Semesta Aksara"Kenapa wajah lo suntuk gitu?"Pertanyaan Narendra mengalihkan fokusku. Aku memutuskan pergi ke tongkrongan ketimbang pulang ke rumah. Pikiran tentang Rain masih terus menganggu dan aku butuh sesuatu untuk mengalihkan hal itu. Pergi ke tongkrongan menjadi satu-satunya pilihan di saat suntuk seperti sekarang. "Ndra, lo bilang Rain dapat beasiswa kan?""Iya, kenapa? Lo beneran tertarik sama, Rain?""Nggak penting, tapi gue barusan ke rumahnya. Dia anak orang kaya anjir. Rumahnya gede banget. Tinggal di kawasan perumahan mewah. Nggak salah tuh dia dapat beasiswa?"Narendra mengendikkan bahu. Aku menatapnya tak percaya. Temanku itu, dia adalah sumber dari segala informasi. Dari staf hingga rektor, tak ada yang luput dari pengawasan Narendra.Dia juga yang menjadi sumber informan ketika ada hal yang tak beres di kampus. Termasuk penggelapan uang yayasan yang sempat dilakukan sejumlah karyawan baru-baru ini. Narendra mendapatkan semua buktinya hingga membuat mereka tak bi
Semesta AksaraBangunan dua lantai yang terlihat kuno dibandingkan bangunan di sekitarnya, terlihat gelap saat aku tiba di sana. Seakan tak ada tanda-tanda orang yang menghuni bangunan tersebut. Hanya ada sebuah nyala lampu di lantai dua yang tampak temaram dengan pintu balkon dibiarkan terbuka. Kelambu yang menutupi pintu, bergerak tertiup angin malam yang berembus pelan. Aku mengambil ponsel dari saku celana dan berusaha menghubungi sebuah nomor yang baru saja tersimpan di ponselku. Tetap tak ada jawaban. Bahkan pesan yang terakhir kali aku kirimkan pada gadis itu masih centang satu. Gelisah menyelimuti diriku. Aku menatap sekeliling untuk mencari celah agar bisa melompat masuk ke dalam rumah tersebut. "Gila! Apa gue harus senekat ini?" bisikku pada diri sendiri.Namun, perasaanku makin tak tenang. Entah mengapa, pikiranku terus terbayang pada adegan beberapa waktu lalu saat aku masih berada di depan rumah ini.
Semesta RainTubuhku membeku. Aku tak sanggup bergerak ketika sebaris kalimat terucap dari bibir Aksara. "Are you okay, Rain?"Aku mendadak bisu. Tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun meski sudah berusaha untuk menjawab pertanyaan yang terucap. "Katakan kalau memang ada yang sakit, Rain. Katakan!"Suara Aksara kembali terdengar. Mengaduk-aduk perasaan dalam jiwaku yang mendadak menjadi lemah akibat mendengar kalimat yang terucap dari mulut laki-laki itu. Tubuhku gemetar. Ada perasaan yang tak sanggup kujelaskan.Rasanya, sudah lama sekali aku tak mendengar seseorang bertanya padaku, apakah aku baik-baik saja setelah bertahun-tahun lalu. Mungkin, Aruna sering kali menanyakan pertanyaan yang sama. Hanya saja, ruh dari pertanyaan yang diucapkan Aruna tidak seperti Aksara. Aku tidak membandingkan kekhawatiran mereka berdua. Jelas, aku bisa merasakan mereka sama-sama khawatir melihat keadaanku.
Semesta RainHarusnya ini menjadi hari pertama kami latihan bersama sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Pada hari Sabtu di sela-sela kesibukan jadwal kami di akhir pekan. Namun, sudah hampir sepuluh menit, baik aku ataupun Aksara tak satu pun yang memulai percakapan. Selain sapaan "hai" singkat ketika kami pertama kali bertemu beberapa saat lalu. Kami sama-sama bungkam dan sibuk dengan pikiran masing-masing dalam diam. Meski sebenarnya, aku tahu bahwa Aksara menahan diri untuk tidak bicara. Mulut lelaki itu pasti sudah gatal ingin segera mengatakan apa pun yang tertahan di ujung lidahnya. Pernyataan-pernyataan konyol atau mungkin tanggapan serius seperti saat terakhir kali kami bertemu. "Lo, gimana punya pikiran kalau selama ini gue cuma pura-pura?"Aku masih ingat pertanyaan yang diajukan Aksara tiga hari lalu sebelum pergi dari rumah Paman Bara. Aku bahkan masih ingat bagaimana senyum kecut itu membingkai wajahnya. "Berarti, nggak semua berhasil lo tipu kan?"Tangan Aksara men
Semesta AksaraAku tidak tahu, apa yang membuat hubunganku dengan Rain mendadak jadi dingin. Mungkin akibat pertanyaan yang ia ungkapkan beberapa hari lalu di rumah perempuan itu. Ada percikan api yang membuatku merasa tak nyaman. Bukan karena ucapan perempuan itu keliru, tapi justru sebaliknya. Meski begitu aku tetap berusaha menyangkal dan tak mau mengakui kebenaran ucapan Rain. Ia tak sepenuhnya salah bahwa selama ini, aku hanya berpura-pura tampak baik-baik saja. Sekalipun itu hanya tameng yang kugunakan untuk menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya. Aku tak ingin orang lain tahu, bahwa seorang Baruna Aksara - sang penguasa lautan kata-kata - sebenarnya tak lebih dari kepompong kosong yang sudah lama ditinggalkan penghuninya. Sosok pemuda itu bahkan tak tahu, mana jati dirinya yang sebenarnya. Ia bisa jadi orang yang berbeda, tergantung siapa yang dihadapi. Ya, satu-satunya hal yang tak bisa berbohong hanyalah sorot matanya. Seperti yang diucapkan Rain. Kini, ketika aku
Semesta Aksara"Mampir dulu yuk, Sa. Malming juga, nggak mungkin ke sekre kan lo?""Sori, Le. Gue mesti balik sekarang."Aku menolak tawaran tegas dari Lea setelah mengantar perempuan itu ke rumahnya. Bagaimanapun aku tahu maksud Lea menggiringku buat mampir ke rumah perempuan itu. Kedua orang tuanya sibuk bekerja dan hanya meninggalkan Lea seorang diri dan ditemani beberapa asisten rumah tangga. Apalagi yang diharapkan perempuan itu dari seorang lelaki dalam keadaan rumah sepi?Aku memang tak pernah menganggap serius rumor yang beredar tentang Lea. Bahwa perempuan itu sering kali having sex dengan teman-teman cowoknya.Tapi, melihat sikap Lea yang selalu berusaha meminta aku ke rumahnya setiap kali dalam keadaan sepi, selalu membuatku waspada. Lagipula, ini bukan sekali dua kali Lea berusaha membujukku buat tetap tinggal setelah mengantarkan dia pulang. "Yah, padahal gue tadi pagi baru aja bikin cookies yang mau gue kasih tunjuk ke elo." Wajah Lea tampak kecewa. Lebih dari itu,
Semesta RainAku baru saja menyelesaikan pekerjaan paruh waktu sebagai guru privat bagi seorang anak lelaki kelas 2 SMP saat jam menunjukkan pukul 19.10. Tepat ketika keluar dari gerbang dan hampir tertabrak sebuah motor sport dengan kecepatan tinggi yang tiba-tiba menyerobot dari arah berlawanan. Kalau saja motor itu tak bisa menarik tuas rem tepat waktu, tabrakan pasti tak mungkin terhindarkan. Beruntung, lelaki yang membawa box di belakang motornya itu bisa menarik tuas rem tepat waktu. "Lain kali hati-hati kalau bawa motor, Mas," ucapku berusaha sabar meski lelaki itulah yang sepenuhnya salah akibat tak berhati-hati. Namun, sosok di balik helm itu justru nyolot dan mengucapkan kalimat kasar. "Berengsek! Lo tuh yang nggak punya mata!"Seketika aku terkejut dengan makian yang terucap dari mulut lelaki itu. Terlebih saat mengenali dengan pasti pemilik suara yang hampir menabrakku itu. Didorong perasaan geram bercampur kesal, aku berjalan mendekati lelaki itu sambil berkacak pin
Semesta RainKondisi kampus sangat sepi saat kami sampai sekitar dua puluh menit kemudian. Aksara terus membawa motornya ke arah gedung khusus tempat sekretariat UKM.Ada parkir khusus untuk memudahkan para mahasiswa mengikuti kegiatan kampus di luar belajar mengajar. Tanpa harus berjalan cukup jauh dari tempat parkir utama. Meski begitu, sampai sejauh ini belum ada kalimat yang terucap dari mulut Aksara. Begitu juga selama di sepanjang perjalanan menuju tempat ini. Tidak sedikit pun kami bertukar pembicaraan dan hanya diam membiarkan angin malam menerpa tubuh kami. Bahkan saat ia menghentikan motornya di tempat parkir pun, belum ada sepatah kaya yang diucapkan. "Turun, mau sampai lo di atas motor?" Suara Aksara mengagetkanku yang hampir tenggelam dalam lamunan. "Hah? Jadi di sini tujuan lo?" tanyaku seperti orang bodoh. Lantas segera menyesalinya begitu dia mengatakan sebuah kalimat yang membuatku malu. "Memang lo berharap gue ajak ke mana?"Seketika, wajahku terasa panas. Ben
Semesta KamiBogor membawa kabar baik dan buruk. Aku (Rain) bisa sedikit demi sedikit pulih dari rasa takut terhadap hujan. Sementara aku (Aksara) harus terbaring di rumah akibat flu yang menyerang. Aksara: Beruntung, sakit yang kuderita tidak berlangsung lama. Setidaknya tidak sampai mengganggu persiapan lomba baca puisi yang akan kami ikuti. Ya, sebenarnya cukup menganggu. Bu Asri sampai marah besar. Tapi, tidak berlangsung lama karena aku bisa mengejar ketinggalan. Semua juga berkat dukungan partner sepanggung yang kini jadi kekasihku. Haha ... cukup cepat kan progres kami? Ya, kalau aku boleh jujur, sudah lama sebenarnya aku tertarik sama Rain. Hanya saja, dia bukan gadis yang mudah didekati. Rain: Tidak, aku bukan gadis yang sulit didekati. Itu hanya omong kosong Aksara saja. Dia hanya tidak percaya diri dengan kemampuannya. Lagian, siapa sih yang tidak kesal, jika dari awal dia sudah mengibarkan bendara perang. Kan dia yang tidak percaya kalau aku sakit datang bulan saat
Semesta RainIde Aksara selalu terdengar gila. Apa yang ia harapkan dari pemburuan hujan bagi seseorang yang sudah puluhan tahun membenci hujan? Apa dia berharap rasa takut itu bakal sembuh dalam satu hari saja? Anehnya, aku justru tak merasa resah ataupun khawatir, meski ketakutan itu masih ada. Terlebih ketika aku menyadari bahwa motor yang dikendarai Aksara membawa kami ke Bogor. Bogor, kota penuh kenangan sebelum Jakarta menarik kami - ibu, ayah dan Kak Mahen - dengan paksa untuk tinggal di sana. Menjadi bagian dari manusia yang bergerak cepat di antara hiruk-pikuk dunia. Ada rindu yang diam-diam menyusup. Mengisi celah kosong yang tak lagi pernah terisi. Seandainya ayah dulu tak menerima mutasi kerja ke kejaksaan pusat, apakah kami masih tetap bersama-sama? Tinggal di lereng pegunungan dengan kota yang memiliki intensitas cukup tinggi di negeri ini. Mataku basah akibat andai-andai yang dengan cepat menguap menjadi asa. Juga akibat hujan yang kini semakin deras mendera bumi.
Semesta AksaraTanpa sadar aku merangkul pundak Rain dan membawanya ke dalam pelukan ketika mendung di wajah gadis itu menjadi hujan. Rasanya hatiku ikut perih melihatnya menitikkan air mata. Bahkan tangisan yang semula terdengar samar - akibat Rain menahan diri - kini makin tergugu dalam pelukanku. Siapa yang menyangka, jika sosok gadis mungil dalam pelukanku kini, menjalani kehidupannya dengan begitu berat. Aku menjadi paham, mengapa wajah Rain selalu terlihat muram dan terkesan sukar untuk didekati. Masa lalu membuatnya seperti itu. Tentu tak mudah kehilangan orang tua dengan cara yang kejam seperti itu. Mati tertembak di hadapannya demi melindungi gadis serta sang kakak yang turut mati hari itu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana terkoyaknya jiwa Rain saat itu hingga sekarang. Aku tahu, ia belum sepenuhnya sembuh dari trauma. Bisa terbukti ketika hujan turun dan kami terjebak di halte bus lebih dari seminggu yang lalu. Dia bahkan harus mengalami nasib buruk dari sang paman
Semesta RainObrolanku dengan Aksara memaksaku memutar adegan belasan tahun lalu saat usiaku baru menginjak tujuh tahun. Hari itu, hari ulang tahunku - hari yang kemudian di masa depan ingin kulupakan saja dari hidup yang kejam dan telah merenggut nyawa orang-orang yang kusayangi. Ayah berjanji untuk menyelesaikan dengan cepat persidangan yang dia pimpin pada hari itu. Dia berjanji akan pulang cepat dan membelikan aku sebuah cake yang akan menemani perayaan hari ulang tahunku. "Aku juga mau dong, Yah. Aku mau brownies!" seruan Mahen pada hari itu kembali terdengar dalam tempurung otakku. Mahen - kakak lelakiku - memang lebih suka brownies ketimbang cake atau kue lainnya. Ayah tertawa menanggapi permintaan anak lelakinya yang berjarak tiga tahun lebih tua dariku. "Kamu memang nggak kalah ya! Oke, Ayah bakal belikan brownies buat jagoan Ayah. Yang kecil aja ya. Kan kamu doang pasti yang bakal makan!""Ih, mana ada kayak gitu. Nggak bisalah. Harus yang ukuran besar. Mau makan sendi
Semesta RainAku terlambat menyadari saat Aksara membawaku ke sebuah hotel bintang lima di kawasan Jakarta Pusat. Dia bilang, lelaki itu akan mengenalkanku pada seseorang yang bisa mengajari kami membaca puisi lebih baik lagi untuk keperluan lomba nanti. Namun, aku melupakan satu hal dan justru berdebat serta memperkarakan hal yang justru terdengar kekanak-kanakan. Sampai aku melupakan kemungkinan kecil yang terjadi. Hingga sepasang mataku berotasi cepat ketika menangkap banner pameran seorang seniman di hotel tersebut. Tepat saat seseorang memanggil namaku. "Paman Bara?" ucapku pelan. Tanpa sadar, tubuhku membeku seketika. Gestur yang kerap tanpa sengaja kutunjukkan setiap kali bertemu dengan pria itu. Baik di rumah ataupun saat di luar seperti saat ini. Refleks yang entah sejak kapan tertanam dalam bawah sadarku hingga terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Bukan tanpa alasan. Itu karena perlakuan kasar yang sering kuterima dari Paman Bara. Tubuhku selalu bereaksi lebih dulu ket
Semesta AksaraAku tahu, gadis di depanku itu sedang berusaha mengurai canggung di antara kami. Sekali lagi, ia bertanya meski sudah kutegaskan ketiga kali bahwa dirinya boleh memakan apa pun yang dia mau. "Yakin, lo nggak bakal nyesel bilang gitu?" ucap gadis itu seakan masih ragu. "Ya, Rain. Lo boleh makan apa pun. Bukankah gue udah bilang sebelumnya? Ini juga sudah keempat kalinya gue ngomong hal yang sama.""Oke." Rain menjawab singkat. Lantas tanpa sungkan, ia menyendokkan berbagai macam lauk yang hendak ia makan. Mulai dari rendang sampai usus sapi memenuhi piringnya. Kemudian tanpa sungkan, ia mulai menyuapkan nasi ke mulutnya menggunakan tangan. Tanpa sadar, aku tersenyum melihat ekspresi gadis itu ketika makan. Terlihat sangat menyenangkan. Aku baru sadar, bahwa gadis itu juga terlihat sangat antusias ketika aku membawa banyak makanan ke ruang sekretariat BEM lebih dari satu minggu yang lalu. "Gimana bisa badan lo tetep kurus sih, makan sebanyak itu?"Rain tersedak. Mung
Semesta AksaraAku tersenyum puas ketika gerbang besar dan tinggi yang semula menghalangi kami, perlahan terbuka dan meminta perwakilan mahasiswa untuk masuk ke dalam gedung dewan. "Bapak Ketua Dewan mau bertemu dengan kalian. Perwakilan dari anggota BEM setiap kampus saja ya. Jangan banyak-banyak!" Seseorang yang kami kenal sebagai juru bicara anggota dewan, menyampaikan kalimat yang sudah kami duga sebelumnya. Seandainya orang-orang yang duduk di balik kursi pilihan rakyat itu, bersedia menemui kami hari ini. "Terima kasih, Pak!" seruku melalui megaphone yang masih tergenggam di tangan kanan. Disusul beberapa perwakilan BEM yang berjalan ke arahku lantas memberikan pelukan dan juga berjabat tangan. Termasuk Narendra yang tak lagi bersama Rain. "Gue udah titipin Rain ke Nugraha sama yang lain.""Thanks, Bro. Sekarang giliran lo!" ucapku sambil membalas rangkulan Narendra. "Eh, belakang aman kan?" imbuhku sebelum Narendra melangkah memasuki gedung anggota dewan. "Aman. Nggak ad
Semesta Rain Atmosfir siang hari ini semakin panas ketika lautan massa di depan sana memaksa untuk masuk ke gedung dewan. Aksi saling dorong tak bisa dihindari hingga membuat petugas menembakkan water cannon ke arah para mahasiswa. Memukul mundur agar para anak muda yang menuntut perubahan negeri ini menjauh dari pagar pembatas gedung. Kami tercerai berai seketika. Tak terkecuali aku dan Narendra yang semula masih berada di sampingku untuk melakukan penjagaan. Lelaki itu mengumpat kesal pada keadaan ketika kami melarikan diri. Menghindari semprotan air yang diarahkan kepada kami. “Lo nggak papa, Rain?” tanya Narendra dengan raut khawatir. Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Nggak Kak, aku nggak papa.” Kami memang tak basah akibat water cannon yang ditembakkan oleh petugas. Meski begitu, tetap saja kami terdorong akibat massa yang tiba-tiba bergerak ke belakang. Narendra bahkan sempat terjatuh. Beruntung aku segera tanggap dan segera membantunya berdiri sebelum ia terinj
Semesta Rain Sepertinya Aksara tidak main-main dengan ucapannya. Pemuda itu tetap menyeretku turun ke jalan meski aku sudah menyatakan keberatan. Aksara seakan tidak peduli dan tetap menggeret tanganku dari gedung perkuliahan menuju sekretariat BEM kampus. Ia bahkan tak peduli saat aku mengatakan bahwa Pak Kuncoro yang akan mengajar mata kuliah selanjutnya. “Ck, sekali-kali bolos nggak masalah, Rain. Pak Kuncoro nggak bakal kasih lo nilai E. Apalagi kalau tahu alasan lo bolos karena ikut demo,” ucap Aksara penuh percaya diri. “Gue bukan lo yang memang sudah hobi bolos karena turun ke jalan ya, Kak. Tolong!” “Gini deh, kalau Pak Kuncoro tanya kenapa lo bolos, tinggal aja jawab kalau lo lagi praktik mata kuliah dia. Atau setidaknya, jawab aja lagi melanjutkan perjuangan Wiji Thukul atau Rendra.” “Sinting!” cercaku menanggapi ucapan Aksara. Meski begitu, tetap saja mengikuti langkah kaki lelaki itu akibat tenagaku tak cukup kuat untuk melawan Aksara. Sampai kami sampai ke ruangan