Suasana liburan yang seharusnya menyenangkan berganti dengan kepanikan yang luar biasa, karyawan lainnya menunggu dengan cemas. Begitu juga Gayatri dan Alan yang saat ini berada di rumah sakit.Benar saja, Rima kehilangan banyak darah akibat benturan itu, sementara stok darah di rumah sakit tipis dan seperti permintaannya tadi, Gayatri mendonorkan darah untuk keselamatan Rima."Saya tahu ini rencana busuk kamu menyelakai anak saya!" Ibu Rima yang baru saja datang seketika menyerang Gayatri baru saja mendonorkan darahnya dan duduk bersandar di sebuah kursi besi. Ayah Rima yang biasa membela kini diam, seolah menyetujui pendapat istrinya.Gayatri dipukul tas mahal ibu Rima, Alan segera mendekat ketika melihat kegaduhan ini."Tenang, Ma! Ini bukan salah siapapun, apa yang menimpa Rima itu kecelakaan," ucap Alan seraya berusaha menghadang pukulan ibu mertuanya yang
Rima tercenung sendirian ketika melihat bulan yang tersemat di ponselnya. Bagaimana bisa sekarang ada di bulan Juni, ia ingat betul bila bulan ini adalah bulan Januari."Makan dulu, Sayang!" Alan membawakan nampan berisi makanan. Setelah seminggu sadarkan diri, Rima diizinkan pulang. Dan hingga saat ini Gayatri masih belum menemuinya."Aku heran, apa yang membuatmu menjadi begitu manis?" Rima mengernyitkan dahi.Alan tersenyum manis. "Aku hanya mencoba menjadi suami terbaik untukmu.""Aneh saja!" jawab Rima. "Oh, iya, Mas. Sekarang bulan apa?""Kenapa bertanya bulan?""Sepertinya hapeku eror, di sini ko bulan juni, harusnya kan ini bulan Januari.""Iya, hapemu sepertinya eror. Sudah sekarang makan dulu, nanti keburu dingin."Rima menganggguk dan menerim
"Kamu cantik berjilbab," ucap Rima ketika Alan pergi dari ruangan ini."Kamu sudah membaik?" Gayatri mengalihkan pembicaraan."Seperti yang kamu lihat. Aku tidak ingat enam bulan ke belakang.""Kamu harus terus konsultasi ke dokter agar bisa sembuh total." Gayatri tidak mengetahui bila Rima sudah tahu kemelut yang ada di antara mereka, meski sedikitpun ia tidak ingat sama sekali."Perubahanmu dalam rangka kembali menarik hati Alan?"Gayatri termangu, kaget dan tidak menyangka dengan apa yang Rima katakan."Aku tidak tahu seperti apa hubungan kita enam bulan ini, aku sama sekali tidak ingat. Tapi ketika aku tahu perceraian yang akan terjadi antara aku dan Mas Alan adalah karenamu, rasanya tidak bisa berkata-kata."Gayatri hanya menatap Rima dengan pandangan yang datar.
Sekelebat ingatan terkadang hadir, namun ketika Rima sekuat tenaga untuk mengingat semuanya, kepalanya sakit luar biasa.Kali ini ia berdampingan duduk dengan Alan, melakukan proses mediasi yang tidak mendapatkan titik temu karena Rima bersikukuh. Meski belum sepenuhnya ingat, tapi ia yakin bila berkas yang sudah sampai dilimpahkan ke pengadilan agama, itu pasti adalah buah pemikiran yang panjang, atas hal yang diputuskan dengan segala resikonya.Gerimis tipis-tipis ketika keduanya keluar dari ruangan mediasi. Kursi roda Rima didorong oleh ibunya, sejak tadi ia menunjukkan wajah yang tidak bersahabat."Tolong jangan hubungi aku, Mas. Aku butuh tenang, semua kenyataan ini membuatku berpikir ektra keras. Aku sakit," ucap Rima ketika mereka hendak masuk ke dalam mobil.Alan diam. "Maaf ... semoga kamu segera pulih seutuhnya."
"Kamu jangan terlalu berpikir keras, santai dan biarkan semuanya mengalir. Itu demi kesembuhanmu," ucap Galih ketika Rima mulai terbangun. Ia menyandarkan diri pada dipan dan masih merasakan kepalanya pusing."Aku pun inginnya begitu. Tapi terkadang kenyataannya sulit.""Bisa! Kamu bisa."Alan terlihat masuk ke dalam kamar dan membawakan segelas air, kemudian diberikan pada Rima. Setelah meminumnya, Rima segera beranjak untuk bergegas pulang."Yakin mau pulang sekarang?" tanya Galih."Aku antar, ya!" ucap Alan."Tidak perlu, aku ada supir."Kondisi tubuhnya belum sepenuhnya membaik, tapi Rima memaksa untuk pulang. Tanpa banyak kata, ia pun pamit dan masuk ke dalam mobil."Kalau ada apa-apa di jalan, hubungi aku!" ucap Galih seraya menutup pintu.
Jarak terjauh dalam kehidupan adalah masa lalu, sedetik saja semua tak akan bisa diulang.Hari ini adalah pertama kali Alan keluar rumah setelah lima bulan pasca perceraian, ia menutup diri dan tidak berinteraksi dengan sosial, rambutnya gondrong, wajahnya tumbuh dengan brewok, ia terlihat tidak terurus meski semua itu tidak menutup ketampanannya.Ia tinggal di rumah orang tuanya, satu bulan setelah sang ibu meninggal, ayahnya menyusul, hingga Alan dan Galih kini menjadi yatim piatu, tahun ini adalah patah hati yang paling menyakitkan, semua orang yang ia sayangi pergi meninggalkan. Sementara dengan Gayatri, ia sama sekali tak pernah lagi berkomunikasi setelah ucapan belasungkawa saat itu. Gayatri memblokir semua akses komunikasi dengan Alan. Ia meninggalkan semua orang yang berhubungan dengan masa lalunya, termasuk keluarganya sendiri."Hafalan kamu semakin bagus, Ay!" ucap seorang wanita
Rima membetulkan kerudungnya, kemudian dengan sedikit membuang muka berjalan menghampiri Nia. Tak berapa lama Hasan pun terlihat datang. Ketika Rima mendekat, Gayatri mundur satu langkah dan berdiri di samping Hasan."Ini Pak Hasan," ucap Gayatri pada Nia. Gadis itu tersenyum lega seraya mengangkat tangannya untuk berjabat tangan, tapi Hasan menolak lembut dan menyalami tanpa bersentuhan."Saya, Nia. Dan beliau pemilik yayasan kami, Mba Rima."Rima meniru gaya Hasan dan memperkenalkan diri. Ia datang ke sini untuk mendaftarkan anak-anak asuhnya di pesantren ini."Perkenalkan ini Gayatri, calon istri saya.""Saya kenal beliau, Kang," ucap Gayatri.Sekilas Hasan terpikir, apakah wanita di hadapannya ini adalah sahabat Gayatri yang pernah Umi ceritakan. Sementara Alan masih terpaku menatap mantan istrinya, jantun
"Hey! Kamu kenapa?" Rima tersenyum heran mendekat ke arah Galih.Galih menghela napas panjang dan membuang wajah, menutupi kecanggungan yang seketika hadir."Aku pergi untuk membicarakan pekerja dengannya, kami bertemu di luar karena dekat dengan tempat pekerjaannya, kalau ke sini cukup memakan waktu. Jadi, meskipun terlambat, dia bisa menungguku dengan tetap bekerja.""Sejak kapan kamu bertemu dengan Alan?""Sekitar sebulan yang lalu, tak sengaja di sebuah pesantren."Galih mengangguk, ia tak peduli lagi tentang Alan. Sekali saja dalam hidupnya, ia ingin memperjuangkan Rima."Atau kamu ikut saja denganku, mau?""Baiklah, kalau kamu memaksa," ucap Galih."Aku tidak memaksa loh," jawab Rima mengernyitkan dahi.Galih tertawa k