Mila berusaha menarik tangannya yang digenggam oleh Gala. Namun aktor muda itu menahannya.“Kenapa? Kamu tidak suka?” Gala menatap lekat wanita di hadapannya.Mila mengembuskan napas panjang. “Ya, aku tidak suka dan aku tidak ingin melanjutkan pernikahan ini,” ungkapnya.Mantan kekasih Zyan itu balas menatap sang aktor. “Gala, kita tidak saling cinta, percuma juga meneruskan pernikahan ini. Kamu hanya terbawa emosi sesaat karena lebih dari setengah tahun kita hidup bersama. Percayalah, tak lama lagi kamu pasti akan terbiasa tanpa aku. Kamu bisa kembali pada mantan pacarmu atau mungkin kamu akan bertemu wanita yang baru,” tandasnya.Gala menggeleng. “Ini bukan emosi sesaat, Mil. Aku benar-benar ingin bersamamu.” Aktor tampan itu masih membujuk sang mantan aktris.“Mila, kita bisa belajar saling mencintai. Tidak ada yang tidak mungkin kalau kita mau berusaha,” imbuhnya.Mila menggoyangkan kepala ke kiri kanan. “Sudahlah, Gala. Lebih baik kita jalani hidup masing-masing seperti sebelumny
Zahra mengerling pada suaminya. “Apa sih, Bang? Penting banget ya dibahas dan dijawab sekarang?” Dia merasa kesal pada Zyan karena sering bertindak sesuka hati dan hobi memaksakan kehendak. “Enggak sih, tapi abang ingin dengar jawabanmu, Ra,” sahut Zyan. “Ya sudah, kalau begitu tidak perlu kita bahas lagi soal itu. Kapan-kapan saja. Aku sedang tidak mood,” tukas Zahra. Pria bercambang tipis itu menghela napas panjang. “Oke.” Dia memutuskan mengalah daripada memancing emosi istrinya. Masa baru pulang dari staycation malah berantem, harusnya ‘kan mereka tambah mesra. “Ada yang mau kamu beli atau tidak sebelum pulang?” Zyan mengalihkan pembicaraan dan mencoba mengambil hati istrinya. “Mampir sebentar beli kantong ASI, Bang. Sudah hampir habis stoknya. Dua hari ‘kan pakai kantong ASI terus karena tidak menyusui langsung,” jawab Zahra. “Siap, Nyonya Zyan. Kita pergi ke toko biasanya atau ke mana?” Zyan menoleh sebentar pada istrinya. “Ke tempat biasa saja, Bang. Takutnya kalau
“Rasanya aku masih belum bisa melepas Zayyan 24 jam dengan baby sitter, Bang,” aku Zahra.“Selain baby sitter, di rumah masih ada Mama, Saffa, sama Papa, Ra. Zayyan tidak hanya berdua dengan susternya. Lagian kita sudah membiasakan Zayyan tidur di kamarnya sendiri. Di rumah juga ada CCTV yang bisa kita cek selama 24 jam. Kamu jangan terlalu khawatir. Insya Allah semuanya akan aman,” ujar Zyan.Dalam hati Zahra membenarkan apa yang dikatakan suaminya.“Abang janji setelah urusan selesai, kita akan langsung pulang. Tidak ada acara jalan-jalan atau liburan,” cetus Zyan agar istrinya lebih tenang.“Benar ya, Bang, kita langsung pulang setelah kerjaan selesai.” Zahra menoleh pada suaminya.“Iya. Pegang janji abang. Sekarang, jangan khawatir lagi ya.” Zyan mengelus kepala sang istri yang tertutup hijab warna hitam.Zahra mengangguk. “Insya Allah, Bang.”“Saat memutuskan kembali bekerja, kamu ‘kan sudah memberi kepercayaan pada baby sitter untuk menjaga Zayyan selama kita bekerja. Kalau kamu
“I—iya benar.” Zahra merasa gugup.“Syukurlah aku tidak salah orang.” Sosok itu terlihat menghela napas lega. “Sudah lama aku ingin bertemu denganmu untuk minta maaf secara langsung,” sambungnya.Kening Zahra mengerut. “Minta maaf untuk apa ya?”“Untuk kasus yang dulu itu. Eh, kamu tahu aku ‘kan? Aku Mila, mantan pacar Zyan. Kita pernah sekali bertemu di rumah sakit,” ungkap wanita yang menyapa Zahra tadi.“Oh, Mbak Mila. Iya, saya ingat sekarang. Maaf karena tadi tidak mengenali, Mbak Mila,” sahut Zahra seraya tersenyum pada mantan aktris itu. Sebenarnya dia tahu kalau wanita di hadapannya adalah Mila, tapi istri Zyan itu pura-pura tidak tahu.Mila membalas senyum Zahra. ‘Tidak apa-apa. Kita baru sekali bertemu, wajar kalau kamu lupa. Apalagi waktu itu pertemuan kita dalam suasana yang tidak menyenangkan,” timpalnya.“Oh ya, boleh minta waktumu sebentar? Aku ingin bicara secara pribadi sama kamu,” pinta Mila.“Bicara tentang apa ya, Mbak? Penting atau tidak? Soalnya sekarang saya bar
“Apa yang ingin Mbak Mila bicarakan dengan saya?” Zahra langsung bertanya begitu mereka dapat tempat duduk. “Aku mau minta maaf atas semua salahku di masa lalu. Waktu itu aku dipengaruhi oleh asistenku untuk meminta tanggung jawab Zyan padahal bukan dia yang menghamiliku. Hubunganku sama Zyan sudah berakhir sebelum aku melakukan kesalahan hingga bisa hamil. Aku stres banget waktu Zyan memutuskan hubungan kami karena itu aku cari pelampiasan,” beber Mila. “Saya sudah memaafkan Mbak Mila kok. Begitu juga Bang Zyan. Saya juga minta maaf kalau saya ada salah sama Mbak Mila. Sekarang semua sudah berlalu, mari kita jadikan pelajaran agar tidak lagi melakukan kesalahan yang sama di masa mendatang,” tutur Zahra dengan lembut. Mila mengangguk. “Kamu tidak punya salah sama aku. Sejak awal hubunganku sama Zyan memang tidak mendapat restu dari mamanya, tapi aku tetap nekat. Aku berharap lama-lama mamanya bisa nerima aku sebagai calon menantunya. Namun sayangnya Zyan sendiri tidak mau memperjuan
Zahra gegas menggeser tombol hijau di layar. "Assalamu'alaikum, Bang," sapanya kemudian."Wa'alaikumussalam. Sudah mau pulang apa belum? Abang baru selesai golf-nya," balas Zyan dari seberang telepon."Sudah, Bang. Ini aku baru jalan ke tempat parkir," sahut Zahra."Oke. Kamu langsung saja ke restoran, kita ketemu di sana. Sopir sama baby sitter diajak makan sekalian. Setelah makan biar mereka pulang dulu, nanti kamu dan Zayyan pulangnya bareng sama abang," titah Zyan."Memangnya Abang ga ganti baju dulu?" tanya Zahra."Di mobil 'kan ada baju ganti, Ra, masa kamu lupa," tukas pria bercambang tipis itu.Zahra meringis, menyadari kelupaannya. Pasti karena gugup tadi hingga lupa kebiasaan sang suami yang selalu membawa baju ganti di mobil. "Maaf, Bang. Aku lagi ga konsen karena sambil jalan, jadi lupa.""Ya sudah, abang tutup teleponnya. Hati-hati jalannya. Sampai ketemu nanti di restoran," tandas Zyan."Ya, Bang," sahut Zahra. Setelah saling mengucap salam, panggilan itu pun diakhiri da
Zyan dengan cepat menggeleng. “Bukan perkara itu, Ra. Kalau soal pekerjaan, Faisal itu sangat loyal dan bisa diandalkan.”Kerutan di kening Zahra semakin dalam. “Terus soal apa, Bang?” desaknya.Pria bercambang tipis itu menghela napas panjang. “Abang curiga Faisal diam-diam suka sama kamu,” ungkapnya.Netra Zahra seketika membola. “Yang benar saja, Bang? Ga mungkin deh. Perasaanku Pak Faisal sama aku sikapnya biasa saja, tidak istimewa atau coba pedekate. Itu perasaan Abang saja kali yang cemburu sama Pak Faisal,” sanggahnya.Zyan kembali menghela napas. “Dari awal ‘kan abang bilang curiga, Ra. Tidak menuduh dia secara langsung,” kilahnya.“Ya, aku tahu. Tapi atas dasar apa Abang curiga sama Pak Faisal?” cecar Zahra.“Tadi ‘kan abang sudah bilang kalau Faisal cuma bicara santai sama kamu. Sejauh yang abang tahu, dia tidak pernah seperti itu sama yang lain. Perkiraan abang, dia bakal melamarmu kalau abang tidak secepat itu nikah sama kamu.” Zyan memaparkan alasannya.“Ya wajar ‘kan ka
“Ini beneran Bang Zyan ‘kan? Bukan orang yang menyamar jadi Abang?” Zahra menoleh ke sebelah kanannya. Mengamati pria yang sedang mengemudi itu dengan lekat.“Ya ini abanglah. Memangnya siapa yang berani menyamar jadi abang?” tukas Zyan yang merasa sedikit kesal.“Alhamdulillah kalau memang Abang. Aku takut bukan Abang karena beda dari biasanya,” ujar Zahra.Alis tebal Zyan bertaut. “Apanya yang beda? Perasaan abang tidak mengubah penampilan,” sergahnya.“Bukan penampilan Abang yang berubah, tapi sikap Abang,” timpal Zahra.Zyan semakin mengernyit. “Sikap abang mana yang berubah?” Wajah tampan itu tampak bingung.“Bang Zyan yang aku kenal itu selalu percaya diri, tapi hari ini kayanya hilang semua rasa percaya diri itu sampai merasa insecure. Padahal aku ini tidak ada apa-apanya dibandingkan wanita-wanita cantik di luar sana,” jelas Zahra.“Aku tidak pernah bergaul dengan pria lain kecuali untuk urusan pekerjaan. Aku tidak pernah pergi sendiri, selalu ada yang menemani. Daftar nama pr
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama