"Astaghfirullah, Nduk! Kamu kenapa?" Sebelum aku sampai di dekat Kak Dinda, Ibu sudah lebih dulu berada di dekatnya. Wajah Ibu panik, karena Kak Dinda mengerang kesakitan sembari memegangi perut. Apa mungkin kehamilannya kenapa-kenapa karena berdebat denganku tadi? Atau memang sudah waktunya untuk Kak Dinda melahirkan?Dengan segera aku menghampiri Kak Dinda dan Ibu. Aku tak mungkin mengabaikan wanita itu yang kini tengah kesakitan. Bagaimanapun dia harus segera mendapatkan pertolongan."Bu, apa mungkin Kak Dinda mau melahirkan?" tanyaku pada Ibu yang kini masih panik dan mengusap-usap kepala Kak Dinda."Nggak usah sok peduli sama aku! Pergi kamu! Gara-gara kamu, aku begini," sergah Kak Dinda sambil terus memegangi perutnya.Aku mengernyitkan dahi. Memangnya apa yang sudah aku lakukan pada Kak Dinda? Sedikit pun tak ada kusentuh tubuhnya. Bisa-bisanya dia memojokkan diriku di hadapan Ibu."Memangnya apa yang sudah dilakukan Ayesha ke kamu? Ada apa lagi dengan kalian?" Ibu bertanya pen
"Dinda!" Azka panik dan langsung menuju kamar persalinan Kak Dinda. Teriakan istrinya tadi pasti menimbulkan ketakutan di hati pria itu. Apa yang sudah terjadi pada Kak Dinda? Sesulit itukah dia melahirkan? Ya, Allah.Pikiranku saat ini tak keruan. Ingin rasanya menemui Mas Athaar dan meluruskan masalah yang terjadi di antara kami. Namun, aku tak tega meninggalkan Ibu yang sedang cemas menanti kelahiran cucunya. Terlebih, aku masih punya belas kasihan pada Kak Dinda. Tak mungkin diri ini pergi di keadaannya seperti sekarang."Maaf, Mbak." Tiba-tiba perawat tadi menghampiriku. "Mbak bisa, nggak temui pasien di dalam? Ibunya Mbak yang memintanya," sambungnya lagi."Ada apa, ya, Mbak? Kok, saya disuruh nemuin pasien? Apa nggak malah mengganggu nantinya?" Jelas aku bingung karena biasanya dalam proses persalinan yang diperbolehkan melihat adalah suami atau orang tua."Tapi ini permintaan pasien. Dan Bu Bidan sudah mengizinkan. Semua demi keselamatan pasien."Aku terkejut. Demi keselamatan
Ibu menatapku penuh keheranan. Jelas, karena sikapku yang aneh. Biasanya aku paling suka jika Ibu mengobrol dengan Mas Athaar. Namun, kali ini malah melarangnya."Memangnya kenapa, Nduk? Tumben sekali kamu ndak ngebolehin ibu ngobrol sama Athaar?"Aku kelabakan. Otak ini sebisa mungkin aku ajak berpikir keras mencari alasan yang paling masuk akal. "Ibu, kan baru jagain Kak Dinda, pasti capek, kan? Jadi, mendingan Ibu istirahat. Nanti kalo cucu Ibu nangis gimana? Kak Dinda, kan belum kuat buat gendong." Akhirnya, kalimat itu terlontar. Semoga Ibu mau mendengarkan saran dariku.Kebetulan Azka sedang pergi. Jadi, aku rasa saran tadi cukup untuk membuat Ibu menurut. Nanti masalah Mas Athaar, rencananya dia mau aku ajak ke halaman saja. Agar suara percakapan kami tak di dengar oleh Ibu tentunya."Ya, sudah. Kalo gitu ibu istirahat, ya. Bilangin ke Athaar kalo ibu ndak bisa nemenin dia ngobrol, ya." Ibu pun langsung keluar dari kamarku. Syukurlah, beliau tak lagi bertanya ini itu."Mas ...
"Kok, diem, sih, Sha? Bukannya kamu itu orangnya agresif dan emosian, ya?" Lagi, wanita itu berbicara tanpa berpikir terlebih dahulu. Dia benar-benar memancing emosi dalam diri ini."Sel, tolong yang sopan sama Ayesha. Aku perhatiin dari tadi kamu sengaja buat Ayesha emosi. Lagian, ada urusan apa kamu di sini?" Mas Athaar akhirnya angkat bicara. Dengan tajam dia menatap Sela, wanita yang sejak tadi bersikap pongah."Sopan? Emangnya dari tadi aku nggak sopan, ya?" Sela tertawa mengejek.Aku mendengkus geram. Rasanya muak melihat tingkah Sela. Terakhir bertemu dengannya terlihat sekali dia berusaha mencari perhatian Mas Athaar. Harusnya, kan dia sadar diri jika Mas Athaar sudah memiliki calon istri. Dasar pelakor!"Sela tolong jangan keterlaluan. Ini tempat umum. Tolong jangan buat keributan di sini." Mas Athaar bicara tegas. Sepertinya dia sudah tak bisa menahan diri lagi."Athaar, kok, kamu emosi, sih? Aku, kan bicara fakta. Dari dulu kalian itu halu tingkat dewa, eh hasilnya apa? Nol
Kak Dinda seperti kesetanan. Dengan beringas dia menghampiri bayi kecil yang baru dilahirkannya itu. Seketika tangis bayi itu pecah, membuat suasana semakin menegangkan.Jelas pemandangan itu tak bisa aku biarkan. Mana mungkin aku tak menyelamatkan Aira, anak Kak Dinda yang kini menangis kejer. Bayi itu pasti terkejut karena suara berisik yang terjadi."Istighfar, Kak. Dia putrimu, dia yang kamu lahirkan dengan taruhan nyawa. Tolong sadar, Kak. Ingat sama Allah," kataku sambil menggendong tubuh kecil Aira. Bayi itu masih menangis kejer. Dia pasti merasa tak nyaman dengan sekitaran dan juga lapar."Nduk, Ayesha bener. Nyebut, Nduk. Ingat sama Allah." Kini Ibu yang berbicara. Nada bicaranya bergetar, tanda ketakutan dan juga khawatir yang teramat.Kak Dinda terlihat lebih tenang. Semoga saja dia sudah sadar dan bisa mengendalikan dirinya. Entah kenapa dia bisa terkena baby blues. Padahal, Ibu dan aku tidak pernah mengabaikannya. Jika karena kelelahan, sepertinya tidak. Karena Aira tergo
Lagi, drama kembali tercipta di rumah ini. Sungguh, aku muak dengan keadaan seperti ini. Namun, anehnya aku selalu terjebak lagi dan lagi. Mungkinkah, di keluarga ini isinya hanya drama? Lantas, kapan kebahagiaan dan juga ketentraman akan menghiasi istana kami?Ibu melotot tajam ke arahku. Beliau pasti kaget dan tak suka dengan keributan yang terjadi lagi dan lagi. Namun, di sini tak sepenuhnya aku bersalah. Jika Azka tahu diri dan pandai menempatkan diri, semua ini tak akan pernah terjadi lagi. Sayangnya, Azka memang batu. Sekali keras, selamanya sulit untuk dilembutkan."Ada apa lagi ini, Ayesha, Azka? Kenapa lagi-lagi kalian bertengkar? Apa kalian tidak kasihan sama Dinda? Dia itu butuh ketenangan lahir batin. Dia bisa stres lagi kalo melihat kalian begini." Ibu memarahiku dan Azka. Sementara Mas Athaar terlihat malas menyaksikan drama yang terjadi.Mas Athaar jelas kecewa. Karena lagi-lagi ada masalah yang terjadi ketika kami hendak memenuhi jadwal penataran dari KUA. Sebenarnya,
Aku menyeka air mata yang berserakan. Persetan jika manusia di sepanjang jalan ini melihat dan menjadikan tontonan. Kan, mereka tidak tahu apa yang tengah aku rasakan. Mungkin, jika mereka di posisiku, mereka juga tak akan tahan untuk tidak menangis.Hari ini sangat buruk, jauh dari perkiraanku. Tadinya aku pikir, akan berbahagia karena jelang pernikahan, Mas Athaar akan sangat memanjakan diri ini. Namun, kenyataanya rasa sakit yang dia torehkan tanpa perasaan. Ah, sudahlah, yang penting kini aku sudah tak di dalam mobilnya. Dia mengusir, jadi untuk apa tetap di sana? Memangnya aku batu?"Ayesha!" Tiba-tiba Mas Athaar berteriak memanggil. Aku yang saat ini berada di bahu jalan seketika mempercepat langkah. Aku tak mau lagi bicara apalagi naik ke mobil Mas Athaar. Terserah, jika pernikahan kami batal. Belum juga sah, eh sudah berani marah-marah. Mau dibawa ke mana pernikahan kami nanti jika dia tempramental begitu?"Sha, please jangan pergi. Please dengerin aku dulu," pinta Mas Athaar
"Ayesha, Nduk. Kenapa bisa sampe seperti ini?" Ibu duduk di sampingku sembari menangis. Saat ini aku sedang terbaring lemah di ruang perawatan rumah sakit.Ya, karena kejadian di jalan tadi, sekarang aku harus menginap di sini. Pria yang memukul Mas Athaar mendorongku terlalu keras sehingga diri ini terpental ke jalan. Kebetulan, ada sepeda motor yang melintas dan kecelakaan pun tak terelakkan lagi.Menurut Mas Athaar, aku sudah berada di rumah sakit selama enam jam dan sudah menghabiskan dua botol infus. Namun, dia baru mengabari Ibu setelah aku siuman. Katanya tak mau membuat Ibu khawatir."Bu, Ayesha udah nggak apa-apa, kok. Jangan nangis," kataku lemah. Aku tak tega melihat Ibu menangis dan merasa tak enak hati pada Mas Athaar yang sejak aku siuman terus saja meminta maaf. Dia merasa bersalah karena sikapnya di jalan tadi, aku menjadi korban kecelakaan."Saya minta maaf, Bu. Karena saya, Ayesha jadi begini." Mas Athaar tiba-tiba meminta maaf pada Ibu. Padahal sudah aku pesankan ja
Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka
Sebuah perjalanan cinta indah telah aku rasakan nikmatnya. Menggapai puncak nirwana juga telah aku tempuh bersama pria bergelar suami. Kini, aku tengah berbadan dua, mengandung buah cintaku dengan Mas Athaar setelah delapan tahun pernikahan kami.Layaknya wanita hamil, aku merasakan berbagai hal tak mengenakkan sekaligus menyenangkan. Ada tawa tiap janin yang kini berusia empat bulan merespon suara dan sentuhan kami orang tuanya.Mas Athaar semakin sayang padaku. Begitu juga dengan Mama dan Papa Mertua. Namun, akhir-akhir ini sikap Kak Dinda agak aneh. Mungkin dia merasa jika aku sangat beruntung ketimbang dia yang kurang perhatian mertua.Azka sekarang banyak berubah, tapi aku merasa jika dia masih saja memperhatikan diri ini. Namun, tentunya tak seperti dulu. Pria itu kini sangat berhati-hati. Mungkin, karena kini dia sudah memiliki tiga buah hati dengan Kak Dinda. Jadi, pikirannya lebih dewasa.Meskipun sedang hamil, aku tetap sibuk menjalani hari-hari. Mulai menjadi istri hingga w
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sha? Apa ada yang mengganjal di hati kamu?"Aku mengangguk mendapat pertanyaan seperti itu dari Mas Athaar. Karena memang kenyataannya ada beberapa hal yang masih mengganjal pikiran."Katakanlah. Mas akan coba jawab sejujurnya." Mas Athaar mengedipkan mata sambil membelai rambutku yang panjang terurai. Wajahnya menenangkan dan itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.Sepersekian detik aku hanya bergeming dan menatap wajah Mas Athaar lekat. Berusaha untuk menyusun kalimat yang tepat agar tak ada hati yang tersakiti."Mas, sekarang kita, kan sudah menikah. Dan, sesuai kesepakatan di awal, tidak ada kebohongan yang kita sembunyikan di antara kita." Mas Athaar menganggukkan kepala sebagai tanda ingat akan janji yang pernah terucap."Mas, siapa, sih anaknya Bu Broto? Apa ada hubungannya dengan kamu?" Dengan to the point, akhirnya aku menanyakan hal yang memang ingin aku ketahui jawabannya.Mas Athaar sedikit kaget. Namun, dia tetap tenang. Sebuah senyuman
Curiga yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Tatapan mama mertua padaku kini seperti salah tingkah. Jelas, ada yang disembunyikan olehnya. Tapi apa?Mas Athaar juga menghindari kontak mata denganku. Rasanya, hari bahagia ini menjadi hambar karena hal ini. Seharusnya, kan sekarang aku happy, tapi malah curiga dan sakit hati.Menyalami para tamu pun sudah tak fokus lagi. Ingin sekali acara ini segera usai agar apa yang sedang mengganjal di hati ini segera enyah. Pokoknya, aku harus mempertanyakan siapa itu anaknya Bu Broto pada Mas Athaar."Nduk, kamu kenapa? Senyumnya, kok ilang? Itu Bude Miah mau salim, kok kamu malah cemberut. Piye, to?" Ibu menepuk pundakku dan berkata demikian padaku.Ah, ternyata curiga ini sudah membuat semuanya kacau. Suasana hati yang tak enak nyatanya sudah mengubah diriku. Bahkan orang lain pun terkena imbasnya. Fokuslah, Ayesha!"Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu capek, ya?" Kini, Mas Athaar yang berbicara. Wajahnya terlihat khawatir. Sebegitu pedulikah dia? A
Suara Mas Athaar terdengar mengancam. Mungkin, Ibu juga mendengarnya karena posisi dapur dan ruang tamu tidaklah jauh. Namun, entah di mana Ibu. Wanita itu tak muncul sama sekali. Apa iya jika Ibu sudah malas ikut campur dan mendamaikan kami seperti biasanya?Langkahku terhenti. Entahlah, seperti sudah terprogram untuk menuruti perkataan Mas Athaar. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Ya, aku takut hubungan kami semakin hancur jika aku menuruti ego diri tetap pergi.Aku memutar badan. Memasang wajah setenang mungkin padahal hati sudah dongkol sekali. Sesak merajai. Andai aku bisa berontak, tapi bagaimanapun aku harus tetap memikirkan hati Ibu."Ayesha, menikahlah dengan mas. Maaf untuk semua yang telah terjadi. Mas hanya kalap, takut kehilangan kamu. Asal kamu tau, mas sudah beberapa hari nggak pulang ke rumah. Mas mencari ketenangan sendiri dan mohon petunjuk Allah. Sekarang, mas sudah yakin, jika dengan menikah dengan kamu, adalah pilihan yang terbaik. Kamu mencintai mas, kan?" Mas At
Beberapa detik berlalu begitu saja tanpa dialog di antara aku dan Mas Athaar. Bahkan, aku tak sedikit pun menoleh ke arah pria itu. Diriku hanya mematung dan kebingungan harus berbuat apa.Sementara, suara desah napas Mas Athaar terdengar panjang. Mungkin, pria itu merasa kecewa dengan sikapku yang terkesan cuek."Sha ... kamu beneran udah benci, ya sama mas?" Mas Athaar akhirnya buka suara. Nada bicaranya terdengar parau.Aku menoleh, rasanya tak enak hati jika terus-terusan berdiam diri dan tak merespon ucapan Mas Athaar. Pria itu tak bersalah sama sekali. Hanya terkadang dia terlalu berlebihan cemburu.Aku kikuk berhadapan dengan Mas Athaar. Seperti saat pertama jumpa. Degup jantung pun mulai tak keruan. Ah, kenapa aku jadi berlebihan? Harusnya aku biasa-biasa saja.Mas Athaar mendekat. Aroma parfum pria itu begitu menyengat hingga menusuk rongga penciumanku. Dia pasti sengaja memakai banyak wewangian agar aku terkesan. Padahal, aku adalah tipe orang yang kurang suka parfum dengan
Menikah kemudian membina rumah tangga adalah impian setiap orang termasuk aku yang kini sudah layak berada di fase itu. Akan tetapi, halangan dan cobaan datang silih berganti untukku mencapai tujuan.Entahlah, mungkin memang belum saatnya Allah meridhoi aku berumah tangga. Padahal akad sudah hampir terucap. Bagaimanapun jika Allah tak berkehendak, semua tak mungkin terjadi.Sudah hampir seminggu Ibu pulang dari rumah sakit. Kondisi beliau juga semakin membaik. Alhamdulillah, Ibu tak mempermasalahkan dan menyalahkan diri ini atas kejadian yang menimpanya. Namun, juga tak sepenuhnya rela aku batal nikah.Persiapan pernikahan yang sudah sangat matang nyatanya tak menjamin sepasang kekasih akan bersanding di pelaminan. Nyatanya, kini aku harus mengikhlaskan batal nikah karena berbagai masalah yang datang.Pihak keluarga Mas Athaar nyatanya masih keberatan menerimaku jadi mantu yang katanya sudah membuat keluarga besar mereka malu. Terlalu berlebihan, nggak, sih? Kan, aku tidak melakukan h
"Stop! Diam!" teriakku sembari membantu Mas Athaar berdiri. Pria yang sebentar lagi menjadi suamiku itu tadi jatuh terjengkang karena tiba-tiba Azka mendorong dirinya.Azka seperti lupa sedang berada di penjara. Seharusnya dia bisa menahan dan menempatkan dirinya. Jika sudah seperti ini, bisa-bisa hukuman yang dia terima jadi bertambah berat.Melihat keributan yang terjadi, seorang petugas sipir langsung berusaha mengamankan Azka. Pria yang selalu memegang tongkat itu sigap memborgol Azka dan mengatakan jangan membuat keributan di tahanan. Namun, Azka malah berontak dan membuat petugas sipir itu sedikit kewalahan."Dasar Pecundang!" bentakku pada Azka. "Aku datang ke sini rupanya untuk melihat seperti ini? Mulai hari ini, aku nggak akan mau jenguk kamu ataupun peduli tentang diri kamu. Nikmatilah hari-hari kamu di sini. Masalah Aira, aku yang akan membesarkan dia." Aku berujar dengan penuh emosi. "Ayo, Mas, kita pergi dari sini. Buang-buang waktu aja kita di sini," ajakku pada Mas Ath
"Sha, alhamdulilah, akhirnya kamu sadar." Saat mata ini terbuka, Mas Athaar yang pertama kali terlihat. Wajahnya terlihat cemas dan ada jejak basah yang masih jelas di sana."Mas," sapaku padanya. "Aku di mana sekarang, Mas? Kamu lihat Aira nggak" tanyaku setelahnya."Kamu dan Aira sekarang ada di tempat yang aman, Sha." Alhamdulillah, aku bisa nyelametin kalian dari Mbak Dinda."Aku merasa agak ganjal dengan ucapan Mas Athaar. Bagaimana ceritanya dia yang menyelamatkan aku dan Aira? Bukankah di saat kejadian, pria itu tak ada di tempat."Kamu nyelametin aku dan Aira, Mas? Tapi, kan kamu—""Tadi aku putar balik ke rumah kamu, Sha. Karena aku pikir, secepatnya kita harus bicara. Makanya aku mutusin kembali ke sini. Pas aku baru nyampe halaman, aku denger suara Aira nangis dan teriakan Mbak Dinda, aku buru-buru masuk dan ternyata ada kejadian seperti ini," jelas Mas Athaar dengan penuh keseriusan.Aku bahagia Mas Athaar yang menyelamatkan aku dan Aira. Namun, juga cemas, karena takut Dok