Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, Zyan dan Zahra akhirnya pergi berdua ke pusat perbelanjaan yang cukup tersohor di Jakarta. Sejak dari rumah Umar, mereka dikawal oleh dua orang bodyguard yang mengikuti dengan sepeda motor. Dua pria itu sengaja mengendarai motor agar lebih mudah bergerak dibandingkan dengan mobil.Zyan dan Zahra memasuki salah satu toko perlengkapan ibu dan bayi yang terkenal dan cabangnya di mana-mana. Pria bercambang tipis itu terus menggandeng tangan istrinya sejak keluar dari mobil. Sesekali juga memeluk pinggang Zahra seperti saat masuk ke dalam lift atau naik ke eskalator.Pramuniaga menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Dia menanyakan barang apa yang ingin dicari. Saat Zahra mengatakannya, mereka kemudian diantar ke tempa di mana barang itu berada."Bagusnya warna apa ya?" Zahra melihat beberapa setelan panjang yang terpajang di sana."Maaf, Bu. Kalau boleh tahu perkiraan jenis kelaminnya apa?" tanya sang pramuniaga."Laki-laki, Mbak," jawab Zahra
"Assalamu'alaikum." Zahra mengucap salam ketika masuk ke ruang keluarga di mana Rania, Prabu, dan Saffa sedang berkumpul di sana. "Wa'alaikumussalam. Wah, menantu kesayangan mama sudah pulang." Rania gegas menghampiri sang menantu. Mencium kedua pipi dan memeluk setelah Zahra menyalaminya. "Mama, sehat 'kan?" tanya Zahra usai mengurai pelukan. "Alhamdulillah. Mama sangat sehat. Kamu dan anakmu juga sehat 'kan?" sahut Rania. "Alhamdulillah berkat doa semuanya, kami berdua sehat," jawab Zahra sambil mengulas senyum di bibir. "Aku ga ditanyain kabarnya, Ma," protes Zyan yang baru masuk karena harus mengambil tas belanjaan terlebih dahulu. Rania melirik sekilas pada putra sulungnya. "Kalau kamu sudah jelas terlihat sangat sehat," ucapnya seraya mengajak Zahra bergabung dengannya di sofa. "Astaghfirullah, anak sendiri dicuekin. Sebenarnya yang anak kandung aku apa Zahra sih?" Zyan menggeleng melihat sikap sang mama yang cenderung cuek padanya. Beda bila dengan Zahra, mamanya
Saat usia kehamilannya hampir menginjak sembilan bulan, Zahra memutuskan mengambil cuti. Selain karena semakin mudah lelah, dia juga sibuk menyiapkan banyak hal untuk calon anaknya. Setelah melalui berbagai pertimbangan dan perdebatan, akhirnya Zyan dan Zahra memutuskan membuat kamar untuk calon anak mereka.Zahra awalnya menolak ide suaminya tersebut. Namun Rania dan Maryam membantu Zyan memberi pengertian padanya. Dengan adanya kamar itu bukan berarti sang anak akan tidur terpisah dengannya dan Zyan. Kamar tersebut digunakan untuk menyimpan pakaian, perlengkapan, dan mainan selama sang anak belum tidur sendiri di sana. Akhirnya setelah membaca banyak artikel dan mendengarkan cerita dari yang sudah berpengalaman, Zahra pun setuju.Kamar bayi itu dibuat di sebelah kamar mereka yang terhubung dengan connecting door. Jadi mereka bisa masuk ke kamar bayi tanpa harus keluar dari kamar mereka. Selama proses pembuatan kamar dan renovasi, keduanya tidur di kamar tamu. Begitu selesai, mereka
Zyan tersenyum pada sang istri sebelum bangun dari duduk. Dia tak mematikan video call agar bisa terus memantau keadaan Zahra. Selama berjalan menuju ruang meeting, CEO itu memasukkan gawainya ke saku jas agar yang lain tidak melihat istrinya yang tidak mengenakan hijab.Meskipun Zahra sudah meyakinkan kalau dirinya baik-baik saja, tetap saja Zyan kepikiran. Apalagi melihat ekspresi pujaan hatinya saat tadi merasakan kontraksi palsu. Rasanya dia ingin cepat pulang dan menemani Zahra melewati semua itu. Entah dengan memeluknya, mengelus pinggangnya ataupun merelakan tangannya untuk dipegang saat Zahra merasakan sakit. Namun kewajiban dan tanggung jawab membuatnya tak bisa pergi begitu saja. Begitu tiba di ruang meeting, Zyan langsung duduk di kursinya. Dia mengeluarkan ponsel berlogo apel tergigit miliknya, lantas meletakkannya di atas meja. Pria bercambang tipis itu kini bisa melihat istrinya yang sedang tiduran menggunakan bantal hamil. Dia tersenyum tipis, hatinya kini lebih tenang
Zyan membuka pintu kamar perlahan-lahan karena takut membangunkan istrinya yang sedang tidur. Dia juga melangkahkan kaki dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara. Zyan langsung menuju walk-in closet untuk mengambil pakaian ganti. Dia lantas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian rumah. Setelah itu Zyan naik ke atas tempat tidur, mendekati sang pujaan hati.Zahra seketika membuka mata begitu merasa ada gerakan di sampingnya. Kening bumil itu mengerut kala melihat sosok yang ada di sisinya. “Abang, kok udah pulang?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Zyan tersenyum. “Abang kangen kamu dan anak kita, makanya pulang,” jawabnya yang tak sepenuhnya berdusta. “Abang minta maaf ya karena membangunkanmu,” sambungnya.Zahra menggeleng. “Memang sudah waktunya bangun karena aku tidur udah lumayan lama, Bang,” timpalnya.“Abang, udah lama nyampenya?” tanyanya kemudian.Pria bercambang tipis itu menggeleng. “Abang baru saja sampai. Tadi bersih-bersih sebentar sa
Sontak Zahra dan Zyan menoleh ke arah suara yang memanggil. Wanita yang sedang hamil besar itu mengernyit saat melihat sosok yang melambaikan tangan padanya. Tak berapa lama kemudian senyum menghiasi wajah cantiknya. Dia pun balas melambaikan tangan.“Bang, aku ke sana sebentar ya.” Tanpa menunggu jawaban suaminya, Zahra sudah beranjak menghampiri orang yang memanggilnya.“Tanti, apa kabar?” Zahra menyapa dan menyalami wanita yang sudah berdiri menyambutnya.“Alhamdulillah, kabarku baik.” Wanita yang dipanggil Tanti itu kemudian melakukan cipika cipiki dengan Zahra. “Kamu kok ga ngundang sih waktu nikah, udah lupa ya sama aku?” protesnya usai mengurai pelukan.“Maaf, Tan. Bukan tidak mau ngundang, tapi aku kehilangan kontakmu. Aku bingung kirim undangan ke mana. Kemarin itu persiapannya juga mepet. Aku cuma ngundang beberapa teman yang kebetulan rumahnya dekat. Besok kalau akikah anakku, insya Allah aku undang,” sahut Zahra.“Siapa, Ra?” Tiba-tiba Zyan memeluk pinggang istrinya.“Eh,
“Aku minta nomor hapemu saja, Tan. Nanti aku tanyakan dulu ke HRD ada lowongan atau tidak. Kalau sudah dapat info, aku akan langsung kabarin kamu.” Zahra mengalihkan pembicaraan agar suasana tidak terlalu tegang.Tanti mengangguk. “Oke. Nomor hapemu berapa? Biar aku yang kirim pesan duluan sama kamu,” ucapnya sambil mengambil gawai dari tasnya.Zahra kemudian menyebutkan nomornya lalu Tanti mencatat dan menyimpan di ponsel.“Aku sudah kirim WA ke nomormu,” ucap Tanti setelah tadi terlihat mengetik sebentar.Zahra mengangguk. “Oke, nanti aku simpan nomormu.”“Ra, segera habiskan baksonya. Orang kantor ada yang mau ke rumah karena butuh tanda tangan abang,” tukas Zyan yang sudah menandaskan baksonya. Dia lalu menyeruput es jeruknya.“Iya, Bang. Ini tinggal dua baksonya.” Zahra pun gegas menghabiskan baksonya dan tidak bicara lagi dengan teman kuliahnya.Sambil menunggu istrinya selesai makan, Zyan tampak sibuk dengan gawainya. Dia bahkan melakukan panggilan di depan teman kuliah Zahra u
Saat Zahra berganti pakaian, Zyan keluar dari kamar membawa tas perlengkapan bayi dan koper yang berisi perlengkapan sang istri juga dirinya. Pria itu memang sudah menyiapkan pakaian ganti saat nanti menemani Zahra dan anak mereka di rumah sakit. Tempo hari ketika melihat Zahra menyiapkan perlengkapannya, Zyan kepikiran menyiapkan bajunya sekalian karena tidak mau bolak-balik ke rumah dan ingin terus menemani sang belahan jiwa sampai diizinkan pulang oleh dokter.“Loh, Zy, kok bawa tas sama koper. Mau ke mana?” tanya Rania saat berpapasan dengan putra sulungnya di ruang tengah.“Zahra mau melahirkan, Ma.” Zyan berhenti sejenak untuk menjawab mamanya.“Alhamdulillah. Kalau gitu mama ikut ke rumah sakit. Tunggu mama ganti baju sebentar ya.” Rania gegas masuk kembali ke kamar sementara Zyan pergi ke garasi.Pria bercambang tipis itu memasukkan tas dan koper ke bagasi mobil. Setelah itu menyalakan mesin mobil dan membiarkannya agar panas. Zyan lantas meninggalkan garasi untuk kembali ke k
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama