Semesta Rain
"Asli lo aneh banget hari ini. Kenapa sih?"
Aruna bertanya penasaran saat aku memintanya menemani ke perpustakaan menemui Bu Asri. Tidak biasanya memang, aku memintanya hanya sekadar untuk mengantar ke perpustakaan. Bagi Aruna, aku adalah orang paling mandiri yang pernah dia kenal. Tak pernah sekalipun aku meminta bantuannya. Apalagi hanya sebatas menemui Bu Asri yang justru lebih sering kutemui daripada mengiyakan permintaannya untuk mengantar ke pusat perbelanjaan.
"Nggak, itu sih lo aja yang rese. Pake teriak panggil Nugraha segala. Gue kan yang jadi malu."
"Bego, lo aja tiba-tiba jadi aneh gitu. Siapa coba yang nggak panik. Bocah gila!"
Aku tak mengacuhkan pernyataan Aruna. Setidaknya hujan tak lagi sederas sebelumnya dan petir ataupun guntur tak lagi terdengar suaranya. Beruntung pula kuliah dibatalkan karena dosen yang seharusnya mengajar mata kuliah Pragmatik tidak bisa hadir karena ada kerabatnya meninggal dunia. Namun, entahlah itu sebuah keberuntungan atau tetap menjadi kesialan bagiku.
Seandainya tahu akan menjadi seperti ini, aku akan benar-benar memilih tidak masik kuliah daripada harus membuat kehebohan. Itu pun akibat ulah Aruna yang tidak bisa mengontrol mulutnya. Kini, satu julukan melekat padaku gara-gara Aruna yang tidak bisa menjaga mulutnya.
Rain si muka es jin hujan.
Entah siapa yang memulai, tapi julukan itu langsung populer begitu aku keluar kelas bersama Aruna. Setan memang, karena ulah Aruna, akulah yang kena getahnya.
Sebelumnya julukan Rain si muka es, memang sudah lama kudengar di satu angkatan - bahkan satu jurusan, karena memang aku tidak mudah bergaul dan selalu menunjukkan ekspresi dingin. Bahkan Rain si muka es juga terkenal sampai kakak dan adik tingkat sejurusan. Kalau saja Aruna tidak bisa menjaga mulutnya, mungkin julukan si muka es juga sudah tersebar satu kampus. Untung saja Aruna tidak pernah seiseng itu dan memanggilku dengan sebutan Rain si muka es tiba-tiba.
"Tapi serius deh, Rain, wajah lo lebih pucet dari biasanya. Ini sih bukannya es lagi, tapi salju."
"Terus, terus aja nggak usah kontrol tuh mulut. Mau satu kampus dengar omongan lo nih?" ancamku membuat Aruna justru terkekeh. Dua lesung pipi tercetak saat gadis itu tersenyum.
"Ya seenggaknya lo jangan bikin orang panik lah. Kalau udah kayak gitu, siapa juga yang nggak khawatir."
Huuffttt ...
Aku menghela napas frustrasi. Kebawelan Aruna membuatku mendadak pusing, tetapi aku juga tidak bisa terus menutupi apa yang selama ini kusembunyikan darinya. Cepat atau lambat, Aruna pasti akan tahu kebencianku pada hujan. Dan, aku tidak ingin dia menganggapku aneh saat mendengarnya dari orang lain.
"Ke Kopma dulu yuk. Haus nih. Bu Asri masih bisa nunggu deh kayaknya," kataku mengalihkan perhatian Aruna. Namun, gadis itu tidak mudah percaya begitu saja.
"Makin lo menghindar, makin kelihatan jelas kalau lo nggak baik-baik aja. Sebenarnya lo kenapa sih? Ada yang lo sembunyikan dari gue? Masih mau ngelak dari gue? Kita temenan udah berapa sih, elah. Masa iya masih main rahasia-rahasiaan?"
Aku membuang muka. Bagaimanapun, aku tahu betul siapa Aruna. Gadis itu tidak akan pernah berhenti mendesakku sebelum dia mendapatkan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya.
"Eh tapi gue beneran haus, anjir. Lo mau minum nggak? Kalau nggak butuh, ya udah gue beli sendiri," kataku sambil berbelok ke arah koperasi mahasiswa yang terletak berlawanan arah dengan perpustakaan. Aruna membuntutiku dari belakang dengan tatapan semakin penasaran yang tak bisa dia hindarkan.
"Tahu nggak sih, selama 20 tahun gue hidup, baru kali ini gue punya temen yang aneh kayak lo. Bukan aneh dalam artian freak atau semacamnya, tapi you know-lah. Lo tuh cerdas, manis, imut, ya walaupun aslinya nggak imut-imut juga sih, tapi wajah lo harusnya imut kalau nggak lo tutupin sama wajah sedingin es lo itu. Cuma semakin gue kenal sama lo, semakin gue ngerasa kalau yang gue tahu tuh nggak ada apa-apanya. Cuma sebatas kulit terluar lo. Ngerti nggak sih, ibarat bawang yang punya kulit berlapis, gue kenal lo baru kulit lapis pertama doang. Nah kayak begitu itu elo."
"Nggak usah muter-muter, jadi apa yang mau lo omongin sebenarnya?" tandasku membuat Aruna memukul belakang kepalaku. "Aduh, sakit, Njir. Bar-bar amat sih lo jadi cewek?"
"Mending gue, daripada image sama kenyataannya nggak sesuai sama sekali kayak lo."
Aku melamun. Sepanjang perjalanan menuju koperasi mahasiswa pikiranku sama sekali tidak fokus. Suara-suara dalam kepalaku mendadak gaduh. Mereka berteriak. Berkomentar tajam. Saling melontarkan asumsi yang aku sendiri tidak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi?
Aku membenci hujan. Sangat membenci hujan. Tapi aku tidak pernah mau menceritakannya pada orang lain tentang kebencianku pada benda yang jatuh dari langit itu. Sebab, ada kisah pilu yang mengikuti setiap kali aku ingin membicarakannya pada orang lain.
Mengakui jika aku membenci hujan, sama halnya dengan mengakui jika pernah ada luka yang kucoba sembuhkan sampai sekarang. Mengatakan pada orang lain jika aku benci hujan, sama halnya aku harus menceritakan kisah kelam yang ingin aku lupakan.
Lantas, apa yang harus aku lakukan? Benarkah membagi kisahku dengan Aruna merupakan hal yang tepat? Atau justru membuatku semakin tersesat?
"Tuh 'kan, lo makin aneh, Rain. Kalau emang lo nggak kerasukan, berarti emang ada hal yang sedang lo pikirin! Gue kenal lo udah dia tahun, Rain. Kita udah semester empat. Lo kira gue nggak sebegitu perhatiannya sama lo, sampai lo pikir gue nggak tahu perubahan yang terjadi sama diri lo?"
Obrolan kami terhenti saat kami telah sampai di koperasi mahasiswa. Aku berjalan ke arah mesin pendingin dan mengambil minuman bersoda untukku serta Aruna. Gadis itu tersenyum sambil mengucapkan terima kasih.
"Seperti halnya lo tahu kesukaan gue, gue juga mau tahu apa kesukaan lo kali, Rain. Lo mah gitu, hari ini minum cola, besok bisa jadi cuma butuh air putih. Masa iya lo nggak punya kesukaan yang spesifik."
Aku membisu. Setelah membayar minumanku dan Aruna, kami kembali menyusuri koridor untuk menuju perpustakaan. Aku lebih banyak membisu, tapi juga tak tahu harus bereaksi bagaimana untuk menanggapi desakan Aruna.
"Gue benci hujan."
Itulah kalimat yang akhirnya keluar dari mulutku saat kami sampai di pintu perpustakaan. Aruna menghentikan langkahnya. Menatapku seolah berkata, "Serius lo benci hujan?". Namun, detik berikutnya gadis itu justru memelukku erat dan menepuk pundakku.
"Apa salahnya benci sama hujan. Toh, setiap orang pasti memiliki ketakutannya sendiri-sendiri. Gue yakin yang kamu lewati bukanlah hal mudah sampai bisa bertahan di titik ini. Gue nggak akan paksa lo jika itu hanya membuat beban, tapi Rain, satu hal yang perlu lo tahu, lo nggak pernah sendirian. Banyak orang yang sayang dan peduli sama lo. Jangan pernah menganggap kami cuma bayangan. Gue, Nugraha, ataupun teman-teman sekelas yang lainnya. Kita selalu peduli sama lo. Lo bisa rasain gimana paniknya Nugraha saat tahu keadaan lo di kelas tadi 'kan? Gitu juga sama yang lain. Ya, walaupun dengan cara yang berbeda. Seenggaknya mereka pengen lo nggak murung kayak tadi. Lo nggak tahu sih, gimana jeleknya wajah lo di kelas tadi."
"Apaan sih. Jayus amat lo jadi orang. Luntur udah momen hangat yang lo bangun sendiri. Udah, udah sampai perpustakaan nih. Lo buruan balik sana."
Wajah Aruna memberengut saat aku memintanya kembali.
"Siap, anak monyet! Awas aja lo ntar minta bantuan gue sekali lagi!"
Sebagai jawaban aku hanya menjulurkan lidah. Meski belum sepenuhnya menceritakan kebencianku pada hujan, setidaknya ada perasaan lega yang memuai dari kepalaku.
Semesta AksaraTidak biasanya Bu Asri memanggilku, terkhusus memintaku untuk mewakili kampus untuk mengikuti lomba. Bukan berarti selama ini aku tidak berprestasi. Sebagai mahasiswa yang aktif berkegiatan di kampus ataupun di luar kampus, namaku cukup diperhatikan. Halaman koran sering kali mencetak namaku di kolom esai ataupun sastra. Hanya saja terkadang aku malas mengikuti kompetisi demi kepentingan almamater. Apa untungnya bagiku? Kampuslah yang akan lebih banyak disorot jika aku berhasil meraih juara.Itu pula mengapa pihak kampus juga tidak pernah memintaku untuk mengikuti jenis lomba apa pun. Bahkan ada peraturan tak tertulis yang menyatakan,"Jangan pernah libatkan Aksara dalam hal yang hanya akan membuatmu malu!". Mengikuti lomba salah satunya. Sebab, jika itu tidak sesuai keinginan, sudah tentu bakal memalukan kampus."Jadi Ibu meminta saya mengikuti lomba baca puisi?" tanyaku meyakinkan Bu Asri yang duduk di hadapanku. "Atas pertimbangan ap
Semesta AksaraPenjelasan Bu Asri tentang lomba yang akan kami ikuti sama sekali tak sanggup keterima dengan baik. Pikiranku penuh dengan sosok perempuan yang duduk di sampingku. Tetap tanpa ekspresi.Sebenarnya sudah lama aku memperhatikan gadis manis yang duduk di sampingku itu. Lebih tepatnya saat malam akrab jurusan dua tahun lalu.Sebagai ketua Himaprodi yang bertanggung jawab pada kegiatan, aku memperhatikan setiap maba yang mengikuti acara. Tidak ada seorang pun yang luput dari pantauanku. Bahkan aku benar-benar memastikan apakah ada maba yang kabur dari rumah demi mengikuti kegiatan dan memalsukan tanda tangan persetujuan orang tuanya.Atau yang paling parah, kabur di tengah-tengah acara demi bertemu pacar maupun gebetan. Dari semua kemungkinan yang bisa saja terjadi, kasus terakhir adalah hal yang paling rawan dan tak bisa kubiarkan begitu saja.Meski begitu, dari semua maba yang mengikuti kegiatan, hanya Rain yang bisa memikat
Semesta RainPerasaanku mendadak tidak enak saat mendengar suara yang tidak asing sedang berbicara dengan Bu Asri, ketika aku sampai di perpustakaan. Suaranya yang dalam dan berat akan mudah dikenali oleh siapa pun. Apalagi, suara itulah yang sering kali menggerakkan mahasiswa untuk turun ke jalan pada momen-momen tertentu. Sang orator yang lebih dikenal slengekan ketika berada di kampus dan manusia paling absurd satu jurusan, terlebih ketika turun hujan.Benar saja dugaanku. Laki-laki itu duduk di sana. Saling berhadapan dengan Bu Asri yang terlihat kesal. Aku melihat beliau memukulkan sebuah buku yang sedang dibaca dan dihindari oleh laki-laki itu.Aksara. Wakil presma sekaligus ketua himpunan mahasiswa program studi di jurusanku itu selalu membuat ulah saat berhadapan dengan siapa pun. Tak heran jika Bu Asri terlihat kesal kepadanya. Lihat saja sikap usilnya itu, ingin rasanya aku menendang tulang kering laki-laki itu agar berhenti menggoda Bu Asr
Semesta RainPria menyebalkan!Itulah kesan yang melekat setiap kali bertemu dengan Aksara. Bermula sejak dua tahun yang lalu saat malam akrab jurusan.Bukan tanpa sebab, kakak kelas yang berada tepat satu tingkat di atasku itu, bersikap sok senioritas yang membuatku ingin sekali menendang tulang keringnya.Saat itu, hampir menjelang pukul dua belas malam. Serangkaian kegiatan malam keakraban dan pementasan baru saja tuntas dan harus ditutup dengan ceramah panjang yang menunjukkan betapa sombongnya laki-laki itu.Dengan gayanya yang sok keren - kemeja flanel, celana jeans sobek di bagian lutut, serta rambut panjang yang dicepol berantakan - dia mengenalkan namanya di atas panggung mini yang disiapkan panitia. Panggung yang sama untuk pementasan sebelumnya.Baruna Aksara. Harusnya menjadi nama yang bagus jika yang menyandangnya bukan laki-laki itu. Laki-laki yang sejak pagi hanya bisa marah-marah sambil mengatur
Semesta Aksara "Aduh, siapa sih nendang kerikil nggak lihat kanan kiri?" Aku menggerutu saat sebuah kerikil mengenai kepalaku saat berusaha mencari keberadaan Rain. Aku melihat perempuan itu keluar dari pintu belakang kafe saat aku tidak sengaja akan menuju kamar mandi. Rasa penasaran dengan apa yang dia lakukan tidak bisa aku hindari dan mengikuti gadis itu yang tiba-tiba entah menghilang ke arah mana. Tidak, tidak. Aku tidak segabut itu hingga harus membuntuti Rain. Aku hanya ingin mengobrol dengannya. Lebih tepatnya aku ingin membicarakan dengan gadis itu tentang proyek dari Bu Asri yang meminta kami mengikuti lomba baca puisi. Aku tidak bisa menundanya lebih lama lagi jika tidak ingin berurusan dengan Rain. Atau ... Sebenarnya aku bimbang dengan perasaanku pada perempuan itu. Di satu sisi aku ingin mendekati gadis yang terkesan cuek dan menantang itu. Aku penasaran, apa yang membuatnya begitu dingin dan tidak tersentuh. Terlebi
Semesta AksaraRain sudah tak terlihat begitu pria paruh baya yang baru saja menghampiri kami, melangkah pergi. Perempuan itu melarikan diri dengan cepat dan bersembunyi entah di mana. Aku yakin dia tidak mungkin kembali ke dalam kafe. Sebab, aku pasti melihatnya jika dia berari ke arah kafe tempatnya bekerja. Perempuan itu masih bersembunyi di sekitar taman. Hanya saja dia terlalu pandai bersembunyi sampai aku tak bisa menemukan di mana dia menyemunyikan tubuhnya yang mungil itu. "Sial," umpatku saat tak juga menemukan Rain di mana pun. Sedangkan aku tidak lagi memiliki banyak waktu. Kesempatanku untuk membicarakan perihal lomba dengan Rain hanya sampai hari ini. Sebagai Ketua Hima sekaligus Wakil Presiden Mahasiswa, kegiatanku tidak cuma iseng mengikuti lomba saja. Masih banyak kegiatan lain yang harus aku selesaikan. Sialnya, si bocah tengil itu, justru sengaja ingin bermain-main denganku. "Rain, kita mesti bicara! Gue nggak ada waktu buat ladenin main petak umpet sama lo ya
Semesta RainAku baru saja meletakkan tas di atas meja saat ketukan di pintu mengalihkan perhatian. Tak lama, wajah Paman Bara muncul dari balik pintu. "Kau sudah makan? Paman membeli ayam kalau kau belum makan. Masih ada nasi di dapur," ucap pria awal empat puluhan tahun itu dengan ekspresi muka datar. Setidaknya aku bersyukur tidak mencium aroma alkohol dari tubuhnya. Itu berarti dia cukup waras hari ini dan tak mungkin bertindak brutal. Artinya, aku juga tidak perlu bersembunyi dari incaran amukannya setiap kali pria itu berada di bawah pengaruh alkohol. "Ya, Paman. Aku bakal makan sebentar lagi."Senyum samar membingkai wajah suram Paman Bara. Sudah biasa, sejak kematian bibi bertahun-tahun lalu, tak ada lagi senyum yang membingkai wajah pria itu. Kalaupun terpaksa tersenyum, tetap tak bisa mengubah raut muka suram Paman Bara. Ia hanya tersenyum sekadarnya. Setidaknya itu lebih baik ketimbang saat ia mabuk sepanjang malam dan menjadikan aku sebagai pelampiasan. Ya, pria itu
Semesta Rain"Dosa hukumnya membiarkan pesan seseorang padahal dia sudah membacanya!"Pesan dari lelaki menyebalkan itu muncul lagi meskipun aku sudah mengabaikannya. Sengaja, aku tidak mau berurusan dengan lelaki itu lebih dari urusan lomba. Kalau saja bukan akibat kesalahan memencet notifikasi di layar bar, aku juga tidak berniat membaca pesan dari lelaki menyebalkan itu. Sementara aku masih berusaha menebak-nebak siapa oknum yang telah menyebarkan nomorku kepada lelaki menyebalkan itu, benda pipih yang terletak di atas itu terus bergetar dan menampilkan pesan dari orang yang sama. "Katanya tak ada yang paling tabah selain hujan bulan Juni. Faktanya, aku manusia paling tabah ketika pesan sudah berubah dua centang biru, tapi kamu pura-pura bisu!"Balasan dari lelaki menyebalkan itu membuatku mual. Aku memang sengaja tak membalasnya dan hanya membacanya dari menu notifikasi di layar bar. Itu pun karena sebal akibat getaran ponsel yang cukup mengganggu aktivitas makanku. Namun, tak
Semesta KamiBogor membawa kabar baik dan buruk. Aku (Rain) bisa sedikit demi sedikit pulih dari rasa takut terhadap hujan. Sementara aku (Aksara) harus terbaring di rumah akibat flu yang menyerang. Aksara: Beruntung, sakit yang kuderita tidak berlangsung lama. Setidaknya tidak sampai mengganggu persiapan lomba baca puisi yang akan kami ikuti. Ya, sebenarnya cukup menganggu. Bu Asri sampai marah besar. Tapi, tidak berlangsung lama karena aku bisa mengejar ketinggalan. Semua juga berkat dukungan partner sepanggung yang kini jadi kekasihku. Haha ... cukup cepat kan progres kami? Ya, kalau aku boleh jujur, sudah lama sebenarnya aku tertarik sama Rain. Hanya saja, dia bukan gadis yang mudah didekati. Rain: Tidak, aku bukan gadis yang sulit didekati. Itu hanya omong kosong Aksara saja. Dia hanya tidak percaya diri dengan kemampuannya. Lagian, siapa sih yang tidak kesal, jika dari awal dia sudah mengibarkan bendara perang. Kan dia yang tidak percaya kalau aku sakit datang bulan saat
Semesta RainIde Aksara selalu terdengar gila. Apa yang ia harapkan dari pemburuan hujan bagi seseorang yang sudah puluhan tahun membenci hujan? Apa dia berharap rasa takut itu bakal sembuh dalam satu hari saja? Anehnya, aku justru tak merasa resah ataupun khawatir, meski ketakutan itu masih ada. Terlebih ketika aku menyadari bahwa motor yang dikendarai Aksara membawa kami ke Bogor. Bogor, kota penuh kenangan sebelum Jakarta menarik kami - ibu, ayah dan Kak Mahen - dengan paksa untuk tinggal di sana. Menjadi bagian dari manusia yang bergerak cepat di antara hiruk-pikuk dunia. Ada rindu yang diam-diam menyusup. Mengisi celah kosong yang tak lagi pernah terisi. Seandainya ayah dulu tak menerima mutasi kerja ke kejaksaan pusat, apakah kami masih tetap bersama-sama? Tinggal di lereng pegunungan dengan kota yang memiliki intensitas cukup tinggi di negeri ini. Mataku basah akibat andai-andai yang dengan cepat menguap menjadi asa. Juga akibat hujan yang kini semakin deras mendera bumi.
Semesta AksaraTanpa sadar aku merangkul pundak Rain dan membawanya ke dalam pelukan ketika mendung di wajah gadis itu menjadi hujan. Rasanya hatiku ikut perih melihatnya menitikkan air mata. Bahkan tangisan yang semula terdengar samar - akibat Rain menahan diri - kini makin tergugu dalam pelukanku. Siapa yang menyangka, jika sosok gadis mungil dalam pelukanku kini, menjalani kehidupannya dengan begitu berat. Aku menjadi paham, mengapa wajah Rain selalu terlihat muram dan terkesan sukar untuk didekati. Masa lalu membuatnya seperti itu. Tentu tak mudah kehilangan orang tua dengan cara yang kejam seperti itu. Mati tertembak di hadapannya demi melindungi gadis serta sang kakak yang turut mati hari itu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana terkoyaknya jiwa Rain saat itu hingga sekarang. Aku tahu, ia belum sepenuhnya sembuh dari trauma. Bisa terbukti ketika hujan turun dan kami terjebak di halte bus lebih dari seminggu yang lalu. Dia bahkan harus mengalami nasib buruk dari sang paman
Semesta RainObrolanku dengan Aksara memaksaku memutar adegan belasan tahun lalu saat usiaku baru menginjak tujuh tahun. Hari itu, hari ulang tahunku - hari yang kemudian di masa depan ingin kulupakan saja dari hidup yang kejam dan telah merenggut nyawa orang-orang yang kusayangi. Ayah berjanji untuk menyelesaikan dengan cepat persidangan yang dia pimpin pada hari itu. Dia berjanji akan pulang cepat dan membelikan aku sebuah cake yang akan menemani perayaan hari ulang tahunku. "Aku juga mau dong, Yah. Aku mau brownies!" seruan Mahen pada hari itu kembali terdengar dalam tempurung otakku. Mahen - kakak lelakiku - memang lebih suka brownies ketimbang cake atau kue lainnya. Ayah tertawa menanggapi permintaan anak lelakinya yang berjarak tiga tahun lebih tua dariku. "Kamu memang nggak kalah ya! Oke, Ayah bakal belikan brownies buat jagoan Ayah. Yang kecil aja ya. Kan kamu doang pasti yang bakal makan!""Ih, mana ada kayak gitu. Nggak bisalah. Harus yang ukuran besar. Mau makan sendi
Semesta RainAku terlambat menyadari saat Aksara membawaku ke sebuah hotel bintang lima di kawasan Jakarta Pusat. Dia bilang, lelaki itu akan mengenalkanku pada seseorang yang bisa mengajari kami membaca puisi lebih baik lagi untuk keperluan lomba nanti. Namun, aku melupakan satu hal dan justru berdebat serta memperkarakan hal yang justru terdengar kekanak-kanakan. Sampai aku melupakan kemungkinan kecil yang terjadi. Hingga sepasang mataku berotasi cepat ketika menangkap banner pameran seorang seniman di hotel tersebut. Tepat saat seseorang memanggil namaku. "Paman Bara?" ucapku pelan. Tanpa sadar, tubuhku membeku seketika. Gestur yang kerap tanpa sengaja kutunjukkan setiap kali bertemu dengan pria itu. Baik di rumah ataupun saat di luar seperti saat ini. Refleks yang entah sejak kapan tertanam dalam bawah sadarku hingga terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Bukan tanpa alasan. Itu karena perlakuan kasar yang sering kuterima dari Paman Bara. Tubuhku selalu bereaksi lebih dulu ket
Semesta AksaraAku tahu, gadis di depanku itu sedang berusaha mengurai canggung di antara kami. Sekali lagi, ia bertanya meski sudah kutegaskan ketiga kali bahwa dirinya boleh memakan apa pun yang dia mau. "Yakin, lo nggak bakal nyesel bilang gitu?" ucap gadis itu seakan masih ragu. "Ya, Rain. Lo boleh makan apa pun. Bukankah gue udah bilang sebelumnya? Ini juga sudah keempat kalinya gue ngomong hal yang sama.""Oke." Rain menjawab singkat. Lantas tanpa sungkan, ia menyendokkan berbagai macam lauk yang hendak ia makan. Mulai dari rendang sampai usus sapi memenuhi piringnya. Kemudian tanpa sungkan, ia mulai menyuapkan nasi ke mulutnya menggunakan tangan. Tanpa sadar, aku tersenyum melihat ekspresi gadis itu ketika makan. Terlihat sangat menyenangkan. Aku baru sadar, bahwa gadis itu juga terlihat sangat antusias ketika aku membawa banyak makanan ke ruang sekretariat BEM lebih dari satu minggu yang lalu. "Gimana bisa badan lo tetep kurus sih, makan sebanyak itu?"Rain tersedak. Mung
Semesta AksaraAku tersenyum puas ketika gerbang besar dan tinggi yang semula menghalangi kami, perlahan terbuka dan meminta perwakilan mahasiswa untuk masuk ke dalam gedung dewan. "Bapak Ketua Dewan mau bertemu dengan kalian. Perwakilan dari anggota BEM setiap kampus saja ya. Jangan banyak-banyak!" Seseorang yang kami kenal sebagai juru bicara anggota dewan, menyampaikan kalimat yang sudah kami duga sebelumnya. Seandainya orang-orang yang duduk di balik kursi pilihan rakyat itu, bersedia menemui kami hari ini. "Terima kasih, Pak!" seruku melalui megaphone yang masih tergenggam di tangan kanan. Disusul beberapa perwakilan BEM yang berjalan ke arahku lantas memberikan pelukan dan juga berjabat tangan. Termasuk Narendra yang tak lagi bersama Rain. "Gue udah titipin Rain ke Nugraha sama yang lain.""Thanks, Bro. Sekarang giliran lo!" ucapku sambil membalas rangkulan Narendra. "Eh, belakang aman kan?" imbuhku sebelum Narendra melangkah memasuki gedung anggota dewan. "Aman. Nggak ad
Semesta Rain Atmosfir siang hari ini semakin panas ketika lautan massa di depan sana memaksa untuk masuk ke gedung dewan. Aksi saling dorong tak bisa dihindari hingga membuat petugas menembakkan water cannon ke arah para mahasiswa. Memukul mundur agar para anak muda yang menuntut perubahan negeri ini menjauh dari pagar pembatas gedung. Kami tercerai berai seketika. Tak terkecuali aku dan Narendra yang semula masih berada di sampingku untuk melakukan penjagaan. Lelaki itu mengumpat kesal pada keadaan ketika kami melarikan diri. Menghindari semprotan air yang diarahkan kepada kami. “Lo nggak papa, Rain?” tanya Narendra dengan raut khawatir. Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Nggak Kak, aku nggak papa.” Kami memang tak basah akibat water cannon yang ditembakkan oleh petugas. Meski begitu, tetap saja kami terdorong akibat massa yang tiba-tiba bergerak ke belakang. Narendra bahkan sempat terjatuh. Beruntung aku segera tanggap dan segera membantunya berdiri sebelum ia terinj
Semesta Rain Sepertinya Aksara tidak main-main dengan ucapannya. Pemuda itu tetap menyeretku turun ke jalan meski aku sudah menyatakan keberatan. Aksara seakan tidak peduli dan tetap menggeret tanganku dari gedung perkuliahan menuju sekretariat BEM kampus. Ia bahkan tak peduli saat aku mengatakan bahwa Pak Kuncoro yang akan mengajar mata kuliah selanjutnya. “Ck, sekali-kali bolos nggak masalah, Rain. Pak Kuncoro nggak bakal kasih lo nilai E. Apalagi kalau tahu alasan lo bolos karena ikut demo,” ucap Aksara penuh percaya diri. “Gue bukan lo yang memang sudah hobi bolos karena turun ke jalan ya, Kak. Tolong!” “Gini deh, kalau Pak Kuncoro tanya kenapa lo bolos, tinggal aja jawab kalau lo lagi praktik mata kuliah dia. Atau setidaknya, jawab aja lagi melanjutkan perjuangan Wiji Thukul atau Rendra.” “Sinting!” cercaku menanggapi ucapan Aksara. Meski begitu, tetap saja mengikuti langkah kaki lelaki itu akibat tenagaku tak cukup kuat untuk melawan Aksara. Sampai kami sampai ke ruangan