Zahra seketika berpikir untuk pura-pura gila atau kerasukan begitu melihat kepanikan di wajah mantan aktris itu. Namun dia berpikir ulang, bagaimana kalau Mila semakin panik dan malah memutuskan membunuhnya. Zahra harus bertindak hati-hati dan tidak boleh gegabah. Sebisa mungkin dia mengulur waktu sampai Zyan atau siapa pun bisa menemukan jejaknya.“Mbak, bolehkah saya memeras ASI dan ke kamar mandi? Dada saya sakit karena ASI-nya tidak dikeluarkan, Mbak. Saya juga ingin buang air kecil.” Zahra mengubah strateginya dengan memanfaatkan keadaannya.“Kamu hanya pura-pura karena ingin melarikan diri ‘kan?” tuduh Mila.Zahra menggeleng. “Saya tidak bohong. Mbak Mila bisa pegang dada saya ini rasanya kencang sekali karena ASI-nya penuh. Kalau Mbak Mila tidak percaya saya ingin buang air kecil, tolong sediakan ember. Saya akan buang air di sini ataukah saya harus mengompol di celana?” sanggahnya.Mila berpikir sesaat. Kalau dia membiarkan Zahra mengompol itu sangat menjijikan. Menyediakan em
“Menurut riwayat perjalanan, posisi terakhir Bu Zahra ada di daerah ini, Pak.” Faisal menunjukkan pada Zyan lokasi di mana terakhir kali ponsel Zahra membagikan lokasinya.“Aku akan ke sana. Kirim orang ke sana untuk membantu mencari Zahra,” sahut Zyan yang sejak tadi gelisah dan terus mondar-mandir saat menunggu asisten pribadinya melacak keberadaan Zahra.“Apa ponselnya masih aktif?” tanya Zyan kemudian.“Tidak aktif, Pak. Kemungkinannya ada dua, kalau tidak baterainya habis, ya sengaja dinonaktifkan,” jawab Faisal.Zyan menyugar rambutnya yang sudah tidak bisa dikatakan rapi lagi. “Kenapa aku tadi tidak minta nomor ponsel temannya yang syukuran rumah? Bodoh sekali aku!” Pria itu memukul kepalanya sendiri karena kecerobohannya.“Fai, minta orang untuk meretas nomor Zahra dan melihat isi pesannya selama seminggu terakhir ini! Mungkin dari sana kita bisa dapat petunjuk,” lontar Zyan.“Baik, Pak. Akan saya hubungi tim siber,” sahut asisten pribadi Zyan itu.“Fai, tidak mungkin ‘kan ist
Zyan gegas masuk ke kantor polisi begitu tiba di sana. Faisal yang mengemudi juga bergerak cepat mengikuti sang pimpinan."Selamat malam, Pak. Ada yang bisa kami bantu?" sapa polisi yang berjaga dengan ramah."Tadi ada yang menelepon ke kantor memberi tahu kalau ada yang menemukan tas di tempat sampah dan dibawa ke sini. Saya suami pemilik tas tersebut," jawab Zyan."Maaf, siapa nama istri Bapak?" tanya polisi tersebut."Elzahra Pallavi," jawab Zyan."Silakan ditunggu sebentar, Pak." Polisi itu meninggalkan tempat duduknya lalu berjalan ke ruang dalam. Tak berapa lama polisi itu kembali sambil menenteng tas. "Apa benar ini tas milik istri Bapak?"Zyan mengangguk. "Benar, Pak. Itu tas yang tadi dibawa istri saya. Apa orang yang menemukan tas itu masih ada di sini?" tanyanya kemudian.Polisi tersebut menggeleng. "Sudah pulang, Pak. Dia itu pemulung yang tinggalnya tidak jauh dari sini. Apa Bapak ingin bertemu dengan dia?"Pria bercambang tipis itu mengangguk. "Iya. Saya ingin mengucapka
Faisal menggeleng. “Mungkin saja, tapi juga mungkin tidak. Saya rasa Bu Zahra tidak akan mau sembarangan bertemu dengan orang yang tidak dikenal akrab. Kalau menurut saya, ini lebih ke personal, bukan bisnis. Saat ini kita tidak sedang bersaing memenangkan tender dengan siapa pun. Biasanya kalau persaingan bisnis pasti menyerang bisnisnya bukan personal. Itu menurut analisis saya, Pak, tapi bisa jadi salah karena saya bukan ahlinya,” bebernya.Zyan mengusap wajahnya yang tampak lelah itu. Meskipun begitu kadar ketampanannya tidak berkurang. Penampilannya tidak serapi tadi, dasi sudah dilepas. Kancing kemeja paling atas dibuka. Lengan kemejanya pun dilipat sampai siku. Kain kemejanya juga sudah tidak terlihat licin.Seorang polisi menghampiri mereka sambil membawa gawai Zahra dan laptop. Pria yang tidak mengenakan seragam itu memakai sarung tangan hitam agar sidik jarinya tidak ada pada barang bukti.“Mari kita cek pesan-pesan di ponsel istri Bapak,” ucapnya.“Sebelumnya, silakan pakai
Sesudah dari rumah sang pemulung, Zyan dan Faisal menuju lokasi di mana Zahra terakhir kali terlacak keberadaannya. Polisi menyisir wilayah tersebut sampai jarak dua kilometer dari titik lokasi.“Kenapa di sini sinyalnya tiba-tiba hilang? Padahal tadi bagus di sana,” keluh Faisal yang ingin menghubungi orang-orang suruhannya.“Coba kamu pindah tempat, Fai,” titah Zyan.Faisal pun menuruti atasannya. Dia bergerak sambil terus melihat sinyal di ponselnya. Begitu ada sinyal, pria itu langsung menghubungi orang suruhannya.“Sepertinya ada yang memakai pengacak sinyal di sini,” lontar seorang polisi.Zyan mengernyit. “Bagaimana Bapak bisa tahu?”“Karena hanya di area ini yang tidak ada sinyal, ke sebelah sana bagus sinyalnya. Kalau ini daerah blank spot pastinya di semua area tidak ada sinyal. Ini jadi sangat mencurigakan.” jelas polisi tadi.“Saya curiga rumah itu yang memasangnya pengacak sinyal.” Polisi itu menunjuk sebuah rumah yang jauh dari yang lain dan tampak gelap.“Tapi rumah itu
Setengah jam sebelum penggerebekan terjadi.“Mbak, apa kita tidak bisa bicara dan menyelesaikan ini baik-baik tanpa ada yang terluka dan dirugikan? Saya janji tidak akan lapor ke polisi dan Mbak Mila bisa berkarir lagi. Saya yakin Bang Zyan dan Mas Gala bisa membantu menaikkan Mbak Mila seperti dulu.” Zahra masih berusaha membujuk Mila.“Bicara saja memang mudah, tapi kenyataan sering tidak sesuai dengan rencana. Kamu tidak tahu bagaimana susahnya membangun karir di dunia hiburan. Harus casting ke sana kemari. Itu juga belum tentu diterima. Belum lagi menghadapi produser dan sutradara nakal yang mengharuskan kita tidur dulu sama mereka agar mendapatkan peran utama,” tukas Mila.“Kamu bisa bicara seperti itu karena tidak pernah mengalami. Kamu pikir mudah kembali setelah semua masyaraka memaki dan menolak keberadaanku di dunia hiburan hah.” Bukannya mereda, Mila malah semakin tersulut emosinya.“Masyarakat kita itu pemaaf, Mbak. Banyak yang sebelumnya bermasalah dengan polisi atau puny
Mila yang berdiri di belakang Zahra tertawa. “Kamu benar aku memang gila. Aku gila karena kamu.” Tiba-tiba wanita itu berhenti tertawa dan memasang wajah sinis.“Sudah kuduga kamu tidak mau memenuhi keinginanku. Memang semua orang bisanya hanya mengumbar janji, tapi tidak bisa mentepati,” imbuhnya.“Cepat lepaskan istriku!” Zyan semakin merasa geram.“Tidak! Sampai kapan pun aku tidak akan melepaskan dia. Kalau aku tidak bisa mendapatkanmu. Berarti dia juga tidak boleh hidup denganmu,” sergah Mila.“Cepat katakan sesuatu pada istrimu ini sebelum aku menghabisinya!” hardik sang mantan aktris.“Mila! Sedikit saja kamu menggores kulit istriku, aku tidak akan pernah mengampunimu,” tekan Zyan.Mila kembali tertawa terbahak-bahak. “Memangnya kamu Tuhan yang memberi ampun pada manusia? Aku tidak peduli kamu mau marah, menangis, atau bahkan memohon, aku akan tetap menghilangkan nyawa istrimu ini.”Mata mantan aktris itu nyalang memandang Zyan dan juga para polisi yang mengarahkan senjata api
Di saat yang bersamaan terdengar suara senjata api yang ditembakkan. Tidak hanya sekali, tapi dua kali. Tak lama suara pisau yang jatuh mengisi kesunyian di ruangan tersebut. Lantas disusul dengan rebahnya Mila di lantai.“Zahra!” Zyan memekik memanggil istrinya kala menyadari apa yang telah terjadi. Dia hendak menghampiri Zahra tapi ditahan oleh ketua tim.“Tunggu sebentar, Pak. Biarkan anggota saya mengecek kondisi tersangka. Kalau sudah aman, silakan Bapak mendekati istrinya,” ucap ketua tim.Seorang polisi mendekati Mila. Dia menendang pelan pisau agar tidak dapat dijangkau mantan aktris tersebut. Setelahnya polisi itu berjongkok dan meletakkan telunjuk di depan lubang hidung Mila, kemudian memeriksa denyut nadi di leher wanita tersebut.“Sudah tidak bernapas, Ndan!” ucap polisi itu. Zyan langsung mendekati istrinya yang diam dengan kepalanya menunduk. Hijab yang dipakai Zahra sebagai sudah berwarna merah. “Ra, bangun, Ra. Jangan tinggalkan aku dan Zayyan,” ucapnya sambil memeluk
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama