Zyan yang semula tidur, tiba-tiba bangun dengan perut yang mual. Dia lekas beringsut ke kamar mandi dengan sempoyongan. Zahra yang sedang fokus bekerja tak menyadari hal tersebut. Wanita berhijab itu baru sadar kala mendengar suara Zyan yang muntah.Zahra gegas meletakkan iPad di meja lantas menyusul ke kamar mandi. Dia kembali menemani suaminya sampai Zyan sudah tak muntah lagi dan membantu bersih-bersih. Wajah pria bercambang tipis itu tampak semakin pucat dan badannya semakin lemas.“Bang, kita ke rumah sakit ya,” ucap Zahra setelah menuntun suaminya duduk di atas tempat tidur.Zyan menggeleng. “Abang gapapa, Ra.”“Gapapa gimana? Wajah Bang Zyan pucat banget. Muntah-muntah terus dari tadi,” tukas Zahra.“Tehnya masih enggak?” Zyan sengaja mengalihkan pembicaraan.“Masih, tapi sudah dingin. Tunggu sebentar, saya buatkan dulu yang baru.” Zahra hendak beranjak tapi ditahan oleh Zyan.“Abang minum itu saja gapapa. Mubazir kalau dibuang,” pinta Zyan.“Ga akan dibuang, saya yang akan hab
Dokter yang sebagian rambutnya sudah memutih itu memeriksa Zyan yang terbaring lemah di atas tempat tidur, sementara Zahra dan Faisal berdiri di dekat pintu. Mereka menunggu hasil pemeriksaan sang dokter.“Menurut pemeriksaan saya, semuanya baik-baik saja. Kemungkinan sedang kecapekan atau banyak pikiran. Sementara saya beri vitamin dan obat untuk mengurangi mual. Kalau dalam tiga hari tidak berkurang dan malah ada diare, langsung dibawa ke rumah sakit agar bisa diperiksa lebih lanjut,” jelas dokter pada Zahra dan Faisal.“Baik, Dok,” sahut Faisal.“Apa suami saya harus beristirahat di rumah selama kondisinya masih belum membaik, Dok?” tanya Zahra pada sang dokter.“Kalau memang tidak memungkinkan bekerja di kantor, lebih baik di rumah. Apalagi kalau lemas begini. Mau kerja juga tidak bisa,” jawab dokter.“Berarti sekarang suami saya sebaiknya pulang ya, Dok?” tanya Zahra lagi sambil melirik sang suami yang sedang memandangnya dari atas tempat tidur.Dokter itu mengangguk. “Iya. Kalau
“Kamu gila ya menyuruhku menggugurkan darah daging kita sendiri,” sergah Mila yang tak terima dengan usul pria yang menghamilinya.Pria itu tertawa di seberang telepon. “Jangan terlalu percaya diri mengatakan kalau janin itu juga darah dagingku. Siapa tahu anak dari pria lain yang pernah tidur denganmu. Atau pacarmu yang pengusaha itu.”“Tapi kamu yang tidur denganku waktu masa suburku,” sanggah Mila.“Kenapa kamu tidak meminta pertanggungjawaban pengusaha itu? Bukankah hidupmu dan anakmu akan lebih terjamin kalau menikah dengannya. Aku yakin keluarganya juga akan menerima kalau kamu sudah hamil anaknya.” Pria itu tak mengindahkan sanggahan sang artis.“Mana mungkin aku minta pertanggungjawaban orang lain. Kamu harusnya yang bertanggung jawab karena bukan dia,” sergah Mila.“Aku sudah bilang ‘kan kalau aku tidak yakin itu anakku. Aku juga tidak bisa menikahimu. Setelah dia lahir, kita lakukan tes DNA. Kalau benar dia anakku, aku akan bertanggung jawab menafkahinya, tapi aku tidak mau
Zahra membuka amplop tersebut lalu mengeluarkan isinya. Perlahan-lahan dia membuka lembaran kertas yang dilipat tiga tersebut. “Abang juga mau baca,” tukas Zyan.Zahra kemudian menggeser lembaran kertas itu hingga berada di hadapan Zyan. Wanita berhijab itu berusaha tenang meskipun jantungnya berdebar-debar saat mulai membaca apa yang tertulis pada lembaran hasil tes tersebut.“Dok, apa ini artinya istri saya hamil?” Zyan yang lebih dulu bereaksi usai membaca hasil tes.Dokter itu mengangguk. “Iya, Pak. Selamat ya atas kehamilan Ibu.”“Alhamdulillah,” ucap Zyan dengan penuh semangat. Dia langsung meraih tangan Zahra yang masih memegang hasil lab. Digenggamnya tangan itu dengan erat. “Kamu hamil, Ra. Tidak lama lagi kita akan punya anak. Terima kasih sudah hamil anak kita,” ucapnya penuh haru.Saking bahagianya, Zahra hanya mengangguk dan tidak bisa berkata-kata. Air mata bahkan turun di sudut matanya. Tentu saja air mata haru dan bahagia. Doa-doa mereka akhirnya diijabah oleh Allah s
Mila sudah beberapa kali mencoba menggugurkan kandungan dengan makanan, minuman, jamu, dan obat-obatan seperti yang disarankan orang-orang, tapi janin di dalam perutnya tetap bertahan. Dia tidak tahu harus melakukan apalagi. Untuk pergi ke klinik aborsi ilegal, artis itu tidak berani. Kebanyakan alat-alat yang mereka gunakan tidak steril, takutnya akan berdampak pada kesehatannya.“Mil, sebenarnya kamu itu hamil anak siapa?” tanya asisten pribadinya. “Ya, anak oranglah. Masa anak kodok,” jawab Mila. “Kalau gitu minta pertanggungjawaban orang yang menghamilimu dong. Jangan malah berniat menggugurkan kandungan,” lontar sang asisten pribadi.“Orangnya tidak mau bertanggung jawab karena dia sudah punya pasangan. Selain itu, dia juga tidak percaya kalau ini anaknya,” jelas Mila.“Apa itu anak Zyan?” Wanita yang selalu mendampingi Mila setiap kali bekerja itu menatap lekat sang artis.Mila tak menjawab. Dia hanya mengedikkan bahu.“Mil, kalau Zyan tidak bisa diajak bicara baik-baik, tingg
“Aku mau ke sana menemui Zyan, Rin,” ucap Mila pada asisten pribadinya.“Mil, dia lagi sama istrinya. Jangan gila kamu!” Rini mengingatkan sang artis.“Gila gimana? Siapa tahu Zyan tidak bahagia dengan pernikahannya sampai sakit begitu. Siapa tahu dengan melihatku, dia jadi sembuh,” cakap Mila dengan penuh percaya diri.“Rin, bukankah ini kesempatan yang bagus untuk mengatakan kalau aku hamil anaknya di depan banyak orang. Pasti Zyan tidak akan mengelak,” sambung Mila.“Apa itu tidak terlalu berisiko, Mil? Nanti kalau jadi viral gimana? Di sini ada banyak orang loh,” ucap Rini sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.“Kamu ingat ‘kan kalau kamu bilang akan memperjuangkan masa depan anakmu bagaimanapun caranya?” Mila menatap asisten pribadinya itu.“Iya, aku ingat. Tapi tidak dengan melakukannya di depan umum seperti ini, Mil,” kilah Rini.“Terus kamu melakukannya dengan cara apa?” cecar Mila.Asisten pribadi Mila itu mengedikkan bahu. “Aku belum memikirkannya,” ucapnya sambil merin
Mila dan Rini berpegangan tangan kala memandang Zyan yang menyusul istrinya. Kursi roda yang tadi dia pakai ditinggalkan begitu saja. Tangan bekas jarum infus yang tadi dilepas paksa juga masih mengeluarkan darah. Suasana di sana jadi sangat kacau.Mila dan Rini jadi pusat perhatian orang-orang setelah kepergian Zyan dan Zahra. Terdengar kasak-kusuk di antara mereka."Mbak, ga cukup apa ngetop jadi artis? Apa harus jadi pelakor juga biar dikenal orang?" celetuk salah seorang di antara pengunjung."Iya, sampai ngaku hamil segala. Padahal jelas-jelas Zyan bilang tidak punya hubungan sama dia," lontar yang lain."Sekarang ini memang eranya pansos. Ga usah repot kerja, tinggal cari sensasi sama orang terkenal pasti langsung viral." Berbagai macam omongan tidak sedap terdengar di telinga Mila dan Rini. Terutama yang memojokkan artis itu dan menganggapnya mencari sensasi."Hei, kalian! Kalau tidak tahu apa-apa itu jangan sok tahu! Teman saya ini memang sedang hamil. Kami datang ke sini itu
“Sayang, bagaimana keadaanmu?” Rania memeluk erat menantu kesayangannya. Dari kantor suaminya, wanita paruh baya itu langsung pergi ke rumah sakit. Saat dia tiba di sana, Zahra sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Menantunya itu tidak mau satu kamar dengan Zyan, jadi ditempatkan di samping kamar putra sulungnya. Zyan sendiri tidak diizinkan masuk ke ruangan istrinya."Alhamdulillah sudah agak mendingan, Ma,” sahut Zahra sambil membalas pelukan mama mertuanya.“Mama minta maaf. Kamu mau ‘kan memaafkan mama?” Rania mengurai pelukan lantas memegang kedua bahu menantunya.“Kenapa Mama minta maaf?” Zahra memandang mertuanya itu dengan penuh tanya.“Mama tidak bisa mendidik Zyan dengan baik. Dia malah menyakitimu seperti ini,” timpal Rania penuh penyesalan.Zahra menggeleng. “Itu bukan salah Mama,” tukasnya.Rania menggenggam tangan Zahra dengan erat. “Apa pun yang terjadi, kamu tetap satu-satunya menantu kesayangan mama dan ibu dari cucu mama. Tidak akan pernah ada wanita lain yang mama
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama