk yang teramat berat. Astaga, pria ini tetap saja terlihat sangat tampan meski dia baru bangun tidur. Bahkan kelopak matanya belum terbuka sempurna. Dia tampak masih begitu lesu karena nyawanya belum berkumpul sepenuhnya. Tetapi pesonanya …. Aaaahk, Pak Bara … kau membuatku semakin mabuk kepayang saja.“Mbak Vi!” panggilnya lagi menyebut namaku.“I-iya, saya, Pak.” Tersadar aku dari lamunanku. Namun hanya sesaat. Selanjutnya aku sudah bisa menguasai diri kembali. Akting hebatku akan segera kumulai lagi.“Baru bangun, nih, ceritanya? Tadi malam pasti melelahkan sekali, ya, sampai sampai gak bisa bangun padahal udah lewat subuh,” godaku membuat pria itu salah tingkah.“Ti-tidak juga. Ini, udah pagi, ya? Mbak Vi, ngapain ke sini?” tanyanya keheranan.“Ssst! Jangan berisik, nanti Kak Asya terbangun, kasihan dia, sepertinya capek banget ngikutin resepsi semalam, di
*****“Selamat menikmati malam pertamanya, ya! Semoga suka kamarnya!” ucapku menyalam dan memeluk Kak Asya. Aku yang memilih hotel ini untuk tempat ijab kabul dan resepsi pernikahan istimewanya. Aku juga yang memilihkan kamar ini untuk tempat mereka melewati malam pertama. Usai resepsi, mereka akan melangsungkan bulan madu. Kupersiapkan semaksimal mungkin. Termasuk rencana cantik di balik semuanya.Kulihat kedua matanya berkaca-kaca. Bibirnya mengucapkan kalimat terima kasih yang tiada terkira. Kakakku yang sangat baik. Kakakku yang selalu beruntung dalam hidupnya. Tidak tahukah kau aku sangat iri padamu?“Terima kasih, Vi! Kamu baik banget. Kakak janji, nanti, kalau kamu nikah, kakak akan melakukan hal yang sama buat kamu! Cepat nyusul, ya!” Dia mengucap doa.Doamu akan segera terkabul, Kak Asya. Kau lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya. Obat penenang yang kau suruh aku konsumsi setiap hari itu memang sangat berguna. Obat itu mampu menenangkan emosiku. Aku tak lagi meledak
****“Sya …!” panggilku dengan suara serak. Aku berusaha menghalau rasa kantuk ini. Kepala ini rasanya berat sekali. Kedua kelopak mata seolah direkatkan dengan lem. Ini aneh sekali. Baru saja kami baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba diserang kantuk berat? “Sayang?” gumamku lagi membelai pipi wanita yang tadi pagi sudah sah sebagai istriku itu. Aku sudah berhak menyentuhnya, harusnya. Mestinya malam ini kami bisa melewati malam ini dengan penuh cinta. Tetapi, tak bisa. Kami tergelatak diserang rasa kantuk yang luar biasa.“Sya ….” gumamku lirih. Tak ada sahutan. Asya seperti sudah benar-benar tertidur. Suara dengkurnya bahkan sudah terdengar halus. Kupikir itu karena kami begitu kelelahan menjani resepsi pernikahan seharian tadi.“Sayang? Kita bobok dulu, nih, ceritanya?” tanyaku melepas pelan gelas dari tangannya. Kuletakkan di atas nakas dengan cara memanjangkan jangkauan tanganku. Hampir saja gelas itu terlepas, karena tenagaku juga benar-benar sudah lenyap. Aku juga sudah diland