Share

06. Cincin itu kembali

Tangan kanannya mengepal dengan begitu kuat. Victor mencoba untuk menahan rasa sakit yang menyerangnya secara tiba-tiba. Bahkan urat nadinya menonjol saking kuatnya ia menahan.

Ini begitu menyakitkan, lebih dari rasa sakit yang sebelumnya. Namun, yang pasti ia tak percaya jika suatu hal di luar nalarnya kembali terjadi.

Sebuah benda melingkar, perlahan menutupi jari telunjuknya. Itu adalah cincin yang semula ia jual dan cincin itu telah kembali, hanya saja letaknya berpindah dari jari tengah ke jari telunjuk. Ini sangat ajaib.

"A-apa ini? K-kenapa bisa cincin ini kembali?" Victor bahkan tak menyangka. Ia terkejut sendiri dan benar-benar merasa aneh.

Seketika rasa sakit itu pun hilang, bersamaan dengan munculnya benda tersebut. Padahal seharusnya barang yang sudah dijual takkan kembali kecuali ia membelinya lagi. Tetapi cincin itu?

"Kenapa kau kembali wahai cincin? Apa jangan-jangan uangku jadi hilang?" gumamnya sendiri.

Victor berpikir, jika cincin itu kembali, apakah uangnya menjadi hilang?

Entahlah, tetapi untuk membuktikan itu semua, ia harus mengeceknya. Sungguh, ia sangat memerlukan uang itu, terutama untuk Jessica. Jika uang itu hilang sebab cincinnya kembali, ia jelas tak bisa mewujudkan keinginan Jessica untuk menjadi seorang model.

Victor kembali ke Bank, ia disambut dengan hangat karena sebelumnya ia telah menyimpan banyak uang di kartu hitam pribadinya.

"Halo, selamat datang kembali, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" ucap seorang yang bertugas sebagai teller bank.

"Ya, tolong cek kembali kartu ini, apakah jumlahnya masih sama seperti yang tadi?!"

Seorang teller itu menatap Victor dengan perasaan aneh. Pikirnya, jika uang itu tidak diambil, maka uang masih utuh. Namun, perempuan itu menuruti keinginan Victor sebagai nasabah.

"Baik, saya cek sebentar."

Victor menunggu. Jika uang itu masih utuh, maka ia memerlukan sebagian untuk keperluannya sendiri. Yang pasti, ia ingin menyusul Jessica ke tempat keberadaannya sekarang.

Victor yakin, Jessica pasti sedang berada di kediaman Vivian dan sebelumnya, ia memang sempat ke sana. Beruntung, ia masih ingat kediaman Vivian dan Victor berharap, semoga Jessica berada di sana sehingga ia bisa menemuinya dan bicara baik-baik dengan sang istri.

Tak lama, hasilnya pun muncul.

"Total uang masih utuh, Pak. Apakah Bapak ingin melakukan penarikan?"

Mendengar hal itu, Victor malah terdiam. Ia berpikir ini sungguh aneh. Bagaimana bisa cincinnya kembali namun uang hasil dari penjualan cincin malah utuh?

'Luar biasa.' batinnya bergumam sambil melihat cincin miliknya yang menempel di jari telunjuk.

"Pak." Perempuan itu memanggilnya kembali.

"Ah, iya, maaf. Ya, saya ingin melakukan penarikan," ucap Victor.

"Baik, mari silakan sebelah sini." Perempuan itu mengarahkan Victor ke bagian lain. Memang, peraturannya jika seorang nasabah black card akan dibedakan dengan nasabah yang lainnya.

Entahlah, tetapi di sana Victor menunggu sampai uang yang ia inginkan segera tiba. Dengan uang itu, ia bisa menyusul Jessica serta memenuhi keinginan Jessica tanpa bergantung pada Vivian. Semoga.

"Ini uangnya, Pak, silakan tandatangan sebagai bukti penarikan. Berhati-hatilah di jalan." Bahkan perempuan itu memberi peringatan supaya Victor berhati-hati.

Victor bahkan baru tahu jika melakukan penarikan yang besar harus menandatangani bukti penarikan. Seumur-umur, ia bahkan tak pernah melakukan itu sehingga menurutnya aneh. Tetapi, mungkin ini akan menjadi sebuah pengalaman yang mungkin nanti akan ia alami lagi.

"Terimakasih."

"Selamat jalan, Pak."

Victor membawa uang cukup banyak. Ia bahkan tak mengenakan tas apapun untuk melindungi uang tersebut sehingga ia memutuskan untuk membeli sesuatu di sana.

Sebuah tas yang akan membawa barang berharganya. Setelah itu, niatnya untuk menyusul Jessica semakin bersemangat.

"Aakkhh sial! Dasar mobil payah. Kenapa harus mogok di tengah jalan segala, payah!"

Baru keluar dari bank, Victor melihat seorang pria tengah menggerutu. Mobil yang dikendarainya mogok dan membuat macet kendaraan yang di belakangnya.

Bip! Bip!

Bahkan klakson dari kendaraan di belakangnya begitu ramai. Pria tersebut bahkan bingung harus berbuat apa. Tidak ada yang hendak membantunya.

"Apa yang terjadi?" Victor bertanya pada pria pemilik mobil.

"Mobilku mogok," jawab pria tersebut sambil menjelaskan kepada pengendara di belakangnya. "Tolong sabar, kalian harus sabar."

Pria itu terus meyakinkan. Di sana, Victor berniat untuk membantunya.

"Mari saya bantu," ucapnya yang bersiap untuk mendorong mobil itu agar tak menghalangi jalan lain.

Tentu, si pemilik mobil nampak senang. Ia mendapat bantuan agar mobilnya tak menghalangi jalan.

"Ah, terimakasih." Pria itu berterimakasih pada Victor, tetapi ia bingung akan kondisi mobilnya.

"Boleh saya bantu untuk mengecek kerusakannya?" ucap Victor dan kebetulan, ia sedikit paham akan keadaan mesin.

"Apakah Anda bersedia menolong saya? Kalau begitu terimakasih dan silakan, dengan senang hati, Pak."

Tak menunggu lama, Victor pun mengecek keadaan mobil tersebut. Ia jelas tahu, tetapi ini bukan kesalahan pada mesin mobil tersebut.

Victor lalu mengecek bagian yang lainnya, dan ternyata di sini lah letak kesalahannya sehingga mobil itu berhenti di tengah jalan.

"Sepertinya Anda lupa mengisi bahan bakar," ucap Victor pada pria tersebut.

"Ah, benarkah?" Pria itu lantas mengeceknya. "Ya ampun, kau benar. Saya lupa mengisi bahan bakar. Pantas saja berhenti."

Astaga!

"Kalau tidak salah, saya lihat sebelah sana ada pom, biar saya bantu belikan." Victor bahkan membantunya untuk segera mendapat bahan bakar agar pria itu bisa melanjutkan perjalanannya.

Tanpa persetujuan pria tersebut, Victor langsung pergi dan ia kembali dengan membawa bahan bakar. Ia menolong pria tersebut sampai-sampai pria itu merasa tak enak.

"Sungguh, saya berhutang pada Anda, Pak. Kalau boleh tau, tujuan Anda ke mana sekarang?" tanya pria itu. Ia melihat Victor dengan tas di punggungnya, pikirnya Victor tengah melakukan perjalanan.

"Oh, tidak perlu, tujuan saya terlalu jauh." Tujuan Victor yaitu ke kediaman Vivian dan memang sangatlah jauh walau bisa ditempuh dengan menggunakan mobil.

"Tidak apa-apa, saya akan mengantar Anda ke mana saja sebagai rasa terimakasih saya karena Anda sudah menolong saya," ucapnya.

"Tujuan saya ke pusat kota."

"Benarkah? Tujuan kita sama," pria itu terus menawarkan diri. Ia bahkan memperkenalkan dirinya kepada Victor.

"Saya George Mark."

Mereka lantas berkenalan.

"Saya Victor, senang berkenalan dengan Anda."

Pria itu tentu tertawa. "Haha, tak perlu sungkan dan masuklah. Kita ke kota yang sama."

Beruntung ia dipertemukan dengan seorang yang perjalanannya searah. Dengan begitu ia tak perlu repot memesan kendaraan untuk menyusul Jessica.

Di sepanjang perjalanan, mereka tentu berbagi cerita, mendengar musik, serta tertawa. Walau baru kenal satu sama lain, sepertinya mereka terlihat dekat.

"Kau begitu mencintai istrimu, Victor, berjuanglah demi cita-cita istrimu."

Victor hanya tersenyum menanggapi itu. Tentu saja, ia akan terus berjuang demi seseorang yang ia cintai.

Pria itu masih mengemudi, namun seketika tatapannya mengarah ke bagian lengan Victor.

"Cincin yang bagus, dia begitu berkilau," kata George menilai sebuah cincin yang Victor kenakan.

Victor lalu terkekeh. "Ini cincin keramat, saya sangat menyukainya."

George hanya tersenyum mendengar jawaban itu.

Perjalanan pun terus berjalan, sampai tiba di tempat yang Victor tunjukan. Ia tentu sangat berterimakasih. Berkat George, ia bisa menemui Jessica di kediaman Vivian.

Sama halnya dengan George, ia berterimakasih karena Victor telah menolongnya.

"Simpanlah dan hubungi saya secepatnya. Senang bertemu denganmu, Victor. Lain waktu kita bertemu lagi."

George pun pamit. Victor menerima kartu nama darinya dan tentu ia simpan.

Sekarang tujuannya ialah Jessica. Di kediaman Vivian, ia berharap Vivian ataupun Marten menerima kedatangannya kemari. Sebab, sebelumnya mereka jelas tak mengizinkan Victor untuk masuk dan hanya menunggu di luar rumah saja.

Rumah itu cukup besar dan Marten ialah seorang pebisnis yang cukup sukses.

"Permisi, Kakak Ipar." Victor memanggil Vivian, berharap Vivian keluar dan mempersilakannya masuk. Setidaknya memberinya kesempatan untuk bertemu dengan Jessica.

"Jessica, istriku." Kali ini Victor memanggil Jessica.

"Itu si gembel Victor."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status