"Saya di sini. Kenapa nggak bilang langsung?" Aku keluar dari kamar dan langsung berbicara tanpa basa-basi pada Bu Santi."Eh, Ayesha." Bu Santi cengengesan. Wajahnya sangat menyebalkan. "Emm ... kamu dengar, ya percakapan saya dan ibumu? Maaf, ya sudah buat kamu terganggu.""Nggak perlu drama. Saya nggak suka orang yang wajahnya dua. Lain kali kalo ada perlu sama saya bicara langsung ke saya. Jangan ke ibu saya.""Sha, kamu salah paham. Ini nggak seperti yang kamu kira." Azka muncul dan mencoba membuat aku tenang. Namun, cara pria itu terkesan berani dan terang-terangan. Ya, Azka dengan berani memegang tanganku erat. Padahal ada Kak Dinda."Lepas!" Aku mengibaskan tangan Azka kemudian melenggang masuk ke kamar. Entah kapan orang-orang toxic itu hilang dari hidupku?***"Mbak, laporan keuangan sudah saya lampirkan secara rinci di sini. Mohon dicek, ya, Mbak." Asistenku menghampiri dan menyerahkan dokumen padaku."Baik, nanti saya cek, ya. Terima kasih, ya.""Iya, Mbak. Saya permisi du
"Jangan kurang ajar! Berani kamu membuat masalah lagi sama aku, aku pastikan kamu tidak bisa lagi menghirup udara segar. Ingat itu!" Aku balik mengancam Azka. Biar dia tidak semena-mena dan berpikir bisa menakutiku.Azka menarik ujung bibirnya. Seringainya membuatku merasa semakin jijik. Dia seolah-olah menakutiku dengan wajahnya itu. Namun, sedikit pun hati ini tak gentar melihatnya. Tadinya memang aku ngeri membayangkan Azka menyakiti orang-orang yang menghalangi dia bersamaku. Namun, akhirnya aku bisa berpikir jernih karena Azka tak mungkin bisa melakukannya seperti semudah membalikkan telapak tangan."Dengar, sebanyak apa pun usaha kamu agar bisa bersama aku, aku tidak akan pernah kembali sama kamu. Sadar, kalo hubungan kita sudah tidak bisa diulang. Kamu harus tau diri. Jangan lupa kalo ada anak yang nantinya harus kamu ajarkan kebaikan. Gimana anak kamu mau jadi orang baik kalo kelakuan kamu bejat? So, jangan mengharap sesuatu yang bukan ditakdirkan untuk kamu. Syukuri apa yang
"Ibu ...." Aku gelagapan karena sangat kaget dengan kedatangan Ibu yang tiba-tiba. Padahal, sejak tadi Ibu berada di kamar. Apa Ibu menguping percakapanku dengan Azka barusan?Wajah Azka juga tak kalah tegang. Pria itu pasti ketar-ketir karena kini Ibu menatapnya tajam. Ya, Allah bagaimana ini?"Kenapa kalian diam? Jawab ibu," kata Ibu lagi."Bu, Ibu kenapa? Mas Azka dan Ayesha nggak ada apa-apa. Tadi itu Mas Azka minta maaf ke Ayesha. Tapi Ayesha belum bisa memaafkannya," jelasku pada Ibu. Aku sangat berharap Ibu percaya meski tak menutup kemungkinan akan dicap pendusta olehnya.Aku benar-benar takut jika Ibu mendengar percakapanku dengan Azka tadi.Ibu masih terlihat marah. Apa setelah ini Ibu akan semakin marah?"Nduk, ibu tau kamu sangat sakit hati, tapi jika Azka sudah minta maaf dan mengakui kesalahannya, belajarlah memaafkan. Sejatinya kita semua tak luput dari dosa. Jadikan semuanya pelajaran berharga untuk ke depannya. Ibu tidak memaksamu untuk memaafkan Azka, tapi sebagai or
Aku berusaha menghubungi nomor telepon Mas Athaar. Namun, usahaku itu hanya sia-sia saja lantaran pria itu tak menggubrisnya. Parahnya, dia malah mematikan ponsel dan kini aku tak bisa lagi meneleponnya.Aku harus menjelaskan yang sebenarnya terjadi pada Mas Athaar. Dia tak boleh salah paham dan marah seperti itu. Harusnya, dari awal aku tak perlu bicara dengan Azka. Karena dia semua jadi kacau begini."Sha, aku minta maaf, ya gara-gara aku, kamu jadi—""Diam! Tutup mulutmu dan pergi dari sini!" hardikku pada Azka dengan air mata berlinangan. Hatiku kacau, aku kalut bercampur bimbang. Pikiran buruk terus saja menari-nari dalam otak ini.Azka terlihat serba salah dan akhirnya pergi dari butik. Beberapa pelanggan terlihat tegang dan ada yang memilih meninggalkan butik. Aku tak peduli."Minum dulu, Mbak." Bela menyodorkan segelas air putih padaku. "Maaf, Mbak, tadi itu siapanya Mbak? Kok, Mas Athaar langsung emosi ketika melihat dia?"Ah, dasar Bela kepo. Kenapa dia berani sekali menanya
"Gimana, Sha? Bisa?" Kak Dinda kembali bertanya. Dia benar-benar kehilangan urat malunya. Parah."Maaf, aku nggak punya uang. Bukannya mereka punya asuransi, kenapa nggak digunakan? Lagian, uang yang kalian pinjam untuk pengobatan Azka, juga belum kalian kembalikan.""Emm ... masalah itu, kamu sabar dulu, ya. Nanti begitu kami punya uang, pasti kami bayar. Tapi ... sekarang aku boleh, kan minta tolong kamu lagi?""Gimana mau nolong? Kan, udah kubilang aku nggak punya uang." Nada bicaraku naik beberapa oktaf. Kesal sekali jika dipaksa begini. Apalagi oleh Kak Dinda yang tak tahu malu itu."Iya, mungkin kamu memang nggak punya uang, tapi Athaar punya, kan? Sebentar lagi, kan kalian mau menikah, bolehlah kami pinjam uangnya dia? Bakalan diganti, kok."Ucapan Kak Dinda langsung membuatku semakin emosi. Pemikiran macam apa itu? Astaghfirullah!"Nggak tau malu banget, ya kamu? Sadar, nggak ucapan kamu itu semakin meyakinkan aku kalo sebenarnya kamu itu belum berubah? Mikir, dong sebelum ngo
Aku menangis tersedu-sedu karena sesak di dada ini sudah tak tertahankan lagi. Ingin mengutuk semesta yang selalu tak adil padaku. Namun, siapa aku? Yang berani-beraninya menyalahkan takdir yang terjadi?Perlahan aku berjalan menuju parkiran. Nyatanya datang ke tempat ini hanya mendapatkan kegetiran. Mas Athaar pembohong, tahu begin lebih baik aku tidur."Ayesha ...." Sayup-sayup aku mendengar suara Mas Athaar memanggil namaku. Ah, aku pasti berhalusinasi karena terlalu berharap pria itu menyusulku di sini."Ini uang parkirnya, ya, Pak." Aku membayar uang parkir dengan air mata yang masih berlinangan. Persetan jika dipandang aneh dan dinilai cengeng."Ayesha ...." Tiba-tiba Mas Athaar sudah berada di dekatku dan menggenggam tangan ini ketika aku baru saja hendak membuka pintu mobil.Hatiku yang sakit karena tingkahnya, merasa jika tak perlu untuk bicara dengan Mas Athaar. Aku menepis tangan pria itu dan langsung membuka pintu mobil kembali. Namun, Mas Athaar malah memelukku dari belak
"Astaghfirullah, Nduk! Kamu kenapa?" Sebelum aku sampai di dekat Kak Dinda, Ibu sudah lebih dulu berada di dekatnya. Wajah Ibu panik, karena Kak Dinda mengerang kesakitan sembari memegangi perut. Apa mungkin kehamilannya kenapa-kenapa karena berdebat denganku tadi? Atau memang sudah waktunya untuk Kak Dinda melahirkan?Dengan segera aku menghampiri Kak Dinda dan Ibu. Aku tak mungkin mengabaikan wanita itu yang kini tengah kesakitan. Bagaimanapun dia harus segera mendapatkan pertolongan."Bu, apa mungkin Kak Dinda mau melahirkan?" tanyaku pada Ibu yang kini masih panik dan mengusap-usap kepala Kak Dinda."Nggak usah sok peduli sama aku! Pergi kamu! Gara-gara kamu, aku begini," sergah Kak Dinda sambil terus memegangi perutnya.Aku mengernyitkan dahi. Memangnya apa yang sudah aku lakukan pada Kak Dinda? Sedikit pun tak ada kusentuh tubuhnya. Bisa-bisanya dia memojokkan diriku di hadapan Ibu."Memangnya apa yang sudah dilakukan Ayesha ke kamu? Ada apa lagi dengan kalian?" Ibu bertanya pen
"Dinda!" Azka panik dan langsung menuju kamar persalinan Kak Dinda. Teriakan istrinya tadi pasti menimbulkan ketakutan di hati pria itu. Apa yang sudah terjadi pada Kak Dinda? Sesulit itukah dia melahirkan? Ya, Allah.Pikiranku saat ini tak keruan. Ingin rasanya menemui Mas Athaar dan meluruskan masalah yang terjadi di antara kami. Namun, aku tak tega meninggalkan Ibu yang sedang cemas menanti kelahiran cucunya. Terlebih, aku masih punya belas kasihan pada Kak Dinda. Tak mungkin diri ini pergi di keadaannya seperti sekarang."Maaf, Mbak." Tiba-tiba perawat tadi menghampiriku. "Mbak bisa, nggak temui pasien di dalam? Ibunya Mbak yang memintanya," sambungnya lagi."Ada apa, ya, Mbak? Kok, saya disuruh nemuin pasien? Apa nggak malah mengganggu nantinya?" Jelas aku bingung karena biasanya dalam proses persalinan yang diperbolehkan melihat adalah suami atau orang tua."Tapi ini permintaan pasien. Dan Bu Bidan sudah mengizinkan. Semua demi keselamatan pasien."Aku terkejut. Demi keselamatan
Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka
Sebuah perjalanan cinta indah telah aku rasakan nikmatnya. Menggapai puncak nirwana juga telah aku tempuh bersama pria bergelar suami. Kini, aku tengah berbadan dua, mengandung buah cintaku dengan Mas Athaar setelah delapan tahun pernikahan kami.Layaknya wanita hamil, aku merasakan berbagai hal tak mengenakkan sekaligus menyenangkan. Ada tawa tiap janin yang kini berusia empat bulan merespon suara dan sentuhan kami orang tuanya.Mas Athaar semakin sayang padaku. Begitu juga dengan Mama dan Papa Mertua. Namun, akhir-akhir ini sikap Kak Dinda agak aneh. Mungkin dia merasa jika aku sangat beruntung ketimbang dia yang kurang perhatian mertua.Azka sekarang banyak berubah, tapi aku merasa jika dia masih saja memperhatikan diri ini. Namun, tentunya tak seperti dulu. Pria itu kini sangat berhati-hati. Mungkin, karena kini dia sudah memiliki tiga buah hati dengan Kak Dinda. Jadi, pikirannya lebih dewasa.Meskipun sedang hamil, aku tetap sibuk menjalani hari-hari. Mulai menjadi istri hingga w
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sha? Apa ada yang mengganjal di hati kamu?"Aku mengangguk mendapat pertanyaan seperti itu dari Mas Athaar. Karena memang kenyataannya ada beberapa hal yang masih mengganjal pikiran."Katakanlah. Mas akan coba jawab sejujurnya." Mas Athaar mengedipkan mata sambil membelai rambutku yang panjang terurai. Wajahnya menenangkan dan itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.Sepersekian detik aku hanya bergeming dan menatap wajah Mas Athaar lekat. Berusaha untuk menyusun kalimat yang tepat agar tak ada hati yang tersakiti."Mas, sekarang kita, kan sudah menikah. Dan, sesuai kesepakatan di awal, tidak ada kebohongan yang kita sembunyikan di antara kita." Mas Athaar menganggukkan kepala sebagai tanda ingat akan janji yang pernah terucap."Mas, siapa, sih anaknya Bu Broto? Apa ada hubungannya dengan kamu?" Dengan to the point, akhirnya aku menanyakan hal yang memang ingin aku ketahui jawabannya.Mas Athaar sedikit kaget. Namun, dia tetap tenang. Sebuah senyuman
Curiga yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Tatapan mama mertua padaku kini seperti salah tingkah. Jelas, ada yang disembunyikan olehnya. Tapi apa?Mas Athaar juga menghindari kontak mata denganku. Rasanya, hari bahagia ini menjadi hambar karena hal ini. Seharusnya, kan sekarang aku happy, tapi malah curiga dan sakit hati.Menyalami para tamu pun sudah tak fokus lagi. Ingin sekali acara ini segera usai agar apa yang sedang mengganjal di hati ini segera enyah. Pokoknya, aku harus mempertanyakan siapa itu anaknya Bu Broto pada Mas Athaar."Nduk, kamu kenapa? Senyumnya, kok ilang? Itu Bude Miah mau salim, kok kamu malah cemberut. Piye, to?" Ibu menepuk pundakku dan berkata demikian padaku.Ah, ternyata curiga ini sudah membuat semuanya kacau. Suasana hati yang tak enak nyatanya sudah mengubah diriku. Bahkan orang lain pun terkena imbasnya. Fokuslah, Ayesha!"Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu capek, ya?" Kini, Mas Athaar yang berbicara. Wajahnya terlihat khawatir. Sebegitu pedulikah dia? A
Suara Mas Athaar terdengar mengancam. Mungkin, Ibu juga mendengarnya karena posisi dapur dan ruang tamu tidaklah jauh. Namun, entah di mana Ibu. Wanita itu tak muncul sama sekali. Apa iya jika Ibu sudah malas ikut campur dan mendamaikan kami seperti biasanya?Langkahku terhenti. Entahlah, seperti sudah terprogram untuk menuruti perkataan Mas Athaar. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Ya, aku takut hubungan kami semakin hancur jika aku menuruti ego diri tetap pergi.Aku memutar badan. Memasang wajah setenang mungkin padahal hati sudah dongkol sekali. Sesak merajai. Andai aku bisa berontak, tapi bagaimanapun aku harus tetap memikirkan hati Ibu."Ayesha, menikahlah dengan mas. Maaf untuk semua yang telah terjadi. Mas hanya kalap, takut kehilangan kamu. Asal kamu tau, mas sudah beberapa hari nggak pulang ke rumah. Mas mencari ketenangan sendiri dan mohon petunjuk Allah. Sekarang, mas sudah yakin, jika dengan menikah dengan kamu, adalah pilihan yang terbaik. Kamu mencintai mas, kan?" Mas At
Beberapa detik berlalu begitu saja tanpa dialog di antara aku dan Mas Athaar. Bahkan, aku tak sedikit pun menoleh ke arah pria itu. Diriku hanya mematung dan kebingungan harus berbuat apa.Sementara, suara desah napas Mas Athaar terdengar panjang. Mungkin, pria itu merasa kecewa dengan sikapku yang terkesan cuek."Sha ... kamu beneran udah benci, ya sama mas?" Mas Athaar akhirnya buka suara. Nada bicaranya terdengar parau.Aku menoleh, rasanya tak enak hati jika terus-terusan berdiam diri dan tak merespon ucapan Mas Athaar. Pria itu tak bersalah sama sekali. Hanya terkadang dia terlalu berlebihan cemburu.Aku kikuk berhadapan dengan Mas Athaar. Seperti saat pertama jumpa. Degup jantung pun mulai tak keruan. Ah, kenapa aku jadi berlebihan? Harusnya aku biasa-biasa saja.Mas Athaar mendekat. Aroma parfum pria itu begitu menyengat hingga menusuk rongga penciumanku. Dia pasti sengaja memakai banyak wewangian agar aku terkesan. Padahal, aku adalah tipe orang yang kurang suka parfum dengan
Menikah kemudian membina rumah tangga adalah impian setiap orang termasuk aku yang kini sudah layak berada di fase itu. Akan tetapi, halangan dan cobaan datang silih berganti untukku mencapai tujuan.Entahlah, mungkin memang belum saatnya Allah meridhoi aku berumah tangga. Padahal akad sudah hampir terucap. Bagaimanapun jika Allah tak berkehendak, semua tak mungkin terjadi.Sudah hampir seminggu Ibu pulang dari rumah sakit. Kondisi beliau juga semakin membaik. Alhamdulillah, Ibu tak mempermasalahkan dan menyalahkan diri ini atas kejadian yang menimpanya. Namun, juga tak sepenuhnya rela aku batal nikah.Persiapan pernikahan yang sudah sangat matang nyatanya tak menjamin sepasang kekasih akan bersanding di pelaminan. Nyatanya, kini aku harus mengikhlaskan batal nikah karena berbagai masalah yang datang.Pihak keluarga Mas Athaar nyatanya masih keberatan menerimaku jadi mantu yang katanya sudah membuat keluarga besar mereka malu. Terlalu berlebihan, nggak, sih? Kan, aku tidak melakukan h
"Stop! Diam!" teriakku sembari membantu Mas Athaar berdiri. Pria yang sebentar lagi menjadi suamiku itu tadi jatuh terjengkang karena tiba-tiba Azka mendorong dirinya.Azka seperti lupa sedang berada di penjara. Seharusnya dia bisa menahan dan menempatkan dirinya. Jika sudah seperti ini, bisa-bisa hukuman yang dia terima jadi bertambah berat.Melihat keributan yang terjadi, seorang petugas sipir langsung berusaha mengamankan Azka. Pria yang selalu memegang tongkat itu sigap memborgol Azka dan mengatakan jangan membuat keributan di tahanan. Namun, Azka malah berontak dan membuat petugas sipir itu sedikit kewalahan."Dasar Pecundang!" bentakku pada Azka. "Aku datang ke sini rupanya untuk melihat seperti ini? Mulai hari ini, aku nggak akan mau jenguk kamu ataupun peduli tentang diri kamu. Nikmatilah hari-hari kamu di sini. Masalah Aira, aku yang akan membesarkan dia." Aku berujar dengan penuh emosi. "Ayo, Mas, kita pergi dari sini. Buang-buang waktu aja kita di sini," ajakku pada Mas Ath
"Sha, alhamdulilah, akhirnya kamu sadar." Saat mata ini terbuka, Mas Athaar yang pertama kali terlihat. Wajahnya terlihat cemas dan ada jejak basah yang masih jelas di sana."Mas," sapaku padanya. "Aku di mana sekarang, Mas? Kamu lihat Aira nggak" tanyaku setelahnya."Kamu dan Aira sekarang ada di tempat yang aman, Sha." Alhamdulillah, aku bisa nyelametin kalian dari Mbak Dinda."Aku merasa agak ganjal dengan ucapan Mas Athaar. Bagaimana ceritanya dia yang menyelamatkan aku dan Aira? Bukankah di saat kejadian, pria itu tak ada di tempat."Kamu nyelametin aku dan Aira, Mas? Tapi, kan kamu—""Tadi aku putar balik ke rumah kamu, Sha. Karena aku pikir, secepatnya kita harus bicara. Makanya aku mutusin kembali ke sini. Pas aku baru nyampe halaman, aku denger suara Aira nangis dan teriakan Mbak Dinda, aku buru-buru masuk dan ternyata ada kejadian seperti ini," jelas Mas Athaar dengan penuh keseriusan.Aku bahagia Mas Athaar yang menyelamatkan aku dan Aira. Namun, juga cemas, karena takut Dok