“Aku percaya Abang sudah berubah jadi jauh lebih baik. Yang aku tidak percaya, wanita-wanita yang coba menggoda Abang meski tahu Abang sudah menikah dan punya anak. Apalagi aku sadar kalau aku kalah cantik dan seksi dari mereka,” jawab wanita berhijab itu.“Kamu cukup percaya sama Abang. Dengar ya, Ra. Kalau abang hanya ingin dapat wanita cantik dan seksi, sejak dulu abang sudah menikah. Tapi menikah itu bukan perkara fisik, tapi juga hati. Memang awal menikah, abang terpaksa, tapi akhirnya abang sadar kalau selama ini kamulah wanita yang abang cari. Wanita yang bisa membuat abang jadi lebih baik dan membuat abang nyaman,” beber Zyan.“Fisik itu bisa dipoles, Ra, beda sama hati dan sifat. Kamu tahu ‘kan bagaimana efek make up zaman sekarang? Orang yang biasa saja, begitu kena polesan make up orang yang ahli bisa berubah 180 derajat. Makanya abang lebih suka seperti kamu yang apa adanya. Dandan seperlunya dan tidak berlebihan. Mau dandan atau tidak, tetap cantiknya natural,” sambung sa
Begitu tiba di vila yang dituju, Zyan langsung melakukan check-in. Tak lupa dia membawa tas yang berisi perlengkapan Zayyan dan baju gantinya, sementara istrinya menggendong sang putra yang masih terlelap. Mereka kemudian diantar menuju vila yang dipesan oleh Zyan.“Assalamu’alaikum.” Zahra mengucap salam sebelum masuk ke vila yang sudah dibuka pintunya oleh petugas. Dia lantas membaringkan Zayyan di tengah tempat tidur sebelum melihat-lihat dalam vila.Usai mengucapkan terima kasih dan memberi tip, Zyan menutup dan mengunci pintu villa. Dia juga menutup gorden jendela agar tidak ada yang bisa melihat ke dalam vila. Bukannya mau melakukan sesuatu, Zyan mau menjaga saja kalau-kalau istrinya ingin melepas hijab di dalam vila. Pria itu tentu saja tidak mau kecantikan alami sang istri dinikmati oleh pria lain.“AC-nya abang turunin suhunya ya, Ra. Masih terasa panas ini,” lontar Zyan sambil memegang remote AC. Zayyan tidak betah tidurnya bila udaranya panas, karena itu sekarang di kamar
Zahra bukannya menjawab Zyan, malah tertawa kecil. Dia balas menatap sang suami melalui cermin di hadapannya. “Ya, tidak harus minggu depan juga, Bang. Masih banyak waktu lain,” ucapnya.“Abang masih ingin staycation sama kamu dan Zayyan, Ra. Apalagi hari ini kita tidak menginap.” Zyan tampak merengut.Zahra menghela napas panjang. “Abang ingin kita menginap di sini?” Dia terus menatap bayangan suaminya di cermin.Zyan mengangguk lemah seraya mengarahkan hair dryer pada rambut Zahra yang masih basah. “Tapi ‘kan ga bisa, Ra.”“Bisa saja, tapi kita mesti ngerepotin orang rumah,” timpal Zahra.Zyan seketika mendongak. “Maksudmu gimana, Ra?”“Kita harus telepon orang rumah buat nyiapin baju dan perlengkapan Zayyan, sama baju ganti kita. Terus minta diantar ke sini. Itu kalau Abang beneran ingin menginap,” terang Zahra.Zyan mengangguk-angguk. Seketika wajahnya yang tadi mendung langsung cerah. “Benar juga ya apa yang kamu bilang. Kenapa abang tidak kepikiran sejak tadi.” Pria itu jadi leb
Zahra terkesiap mendengar pertanyaan suaminya. Lekas dia menguasai diri. “Ini teman-teman kuliahku lagi ngomongin hal yang lucu di grup, Bang,” jawabnya setengah berdusta.Ibu muda itu tak sepenuhnya berbohong karena selain berbalas pesan dengan Mila, dia juga membaca pesan-pesan dari teman-teman SMA dan kuliahnya di grup alumni. Mereka kadang membicarakan hal-hal yang lucu atau yang sedang viral di masyarakat. Zahra sendiri lebih sering jadi penyimak dan jarang ikut berkomentar. Dia sudah cukup terhibur membaca obrolan teman-temannya. Namun bukan berarti Zahra sombong, kalau ada yang mengirim pesan secara pribadi, dia pasti membalasnya meskipun kadang tidak langsung karena kesibukannya sebagai sekretaris, istri, dan ibu satu anak.“Memangnya hal lucu apa yang mereka obrolin?” Zyan merasa belum puas mendengar jawaban istrinya.“Ini temanku ada yang salah ngenalin orang di mal, Bang. Dia kira teman kuliah. Dengan pedenya dia nyapa orang itu dan berlagak akrab, ternyata bukan. Dia jadi
Setelah selama seminggu tidak beraktivitas karena menemani Zayyan yang rewel karena tumbuh gigi, Zahra akhirnya kembali bekerja seperti biasa. Sebenarnya dia merasa tak enak hati pada karyawan lain karena sering sekali izin kerja. Mengingat posisinya sebagai istri pimpinan perusahaan, tentu saja tak ada yang berani menegurnya.Zahra pernah minta pada Zyan agar memperlakukannya seperti karyawan yang lain, tapi tentu saja pria itu menolak. Bagaimana mungkin istrinya disamakan dengan yang lain? Itu tidak akan pernah terjadi! Zahra, tentu saja istimewa dan tidak bisa disamakan dengan karyawan lainnya.Sejak menjadi istri Zayyan, bisa dibilang Zahra tidak lagi bergaul dengan karyawan lain kecuali untuk urusan pekerjaan. Selain waktunya tersita untuk Zyan, karyawan yang lain juga merasa sungkan padanya. Kalau Zahra mengadukan hal itu pada suaminya, Zyan akan dengan santai menjawab, “Tidak apa-apa tidak bergaul dengan mereka. Tidak baik juga sering berkumpul karena hanya akan bergosip.”Kala
Zahra kembali ke mejanya setelah membereskan kotak makan siangnya dengan Zyan. Dia mengecek terlebih dahulu pesan-pesan yang masuk ke gawainya sebelum mulai bekerja. Di antara semua pesan itu, ternyata ada pesan dari Mila. Gegas dia membuka dan membaca pesan tersebut.Mila: Hai, apa kabar? Lagi sibuk banget ya kok lama ga kedengeran kabarnya.Zahra: Alhamdulillah, kabar saya baik, Mbak. Memang agak sibuk akhir-akhir ini karena kerjaan menumpuk setelah cuti seminggu.Mila: Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Aku cuma mau ngabarin kalau aku ada rencana syukuran pindahan ke kontrakan baru. Kalau bisa kamu datang ya.Zahra: Kapan rencananya, Mbak. Kalau ada waktu Insya Allah saya datang.Mila: Kira-kira kapan kamu ada waktu? Biar aku sesuaikan sama jadwalmu. Aku benar-benar ingin kamu ke sini dan bantu aku menentukan interior kontrakan. Kayanya aku bakal betah dan lama di sini karena lingkungannya menyenangkan.Zahra: Soal waktu kosong, saya tidak bisa menjanjikan. Mbak Mila tentukan s
“Pak, tolong antarkan saya ke mal XX ya,” pinta Zahra pada sopir keluarga Darmawangsa.“Maaf, Bu, katanya Ibu mau ke syukuran temannya, kok malah ke mal?” tanya sang sopir yang merasa heran.“Memang kumpulnya di sana, Pak. Nanti dari sana baru ke tempat syukuran teman saya,” jelas Zahra.“Nanti kalau ditanya sama Bapak ke mana ngantar Ibu, saya harus jawab gimana, Bu?” tanya sopir lagi.“Ya bilang saja seperti yang saya bilang tadi. Pulangnya baru Pak Dadang jemput ke sana. Nanti saya share lokasinya kalau sudah sampai sana,” jawab Zahra.“Saya antar sampai sana saja, Bu, terus nanti saya tunggu di dekat-dekat sana. Biar Ibu juga tidak kelamaan nunggu saya,” tawar pria paruh baya itu.“Tidak usah, Pak. Lagian Pak Dadang ‘kan harus menjemput Mama. Tidak apa-apa saya nunggu lama, toh nunggunya di rumah teman bukan di pinggir jalan,” timpal Zahra.“Tapi, Bu, saya takut Pak Zyan marah kalau saya meninggalkan Bu Zahra begitu saja,” ungkap sang sopir.“Kenapa harus takut? Insya Allah Abang
“Ayo diminum dan dimakan dulu. Maaf cuma ada teh dan jajanan itu di sini,” ucap Mila seraya meletakkan gelas dan kudapan yang tadi dibawanya ke hadapan Zahra. “Ya beginilah kontrakanku, masih apa adanya. Aku bingung mau diisi apa, makanya aku minta kamu ke sini buat membantu dan memberi aku masukan,” sambungnya.“Ga apa-apa, Mbak. Saya malah jadi ngerepotin ini pakai dibuatin minum segala,” sahut Zahra.“Ga repot kok. Wajar ‘kan kalau tuan rumah menjamu tamunya,” sahut Mila seraya tersenyum manis pada Zahra.“Oh ya, ini untuk Mbak Mila. Maaf nilainya tak seberapa. Anggap saja sebagai tanda kasih sayang dan ucapan selamat atas tempat tinggal Mbak Mila yang baru. Semoga betah tinggal di sini dan rumahnya membawa keberkahan. Aamiin.” Zahra menyerahkan tas yang berisi kue pada Mila. “Ya ampun, Zahra. Kenapa mesti repot-repot beli kue segala? Aku kira kamu tadi beli buat keluargamu, tahunya buat aku. Mana mungkin aku bisa menghabiskan kue-kue itu sendiri? Mana jumlahnya dua lagi,” sahut M
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama