Setelah selama seminggu tidak beraktivitas karena menemani Zayyan yang rewel karena tumbuh gigi, Zahra akhirnya kembali bekerja seperti biasa. Sebenarnya dia merasa tak enak hati pada karyawan lain karena sering sekali izin kerja. Mengingat posisinya sebagai istri pimpinan perusahaan, tentu saja tak ada yang berani menegurnya.Zahra pernah minta pada Zyan agar memperlakukannya seperti karyawan yang lain, tapi tentu saja pria itu menolak. Bagaimana mungkin istrinya disamakan dengan yang lain? Itu tidak akan pernah terjadi! Zahra, tentu saja istimewa dan tidak bisa disamakan dengan karyawan lainnya.Sejak menjadi istri Zayyan, bisa dibilang Zahra tidak lagi bergaul dengan karyawan lain kecuali untuk urusan pekerjaan. Selain waktunya tersita untuk Zyan, karyawan yang lain juga merasa sungkan padanya. Kalau Zahra mengadukan hal itu pada suaminya, Zyan akan dengan santai menjawab, “Tidak apa-apa tidak bergaul dengan mereka. Tidak baik juga sering berkumpul karena hanya akan bergosip.”Kala
Zahra kembali ke mejanya setelah membereskan kotak makan siangnya dengan Zyan. Dia mengecek terlebih dahulu pesan-pesan yang masuk ke gawainya sebelum mulai bekerja. Di antara semua pesan itu, ternyata ada pesan dari Mila. Gegas dia membuka dan membaca pesan tersebut.Mila: Hai, apa kabar? Lagi sibuk banget ya kok lama ga kedengeran kabarnya.Zahra: Alhamdulillah, kabar saya baik, Mbak. Memang agak sibuk akhir-akhir ini karena kerjaan menumpuk setelah cuti seminggu.Mila: Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Aku cuma mau ngabarin kalau aku ada rencana syukuran pindahan ke kontrakan baru. Kalau bisa kamu datang ya.Zahra: Kapan rencananya, Mbak. Kalau ada waktu Insya Allah saya datang.Mila: Kira-kira kapan kamu ada waktu? Biar aku sesuaikan sama jadwalmu. Aku benar-benar ingin kamu ke sini dan bantu aku menentukan interior kontrakan. Kayanya aku bakal betah dan lama di sini karena lingkungannya menyenangkan.Zahra: Soal waktu kosong, saya tidak bisa menjanjikan. Mbak Mila tentukan s
“Pak, tolong antarkan saya ke mal XX ya,” pinta Zahra pada sopir keluarga Darmawangsa.“Maaf, Bu, katanya Ibu mau ke syukuran temannya, kok malah ke mal?” tanya sang sopir yang merasa heran.“Memang kumpulnya di sana, Pak. Nanti dari sana baru ke tempat syukuran teman saya,” jelas Zahra.“Nanti kalau ditanya sama Bapak ke mana ngantar Ibu, saya harus jawab gimana, Bu?” tanya sopir lagi.“Ya bilang saja seperti yang saya bilang tadi. Pulangnya baru Pak Dadang jemput ke sana. Nanti saya share lokasinya kalau sudah sampai sana,” jawab Zahra.“Saya antar sampai sana saja, Bu, terus nanti saya tunggu di dekat-dekat sana. Biar Ibu juga tidak kelamaan nunggu saya,” tawar pria paruh baya itu.“Tidak usah, Pak. Lagian Pak Dadang ‘kan harus menjemput Mama. Tidak apa-apa saya nunggu lama, toh nunggunya di rumah teman bukan di pinggir jalan,” timpal Zahra.“Tapi, Bu, saya takut Pak Zyan marah kalau saya meninggalkan Bu Zahra begitu saja,” ungkap sang sopir.“Kenapa harus takut? Insya Allah Abang
“Ayo diminum dan dimakan dulu. Maaf cuma ada teh dan jajanan itu di sini,” ucap Mila seraya meletakkan gelas dan kudapan yang tadi dibawanya ke hadapan Zahra. “Ya beginilah kontrakanku, masih apa adanya. Aku bingung mau diisi apa, makanya aku minta kamu ke sini buat membantu dan memberi aku masukan,” sambungnya.“Ga apa-apa, Mbak. Saya malah jadi ngerepotin ini pakai dibuatin minum segala,” sahut Zahra.“Ga repot kok. Wajar ‘kan kalau tuan rumah menjamu tamunya,” sahut Mila seraya tersenyum manis pada Zahra.“Oh ya, ini untuk Mbak Mila. Maaf nilainya tak seberapa. Anggap saja sebagai tanda kasih sayang dan ucapan selamat atas tempat tinggal Mbak Mila yang baru. Semoga betah tinggal di sini dan rumahnya membawa keberkahan. Aamiin.” Zahra menyerahkan tas yang berisi kue pada Mila. “Ya ampun, Zahra. Kenapa mesti repot-repot beli kue segala? Aku kira kamu tadi beli buat keluargamu, tahunya buat aku. Mana mungkin aku bisa menghabiskan kue-kue itu sendiri? Mana jumlahnya dua lagi,” sahut M
“Saya tadi mengantar Bu Zahra ke mal XX, Pak.” Sopir keluarga Darmawangsa itu kemudian memberi tahu Zyan percakapannya dengan Zahra sebelum meninggalkan sang nyonya muda di depan pintu masuk mal.Zyan menghela napas panjang usai mendengar cerita sang sopir. “Pak Dadang sudah dihubungi belum sama Zahra?” tanyanya kemudian.“Belum, Pak. Ini saya juga nunggu dihubungi sama Bu Zahra. Apa saya susul saja ke mal ya, Pak?” lontar Dadang dari seberang telepon.Pria bercambang tipis itu mendesah. “Memangnya Zahra bilang minta dijemput di mal? Tidak ‘kan?”“Memang tidak, Pak. Tapi siapa tahu saya bisa dapat petunjuk,” sahut sang sopir.“Terserah Pak Dadang saja. Segera kabari saya kalau dapat petunjuk atau Zahra menghubungi Pak Dadang,” pinta Zyan. Dia kemudian mengakhiri panggilan setelah sang sopir menyanggupi permintaannya. “Kamu sebenarnya ke mana, Ra?” gumamnya.“Ya, masuk!” seru Zyan setelah mendengar ketukan di pintu ruangannya.Ketika pintu dibuka, terlihat sosok Faisal di sana. Asisten
Merasa bosan karena tidak mendapatkan yang diinginkan, Mila akhirnya masuk ke ruangan di mana Zahra berada. Kamar itu gelap karena tidak ada jendela di sana. Mila kemudian menekan sakelar hingga lampu kecil yang ada di tengah langit-langit pun menyala.Zahra masih tergeletak dan belum sadar. Mungkin dosisnya tinggi hingga sudah beberapa jam istri Zyan itu tak juga bangun. Kemarin dia hanya beli obat bius tanpa tahu dosisnya besar atau kecil. Penjualnya memang bilang kalau itu salah satu yang bagus.Mila keluar dari sana lalu ke kamar mandi. Mengambil gayung yang terisi penuh dengan air kemudian kembali ke ruangan tadi. Tanpa belas kasihan sedikit pun mantan aktris itu menyiram wajah Zahra dengan air dari gayung.“Hei, bangun!” teriak Mila sambil menendang kaki Zahra yang tidak diikat.Wanita berhijab itu pun perlahan-lahan membuka mata. Dia tampak bingung saat melihat sekeliling ruangan yang tidak terlalu terang tersebut. Saat Zahra bicara hanya gumaman yang terdengar karena mulutnya
Zahra seketika berpikir untuk pura-pura gila atau kerasukan begitu melihat kepanikan di wajah mantan aktris itu. Namun dia berpikir ulang, bagaimana kalau Mila semakin panik dan malah memutuskan membunuhnya. Zahra harus bertindak hati-hati dan tidak boleh gegabah. Sebisa mungkin dia mengulur waktu sampai Zyan atau siapa pun bisa menemukan jejaknya.“Mbak, bolehkah saya memeras ASI dan ke kamar mandi? Dada saya sakit karena ASI-nya tidak dikeluarkan, Mbak. Saya juga ingin buang air kecil.” Zahra mengubah strateginya dengan memanfaatkan keadaannya.“Kamu hanya pura-pura karena ingin melarikan diri ‘kan?” tuduh Mila.Zahra menggeleng. “Saya tidak bohong. Mbak Mila bisa pegang dada saya ini rasanya kencang sekali karena ASI-nya penuh. Kalau Mbak Mila tidak percaya saya ingin buang air kecil, tolong sediakan ember. Saya akan buang air di sini ataukah saya harus mengompol di celana?” sanggahnya.Mila berpikir sesaat. Kalau dia membiarkan Zahra mengompol itu sangat menjijikan. Menyediakan em
“Menurut riwayat perjalanan, posisi terakhir Bu Zahra ada di daerah ini, Pak.” Faisal menunjukkan pada Zyan lokasi di mana terakhir kali ponsel Zahra membagikan lokasinya.“Aku akan ke sana. Kirim orang ke sana untuk membantu mencari Zahra,” sahut Zyan yang sejak tadi gelisah dan terus mondar-mandir saat menunggu asisten pribadinya melacak keberadaan Zahra.“Apa ponselnya masih aktif?” tanya Zyan kemudian.“Tidak aktif, Pak. Kemungkinannya ada dua, kalau tidak baterainya habis, ya sengaja dinonaktifkan,” jawab Faisal.Zyan menyugar rambutnya yang sudah tidak bisa dikatakan rapi lagi. “Kenapa aku tadi tidak minta nomor ponsel temannya yang syukuran rumah? Bodoh sekali aku!” Pria itu memukul kepalanya sendiri karena kecerobohannya.“Fai, minta orang untuk meretas nomor Zahra dan melihat isi pesannya selama seminggu terakhir ini! Mungkin dari sana kita bisa dapat petunjuk,” lontar Zyan.“Baik, Pak. Akan saya hubungi tim siber,” sahut asisten pribadi Zyan itu.“Fai, tidak mungkin ‘kan ist
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama