Jarak terjauh dalam kehidupan adalah masa lalu, sedetik saja semua tak akan bisa diulang.Hari ini adalah pertama kali Alan keluar rumah setelah lima bulan pasca perceraian, ia menutup diri dan tidak berinteraksi dengan sosial, rambutnya gondrong, wajahnya tumbuh dengan brewok, ia terlihat tidak terurus meski semua itu tidak menutup ketampanannya.Ia tinggal di rumah orang tuanya, satu bulan setelah sang ibu meninggal, ayahnya menyusul, hingga Alan dan Galih kini menjadi yatim piatu, tahun ini adalah patah hati yang paling menyakitkan, semua orang yang ia sayangi pergi meninggalkan. Sementara dengan Gayatri, ia sama sekali tak pernah lagi berkomunikasi setelah ucapan belasungkawa saat itu. Gayatri memblokir semua akses komunikasi dengan Alan. Ia meninggalkan semua orang yang berhubungan dengan masa lalunya, termasuk keluarganya sendiri."Hafalan kamu semakin bagus, Ay!" ucap seorang wanita
Rima membetulkan kerudungnya, kemudian dengan sedikit membuang muka berjalan menghampiri Nia. Tak berapa lama Hasan pun terlihat datang. Ketika Rima mendekat, Gayatri mundur satu langkah dan berdiri di samping Hasan."Ini Pak Hasan," ucap Gayatri pada Nia. Gadis itu tersenyum lega seraya mengangkat tangannya untuk berjabat tangan, tapi Hasan menolak lembut dan menyalami tanpa bersentuhan."Saya, Nia. Dan beliau pemilik yayasan kami, Mba Rima."Rima meniru gaya Hasan dan memperkenalkan diri. Ia datang ke sini untuk mendaftarkan anak-anak asuhnya di pesantren ini."Perkenalkan ini Gayatri, calon istri saya.""Saya kenal beliau, Kang," ucap Gayatri.Sekilas Hasan terpikir, apakah wanita di hadapannya ini adalah sahabat Gayatri yang pernah Umi ceritakan. Sementara Alan masih terpaku menatap mantan istrinya, jantun
"Hey! Kamu kenapa?" Rima tersenyum heran mendekat ke arah Galih.Galih menghela napas panjang dan membuang wajah, menutupi kecanggungan yang seketika hadir."Aku pergi untuk membicarakan pekerja dengannya, kami bertemu di luar karena dekat dengan tempat pekerjaannya, kalau ke sini cukup memakan waktu. Jadi, meskipun terlambat, dia bisa menungguku dengan tetap bekerja.""Sejak kapan kamu bertemu dengan Alan?""Sekitar sebulan yang lalu, tak sengaja di sebuah pesantren."Galih mengangguk, ia tak peduli lagi tentang Alan. Sekali saja dalam hidupnya, ia ingin memperjuangkan Rima."Atau kamu ikut saja denganku, mau?""Baiklah, kalau kamu memaksa," ucap Galih."Aku tidak memaksa loh," jawab Rima mengernyitkan dahi.Galih tertawa k
Dua Minggu setelah Galih pulang dari Bandung, ia kembali datang atas sebuah undangan. Hari ini Gayatri menggelar pesta pernikahan dengan Hasan.Pernikahan itu memang tidak bisa Gayatri batalkan, meski ia sudah bisa membayangkan akan seperti apa perahu yang ditumpangi.Rima terlihat sudah rapi, ia mengenakan jilbab berwarna merah muda, senanda dengan kebaya cantik yang ia kenakan. Ia melenggang keluar rumah dan hendak berangkat pergi ke pesta itu.Tapi, ia terkejut ketika melihat ke halaman rumah, sudah ada dua mobil parkir dengan cantik di sana."Aku datang lebih dulu, jadi mari kita pergi bersama, Rima!" ucap Alan membawa langkahnya lebih dekat, ia begitu tampan dengan batik yang dikenakan. Rapi dan gagah."Aku memang terlambat, tapi aku datang dari Jakarta dan dari s
Alan menahan Galih untuk pulang selepas sang adik mengeluarkan mobilnya dari garasi rumah Rima."Jauhi, Rima!"Galih tersenyum kecut, ia membuang wajah dan merasa lucu dengan pernyataan kakaknya itu. "Kamu tidak pernah sadar diri!""Kamu tidak malu mendekati kakak iparmu?""Tidak ada alasan aku menjauh darinya. Seharusnya sejak awal kamu sadar, bila hubungan kalian sudah oleh sebuah kesalahan!""Kamu masih membenciku karena masalah itu?" tanya Alan menelisik."Kamu pikir aku akan berhenti membencimu?""Kamu terlalu naif, Galih!""Saat ini aku semakin benci melihat caramu memperlakukan Rima. Kamu seolah sedang mencintainya.""Memang seperti itu kenyata
Semenjak hari itu, hubungan mereka kembali merenggang. Rima memblokir kontak dua kakak beradik itu, ia menutup semua akses komunikasi. Meski begitu Galih yang kini tugas di Bandung, rutin mengunjungi yayasan untuk sekadar melihat kondisi anak-anak, memeriksa mereka yang sakit."Makasih, Mas. Anak-anak senang juga sama pak dokter.""Sama-sama, Nia," ucap Galih seraya merapikan alat-alatnya. Hari ini ia memeriksa beberapa anak yang sakit di sini."Sebetulnya saya sedih melihat Mas Galih dengan Mba Rima seperti sekarang ini." Meski Rima tidak banyak bercerita, tapi sedikit banyak ia bisa membaca situasi yang tak lagi sama seperti beberapa saat yang lalu."Tidak apa-apa, setiap waktu kita itu berproses, mungkin saat ini fase ku masuk ke dalam tahap untuk memperbaiki sesuatu.""Mba Rima orang baik, di
"Selamat!" Rima membalikkan badan, kemudian memberikan senyum tipis. Sementara Galih masih terpaku, menatapnya dengan sendu, tiga bulan ini memang banyak yang ajaib dalam hidupnya, bahkan keputusan untuk menikah batu saja diambil dua Minggu yang lalu. Sebuah keputusan yang berat, juga kesadaran bila dirinya dan Rima bukanlah jodoh."Aku tidak akan mengundangmu, jadi kamu tidak perlu datang," ucap Galih.Rima menganggguk. "Baik, aku tidak akan datang.""Aku bukan membencimu, aku hanya takut saja. Tidak perlu dijelaskan, kamu tentunya paham. Aku berusaha meraihmu, tapi tidak tergapai."Rima diam, wajahnya sudah berubah, ia tak lagi menunjukkan permusuhan. "Untuk hari baikmu, kamu tak perlu membicarakan perasaan di masa lalu. Semua sudah selesai dan kamu fokus menyongsong masa depan."Galih mengangguk setuju, meski terlihat sekali wajahnya lain dan sedih. "Mas Galih!" panggil seseorang. Rima membalikkan badan, terlihat wanita muda dengan jilbab merah melambaikan tangan, ia tidak sendiri
Alan membawa langkahnya lebih dekat, wajahnya terlihat cemas sekaligus lega melihat anak laki-laki itu. Kemudian setelahnya ia mengambil Gading dalam dekapan Rima. "Tidak menyangka bertemu di sini, maaf eskrimnya mengotori pakaianmu!" ucap Alan. "Tidak apa-apa, Mas!" Kembali bertemu seorang Rima setelah hampir tiga tahun adalah sebuah kejutan yang tidak pernah ia sangka. Tiga tahun yang lalu ia berhenti menggapai, berhenti memperjuangkan, tapi tak pernah berhenti mencintai. Hingga ada pada satu waktu, rindu tak lagi menyakitkan dan berjalan menjadi biasa. "Tidak menyangka bertemu di sini," ucap Alan. Rima mengangguk dengan senyumnya yang masih khas. "Ini anakmu?" Alan terdiam sejenak, anak kecil itu terlihat nyaman dalam pangkuan. "Iya." "Tampan sekali!" jawab Rima tulus seraya mengelus rambut Gading lembut. Tak berapa lama setelahnya, seorang wanita mendekat, rambutnya panjang dan tinggi semampai. Ia menyapa Alan. "Maaf, Mas! Aku telat, ya!" Nia langsung melihat ke arah Rima,