"Istighfar, Bu. Astaghfirullah hala'zim," kataku mencoba membuat Ibu mengingat Allah. Bukankah hati menjadi lebih tenang ketika mengingat Allah?"Sudahlah, Nduk! Pokoknya ibu ndak akan merestui kamu menikah! Ibu kapok!" Ibu masih saja berontak. Padahal aku sudah berupaya menenangkan beliau. Membuat aku gamang akan rencana pernikahanku nanti. Bagaimana mungkin diri ini menikah tanpa restu orang tua?"Bu, saya mohon, Ibu yang tenang, ya. Jangan samakan Ayesha dengan Mbak Dinda, Bu. Mungkin Mbak Dinda tega membuat Ibu begini, tapi saya yakin kalo Ayesha adalah gadis baik. Dia nggak mungkin mendurhakai Ibu setelah menikah." Mas Athaar juga ikut meyakinkan Ibu. Mengingatkan Ibu jika nantinya seorang Ayesha tidak mungkin melupakan beliau setelah menjadi istri orang."Kamu juga! Pulang sana! Jangan mimpi kamu bisa menikahi putriku! Aku ndak mungkin menikahkan Ayesha!" Ibu benar-benar lepas kontrol hingga sanggup melontarkan kata-kata yang sangat menyakitkan hati.Aku hanya bisa menangis. Sun
"Mbak Ayesha, ini masih diagnosis awal. Semoga hasil pemeriksaan saya salah.""Maksudnya, Dok?" Sungguh, aku sedang dilanda cemas luar biasa. Takut sekali mendengar hasil pemeriksaan dokter sampai-sampai ucapan petugas medis itu aku potong.Saat ini aku sedang berkomunikasi dengan seorang dokter psikiater yang sudah beberapa hari ini menangani Ibu. Ya, akhirnya aku membawa Ibu ke psikiater karena terkadang beliau meracau, menangis, panik dan yang paling sering cemas berlebihan. Namun, tanpa sepengetahuan Kak Dinda dan juga para tetangga.Bukan tanpa alasan aku tak memberitahu Kak Dinda. Semua dikarenakan hanya akan sia-sia saja. Bukannya Kak Dinda tak pernah peduli pada Ibu? Dan para tetangga, paling-paling hanya akan menghujat dan mengomentari dengan kalimat yang membuat mentalku semakin jatuh.Sepertinya Ibu berniat sekali ingin menghapus memori ingatannya tentang Kak Dinda. Karena berulang kali beliau berpura-pura lupa pada putri kandungnya itu dan berakhir tangisan pilu. Jika itu
"Emm ... sepertinya Anda salah paham, Mbak. Saya datang ke sini karena—""Karena mau bertemu Ayesha, kan?" Kak Dinda memotong ucapan Dokter Alan cepat. Wanita itu seperti tak mau mendengar lawan bicaranya menjelaskan maksud tujuannya."Kak, sudahlah! Tolong jangan memperkeruh suasana! Jangan membuat Mas Athaar semakin salah paham! Ini namanya Dokter Alan. Dia dokternya Ibu," kataku sembari melihat ke arah Mas Athaar. Pria itu kini terlihat membuang wajah. Mungkin tak siap bertemu pandang denganku."Dokternya Ibu? Jangan ngarang, deh! Ibu, kan nggak sakit." Kak Dinda menyangkal. Wanita yang kini mengenakan gaun berwarna ungu itu melipat kedua tangannya ke dada."Ibu memang tidak sakit, Kak. Aku mau Ibu sehat terus, tapi kenyataannya Ibu harus minum obat ini setiap hari." Aku menunjukkan obat dari Dokter Alan yang hingga kini masih aku tenteng.Kak Dinda terlihat sedikit kaget. Dia memperhatikan tote bag yang berada di tanganku. "Kamu mau drama, ya? Tadi aku lihat Ibu baik-baik aja, kok
"Maafin saya, ya, Mbak. Saya cuma nggak mau mereka semakin menyakiti Mbak." Dokter Alan berujar dengan nada penuh penyesalan. Alis matanya yang tebal tampak berkerut.Dokter Alan terlihat ikhlas, meski awalnya membuatku curiga karena ada di butik juga. Pria itu yang membelaku ketika satpam mengusir dengan cara tak sopan. Namun, hingga detik ini, kemunculannya yang secara tiba-tiba masih membuatku bertanya-tanya."Nggak apa-apa, Dok. Terima kasih, ya. Mungkin jika Dokter tidak datang tepat waktu, mungkin mereka sudah lebih kasar dari tadi. Tapi ... kenapa Dokter bisa ada di Surabaya juga?" Akhirnya aku melontarkan pertanyaan itu. Tak enak rasanya menduga-duga dan bertanya-tanya."Hmm ... saya ada janji sama seseorang, Mbak. Kebetulan dia kerja di sekitar butik Shasha. Tadi saya melihat Mbak Ayesha di butik itu. Karena saya mau menyapa, jadi saya ikuti Mbak Ayesha dari belakang. Eh, malah ada kejadian tadi di depan mata saya. Maaf, ya Mbak kalo saya terkesan lancang ikut campur urusan k
"Dina? Kamu Dina, kan?" tanyaku pada seseorang yang tadi menyapa Koh Chang.Dina menunduk, mungkin gugup dan kaget karena tak menyangka bertemu aku di sini. Namun, setelah itu dia mengangguk."Kamu kenal dia, ya? Ini, nih karyawan oe yang izin sakit terus. Bikin pusing." Koh Chang berbicara sembari membetulkan letak kacamatanya yang sedikit miring."Saya baru ketemu dia sekali, Koh. Cuma kenal namanya," jawabku.Koh Chang manggut-manggut, kini matanya kembali memindai Dina dengan teliti. "Kamu ke sini mau kerja atau apa? Oe liat kamu masih pucat.""Saya mau izin berhenti kerja, Koh. Saya nggak bisa kerja lagi soalnya saya disuruh istirahat sama suami saya."Jawaban Dina seketika membuatku kaget. Suami? Bukannya kata Bu Santi suami Dina pergi meninggalkannya? Lantas, apa benar jika Dina ini adalah sepupunya Azka?"Emm ... maaf. Boleh saya nanya sesuatu?" tanyaku pada Dina. Wanita itu terlihat tegang."Silahkan, Mbak.""Kamu asli sini, ya?""Enggak, Mbak. Aku cuma kerja di sini. Di kamp
"Biasa aja wajahnya, Dok. Wajar kalo Dokter suka sama Ayesha. Hanya pria bodoh yang tak jatuh cinta sama dia. Tapi Anda tetap salah, karena dia itu calon istri saya dan nggak seharusnya Dokter mendekatinya." Mas Athaar masih melanjutkan ucapannya yang menurutku terlalu berlebihan. Karena selama ini sikap Dokter Alan biasa-biasa saja padaku. "Benar, kan, Dok?" sambung Mas Athaar lagi."Mas, kenapa, sih kamu kek gini? Dokter Alan nggak mungkin suka sama aku. Dia hanya kebetulan bertemu aku di sini dan ternyata calon istrinya itu adalah orang yang selama ini aku curigai ada hubungan sama Azka. Jangan berspekulasi terlalu dini, dong Mas. Aku cuma mau bantuin dia sekaligus membongkar kedok Dina.""Sha, aku ini seorang pria. Jelas aku tahu bagaimana seorang pria ketika naksir wanita. Sudahlah kalo kamu nggak percaya. Silahkan lanjutkan misi kamu kalo memang bisa berjalan tanpa aku." Mas Athaar kembali mengayunkan langkah. Entah kenapa hati ini mendadak ngilu melihat sikapnya. Kecemburuan pr
Ruangan serba putih ini rasanya pengap sekali. Menambah sesak yang semakin menghimpit dada. Dua jam sudah aku berada di sini, menunggu Mas Athaar sadar dari pingsan. Namun, pria itu tak kunjung membuka mata seperti harapan ini.Alhamdulillah, Mas Athaar sudah melewati masa kritis setelah ditusuk oleh anak buah Kak Dinda. Tinggal menunggu dia sadar pasca operasi. Entah bagaimana caranya aku menjelaskan pada keluarga Mas Athaar ketika mereka tiba di sini nanti. Semua ini salahku yang melibatkan Mas Athaar ke dalam masalahku.Mungkin sekarang Mas Agung sudah memberitahu keluarganya tentang kondisi sang adik. Namun, tetap saja aku harus menjelaskan dan meminta maaf pada keluarga Mas Athaar atas kejadian ini. Saat ini Mas Agung sedang di kantor polisi untuk melaporkan tindak kriminal yang dilakukan Kak Dinda.Di saat kejadian penusukan tadi, karena aku berteriak, banyak orang yang datang menghampiri kami dan menolong membawa Mas Athaar ke rumah sakit. Sementara para preman dan Kak Dinda me
Aku melepaskan pelukan Mas Athaar yang sejak tadi terasa erat. Dia yang aku pikir sopan dan mau menjaga keperawanan hingga pernikahan, nyatanya hanya pecundang bertopeng pahlawan. Aku kecewa, benar-benar kecewa."Sha, mau ke mana?""Pulang! Hanya perempuan gila yang mau satu ruangan dengan orang mesum!""Hah? Apa maksudmu?"Aku membalikkan badan, padahal malas sekali untuk melakukannya. Mungkin ini yang terakhir, setelah ini aku akan mengakhiri semuanya. Siapa yang mau menikah dengan pria yang tak bisa menghargai wanita? Harusnya Mas Athaar bisa menahan diri, bukan malah mengajakku berbuat maksiat. Memalukan!"Kamu jahat, Mas! Kamu pikir aku murahan? Kita belum menikah, bisa-bisanya kamu ajak aku gituan!""Hah ...?" Mas Athaar masih terbengong-bengong. Dia pikir wajahnya itu lucu? Menyebalkan! "Kamu ini kenapa, Sha?""Udahlah, Mas! Aku pokoknya mau pulang dan aku nggak mau nikah sama kamu!""Ayesha, kamu kenapa, sih? Tolong jelaskan mas ini salah apa?"Gila! Mas Athaar bahkan tak mera
Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka
Sebuah perjalanan cinta indah telah aku rasakan nikmatnya. Menggapai puncak nirwana juga telah aku tempuh bersama pria bergelar suami. Kini, aku tengah berbadan dua, mengandung buah cintaku dengan Mas Athaar setelah delapan tahun pernikahan kami.Layaknya wanita hamil, aku merasakan berbagai hal tak mengenakkan sekaligus menyenangkan. Ada tawa tiap janin yang kini berusia empat bulan merespon suara dan sentuhan kami orang tuanya.Mas Athaar semakin sayang padaku. Begitu juga dengan Mama dan Papa Mertua. Namun, akhir-akhir ini sikap Kak Dinda agak aneh. Mungkin dia merasa jika aku sangat beruntung ketimbang dia yang kurang perhatian mertua.Azka sekarang banyak berubah, tapi aku merasa jika dia masih saja memperhatikan diri ini. Namun, tentunya tak seperti dulu. Pria itu kini sangat berhati-hati. Mungkin, karena kini dia sudah memiliki tiga buah hati dengan Kak Dinda. Jadi, pikirannya lebih dewasa.Meskipun sedang hamil, aku tetap sibuk menjalani hari-hari. Mulai menjadi istri hingga w
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sha? Apa ada yang mengganjal di hati kamu?"Aku mengangguk mendapat pertanyaan seperti itu dari Mas Athaar. Karena memang kenyataannya ada beberapa hal yang masih mengganjal pikiran."Katakanlah. Mas akan coba jawab sejujurnya." Mas Athaar mengedipkan mata sambil membelai rambutku yang panjang terurai. Wajahnya menenangkan dan itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.Sepersekian detik aku hanya bergeming dan menatap wajah Mas Athaar lekat. Berusaha untuk menyusun kalimat yang tepat agar tak ada hati yang tersakiti."Mas, sekarang kita, kan sudah menikah. Dan, sesuai kesepakatan di awal, tidak ada kebohongan yang kita sembunyikan di antara kita." Mas Athaar menganggukkan kepala sebagai tanda ingat akan janji yang pernah terucap."Mas, siapa, sih anaknya Bu Broto? Apa ada hubungannya dengan kamu?" Dengan to the point, akhirnya aku menanyakan hal yang memang ingin aku ketahui jawabannya.Mas Athaar sedikit kaget. Namun, dia tetap tenang. Sebuah senyuman
Curiga yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Tatapan mama mertua padaku kini seperti salah tingkah. Jelas, ada yang disembunyikan olehnya. Tapi apa?Mas Athaar juga menghindari kontak mata denganku. Rasanya, hari bahagia ini menjadi hambar karena hal ini. Seharusnya, kan sekarang aku happy, tapi malah curiga dan sakit hati.Menyalami para tamu pun sudah tak fokus lagi. Ingin sekali acara ini segera usai agar apa yang sedang mengganjal di hati ini segera enyah. Pokoknya, aku harus mempertanyakan siapa itu anaknya Bu Broto pada Mas Athaar."Nduk, kamu kenapa? Senyumnya, kok ilang? Itu Bude Miah mau salim, kok kamu malah cemberut. Piye, to?" Ibu menepuk pundakku dan berkata demikian padaku.Ah, ternyata curiga ini sudah membuat semuanya kacau. Suasana hati yang tak enak nyatanya sudah mengubah diriku. Bahkan orang lain pun terkena imbasnya. Fokuslah, Ayesha!"Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu capek, ya?" Kini, Mas Athaar yang berbicara. Wajahnya terlihat khawatir. Sebegitu pedulikah dia? A
Suara Mas Athaar terdengar mengancam. Mungkin, Ibu juga mendengarnya karena posisi dapur dan ruang tamu tidaklah jauh. Namun, entah di mana Ibu. Wanita itu tak muncul sama sekali. Apa iya jika Ibu sudah malas ikut campur dan mendamaikan kami seperti biasanya?Langkahku terhenti. Entahlah, seperti sudah terprogram untuk menuruti perkataan Mas Athaar. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Ya, aku takut hubungan kami semakin hancur jika aku menuruti ego diri tetap pergi.Aku memutar badan. Memasang wajah setenang mungkin padahal hati sudah dongkol sekali. Sesak merajai. Andai aku bisa berontak, tapi bagaimanapun aku harus tetap memikirkan hati Ibu."Ayesha, menikahlah dengan mas. Maaf untuk semua yang telah terjadi. Mas hanya kalap, takut kehilangan kamu. Asal kamu tau, mas sudah beberapa hari nggak pulang ke rumah. Mas mencari ketenangan sendiri dan mohon petunjuk Allah. Sekarang, mas sudah yakin, jika dengan menikah dengan kamu, adalah pilihan yang terbaik. Kamu mencintai mas, kan?" Mas At
Beberapa detik berlalu begitu saja tanpa dialog di antara aku dan Mas Athaar. Bahkan, aku tak sedikit pun menoleh ke arah pria itu. Diriku hanya mematung dan kebingungan harus berbuat apa.Sementara, suara desah napas Mas Athaar terdengar panjang. Mungkin, pria itu merasa kecewa dengan sikapku yang terkesan cuek."Sha ... kamu beneran udah benci, ya sama mas?" Mas Athaar akhirnya buka suara. Nada bicaranya terdengar parau.Aku menoleh, rasanya tak enak hati jika terus-terusan berdiam diri dan tak merespon ucapan Mas Athaar. Pria itu tak bersalah sama sekali. Hanya terkadang dia terlalu berlebihan cemburu.Aku kikuk berhadapan dengan Mas Athaar. Seperti saat pertama jumpa. Degup jantung pun mulai tak keruan. Ah, kenapa aku jadi berlebihan? Harusnya aku biasa-biasa saja.Mas Athaar mendekat. Aroma parfum pria itu begitu menyengat hingga menusuk rongga penciumanku. Dia pasti sengaja memakai banyak wewangian agar aku terkesan. Padahal, aku adalah tipe orang yang kurang suka parfum dengan
Menikah kemudian membina rumah tangga adalah impian setiap orang termasuk aku yang kini sudah layak berada di fase itu. Akan tetapi, halangan dan cobaan datang silih berganti untukku mencapai tujuan.Entahlah, mungkin memang belum saatnya Allah meridhoi aku berumah tangga. Padahal akad sudah hampir terucap. Bagaimanapun jika Allah tak berkehendak, semua tak mungkin terjadi.Sudah hampir seminggu Ibu pulang dari rumah sakit. Kondisi beliau juga semakin membaik. Alhamdulillah, Ibu tak mempermasalahkan dan menyalahkan diri ini atas kejadian yang menimpanya. Namun, juga tak sepenuhnya rela aku batal nikah.Persiapan pernikahan yang sudah sangat matang nyatanya tak menjamin sepasang kekasih akan bersanding di pelaminan. Nyatanya, kini aku harus mengikhlaskan batal nikah karena berbagai masalah yang datang.Pihak keluarga Mas Athaar nyatanya masih keberatan menerimaku jadi mantu yang katanya sudah membuat keluarga besar mereka malu. Terlalu berlebihan, nggak, sih? Kan, aku tidak melakukan h
"Stop! Diam!" teriakku sembari membantu Mas Athaar berdiri. Pria yang sebentar lagi menjadi suamiku itu tadi jatuh terjengkang karena tiba-tiba Azka mendorong dirinya.Azka seperti lupa sedang berada di penjara. Seharusnya dia bisa menahan dan menempatkan dirinya. Jika sudah seperti ini, bisa-bisa hukuman yang dia terima jadi bertambah berat.Melihat keributan yang terjadi, seorang petugas sipir langsung berusaha mengamankan Azka. Pria yang selalu memegang tongkat itu sigap memborgol Azka dan mengatakan jangan membuat keributan di tahanan. Namun, Azka malah berontak dan membuat petugas sipir itu sedikit kewalahan."Dasar Pecundang!" bentakku pada Azka. "Aku datang ke sini rupanya untuk melihat seperti ini? Mulai hari ini, aku nggak akan mau jenguk kamu ataupun peduli tentang diri kamu. Nikmatilah hari-hari kamu di sini. Masalah Aira, aku yang akan membesarkan dia." Aku berujar dengan penuh emosi. "Ayo, Mas, kita pergi dari sini. Buang-buang waktu aja kita di sini," ajakku pada Mas Ath
"Sha, alhamdulilah, akhirnya kamu sadar." Saat mata ini terbuka, Mas Athaar yang pertama kali terlihat. Wajahnya terlihat cemas dan ada jejak basah yang masih jelas di sana."Mas," sapaku padanya. "Aku di mana sekarang, Mas? Kamu lihat Aira nggak" tanyaku setelahnya."Kamu dan Aira sekarang ada di tempat yang aman, Sha." Alhamdulillah, aku bisa nyelametin kalian dari Mbak Dinda."Aku merasa agak ganjal dengan ucapan Mas Athaar. Bagaimana ceritanya dia yang menyelamatkan aku dan Aira? Bukankah di saat kejadian, pria itu tak ada di tempat."Kamu nyelametin aku dan Aira, Mas? Tapi, kan kamu—""Tadi aku putar balik ke rumah kamu, Sha. Karena aku pikir, secepatnya kita harus bicara. Makanya aku mutusin kembali ke sini. Pas aku baru nyampe halaman, aku denger suara Aira nangis dan teriakan Mbak Dinda, aku buru-buru masuk dan ternyata ada kejadian seperti ini," jelas Mas Athaar dengan penuh keseriusan.Aku bahagia Mas Athaar yang menyelamatkan aku dan Aira. Namun, juga cemas, karena takut Dok