Aku bergeming menanggapi ucapan Bu Wening. Memangnya aku harus bagaimana? Beliau, kan tidak tahu jika aku sudah mengenal Sela. Lagipula, rasa bingung ini tak bisa diutarakan lewat pertanyaan. Entahlah, rasanya bibir ini kelu. Mungkin, diri ini terlalu pengecut untuk sekadar bertanya.Mas Athaar juga ikut membisu. Aku yakin, dia gusar menghadapiku setelah ini. Toh, aku biasa saja. Jika memang aku hanya mainan baginya, lantas apa pantas dia aku pertahankan? Jika pada akhirnya dia memilih Sela, aku bisa apa? Intinya, jodoh sudah ada jalannya."Nduk ... kok, kamu diam? Kenapa?'' Pertanyaan Bu Wening seketika membuatku serba salah. Masa iya harus kuakui jika cemburu pada Mas Athaar? Jelas tak mungkin, kan?"Emm ... saya nggak apa-apa, Bu. Cuma sedikit kaget," jawabku sungkan.Bu Wening kini tersenyum sembari mengangguk. "Nduk, ini Sela, temennya Athaar waktu SMA dulu. Dia ke sini ibu yang minta. Karena dia mau--""Permisi ... maaf saya mengganggu waktunya." Tiba-tiba Dokter Alan masuk ke r
"Sha, tunggu!" teriak Mas Athaar ketika aku melangkah pergi. Untuk apa aku tetap di sini? Pahit hidup sudah sangat menyiksa, jelas aku tak mau semakin menderita melihat kemesraan Mas Athaar dengan Sela."Thaar! Ihh!" Suara Sela terdengar kesal. Sepertinya Mas Athaar melepaskan tangannya dengan paksa dari tangan wanita manja itu."Ayesha, please jangan kek gini. Mas nggak ada hubungan apa-apa sama dia." Mas Athaar meraih kedua tanganku dan bicara dengan mengiba.Perlahan, aku menatap wajahnya. Kemudian menarik napas dan membuangnya. "Mas, udah, ya. Aku nggak apa-apa, kok," kataku sambil terus menatap Mas Athaar. Namun, nyatanya aku tak mampu berlama-lama beradu pandang dengannya. Ada getaran yang begitu cepat merayap ke seluruh tubuh. Membuat tak berdaya dan lemah seketika."Sel, kata Mas Athaar, kamu mau ngajak aku ke reuni SMA kalian, ya?" Pandanganku sudah teralihkan ke Sela yang kini menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan."Hmmm ... iya, sih. Soalnya, kan nggak mungkin Athaa
Jingga di ufuk barat menghiasi alam semesta dengan indahnya sore ini. Pancaran sinarnya seolah-olah menghiburku yang sedang gulana. Terbukti, kini bibirku melengkung setelah menikmati pemandangan itu. Namun, tetap saja tak mudah menghilangkan kesedihan ini dalam sekejap. Kenyataanya, hati ini masih ngilu karena kalah di persidangan.Semua bukti yang aku miliki nyatanya tak cukup membuktikan dan meyakinkan pihak hukum untuk memenangkan gugatan kami. Pada kenyataannya, aku harus ikhlas menerima jika butik itu kini tak lagi milikku. Benar, hanya pengadilan Allah yang paling adil dan tak ada kesalahan sekecil apapun yang tak diperhitungkan."Sha, kamu yang sabar, ya. Maafin mas yang nggak—""Mas, udahlah. Udah beberapa kali, lho kamu minta maaf. Aku nggak apa-apa, Mas. Kamu jangan merasa bersalah, ya. Ini bukan salah kamu. Mungkin, dengan cara ini Allah mengingatkan aku agar tak lupa jika segala sesuatu pasti akan hilang pada waktunya. Intinya semua itu hanya titipan Mas. Allah udah menga
"Hei, apa kabar? Lama, ya kita nggak ketemu? Eh, nggak taunya ketemu di sini," kata Dina, wanita yang membuat aku dan Mas Athaar terperangah tadi.Dina benar-benar berubah. Bukan hanya tampilan, tapi juga cara bicaranya. Sepertinya sekarang dia sudah menjadi wanita sosialita. Namun, barang-barang branded yang menunjang penampilannya itu dari mana? Apa mungkin Azka sudah menikahi Dina?Semenjak Kak Dinda berhasil menguasai butik, dia tak pernah lagi pulang ke Ponorogo. Ibu pun sudah terbiasa dengan sikapnya itu. Bahkan, kabarnya sekarang pun kami tak tahu. Jika benar sekarang Azka sudah menikahi Dina, bagaimana dengan nasib Kak Dinda, ya?"Selamat datang ke butik kami, Mbak. Mbak mau belanja atau ada perlu apa ke sini?" tanya Mas Athaar dengan wajah ramah, sedangkan aku memasang wajah jutek."Tadinya saya mau ke salon, eh ngeliat butik ini, kok kayaknya menarik. Jadi saya mampir," jawab Dina dengan gaya angkuhnya."Oh, begitu. Terus mau ngabisin duit, ya? Enak banget, ya jadi kamu. Das
"Alhamdulillah, ya akhirnya rencana ini terwujud juga." Bu Wening membuka kata setelah acara lamaran usai. Kini, beliau dan keluarganya sudah bersiap hendak pulang.Keluarga Mas Athaar semuanya hadir dalam acara lamaran tadi. Tak terkecuali istri Mas Agung yang selama ini membuatku penasaran bagaimana rupanya. Ternyata dia sangat menawan. Cocok dan serasi sekali dengan Mas Agung."Iya, Ning. Alhamdulillah akhirnya anak-anak kita sebentar lagi naik pelaminan. Harapan kita jadi besan sebentar lagi jadi kenyataan," sahut Ibu dengan wajah berbinar. Sementara kami yang mendengar juga ikut senyum-senyum."Nduk ... terima kasih, ya sudah menerima Athaar. Sebagai orang tua, kami berharap pernikahan kalian nanti berjalan lancar dan bahagia dalam sakinah, mawadah, warahmah.""Aamiin ...," sahutku dan diikuti yang lainnya. "Terima kasih do'anya, Bu. Insya Allah, semua akan baik-baik saja dan berjalan tanpa kendala."Acara lamaran ini sangat sederhana. Ibu tak mengundang banyak orang, hanya beber
Mendengar ucapan Kak Dinda, seketika darahku terasa mendidih. Ternyata benar yang aku duga. Dasar manusia menjijikkan! Sekarang, aku semakin yakin jika Azka sebenarnya tidak kenapa-napa."Ehemm! Maksudnya apa, ya? Kenapa harus Ibu yang bayar rumah sakit suami Anda? Bukannya keluarganya masih ada dan mereka itu bergelimang harta, ya?" Aku berusaha sabar dan bicara selembut mungkin. Akan aku lihat bagaimana reaksi Kak Dinda."Perusahaan Mas Azka pailit. Dia ditipu kliennya dan saham yang dia tanam di perusahaan kliennya itu ternyata nggak ada kejelasan. Sekarang kami benar-benar susah. Tolong, jangan berpikir jika kami berbohong.""Ya, Allah, kasihan kalian. Yang sabar, ya, Nduk. Jadikan itu semua pelajaran. Minta maaf, ya sama adikmu. Bagaimanapun kita ini keluarga dan kamu sudah sangat berdosa padanya, Nduk." Ibu berbicara dengan lembut, aku tahu beliau berusaha membuat hati Kak Dinda luluh. Namun, aku tak yakin jika putrinya itu mau mendengarkan.Kak Dinda terisak, entah benar-benar
"Bu, jangan. Lebih baik kami ngontrak aja." Kak Dinda tiba-tiba berbicara. Aku yang sejak tadi penasaran dengan kelanjutan ucapan Ibu, kini semakin bertanya-tanya. Sebenarnya apa maksud mereka?"Jangan, Nduk. Susah senang kita harus sama-sama. Ibu ndak setuju kalo kalian ngontrak. Apalagi sekarang kamu sedang hamil. Jangan ambil resiko."Ucapan Ibu barusan seolah-olah menjadi jawaban atas pertanyaanku. Aku sadar jika Ibu hanya mau selalu dekat dengan anaknya. Namun, aku tak setuju pada perkataannya yang susah senang harus sama-sama. Bukannya, Kak Dinda itu tidak punya rasa empati selama ini? Senangnya tak mau dia bagi, sedangkan ketika susah lari pada kami. Apa itu pantas?"Hmm ... Bu, Ayesha pamit ke butik, ya. Soalnya harus ngecek laporan penjualan bulan ini. Setelah itu mau ketemu Mas Athaar buat foto prewedding. Mungkin Ayesha pulangnya agak malam." Aku meraih tangan Ibu dan mencium punggungnya. Aku tak peduli jika dicap tak sopan karena meninggalkan obrolan yang belum usai. Bukan
Rasa sesak ini tiba-tiba menyeruak dalam dada. Andai, saat ini sedang sendirian, mungkin air mata ini sudah aku biarkan lolos. Namun, di sini aku harus berpura-pura tegar, meski sejujurnya remuk, rapuh dan ingin meraung.Tak ada yang bisa kulakukan selain tersenyum dan mengangguk. Apa yang bisa dilakukan jika Ibu saja mengizinkan Azka beserta ibunya tinggal di rumah ini. Aku hanyalah orang yang dibesarkan dan dianggap anak oleh Ibu. Bukan pemilik dan yang berhak di istana yang kini berubah neraka."Alhamdulillah, kalo kamu setuju. Sekarang ibu lega. Semoga setelah ini semuanya baik-baik saja dan ndak ada masalah lagi." Ibu berkata dengan bahagia. Namun, hatiku ngilu seperti ditusuk ribuan jarum. Sakit."Ya, udah. Ayesha ke butik dulu, ya, Bu.""Lho, kok ke butik lagi? Bukannya kamu baru pulang?" Ibu terlihat bingung."Ayesha lupa kalo belum ngecek laporan penjualan hari ini. Ayesha pamit, ya, Bu. Assalamualaikum." Aku mencium punggung tangan Ibu, kemudian berlalu pergi dengan hati rem
Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka
Sebuah perjalanan cinta indah telah aku rasakan nikmatnya. Menggapai puncak nirwana juga telah aku tempuh bersama pria bergelar suami. Kini, aku tengah berbadan dua, mengandung buah cintaku dengan Mas Athaar setelah delapan tahun pernikahan kami.Layaknya wanita hamil, aku merasakan berbagai hal tak mengenakkan sekaligus menyenangkan. Ada tawa tiap janin yang kini berusia empat bulan merespon suara dan sentuhan kami orang tuanya.Mas Athaar semakin sayang padaku. Begitu juga dengan Mama dan Papa Mertua. Namun, akhir-akhir ini sikap Kak Dinda agak aneh. Mungkin dia merasa jika aku sangat beruntung ketimbang dia yang kurang perhatian mertua.Azka sekarang banyak berubah, tapi aku merasa jika dia masih saja memperhatikan diri ini. Namun, tentunya tak seperti dulu. Pria itu kini sangat berhati-hati. Mungkin, karena kini dia sudah memiliki tiga buah hati dengan Kak Dinda. Jadi, pikirannya lebih dewasa.Meskipun sedang hamil, aku tetap sibuk menjalani hari-hari. Mulai menjadi istri hingga w
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sha? Apa ada yang mengganjal di hati kamu?"Aku mengangguk mendapat pertanyaan seperti itu dari Mas Athaar. Karena memang kenyataannya ada beberapa hal yang masih mengganjal pikiran."Katakanlah. Mas akan coba jawab sejujurnya." Mas Athaar mengedipkan mata sambil membelai rambutku yang panjang terurai. Wajahnya menenangkan dan itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.Sepersekian detik aku hanya bergeming dan menatap wajah Mas Athaar lekat. Berusaha untuk menyusun kalimat yang tepat agar tak ada hati yang tersakiti."Mas, sekarang kita, kan sudah menikah. Dan, sesuai kesepakatan di awal, tidak ada kebohongan yang kita sembunyikan di antara kita." Mas Athaar menganggukkan kepala sebagai tanda ingat akan janji yang pernah terucap."Mas, siapa, sih anaknya Bu Broto? Apa ada hubungannya dengan kamu?" Dengan to the point, akhirnya aku menanyakan hal yang memang ingin aku ketahui jawabannya.Mas Athaar sedikit kaget. Namun, dia tetap tenang. Sebuah senyuman
Curiga yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Tatapan mama mertua padaku kini seperti salah tingkah. Jelas, ada yang disembunyikan olehnya. Tapi apa?Mas Athaar juga menghindari kontak mata denganku. Rasanya, hari bahagia ini menjadi hambar karena hal ini. Seharusnya, kan sekarang aku happy, tapi malah curiga dan sakit hati.Menyalami para tamu pun sudah tak fokus lagi. Ingin sekali acara ini segera usai agar apa yang sedang mengganjal di hati ini segera enyah. Pokoknya, aku harus mempertanyakan siapa itu anaknya Bu Broto pada Mas Athaar."Nduk, kamu kenapa? Senyumnya, kok ilang? Itu Bude Miah mau salim, kok kamu malah cemberut. Piye, to?" Ibu menepuk pundakku dan berkata demikian padaku.Ah, ternyata curiga ini sudah membuat semuanya kacau. Suasana hati yang tak enak nyatanya sudah mengubah diriku. Bahkan orang lain pun terkena imbasnya. Fokuslah, Ayesha!"Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu capek, ya?" Kini, Mas Athaar yang berbicara. Wajahnya terlihat khawatir. Sebegitu pedulikah dia? A
Suara Mas Athaar terdengar mengancam. Mungkin, Ibu juga mendengarnya karena posisi dapur dan ruang tamu tidaklah jauh. Namun, entah di mana Ibu. Wanita itu tak muncul sama sekali. Apa iya jika Ibu sudah malas ikut campur dan mendamaikan kami seperti biasanya?Langkahku terhenti. Entahlah, seperti sudah terprogram untuk menuruti perkataan Mas Athaar. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Ya, aku takut hubungan kami semakin hancur jika aku menuruti ego diri tetap pergi.Aku memutar badan. Memasang wajah setenang mungkin padahal hati sudah dongkol sekali. Sesak merajai. Andai aku bisa berontak, tapi bagaimanapun aku harus tetap memikirkan hati Ibu."Ayesha, menikahlah dengan mas. Maaf untuk semua yang telah terjadi. Mas hanya kalap, takut kehilangan kamu. Asal kamu tau, mas sudah beberapa hari nggak pulang ke rumah. Mas mencari ketenangan sendiri dan mohon petunjuk Allah. Sekarang, mas sudah yakin, jika dengan menikah dengan kamu, adalah pilihan yang terbaik. Kamu mencintai mas, kan?" Mas At
Beberapa detik berlalu begitu saja tanpa dialog di antara aku dan Mas Athaar. Bahkan, aku tak sedikit pun menoleh ke arah pria itu. Diriku hanya mematung dan kebingungan harus berbuat apa.Sementara, suara desah napas Mas Athaar terdengar panjang. Mungkin, pria itu merasa kecewa dengan sikapku yang terkesan cuek."Sha ... kamu beneran udah benci, ya sama mas?" Mas Athaar akhirnya buka suara. Nada bicaranya terdengar parau.Aku menoleh, rasanya tak enak hati jika terus-terusan berdiam diri dan tak merespon ucapan Mas Athaar. Pria itu tak bersalah sama sekali. Hanya terkadang dia terlalu berlebihan cemburu.Aku kikuk berhadapan dengan Mas Athaar. Seperti saat pertama jumpa. Degup jantung pun mulai tak keruan. Ah, kenapa aku jadi berlebihan? Harusnya aku biasa-biasa saja.Mas Athaar mendekat. Aroma parfum pria itu begitu menyengat hingga menusuk rongga penciumanku. Dia pasti sengaja memakai banyak wewangian agar aku terkesan. Padahal, aku adalah tipe orang yang kurang suka parfum dengan
Menikah kemudian membina rumah tangga adalah impian setiap orang termasuk aku yang kini sudah layak berada di fase itu. Akan tetapi, halangan dan cobaan datang silih berganti untukku mencapai tujuan.Entahlah, mungkin memang belum saatnya Allah meridhoi aku berumah tangga. Padahal akad sudah hampir terucap. Bagaimanapun jika Allah tak berkehendak, semua tak mungkin terjadi.Sudah hampir seminggu Ibu pulang dari rumah sakit. Kondisi beliau juga semakin membaik. Alhamdulillah, Ibu tak mempermasalahkan dan menyalahkan diri ini atas kejadian yang menimpanya. Namun, juga tak sepenuhnya rela aku batal nikah.Persiapan pernikahan yang sudah sangat matang nyatanya tak menjamin sepasang kekasih akan bersanding di pelaminan. Nyatanya, kini aku harus mengikhlaskan batal nikah karena berbagai masalah yang datang.Pihak keluarga Mas Athaar nyatanya masih keberatan menerimaku jadi mantu yang katanya sudah membuat keluarga besar mereka malu. Terlalu berlebihan, nggak, sih? Kan, aku tidak melakukan h
"Stop! Diam!" teriakku sembari membantu Mas Athaar berdiri. Pria yang sebentar lagi menjadi suamiku itu tadi jatuh terjengkang karena tiba-tiba Azka mendorong dirinya.Azka seperti lupa sedang berada di penjara. Seharusnya dia bisa menahan dan menempatkan dirinya. Jika sudah seperti ini, bisa-bisa hukuman yang dia terima jadi bertambah berat.Melihat keributan yang terjadi, seorang petugas sipir langsung berusaha mengamankan Azka. Pria yang selalu memegang tongkat itu sigap memborgol Azka dan mengatakan jangan membuat keributan di tahanan. Namun, Azka malah berontak dan membuat petugas sipir itu sedikit kewalahan."Dasar Pecundang!" bentakku pada Azka. "Aku datang ke sini rupanya untuk melihat seperti ini? Mulai hari ini, aku nggak akan mau jenguk kamu ataupun peduli tentang diri kamu. Nikmatilah hari-hari kamu di sini. Masalah Aira, aku yang akan membesarkan dia." Aku berujar dengan penuh emosi. "Ayo, Mas, kita pergi dari sini. Buang-buang waktu aja kita di sini," ajakku pada Mas Ath
"Sha, alhamdulilah, akhirnya kamu sadar." Saat mata ini terbuka, Mas Athaar yang pertama kali terlihat. Wajahnya terlihat cemas dan ada jejak basah yang masih jelas di sana."Mas," sapaku padanya. "Aku di mana sekarang, Mas? Kamu lihat Aira nggak" tanyaku setelahnya."Kamu dan Aira sekarang ada di tempat yang aman, Sha." Alhamdulillah, aku bisa nyelametin kalian dari Mbak Dinda."Aku merasa agak ganjal dengan ucapan Mas Athaar. Bagaimana ceritanya dia yang menyelamatkan aku dan Aira? Bukankah di saat kejadian, pria itu tak ada di tempat."Kamu nyelametin aku dan Aira, Mas? Tapi, kan kamu—""Tadi aku putar balik ke rumah kamu, Sha. Karena aku pikir, secepatnya kita harus bicara. Makanya aku mutusin kembali ke sini. Pas aku baru nyampe halaman, aku denger suara Aira nangis dan teriakan Mbak Dinda, aku buru-buru masuk dan ternyata ada kejadian seperti ini," jelas Mas Athaar dengan penuh keseriusan.Aku bahagia Mas Athaar yang menyelamatkan aku dan Aira. Namun, juga cemas, karena takut Dok