Semesta Aksara
Tidak biasanya Bu Asri memanggilku, terkhusus memintaku untuk mewakili kampus untuk mengikuti lomba. Bukan berarti selama ini aku tidak berprestasi. Sebagai mahasiswa yang aktif berkegiatan di kampus ataupun di luar kampus, namaku cukup diperhatikan. Halaman koran sering kali mencetak namaku di kolom esai ataupun sastra. Hanya saja terkadang aku malas mengikuti kompetisi demi kepentingan almamater. Apa untungnya bagiku? Kampuslah yang akan lebih banyak disorot jika aku berhasil meraih juara.
Itu pula mengapa pihak kampus juga tidak pernah memintaku untuk mengikuti jenis lomba apa pun. Bahkan ada peraturan tak tertulis yang menyatakan,"Jangan pernah libatkan Aksara dalam hal yang hanya akan membuatmu malu!". Mengikuti lomba salah satunya. Sebab, jika itu tidak sesuai keinginan, sudah tentu bakal memalukan kampus.
"Jadi Ibu meminta saya mengikuti lomba baca puisi?" tanyaku meyakinkan Bu Asri yang duduk di hadapanku. "Atas pertimbangan apa?"
"Bocah gemblung!" Bu Asri menjawab pertanyaanku dengan pukulan di kepala menggunakan buku yang sedang beliau baca. "Menurut kamu, kamu Ibu pilih berdasarkan apa?"
Dosen yang selama ini dianggap "Ibu" oleh mahasiswa di jurusan Sastra Indonesia itu, justru balik bertanya. Beliau juga tak segan berperan sebagai seorang "Ibu" saat berbincang dengan mahasiswanya. Itu juga mengapa aku suka ngobrol dengan beliau dan menggodanya bila perlu.
"Karena saya tampan dan bertalenta," jawabku membuat Bu Asri kembali memukulku dengan buku di hadapannya. Aku meringis walau sebenarnya tidak sakit. Rasanya menyenangkan melihat muka ramah Bu Asri menjadi kesal karena ulahku. "Kalau bukan itu, lantas apa? Masa Ibu mau PDKT sama saya?"
"Bocah ini, semakin dibiarkan semakin liar saja."
"Jadi bukan karena Ibu mau PDKT sama saya?"
"Tentu saja bukan! Lagipula mau dikemanakan suami sama anak-anak saya. Dasar bocah edan!"
Aku tertawa menanggapi pernyataan Bu Asri. Kalimat khasnya "dasar bocah edan" yang diucapkan dengan gaya medok Semarangan membuat beliau tampak lucu.
"Iya, Bu. Maaf. Habis saya bosan. Hujan-hujan begini seharusnya di luar ruangan, Bu. Menyerap energi yang disediakan alam lewat air hujan. Biar bisa menjelam aku. Aksara."
"Sssttt ... tenang dulu. Bocah ini, mulut satu kayak seribu. Tunggu sebentar lagi, dia pasti segera datang. Tunggu saja sambil baca buku. Tahun depan kamu sudah skripsi. Jangan demo mulu yang diurus!" Bu Asri menyuruhku diam. "Aneh juga, tidak biasanya dia mengabaikan saya selama ini ketika saya panggil," gumamnya kemudian.
"Wah, dia jenis Husky atau Akita, Bu? Semoga saja buka Herder. Bisa-bisa saya dimakan sampai habis nanti," komentarku membuat Bu Asri makin keras memukul kepalaku dengan buku.
"Kamu pikir dia anjing!"
Bibirku cemberut. Pukulan Bu Asri terasa benar-benar sakit kali ini.
Aku menghela napas bosan. Kupandangi buliran air yang jatuh mengalir di kaca jendela di belakang Bu Asri. Kami sedang berada di perpustakaan menunggu seseorang yang katanya akan menjadi partner satu timku, sebab setiap kelompok yang dikirim harus menyertakan minimal dua orang mahasiswa. Jika bukan karena permintaan Bu Asri, pasti aku sudah berlari keluar ruangan dan menari di bawah hujan.
Tidak ada hal yang lebih menyenangkan kecuali bermain di bawah rinai hujan. Itulah motto yang aku sematkan dalam hidup sejak belasan tahun lalu.
"Bu, saya keluar sebentar ya?" Aku menawar pada Bu Asri yang justru menatapku galak.
Selama ini, aku dikenal sebagai mahasiswa bandel tukang buat onar. Apalagi jika menyangkut kebijakan dan harus turun ke jalan. Mereka menyebutku sebagai di pembangkang karena memang itulah yang kerap kali kulakukan. Aturan terlalu rumit untuk diikuti dan lebih menyenangkan jika dilanggar. Namun, di hadapan Bu Asri, aku tidak pernah bisa berbuat demikian.
Mungkin memang tepat julukan "Ibu" yang disematkan pada beliau. Selain bersikap hangat dan mengayomi, beliau juga membuat mahasiswa segan terhadapnya. Seperti seorang "Ibu" dengan segala macam kelebihannya. Entahlah, aku juga tidak tahu pasti seperti apa sosok "Ibu" yang sebenarnya, sebab aku tak pernah benar-benar merasakan kehadiran wujud "Ibu". Justru dari Bu Asrilah aku merasa memiliki "Ibu".
"Bu, memang siapa sih teman satu tim saya? Sok banget dia berani-beraninya membuat saya menunggu. Dipikir saya tidak ada kerjaan lain selain mengurus lomba?" Aku menggerutu yang lagi-lagi membuat Bu Asri mengayunkan bukunya. Namun, aku menghindar dengan tertawa lebar kali ini. "Bu, ini aset yang paling berharga. Harusnya dengan IQ yang dimiliki kepala ini, bisa membuat saya jadi dokter spesialis di usia masih muda."
"Ya percuma saja kalau sekadar harusnya. Tidak dimanfaatkan dengan baik selagi ada kesempatan. Toh sekarang kamu duduk di sini dengan saya. Tidak sedang menghadapi serangkaian materi yang saya yakin bakal kamu tinggalkan sejak hari pertama masuk."
Kalimat Bu Asri telak menghujam jantung. Tidak ada yang keliru dengan ucapan wanita yang belum genap paruh baya itu. Sungguh, di depan beliau aku selalu mati kutu. Mungkin, itu pula bentuk hormatku pada beliau, sebab memang pantas mendapatkannya.
"Maaf Bu, saya terlambat," suara sopan seorang perempuan mengalihkan perhatianku. Lembut suaranya seperti gerimis hujan yang menyapa dedaunan. Aku terpaku. Kehilangan kendali atas diriku.
"Aksa, kok malah bengong. Dia yang akan menjadi partner satu tim kamu."
Mataku tertuju pada gadis mungil yang berdiri di sampingku. Sebenarnya tidak mungil juga untuk ukuran seorang perempuan. Tingginya pas, tidak terlalu pendek ataupun tinggi. Mungkin sekitar 158 cm, tetapi wajahnya terkesan imut dengan pipi tembam yang membuatnya terlihat seperti anak kecil dan mungil di mataku. Yah, walaupun sebenarnya tidak begitu tembam juga, tapi dia terlihat mungil saja bagiku. Seperti adik kecil manis yang ingin kucubit pipinya.
"Hai adik manis," sapaku yang tentu saja mendapat tatapan dingin dari perempuan itu. Dia bahkan berani mengalihkan perhatiannya dariku. Tentu saja. Apa yang kuharapkan.
Jika ada kaum hawa di jurusan yang tidak terpengaruh oleh wajah - yang katanya tampan menurut semua orang, tentu saja dia adalah Rain. Dan, siapa yang tidak mengenal Rain? Gadis itu dikenal sebagai Rain si muka es akibat wajahnya yang selalu tanpa ekspresi. Dingin dan datar. Bahkan didukung dengan sikapnya yang tidak bersahabat. Sempurna.
"Ini sih bukan Herder, tapi Cihuahua. Kesannya boleh lucu, tetap saja menakutkan kalau sudah keluar taringnya," gumamku dibalas pelototan mata oleh Bu Asri.
"Aksa!"
Oh, aku lupa jika Rain adalah anak kesayangannya. Jelas Bu Asri lebih membela Rain.
"Maaf, Bu," ucapku pelan saat Bu Asri kembali menegurku.
"Jadi, kalian sudah saling kenal 'kan?" tanya Bu Asri pada kami yang mendadak bisu. Rasanya canggung duduk di samping gadis yang sama sekali tidak terpengaruh oleh kehadiranku. Bahkan hanya dianggap angin lalu.
"Sudah, Bu," jawabku mengakui. Namun, betapa kagetnya diriku saat dia menjawab "tidak" dengan tegas.
Serius dia menjawab tidak mengenalku? Aku? Si Baruna Aksara? Dia menjawab tidak mengenalku?
"Wah, sepertinya saya tidak dikenal sama anak kesayangan Ibu. Rasanya sedih sekali sampai aku mau menangis."
"Aksa, tolong jangan jadikan ruangan ini sebagai panggung teater."
"Ck, Bu Asri mah gitu. Giliran ada Raina, aku dianaktirikan."
"Aksa!"
"Mampus!"
Hah? Aku semakin tak percaya pada situasi ini saat melihat Rain bergumam dan tersenyum miring kepadaku.
Sial, sepertinya menyetujui permintaan Bu Asri untuk mengikuti lomba kali ini bukanlah pilihan yang tepat.
Huft ...
Semesta AksaraPenjelasan Bu Asri tentang lomba yang akan kami ikuti sama sekali tak sanggup keterima dengan baik. Pikiranku penuh dengan sosok perempuan yang duduk di sampingku. Tetap tanpa ekspresi.Sebenarnya sudah lama aku memperhatikan gadis manis yang duduk di sampingku itu. Lebih tepatnya saat malam akrab jurusan dua tahun lalu.Sebagai ketua Himaprodi yang bertanggung jawab pada kegiatan, aku memperhatikan setiap maba yang mengikuti acara. Tidak ada seorang pun yang luput dari pantauanku. Bahkan aku benar-benar memastikan apakah ada maba yang kabur dari rumah demi mengikuti kegiatan dan memalsukan tanda tangan persetujuan orang tuanya.Atau yang paling parah, kabur di tengah-tengah acara demi bertemu pacar maupun gebetan. Dari semua kemungkinan yang bisa saja terjadi, kasus terakhir adalah hal yang paling rawan dan tak bisa kubiarkan begitu saja.Meski begitu, dari semua maba yang mengikuti kegiatan, hanya Rain yang bisa memikat
Semesta RainPerasaanku mendadak tidak enak saat mendengar suara yang tidak asing sedang berbicara dengan Bu Asri, ketika aku sampai di perpustakaan. Suaranya yang dalam dan berat akan mudah dikenali oleh siapa pun. Apalagi, suara itulah yang sering kali menggerakkan mahasiswa untuk turun ke jalan pada momen-momen tertentu. Sang orator yang lebih dikenal slengekan ketika berada di kampus dan manusia paling absurd satu jurusan, terlebih ketika turun hujan.Benar saja dugaanku. Laki-laki itu duduk di sana. Saling berhadapan dengan Bu Asri yang terlihat kesal. Aku melihat beliau memukulkan sebuah buku yang sedang dibaca dan dihindari oleh laki-laki itu.Aksara. Wakil presma sekaligus ketua himpunan mahasiswa program studi di jurusanku itu selalu membuat ulah saat berhadapan dengan siapa pun. Tak heran jika Bu Asri terlihat kesal kepadanya. Lihat saja sikap usilnya itu, ingin rasanya aku menendang tulang kering laki-laki itu agar berhenti menggoda Bu Asr
Semesta RainPria menyebalkan!Itulah kesan yang melekat setiap kali bertemu dengan Aksara. Bermula sejak dua tahun yang lalu saat malam akrab jurusan.Bukan tanpa sebab, kakak kelas yang berada tepat satu tingkat di atasku itu, bersikap sok senioritas yang membuatku ingin sekali menendang tulang keringnya.Saat itu, hampir menjelang pukul dua belas malam. Serangkaian kegiatan malam keakraban dan pementasan baru saja tuntas dan harus ditutup dengan ceramah panjang yang menunjukkan betapa sombongnya laki-laki itu.Dengan gayanya yang sok keren - kemeja flanel, celana jeans sobek di bagian lutut, serta rambut panjang yang dicepol berantakan - dia mengenalkan namanya di atas panggung mini yang disiapkan panitia. Panggung yang sama untuk pementasan sebelumnya.Baruna Aksara. Harusnya menjadi nama yang bagus jika yang menyandangnya bukan laki-laki itu. Laki-laki yang sejak pagi hanya bisa marah-marah sambil mengatur
Semesta Aksara "Aduh, siapa sih nendang kerikil nggak lihat kanan kiri?" Aku menggerutu saat sebuah kerikil mengenai kepalaku saat berusaha mencari keberadaan Rain. Aku melihat perempuan itu keluar dari pintu belakang kafe saat aku tidak sengaja akan menuju kamar mandi. Rasa penasaran dengan apa yang dia lakukan tidak bisa aku hindari dan mengikuti gadis itu yang tiba-tiba entah menghilang ke arah mana. Tidak, tidak. Aku tidak segabut itu hingga harus membuntuti Rain. Aku hanya ingin mengobrol dengannya. Lebih tepatnya aku ingin membicarakan dengan gadis itu tentang proyek dari Bu Asri yang meminta kami mengikuti lomba baca puisi. Aku tidak bisa menundanya lebih lama lagi jika tidak ingin berurusan dengan Rain. Atau ... Sebenarnya aku bimbang dengan perasaanku pada perempuan itu. Di satu sisi aku ingin mendekati gadis yang terkesan cuek dan menantang itu. Aku penasaran, apa yang membuatnya begitu dingin dan tidak tersentuh. Terlebi
Semesta AksaraRain sudah tak terlihat begitu pria paruh baya yang baru saja menghampiri kami, melangkah pergi. Perempuan itu melarikan diri dengan cepat dan bersembunyi entah di mana. Aku yakin dia tidak mungkin kembali ke dalam kafe. Sebab, aku pasti melihatnya jika dia berari ke arah kafe tempatnya bekerja. Perempuan itu masih bersembunyi di sekitar taman. Hanya saja dia terlalu pandai bersembunyi sampai aku tak bisa menemukan di mana dia menyemunyikan tubuhnya yang mungil itu. "Sial," umpatku saat tak juga menemukan Rain di mana pun. Sedangkan aku tidak lagi memiliki banyak waktu. Kesempatanku untuk membicarakan perihal lomba dengan Rain hanya sampai hari ini. Sebagai Ketua Hima sekaligus Wakil Presiden Mahasiswa, kegiatanku tidak cuma iseng mengikuti lomba saja. Masih banyak kegiatan lain yang harus aku selesaikan. Sialnya, si bocah tengil itu, justru sengaja ingin bermain-main denganku. "Rain, kita mesti bicara! Gue nggak ada waktu buat ladenin main petak umpet sama lo ya
Semesta RainAku baru saja meletakkan tas di atas meja saat ketukan di pintu mengalihkan perhatian. Tak lama, wajah Paman Bara muncul dari balik pintu. "Kau sudah makan? Paman membeli ayam kalau kau belum makan. Masih ada nasi di dapur," ucap pria awal empat puluhan tahun itu dengan ekspresi muka datar. Setidaknya aku bersyukur tidak mencium aroma alkohol dari tubuhnya. Itu berarti dia cukup waras hari ini dan tak mungkin bertindak brutal. Artinya, aku juga tidak perlu bersembunyi dari incaran amukannya setiap kali pria itu berada di bawah pengaruh alkohol. "Ya, Paman. Aku bakal makan sebentar lagi."Senyum samar membingkai wajah suram Paman Bara. Sudah biasa, sejak kematian bibi bertahun-tahun lalu, tak ada lagi senyum yang membingkai wajah pria itu. Kalaupun terpaksa tersenyum, tetap tak bisa mengubah raut muka suram Paman Bara. Ia hanya tersenyum sekadarnya. Setidaknya itu lebih baik ketimbang saat ia mabuk sepanjang malam dan menjadikan aku sebagai pelampiasan. Ya, pria itu
Semesta Rain"Dosa hukumnya membiarkan pesan seseorang padahal dia sudah membacanya!"Pesan dari lelaki menyebalkan itu muncul lagi meskipun aku sudah mengabaikannya. Sengaja, aku tidak mau berurusan dengan lelaki itu lebih dari urusan lomba. Kalau saja bukan akibat kesalahan memencet notifikasi di layar bar, aku juga tidak berniat membaca pesan dari lelaki menyebalkan itu. Sementara aku masih berusaha menebak-nebak siapa oknum yang telah menyebarkan nomorku kepada lelaki menyebalkan itu, benda pipih yang terletak di atas itu terus bergetar dan menampilkan pesan dari orang yang sama. "Katanya tak ada yang paling tabah selain hujan bulan Juni. Faktanya, aku manusia paling tabah ketika pesan sudah berubah dua centang biru, tapi kamu pura-pura bisu!"Balasan dari lelaki menyebalkan itu membuatku mual. Aku memang sengaja tak membalasnya dan hanya membacanya dari menu notifikasi di layar bar. Itu pun karena sebal akibat getaran ponsel yang cukup mengganggu aktivitas makanku. Namun, tak
Semesta Aksara"Buset, galak banget sih," ucapku saat mendengar jawaban ketus Rain di ujung panggilan telepon. Bukannya sok jaim ataupun berusaha bersikap baik, perempuan itu masih saja menunjukkan sisi galaknya padaku. Padahal, setiap perempuan mengharapkan apa yang kulakukan pada perempuan itu sekarang.Mereka pasti bakal bersorak senang ketika menerima telepon dariku. Tak jarang cewek-cewek itu dalam sekejap menjadi sosok menggemaskan dengan suara yang diimut-imutkan. Bahkan tidak sedikit yang mengirimkan pesan setiap malam, hanya demi memintaku mengirim voice note - telepon jika perlu, sebagai lagu pengantar tidur. Sementara makhluk yang satu ini, manusia bernama Rain - bukan Raina - sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan sedikit pun. Dia memang berbeda. Sangat berbeda. "Ya makanya nggak usah pakai basa-basi segala. Apa yang lo mau?" Suara galak Rain masih terdengar di ujung pelantang suara. "Oke, gue nggak bakal basa-basi lagi. Sekarang, gue ada di depan rumah lo!""Hah
Semesta KamiBogor membawa kabar baik dan buruk. Aku (Rain) bisa sedikit demi sedikit pulih dari rasa takut terhadap hujan. Sementara aku (Aksara) harus terbaring di rumah akibat flu yang menyerang. Aksara: Beruntung, sakit yang kuderita tidak berlangsung lama. Setidaknya tidak sampai mengganggu persiapan lomba baca puisi yang akan kami ikuti. Ya, sebenarnya cukup menganggu. Bu Asri sampai marah besar. Tapi, tidak berlangsung lama karena aku bisa mengejar ketinggalan. Semua juga berkat dukungan partner sepanggung yang kini jadi kekasihku. Haha ... cukup cepat kan progres kami? Ya, kalau aku boleh jujur, sudah lama sebenarnya aku tertarik sama Rain. Hanya saja, dia bukan gadis yang mudah didekati. Rain: Tidak, aku bukan gadis yang sulit didekati. Itu hanya omong kosong Aksara saja. Dia hanya tidak percaya diri dengan kemampuannya. Lagian, siapa sih yang tidak kesal, jika dari awal dia sudah mengibarkan bendara perang. Kan dia yang tidak percaya kalau aku sakit datang bulan saat
Semesta RainIde Aksara selalu terdengar gila. Apa yang ia harapkan dari pemburuan hujan bagi seseorang yang sudah puluhan tahun membenci hujan? Apa dia berharap rasa takut itu bakal sembuh dalam satu hari saja? Anehnya, aku justru tak merasa resah ataupun khawatir, meski ketakutan itu masih ada. Terlebih ketika aku menyadari bahwa motor yang dikendarai Aksara membawa kami ke Bogor. Bogor, kota penuh kenangan sebelum Jakarta menarik kami - ibu, ayah dan Kak Mahen - dengan paksa untuk tinggal di sana. Menjadi bagian dari manusia yang bergerak cepat di antara hiruk-pikuk dunia. Ada rindu yang diam-diam menyusup. Mengisi celah kosong yang tak lagi pernah terisi. Seandainya ayah dulu tak menerima mutasi kerja ke kejaksaan pusat, apakah kami masih tetap bersama-sama? Tinggal di lereng pegunungan dengan kota yang memiliki intensitas cukup tinggi di negeri ini. Mataku basah akibat andai-andai yang dengan cepat menguap menjadi asa. Juga akibat hujan yang kini semakin deras mendera bumi.
Semesta AksaraTanpa sadar aku merangkul pundak Rain dan membawanya ke dalam pelukan ketika mendung di wajah gadis itu menjadi hujan. Rasanya hatiku ikut perih melihatnya menitikkan air mata. Bahkan tangisan yang semula terdengar samar - akibat Rain menahan diri - kini makin tergugu dalam pelukanku. Siapa yang menyangka, jika sosok gadis mungil dalam pelukanku kini, menjalani kehidupannya dengan begitu berat. Aku menjadi paham, mengapa wajah Rain selalu terlihat muram dan terkesan sukar untuk didekati. Masa lalu membuatnya seperti itu. Tentu tak mudah kehilangan orang tua dengan cara yang kejam seperti itu. Mati tertembak di hadapannya demi melindungi gadis serta sang kakak yang turut mati hari itu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana terkoyaknya jiwa Rain saat itu hingga sekarang. Aku tahu, ia belum sepenuhnya sembuh dari trauma. Bisa terbukti ketika hujan turun dan kami terjebak di halte bus lebih dari seminggu yang lalu. Dia bahkan harus mengalami nasib buruk dari sang paman
Semesta RainObrolanku dengan Aksara memaksaku memutar adegan belasan tahun lalu saat usiaku baru menginjak tujuh tahun. Hari itu, hari ulang tahunku - hari yang kemudian di masa depan ingin kulupakan saja dari hidup yang kejam dan telah merenggut nyawa orang-orang yang kusayangi. Ayah berjanji untuk menyelesaikan dengan cepat persidangan yang dia pimpin pada hari itu. Dia berjanji akan pulang cepat dan membelikan aku sebuah cake yang akan menemani perayaan hari ulang tahunku. "Aku juga mau dong, Yah. Aku mau brownies!" seruan Mahen pada hari itu kembali terdengar dalam tempurung otakku. Mahen - kakak lelakiku - memang lebih suka brownies ketimbang cake atau kue lainnya. Ayah tertawa menanggapi permintaan anak lelakinya yang berjarak tiga tahun lebih tua dariku. "Kamu memang nggak kalah ya! Oke, Ayah bakal belikan brownies buat jagoan Ayah. Yang kecil aja ya. Kan kamu doang pasti yang bakal makan!""Ih, mana ada kayak gitu. Nggak bisalah. Harus yang ukuran besar. Mau makan sendi
Semesta RainAku terlambat menyadari saat Aksara membawaku ke sebuah hotel bintang lima di kawasan Jakarta Pusat. Dia bilang, lelaki itu akan mengenalkanku pada seseorang yang bisa mengajari kami membaca puisi lebih baik lagi untuk keperluan lomba nanti. Namun, aku melupakan satu hal dan justru berdebat serta memperkarakan hal yang justru terdengar kekanak-kanakan. Sampai aku melupakan kemungkinan kecil yang terjadi. Hingga sepasang mataku berotasi cepat ketika menangkap banner pameran seorang seniman di hotel tersebut. Tepat saat seseorang memanggil namaku. "Paman Bara?" ucapku pelan. Tanpa sadar, tubuhku membeku seketika. Gestur yang kerap tanpa sengaja kutunjukkan setiap kali bertemu dengan pria itu. Baik di rumah ataupun saat di luar seperti saat ini. Refleks yang entah sejak kapan tertanam dalam bawah sadarku hingga terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Bukan tanpa alasan. Itu karena perlakuan kasar yang sering kuterima dari Paman Bara. Tubuhku selalu bereaksi lebih dulu ket
Semesta AksaraAku tahu, gadis di depanku itu sedang berusaha mengurai canggung di antara kami. Sekali lagi, ia bertanya meski sudah kutegaskan ketiga kali bahwa dirinya boleh memakan apa pun yang dia mau. "Yakin, lo nggak bakal nyesel bilang gitu?" ucap gadis itu seakan masih ragu. "Ya, Rain. Lo boleh makan apa pun. Bukankah gue udah bilang sebelumnya? Ini juga sudah keempat kalinya gue ngomong hal yang sama.""Oke." Rain menjawab singkat. Lantas tanpa sungkan, ia menyendokkan berbagai macam lauk yang hendak ia makan. Mulai dari rendang sampai usus sapi memenuhi piringnya. Kemudian tanpa sungkan, ia mulai menyuapkan nasi ke mulutnya menggunakan tangan. Tanpa sadar, aku tersenyum melihat ekspresi gadis itu ketika makan. Terlihat sangat menyenangkan. Aku baru sadar, bahwa gadis itu juga terlihat sangat antusias ketika aku membawa banyak makanan ke ruang sekretariat BEM lebih dari satu minggu yang lalu. "Gimana bisa badan lo tetep kurus sih, makan sebanyak itu?"Rain tersedak. Mung
Semesta AksaraAku tersenyum puas ketika gerbang besar dan tinggi yang semula menghalangi kami, perlahan terbuka dan meminta perwakilan mahasiswa untuk masuk ke dalam gedung dewan. "Bapak Ketua Dewan mau bertemu dengan kalian. Perwakilan dari anggota BEM setiap kampus saja ya. Jangan banyak-banyak!" Seseorang yang kami kenal sebagai juru bicara anggota dewan, menyampaikan kalimat yang sudah kami duga sebelumnya. Seandainya orang-orang yang duduk di balik kursi pilihan rakyat itu, bersedia menemui kami hari ini. "Terima kasih, Pak!" seruku melalui megaphone yang masih tergenggam di tangan kanan. Disusul beberapa perwakilan BEM yang berjalan ke arahku lantas memberikan pelukan dan juga berjabat tangan. Termasuk Narendra yang tak lagi bersama Rain. "Gue udah titipin Rain ke Nugraha sama yang lain.""Thanks, Bro. Sekarang giliran lo!" ucapku sambil membalas rangkulan Narendra. "Eh, belakang aman kan?" imbuhku sebelum Narendra melangkah memasuki gedung anggota dewan. "Aman. Nggak ad
Semesta Rain Atmosfir siang hari ini semakin panas ketika lautan massa di depan sana memaksa untuk masuk ke gedung dewan. Aksi saling dorong tak bisa dihindari hingga membuat petugas menembakkan water cannon ke arah para mahasiswa. Memukul mundur agar para anak muda yang menuntut perubahan negeri ini menjauh dari pagar pembatas gedung. Kami tercerai berai seketika. Tak terkecuali aku dan Narendra yang semula masih berada di sampingku untuk melakukan penjagaan. Lelaki itu mengumpat kesal pada keadaan ketika kami melarikan diri. Menghindari semprotan air yang diarahkan kepada kami. “Lo nggak papa, Rain?” tanya Narendra dengan raut khawatir. Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Nggak Kak, aku nggak papa.” Kami memang tak basah akibat water cannon yang ditembakkan oleh petugas. Meski begitu, tetap saja kami terdorong akibat massa yang tiba-tiba bergerak ke belakang. Narendra bahkan sempat terjatuh. Beruntung aku segera tanggap dan segera membantunya berdiri sebelum ia terinj
Semesta Rain Sepertinya Aksara tidak main-main dengan ucapannya. Pemuda itu tetap menyeretku turun ke jalan meski aku sudah menyatakan keberatan. Aksara seakan tidak peduli dan tetap menggeret tanganku dari gedung perkuliahan menuju sekretariat BEM kampus. Ia bahkan tak peduli saat aku mengatakan bahwa Pak Kuncoro yang akan mengajar mata kuliah selanjutnya. “Ck, sekali-kali bolos nggak masalah, Rain. Pak Kuncoro nggak bakal kasih lo nilai E. Apalagi kalau tahu alasan lo bolos karena ikut demo,” ucap Aksara penuh percaya diri. “Gue bukan lo yang memang sudah hobi bolos karena turun ke jalan ya, Kak. Tolong!” “Gini deh, kalau Pak Kuncoro tanya kenapa lo bolos, tinggal aja jawab kalau lo lagi praktik mata kuliah dia. Atau setidaknya, jawab aja lagi melanjutkan perjuangan Wiji Thukul atau Rendra.” “Sinting!” cercaku menanggapi ucapan Aksara. Meski begitu, tetap saja mengikuti langkah kaki lelaki itu akibat tenagaku tak cukup kuat untuk melawan Aksara. Sampai kami sampai ke ruangan