Beranda / Young Adult / Dance in the Rain / Entah Apa Rencana Semesta

Share

Entah Apa Rencana Semesta

Penulis: Yoru Akira
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-29 18:30:06

Semesta Rain

Perasaanku mendadak tidak enak saat mendengar suara yang tidak asing sedang berbicara dengan Bu Asri, ketika aku sampai di perpustakaan. Suaranya yang dalam dan berat akan mudah dikenali oleh siapa pun. Apalagi, suara itulah yang sering kali menggerakkan mahasiswa untuk turun ke jalan pada momen-momen tertentu. Sang orator yang lebih dikenal slengekan ketika berada di kampus dan manusia paling absurd satu jurusan, terlebih ketika turun hujan. 

Benar saja dugaanku. Laki-laki itu duduk di sana. Saling berhadapan dengan Bu Asri yang terlihat kesal. Aku melihat beliau memukulkan sebuah buku yang sedang dibaca dan dihindari oleh laki-laki itu. 

Aksara. Wakil presma sekaligus ketua himpunan mahasiswa program studi di jurusanku itu selalu membuat ulah saat berhadapan dengan siapa pun. Tak heran jika Bu Asri terlihat kesal kepadanya. Lihat saja sikap usilnya itu, ingin rasanya aku menendang tulang kering laki-laki itu agar berhenti menggoda Bu Asri. 

"Oh Rain, datang juga kamu akhirnya," sambut Bu Asri sesaat setelah aku menyapa beliau dan meminta maaf karena sudah terlambat datang. "Aksa, kok malah bengong. Dia yang akan menjadi partner satu tim kamu."

Laki-laki itu menoleh ke arahku dan tersenyum seperti biasa. Senyum yang kata Aruna bisa meluluhkan hati perempuan mana pun yang melihatnya. Bahkan para kaum hawa di jurusan - terutama di kelasku - mengaminkan hal yang sama. Benarkah? Bagiku senyum laki-laki itu begitu menyebalkan. 

"Ada yang salah sama mata kau!"

Begitu kata Aruna saat aku mengatakan jika senyum yang ditunjukkan oleh Aksara hanyalah kepalsuan. Dia hanya dituntut untuk menjaga image tanpa pernah tulus tersenyum. Itulah yang kulihat dari senyumnya. Tidak ada ketulusan. 

"Hai adik, manis."

Lihat saja, caranya menyapa sangat menyebalkan. Sampah. Itu pula yang sering dia lakukan saat aku dan Aruna melewati tongkrongan anak jurusan di kantin belakang. Dia sering kali menggodaku dengan panggilan adik manis. Apa dia kira aku mau menjadi adik manisnya? Jangan harap!

Aku mengabaikan sapaan laki-laki itu dan duduk di kursi kosong di sampingnya. Siap menerima mandat dari Bu Asri. Aku yakin sekali, kali ini pun pasti akan diminta sebagai perwakilan kampus untuk mengikuti lomba. Entah baca ataupun tulis. Keahlian yang diwariskan oleh Mama. 

Huft ... Mengingat hal itu mendadak membuat dadaku terasa sesak. Tidak ada yang boleh mengetahui masa lalu yang ingin kukubur dalam-dalam. Tidak untuk saat ini. Hujan hari ini sudah cukup menguras tenaga. Aku tidak ingin terpuruk semakin dalam. 

"Ini sih bukan Herder, tapi Cihuahua. Kesannya boleh lucu, tetap saja menakutkan kalau sudah keluar taringnya."

"Aksa."

Aku tidak tahu pasti apa yang mereka obrolan sebelumnya, tapi aku mendengar dengan jelas ucapan Aksara yang kuyakini ditujukan padaku. Dia bahkan sampai ditegur oleh Bu Asri. Dan apa katanya? Aku dia bilang mirip Cihuahua? Heh, sepertinya memang tidak ada hal baik yang melekat padanya. Semua menyebalkan. 

"Maaf, Bu," ucapnya meminta maaf. Aku tidak begitu peduli. 

"Jadi, kalian sudah saling kenal 'kan?" tanya Bu Asri pada kami yang mendadak bisu.

"Tidak, Bu," jawabku tegas. Sepertinya dia kaget dengan jawabanku. Apa yang dia harapkan? Mengakuinya sebagai ketua jurusan yang suka menggoda adik kelas? 

"Wah, sepertinya saya tidak dikenali dengan anak kesayangan, Ibu," katanya seperti bocah yang merajuk. Bukannya membela, Bu Asri justru membentak laki-laki itu dan mengatakan jika saat ini tidak sedang bermain teater. Sudut bibirku berkedut. 

"Mampus!"

Dia menoleh ke arahku. Entah apa arti tatapannya itu. Aku tak peduli dan fokus menatap Bu Asri yang semakin tampak kesal. 

"Ya sudahlah, kalian bisa saling mengenal setelah sering bertemu," kata Bu Asri seakan tampak lelah. "Jadi, Rain, Aksa, saya memanggil kalian untuk mengikuti lomba baca puisi yang akan diselenggarakan dua bulan lagi. Tapi, saya harus segera menyampaikannya agar waktu persiapan kalian matang. Ada tiga kategori yang akan dilombakan. Baca puisi putri, baca puisi putra, dan kolaborasi putra dan putri. Kaprodi mengusulkan untuk mengikuti ketiganya karena percaya dengan kemampuan kalian. Teknisnya ada di lembaran yang akan saya bagikan. Puisinya juga sudah dilampirkan. Satu puisi wajib, dan ada beberapa puisi pilihan yang bisa kalian sesuaikan dengan karakter suara kalian. Sampai sini bisa dipahami?"

Aku mengangguk mengiyakan. Bu Asri memberikan petunjuk teknis yang dimaksudkan kepadaku dan Aksa. Namun, laki-laki itu justru melamun dan membuat Bu Asri geram. 

"Aksa, kamu tidak mendengarkan penjelasan saya dari tadi?"

Nah kan, Bu Asri semakin marah akibat ulah Aksara yang kelewatan. 

"Maaf, Bu." Lagi-lagi dia hanya meminta maaf. Dengan kesal Bu Asri menyerahkan juknis yang justru dia abaikan. Namun, dosen wanita itu tak lagi peduli. Beliau mohon pamit karena ada kelas yang harus diajarnya. 

Sedangkan aku tak mau berbasa-basi dengan Aksara. Ku sebutkan jadwal yang memungkinkan untuk berlatih bersama. 

"Di luar hari itu gue nggak bisa. Permisi!" tegasku sambil meninggalkannya yang masih melamun. Andaikan Aruna tahu jika kakak kelas yang dia idolakan separah itu, dia pasti akan langsung merasa ilfeel. 

"Raina, tunggu!"

Lagi-lagi suara itu membuatku kesal. Dia terengah mengejarku yang keluar dari perpustakaan lebih dulu. Sialnya, aku tidak bisa menghindar. Dengan cepat aku menyelesaikan urusan dengan Aksara dan bergegas meninggalkan laki-laki itu. Ada pekerjaan yang sudah menunggu. 

***

Memang, rencana semesta tidak pernah bisa kita tebak. Begitulah yang terjadi denganku saat ini. Setelah pertemuan menyebalkan dengan Aksara, bisa-bisanya dia muncul lagi di kedai kopi tempatku bekerja paruh waktu sebagai barista.

Di antara ribuan kedai kopi yang ada di Jakarta, kenapa pula semesta harus mengirimnya ke sini. Sungguh, berada dalam radius lima meter bahkan lebih, sudah membuat mood-ku berantakan. Benar-benar sesuatu yang tidak baik bagi kondisi jiwaku. 

Lihat saja, perhatian laki-laki itu kini tertuju padaku yang sedang berada di belakang mesin pembuat kopi. 

"Rain, tolong gantikan sebentar dong. Gue mau ke belakang nih. Kebelet." 

Sial, di saat seperti ini pun, Kevin - rekan satu shift-ku yang bertugas sebagai pramusaji justru tidak bisa diandalkan. Terpaksa aku menghampiri meja duo sejoli yang dianggap pengaren dan putra mahkotanya Sastra Indonesia. Aksara dan Narendra. 

"Selamat malam, Kak. Sudah ada yang ingin dipesan?" tanyaku berusaha agar terdengar sesopan mungkin terhadap pelanggan.

"Eh, adik manis. Kamu kerja di sini?" sapa Aksara sok dekat. Aku tak membalasnya. 

Itulah mengapa aku memilih mengasah keahlian meracik kopi dan bekerja di balik meja tinggi daripada harus bertemu dengan banyak orang. Kata pemilik kedai, aku tidak cocok berperan melayani pelanggan. Sebab, aku tak bisa tersenyum ramah layaknya Kevin ataupun pramusaji lain di kedai ini. Terlebih jika bertemu pelanggan seperti Aksara. 

"Mohon disebutkan pesanannya, Kak," kataku masih mencoba sesopan mungkin. Aku tidak ingin mendapat teguran hanya karena bersikap kurang ajar pada pelanggan. 

"Mampus lo, dicuekin." Narendra menertawakan Aksara. "Tulis saja dulu pesanan gue, Rain. Satu hot caffelatte sama camilannya ... Kira-kira apa nih yang jadi rekomendasi lo?"

"Banyak camilan yang jadi rekomendasi, Kak. Kita punya hottang, bolen lumer, aneka jenis cake, sama yang paling jadi favorit di sini, pisang coklat putri salju."

"Pisang coklat putri salju?" Aksara menimpali penjelasanku. Aku tahu, itu hanya cara untuk mengobrol denganku. 

"Jadi pesan yang mana, Kak?" Aku tak mengacuhkan Aksara. Lagi-lagi Narendra tertawa dan menyebutkan pesanannya. Sedangkan Aksara terlihat kesal. Dia ikut menyebutkan pesanan yang dia mau tanpa mencoba mengajakku bicara lagi. 

"Nanti gue tulis di kotak kritik saran kalau pelayanan di sini nggak ramah," tegas Aksara saat aku hendak melangkah pergi. Aku tidak peduli. Hari ini, aku sudah membuang terlalu banyak energi. 

Bab terkait

  • Dance in the Rain   Pria Menyebalkan

    Semesta RainPria menyebalkan!Itulah kesan yang melekat setiap kali bertemu dengan Aksara. Bermula sejak dua tahun yang lalu saat malam akrab jurusan.Bukan tanpa sebab, kakak kelas yang berada tepat satu tingkat di atasku itu, bersikap sok senioritas yang membuatku ingin sekali menendang tulang keringnya.Saat itu, hampir menjelang pukul dua belas malam. Serangkaian kegiatan malam keakraban dan pementasan baru saja tuntas dan harus ditutup dengan ceramah panjang yang menunjukkan betapa sombongnya laki-laki itu.Dengan gayanya yang sok keren - kemeja flanel, celana jeans sobek di bagian lutut, serta rambut panjang yang dicepol berantakan - dia mengenalkan namanya di atas panggung mini yang disiapkan panitia. Panggung yang sama untuk pementasan sebelumnya.Baruna Aksara. Harusnya menjadi nama yang bagus jika yang menyandangnya bukan laki-laki itu. Laki-laki yang sejak pagi hanya bisa marah-marah sambil mengatur

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-03
  • Dance in the Rain   Dia Memang Beda

    Semesta Aksara "Aduh, siapa sih nendang kerikil nggak lihat kanan kiri?" Aku menggerutu saat sebuah kerikil mengenai kepalaku saat berusaha mencari keberadaan Rain. Aku melihat perempuan itu keluar dari pintu belakang kafe saat aku tidak sengaja akan menuju kamar mandi. Rasa penasaran dengan apa yang dia lakukan tidak bisa aku hindari dan mengikuti gadis itu yang tiba-tiba entah menghilang ke arah mana. Tidak, tidak. Aku tidak segabut itu hingga harus membuntuti Rain. Aku hanya ingin mengobrol dengannya. Lebih tepatnya aku ingin membicarakan dengan gadis itu tentang proyek dari Bu Asri yang meminta kami mengikuti lomba baca puisi. Aku tidak bisa menundanya lebih lama lagi jika tidak ingin berurusan dengan Rain. Atau ... Sebenarnya aku bimbang dengan perasaanku pada perempuan itu. Di satu sisi aku ingin mendekati gadis yang terkesan cuek dan menantang itu. Aku penasaran, apa yang membuatnya begitu dingin dan tidak tersentuh. Terlebi

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-23
  • Dance in the Rain   Larilah, Aku Tetap Akan Menangkapmu

    Semesta AksaraRain sudah tak terlihat begitu pria paruh baya yang baru saja menghampiri kami, melangkah pergi. Perempuan itu melarikan diri dengan cepat dan bersembunyi entah di mana. Aku yakin dia tidak mungkin kembali ke dalam kafe. Sebab, aku pasti melihatnya jika dia berari ke arah kafe tempatnya bekerja. Perempuan itu masih bersembunyi di sekitar taman. Hanya saja dia terlalu pandai bersembunyi sampai aku tak bisa menemukan di mana dia menyemunyikan tubuhnya yang mungil itu. "Sial," umpatku saat tak juga menemukan Rain di mana pun. Sedangkan aku tidak lagi memiliki banyak waktu. Kesempatanku untuk membicarakan perihal lomba dengan Rain hanya sampai hari ini. Sebagai Ketua Hima sekaligus Wakil Presiden Mahasiswa, kegiatanku tidak cuma iseng mengikuti lomba saja. Masih banyak kegiatan lain yang harus aku selesaikan. Sialnya, si bocah tengil itu, justru sengaja ingin bermain-main denganku. "Rain, kita mesti bicara! Gue nggak ada waktu buat ladenin main petak umpet sama lo ya

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-30
  • Dance in the Rain   Pesan Sang Senior

    Semesta RainAku baru saja meletakkan tas di atas meja saat ketukan di pintu mengalihkan perhatian. Tak lama, wajah Paman Bara muncul dari balik pintu. "Kau sudah makan? Paman membeli ayam kalau kau belum makan. Masih ada nasi di dapur," ucap pria awal empat puluhan tahun itu dengan ekspresi muka datar. Setidaknya aku bersyukur tidak mencium aroma alkohol dari tubuhnya. Itu berarti dia cukup waras hari ini dan tak mungkin bertindak brutal. Artinya, aku juga tidak perlu bersembunyi dari incaran amukannya setiap kali pria itu berada di bawah pengaruh alkohol. "Ya, Paman. Aku bakal makan sebentar lagi."Senyum samar membingkai wajah suram Paman Bara. Sudah biasa, sejak kematian bibi bertahun-tahun lalu, tak ada lagi senyum yang membingkai wajah pria itu. Kalaupun terpaksa tersenyum, tetap tak bisa mengubah raut muka suram Paman Bara. Ia hanya tersenyum sekadarnya. Setidaknya itu lebih baik ketimbang saat ia mabuk sepanjang malam dan menjadikan aku sebagai pelampiasan. Ya, pria itu

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-07
  • Dance in the Rain   Apa Sih Maumu?

    Semesta Rain"Dosa hukumnya membiarkan pesan seseorang padahal dia sudah membacanya!"Pesan dari lelaki menyebalkan itu muncul lagi meskipun aku sudah mengabaikannya. Sengaja, aku tidak mau berurusan dengan lelaki itu lebih dari urusan lomba. Kalau saja bukan akibat kesalahan memencet notifikasi di layar bar, aku juga tidak berniat membaca pesan dari lelaki menyebalkan itu. Sementara aku masih berusaha menebak-nebak siapa oknum yang telah menyebarkan nomorku kepada lelaki menyebalkan itu, benda pipih yang terletak di atas itu terus bergetar dan menampilkan pesan dari orang yang sama. "Katanya tak ada yang paling tabah selain hujan bulan Juni. Faktanya, aku manusia paling tabah ketika pesan sudah berubah dua centang biru, tapi kamu pura-pura bisu!"Balasan dari lelaki menyebalkan itu membuatku mual. Aku memang sengaja tak membalasnya dan hanya membacanya dari menu notifikasi di layar bar. Itu pun karena sebal akibat getaran ponsel yang cukup mengganggu aktivitas makanku. Namun, tak

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-08
  • Dance in the Rain   Gadis Misterius

    Semesta Aksara"Buset, galak banget sih," ucapku saat mendengar jawaban ketus Rain di ujung panggilan telepon. Bukannya sok jaim ataupun berusaha bersikap baik, perempuan itu masih saja menunjukkan sisi galaknya padaku. Padahal, setiap perempuan mengharapkan apa yang kulakukan pada perempuan itu sekarang.Mereka pasti bakal bersorak senang ketika menerima telepon dariku. Tak jarang cewek-cewek itu dalam sekejap menjadi sosok menggemaskan dengan suara yang diimut-imutkan. Bahkan tidak sedikit yang mengirimkan pesan setiap malam, hanya demi memintaku mengirim voice note - telepon jika perlu, sebagai lagu pengantar tidur. Sementara makhluk yang satu ini, manusia bernama Rain - bukan Raina - sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan sedikit pun. Dia memang berbeda. Sangat berbeda. "Ya makanya nggak usah pakai basa-basi segala. Apa yang lo mau?" Suara galak Rain masih terdengar di ujung pelantang suara. "Oke, gue nggak bakal basa-basi lagi. Sekarang, gue ada di depan rumah lo!""Hah

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-08
  • Dance in the Rain   Tentang Rain

    Semesta Aksara"Kenapa wajah lo suntuk gitu?"Pertanyaan Narendra mengalihkan fokusku. Aku memutuskan pergi ke tongkrongan ketimbang pulang ke rumah. Pikiran tentang Rain masih terus menganggu dan aku butuh sesuatu untuk mengalihkan hal itu. Pergi ke tongkrongan menjadi satu-satunya pilihan di saat suntuk seperti sekarang. "Ndra, lo bilang Rain dapat beasiswa kan?""Iya, kenapa? Lo beneran tertarik sama, Rain?""Nggak penting, tapi gue barusan ke rumahnya. Dia anak orang kaya anjir. Rumahnya gede banget. Tinggal di kawasan perumahan mewah. Nggak salah tuh dia dapat beasiswa?"Narendra mengendikkan bahu. Aku menatapnya tak percaya. Temanku itu, dia adalah sumber dari segala informasi. Dari staf hingga rektor, tak ada yang luput dari pengawasan Narendra.Dia juga yang menjadi sumber informan ketika ada hal yang tak beres di kampus. Termasuk penggelapan uang yayasan yang sempat dilakukan sejumlah karyawan baru-baru ini. Narendra mendapatkan semua buktinya hingga membuat mereka tak bi

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-08
  • Dance in the Rain   Are You Okay, Rain?

    Semesta AksaraBangunan dua lantai yang terlihat kuno dibandingkan bangunan di sekitarnya, terlihat gelap saat aku tiba di sana. Seakan tak ada tanda-tanda orang yang menghuni bangunan tersebut. Hanya ada sebuah nyala lampu di lantai dua yang tampak temaram dengan pintu balkon dibiarkan terbuka. Kelambu yang menutupi pintu, bergerak tertiup angin malam yang berembus pelan. Aku mengambil ponsel dari saku celana dan berusaha menghubungi sebuah nomor yang baru saja tersimpan di ponselku. Tetap tak ada jawaban. Bahkan pesan yang terakhir kali aku kirimkan pada gadis itu masih centang satu. Gelisah menyelimuti diriku. Aku menatap sekeliling untuk mencari celah agar bisa melompat masuk ke dalam rumah tersebut. "Gila! Apa gue harus senekat ini?" bisikku pada diri sendiri.Namun, perasaanku makin tak tenang. Entah mengapa, pikiranku terus terbayang pada adegan beberapa waktu lalu saat aku masih berada di depan rumah ini.

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-09

Bab terbaru

  • Dance in the Rain   Dance in the Rain

    Semesta KamiBogor membawa kabar baik dan buruk. Aku (Rain) bisa sedikit demi sedikit pulih dari rasa takut terhadap hujan. Sementara aku (Aksara) harus terbaring di rumah akibat flu yang menyerang. Aksara: Beruntung, sakit yang kuderita tidak berlangsung lama. Setidaknya tidak sampai mengganggu persiapan lomba baca puisi yang akan kami ikuti. Ya, sebenarnya cukup menganggu. Bu Asri sampai marah besar. Tapi, tidak berlangsung lama karena aku bisa mengejar ketinggalan. Semua juga berkat dukungan partner sepanggung yang kini jadi kekasihku. Haha ... cukup cepat kan progres kami? Ya, kalau aku boleh jujur, sudah lama sebenarnya aku tertarik sama Rain. Hanya saja, dia bukan gadis yang mudah didekati. Rain: Tidak, aku bukan gadis yang sulit didekati. Itu hanya omong kosong Aksara saja. Dia hanya tidak percaya diri dengan kemampuannya. Lagian, siapa sih yang tidak kesal, jika dari awal dia sudah mengibarkan bendara perang. Kan dia yang tidak percaya kalau aku sakit datang bulan saat

  • Dance in the Rain   Pluviophile

    Semesta RainIde Aksara selalu terdengar gila. Apa yang ia harapkan dari pemburuan hujan bagi seseorang yang sudah puluhan tahun membenci hujan? Apa dia berharap rasa takut itu bakal sembuh dalam satu hari saja? Anehnya, aku justru tak merasa resah ataupun khawatir, meski ketakutan itu masih ada. Terlebih ketika aku menyadari bahwa motor yang dikendarai Aksara membawa kami ke Bogor. Bogor, kota penuh kenangan sebelum Jakarta menarik kami - ibu, ayah dan Kak Mahen - dengan paksa untuk tinggal di sana. Menjadi bagian dari manusia yang bergerak cepat di antara hiruk-pikuk dunia. Ada rindu yang diam-diam menyusup. Mengisi celah kosong yang tak lagi pernah terisi. Seandainya ayah dulu tak menerima mutasi kerja ke kejaksaan pusat, apakah kami masih tetap bersama-sama? Tinggal di lereng pegunungan dengan kota yang memiliki intensitas cukup tinggi di negeri ini. Mataku basah akibat andai-andai yang dengan cepat menguap menjadi asa. Juga akibat hujan yang kini semakin deras mendera bumi.

  • Dance in the Rain   Berburu Hujan

    Semesta AksaraTanpa sadar aku merangkul pundak Rain dan membawanya ke dalam pelukan ketika mendung di wajah gadis itu menjadi hujan. Rasanya hatiku ikut perih melihatnya menitikkan air mata. Bahkan tangisan yang semula terdengar samar - akibat Rain menahan diri - kini makin tergugu dalam pelukanku. Siapa yang menyangka, jika sosok gadis mungil dalam pelukanku kini, menjalani kehidupannya dengan begitu berat. Aku menjadi paham, mengapa wajah Rain selalu terlihat muram dan terkesan sukar untuk didekati. Masa lalu membuatnya seperti itu. Tentu tak mudah kehilangan orang tua dengan cara yang kejam seperti itu. Mati tertembak di hadapannya demi melindungi gadis serta sang kakak yang turut mati hari itu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana terkoyaknya jiwa Rain saat itu hingga sekarang. Aku tahu, ia belum sepenuhnya sembuh dari trauma. Bisa terbukti ketika hujan turun dan kami terjebak di halte bus lebih dari seminggu yang lalu. Dia bahkan harus mengalami nasib buruk dari sang paman

  • Dance in the Rain   Masa Lalu yang Tersimpan

    Semesta RainObrolanku dengan Aksara memaksaku memutar adegan belasan tahun lalu saat usiaku baru menginjak tujuh tahun. Hari itu, hari ulang tahunku - hari yang kemudian di masa depan ingin kulupakan saja dari hidup yang kejam dan telah merenggut nyawa orang-orang yang kusayangi. Ayah berjanji untuk menyelesaikan dengan cepat persidangan yang dia pimpin pada hari itu. Dia berjanji akan pulang cepat dan membelikan aku sebuah cake yang akan menemani perayaan hari ulang tahunku. "Aku juga mau dong, Yah. Aku mau brownies!" seruan Mahen pada hari itu kembali terdengar dalam tempurung otakku. Mahen - kakak lelakiku - memang lebih suka brownies ketimbang cake atau kue lainnya. Ayah tertawa menanggapi permintaan anak lelakinya yang berjarak tiga tahun lebih tua dariku. "Kamu memang nggak kalah ya! Oke, Ayah bakal belikan brownies buat jagoan Ayah. Yang kecil aja ya. Kan kamu doang pasti yang bakal makan!""Ih, mana ada kayak gitu. Nggak bisalah. Harus yang ukuran besar. Mau makan sendi

  • Dance in the Rain   Rahasia Rain

    Semesta RainAku terlambat menyadari saat Aksara membawaku ke sebuah hotel bintang lima di kawasan Jakarta Pusat. Dia bilang, lelaki itu akan mengenalkanku pada seseorang yang bisa mengajari kami membaca puisi lebih baik lagi untuk keperluan lomba nanti. Namun, aku melupakan satu hal dan justru berdebat serta memperkarakan hal yang justru terdengar kekanak-kanakan. Sampai aku melupakan kemungkinan kecil yang terjadi. Hingga sepasang mataku berotasi cepat ketika menangkap banner pameran seorang seniman di hotel tersebut. Tepat saat seseorang memanggil namaku. "Paman Bara?" ucapku pelan. Tanpa sadar, tubuhku membeku seketika. Gestur yang kerap tanpa sengaja kutunjukkan setiap kali bertemu dengan pria itu. Baik di rumah ataupun saat di luar seperti saat ini. Refleks yang entah sejak kapan tertanam dalam bawah sadarku hingga terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Bukan tanpa alasan. Itu karena perlakuan kasar yang sering kuterima dari Paman Bara. Tubuhku selalu bereaksi lebih dulu ket

  • Dance in the Rain   Pertemuan Tak Terduga

    Semesta AksaraAku tahu, gadis di depanku itu sedang berusaha mengurai canggung di antara kami. Sekali lagi, ia bertanya meski sudah kutegaskan ketiga kali bahwa dirinya boleh memakan apa pun yang dia mau. "Yakin, lo nggak bakal nyesel bilang gitu?" ucap gadis itu seakan masih ragu. "Ya, Rain. Lo boleh makan apa pun. Bukankah gue udah bilang sebelumnya? Ini juga sudah keempat kalinya gue ngomong hal yang sama.""Oke." Rain menjawab singkat. Lantas tanpa sungkan, ia menyendokkan berbagai macam lauk yang hendak ia makan. Mulai dari rendang sampai usus sapi memenuhi piringnya. Kemudian tanpa sungkan, ia mulai menyuapkan nasi ke mulutnya menggunakan tangan. Tanpa sadar, aku tersenyum melihat ekspresi gadis itu ketika makan. Terlihat sangat menyenangkan. Aku baru sadar, bahwa gadis itu juga terlihat sangat antusias ketika aku membawa banyak makanan ke ruang sekretariat BEM lebih dari satu minggu yang lalu. "Gimana bisa badan lo tetep kurus sih, makan sebanyak itu?"Rain tersedak. Mung

  • Dance in the Rain   Sepertinya Aku Jatuh Cinta

    Semesta AksaraAku tersenyum puas ketika gerbang besar dan tinggi yang semula menghalangi kami, perlahan terbuka dan meminta perwakilan mahasiswa untuk masuk ke dalam gedung dewan. "Bapak Ketua Dewan mau bertemu dengan kalian. Perwakilan dari anggota BEM setiap kampus saja ya. Jangan banyak-banyak!" Seseorang yang kami kenal sebagai juru bicara anggota dewan, menyampaikan kalimat yang sudah kami duga sebelumnya. Seandainya orang-orang yang duduk di balik kursi pilihan rakyat itu, bersedia menemui kami hari ini. "Terima kasih, Pak!" seruku melalui megaphone yang masih tergenggam di tangan kanan. Disusul beberapa perwakilan BEM yang berjalan ke arahku lantas memberikan pelukan dan juga berjabat tangan. Termasuk Narendra yang tak lagi bersama Rain. "Gue udah titipin Rain ke Nugraha sama yang lain.""Thanks, Bro. Sekarang giliran lo!" ucapku sambil membalas rangkulan Narendra. "Eh, belakang aman kan?" imbuhku sebelum Narendra melangkah memasuki gedung anggota dewan. "Aman. Nggak ad

  • Dance in the Rain   Aksi Demonstrasi

    Semesta Rain Atmosfir siang hari ini semakin panas ketika lautan massa di depan sana memaksa untuk masuk ke gedung dewan. Aksi saling dorong tak bisa dihindari hingga membuat petugas menembakkan water cannon ke arah para mahasiswa. Memukul mundur agar para anak muda yang menuntut perubahan negeri ini menjauh dari pagar pembatas gedung. Kami tercerai berai seketika. Tak terkecuali aku dan Narendra yang semula masih berada di sampingku untuk melakukan penjagaan. Lelaki itu mengumpat kesal pada keadaan ketika kami melarikan diri. Menghindari semprotan air yang diarahkan kepada kami. “Lo nggak papa, Rain?” tanya Narendra dengan raut khawatir. Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Nggak Kak, aku nggak papa.” Kami memang tak basah akibat water cannon yang ditembakkan oleh petugas. Meski begitu, tetap saja kami terdorong akibat massa yang tiba-tiba bergerak ke belakang. Narendra bahkan sempat terjatuh. Beruntung aku segera tanggap dan segera membantunya berdiri sebelum ia terinj

  • Dance in the Rain   Longmarch

    Semesta Rain Sepertinya Aksara tidak main-main dengan ucapannya. Pemuda itu tetap menyeretku turun ke jalan meski aku sudah menyatakan keberatan. Aksara seakan tidak peduli dan tetap menggeret tanganku dari gedung perkuliahan menuju sekretariat BEM kampus. Ia bahkan tak peduli saat aku mengatakan bahwa Pak Kuncoro yang akan mengajar mata kuliah selanjutnya. “Ck, sekali-kali bolos nggak masalah, Rain. Pak Kuncoro nggak bakal kasih lo nilai E. Apalagi kalau tahu alasan lo bolos karena ikut demo,” ucap Aksara penuh percaya diri. “Gue bukan lo yang memang sudah hobi bolos karena turun ke jalan ya, Kak. Tolong!” “Gini deh, kalau Pak Kuncoro tanya kenapa lo bolos, tinggal aja jawab kalau lo lagi praktik mata kuliah dia. Atau setidaknya, jawab aja lagi melanjutkan perjuangan Wiji Thukul atau Rendra.” “Sinting!” cercaku menanggapi ucapan Aksara. Meski begitu, tetap saja mengikuti langkah kaki lelaki itu akibat tenagaku tak cukup kuat untuk melawan Aksara. Sampai kami sampai ke ruangan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status