“Sepertinya begitu, Pak. Saya juga baru tahu soal ini. Tim sama sekali tidak memberi tahu saya.” Faisal juga tak dapat menyembunyikan keterkejutannya melihat banyak orang membawa lembaran kertas besar dengan berbagai macam tulisan. Intinya mereka menolak pembangunan proyek di sana.Alis tebal Zyan tampak bertaut. “Bagaimana bisa ketua tim tidak memberi tahu soal ini? Apa mereka mau menyembunyikannya dari kita? Untung saja kita ke sini tidak mengabari dulu, jadi tahu keadaan sebenarnya di lapangan.” Pria itu merasa geram. Menurut laporan yang diterimanya, semua berjalan dengan lancar, termasuk izin dari pemerintah dan warga setempat. Namun nyatanya masih ada orang yang demo di sana.“Saya nanti akan menyelidikinya, Pak,” lontar Faisal.“Harus itu! Aku tidak mau ada masalah di proyek ini. Kita sudah menghabiskan banyak dana dari para investor,” tukas Zyan.Faisal kemudian memerintahkan sopir untuk masuk ke area proyek. Bangunan di sana sudah berdiri dengan kokoh meskipun belum jadi sera
Masalah pedemo sudah berhasil diatasi. Dengan mengenyangkan perut, memberikan voucher menginap semalam di hotel, dan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu, para pedemo itu menuruti keinginan Zyan. Mereka pergi dari sana dan berjanji tidak akan datang lagi kecuali akan menginap di hotel dengan voucher yang diberikan. Zyan memang turun tangan sendiri karena ingin berbicara langsung dengan mereka. Mencari tahu siapa yang sudah membayar mereka dan berapa yang diberikan. Dia juga menjelaskan kalau pembangunan hotel itu sudah mendapat izin dari pemerintah dan warga sekitar. Tenaga kerja di sana sebagian besar dari warga lokal yang sudah diberikan pelatihan sebelumnya. Tidak benar kalau merugikan warga sekitar."Sekarang sudah tidak ada lagi pengganggu. Fokus untuk persiapan acara besok, dan pastikan tidak ada yang kurang!" Zyan berbicara di depan ketua tim, manajer hotel, dan beberapa staf penting lainnya.“Baik, Pak,” sahut mereka serempak.“Apa Pak Zyan akan menginap di sini?” tanya
Maryam mengernyit. “Maksudmu apa? Ibu juga membelikan barang-barang seperti Bu Rania?” Zahra mengangguk. “Iya.”Maryam menggeleng. “Ibu juga antusias menyambut kelahiran cucu pertama, tapi tidak dengan membelikan barang-barang. Ibu lebih mendoakan kamu dan anak yang ada di kandunganmu. Ibu memohon kesehatan dan keselamatan untuk kalian. Ibu tidak punya banyak uang seperti Bu Rania, jadi hanya doa yang bisa ibu berikan. Kalau membelikan sesuatu, ibu takut tidak sesuai sama seleramu atau Nak Zyan,” ungkapnya.Zahra menoleh pada ibunya. “Masya Allah, Ibu memang yang paling baik. Justru doa itu yang paling aku butuhkan. Terima kasih sudah selalu mendoakan kami, Bu.” Dia pun memeluk wanita yang sudah melahirkannya itu. “Aku minta maaf karena menanyakan soal tadi. Aku hanya ingin tahu, bukan bermaksud membandingkan Ibu dan Mama,” sesalnya.Maryam mengelus punggung putrinya. “Ibu tahu. Ibu tidak marah, jadi tidak ada yang perlu dimaafkan.”‘Terima kasih, Bu. Aku sayang sama Ibu,” ucap Zahra
Zahra tak mengindahkan pesan terakhir suaminya. Dia lelah terus berbalas pesan dengan Zyan. Jadi bumil itu memutuskan melakukan panggilan video agar tidak perlu mengetik pesan dan bisa melihat wajah tampan yang begitu dirindukannya. Tidak hanya Zyan yang rindu, Zahra juga. Hanya saja Zahra lebih bisa menyembunyikan perasaannya."Assalamu'alaikum, Raja Pemilik Hatiku," sapa Zahra begitu panggilan videonya diangkat oleh Zyan. Wanita yang sedang hamil itu menampakkan senyum termanisnya."Wa'alaikumussalam, Bidadari Surga Abang." Zyan membalas salam yang pujaan hati. Senyum di wajahnya mengembang dengan sempurna. "Maaf ya, Bang, aku video call Abang duluan," ucap Zahra kemudian."Gapapa, abang senang kok bisa melihat wajah cantikmu lagi," sahut Zyan yang berhasil membuat istrinya jadi tersipu malu."Alhamdulillah, kalau abang ga marah. Padahal aku takut tadi Abang marah." Zahra mengungkapkan kekhawatirannya."Abang ga akan marah hanya karena masalah kecil seperti itu," kilah Zyan. Henin
Malam ini Zyan mengenakan setelan blazer dengan dalaman kemeja putih. Dia tidak menggunakan dasi karena acara makan malam tidak bersifat formal. Tujuan pertemuan malam ini hanya sekedar untuk berkenalan dan berbagi pengalaman, tidak untuk membicarakan bisnis atau kerja sama. Walaupun obrolan para pengusaha pasti tak jauh dari bisnis, tapi suasananya cenderung santai.Zyan melangkahkan kaki ke area restoran dengan tegap dan penuh wibawa. Di belakangnya ada Faisal yang selalu setia mengikuti ke mana pun dia pergi.Para pengusaha lokal yang sudah menunggu kedatangannya langsung berdiri menyambut begitu melihat sosok Zyan yang berkarisma."Selamat malam, Pak Zyan. Perkenalkan nama saya Syamsudin. Usaha saya saat ini di bidang properti." Seorang pengusaha yang berusia sekitar 40-an menyapa Zyan dan mengulurkan tangan terlebih dahulu.Zyan mengangguk dan menyambut uluran tangan tersebut. "Malam, juga," sahutnya.Satu per satu dari kelima pengusaha itu pun bergantian menyapa dan menyalami Zy
Terdengar tepuk tangan yang meriah kala Zyan dan seorang pejabat daerah bersamaan menggunting pita, sebagai tanda bahwa hotel telah resmi dibuka dan siap menerima tamu yang akan menginap di sana. Setelah itu pejabat daerah memberikan ucapan selamat atas dibukanya hotel tersebut. Dia berharap dengan adanya hotel ini bisa menarik lebih banyak orang untuk datang ke daerahnya dan mengurangi pengangguran karena menyerap tenaga kerja dari warga sekitar.Zyan dan pejabat daerah itu kemudian berkeliling untuk melihat-lihat suasana di sana. Manajer hotel yang mengikuti mereka memberikan penjelasan ruang-ruang yang mereka lewati dan fasilitas apa saja yang ada di hotel dan bisa dinikmati oleh para tamu.Usai berkeliling, mereka beramah-ramah sambil menikmati hidangan yang disajikan dan dibuat oleh koki hotel. Zyan berbincang dengan pejabat daerah dan beberapa pengusaha dalam satu meja bundar. Mereka membicarakan peluang usaha apa saja yang masih terbuka di sana. Pejabat tersebut mengatakan aka
“Ayah dan Ibu sedang pergi ke pengajian teman Ayah yang mau naik haji,” jawab Zahra. “Jadi, kamu di rumah sendirian sekarang?” Zyan memastikan. Wanita yang sedang berbadan dua itu pun mengangguk. “Tadi sendirian, tapi sekarang ‘kan sama Abang,” jawabnya sambil tersenyum. “Ke kamar yuk, mumpung cuma di rumah berdua.” Zyan menaikturunkan kedua alisnya. Memberi kode pada sang belahan jiwa. “Memangnya Abang ga capek?” tanya Zahra dengan wajah tersipu. “Capek abang langsung hilang begitu melihat kamu. Ayo, buruan ke kamar. Keburu Ayah dan Ibu pulang nanti.” Zyan merangkul sang istri masuk ke rumah. Tak lupa kopernya juga dibawa. Setelah mengunci pintu, keduanya menuju kamar Zahra untuk melepas rindu. Gawai Zyan bergetar beberapa kali kala mereka baru saja merengkuh nirwana. Napas keduanya masih sama-sama tersengal-sengal setelah melakukan kegiatan yang membakar kalori. Peluh juga masih membasahi tubuh polos mereka. “Siapa yang menelepon, Bang?” tanya Zahra sambil mengatur napas. “Ab
"Bang, kira-kira Mama bakal marah atau tidak ya kalau kita belanjanya sama Ibu? Anak kita ini 'kan cucu Mama juga. Siapa tahu Mama juga ingin ikut belanja," lontar Zahra sambil mengelus perut saat mereka duduk berdua di ruang tengah.Zyan mengedikkan bahu. "Abang juga tidak tahu. Coba saja kamu tanya sendiri sama Mama, mau ikut belanja atau tidak. Tapi kamu tahu sendiri kalau Mama ikut, semua pasti ingin dibeli. Daftar yang kamu buat ini ga akan ada fungsinya," ucapnya."Benar juga ya, Bang. Tapi Ibu bilang, aku juga harus mempertimbangkan perasaan Mama. Nanti aku dianggap pilih kasih karena belanja sama Ibu saja," timpal Zahra."Biar kamu ga pusing dan ga ada yang iri antara Ibu dan Mama, kita belanjanya berdua saja. Tidak usah mengajak Ibu atau Mama. Gimana?" Zyan memberi usul pada istrinya."Bisa juga seperti itu, Bang. Tapi nanti kalau aku bingung memilih, siapa yang harus aku tanya?" Bumil itu tak dapat menyembunyikan kegundahannya."Kan ada Abang yang bisa kamu mintai pendapat.
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama