Alan menahan Galih untuk pulang selepas sang adik mengeluarkan mobilnya dari garasi rumah Rima."Jauhi, Rima!"Galih tersenyum kecut, ia membuang wajah dan merasa lucu dengan pernyataan kakaknya itu. "Kamu tidak pernah sadar diri!""Kamu tidak malu mendekati kakak iparmu?""Tidak ada alasan aku menjauh darinya. Seharusnya sejak awal kamu sadar, bila hubungan kalian sudah oleh sebuah kesalahan!""Kamu masih membenciku karena masalah itu?" tanya Alan menelisik."Kamu pikir aku akan berhenti membencimu?""Kamu terlalu naif, Galih!""Saat ini aku semakin benci melihat caramu memperlakukan Rima. Kamu seolah sedang mencintainya.""Memang seperti itu kenyata
Semenjak hari itu, hubungan mereka kembali merenggang. Rima memblokir kontak dua kakak beradik itu, ia menutup semua akses komunikasi. Meski begitu Galih yang kini tugas di Bandung, rutin mengunjungi yayasan untuk sekadar melihat kondisi anak-anak, memeriksa mereka yang sakit."Makasih, Mas. Anak-anak senang juga sama pak dokter.""Sama-sama, Nia," ucap Galih seraya merapikan alat-alatnya. Hari ini ia memeriksa beberapa anak yang sakit di sini."Sebetulnya saya sedih melihat Mas Galih dengan Mba Rima seperti sekarang ini." Meski Rima tidak banyak bercerita, tapi sedikit banyak ia bisa membaca situasi yang tak lagi sama seperti beberapa saat yang lalu."Tidak apa-apa, setiap waktu kita itu berproses, mungkin saat ini fase ku masuk ke dalam tahap untuk memperbaiki sesuatu.""Mba Rima orang baik, di
"Selamat!" Rima membalikkan badan, kemudian memberikan senyum tipis. Sementara Galih masih terpaku, menatapnya dengan sendu, tiga bulan ini memang banyak yang ajaib dalam hidupnya, bahkan keputusan untuk menikah batu saja diambil dua Minggu yang lalu. Sebuah keputusan yang berat, juga kesadaran bila dirinya dan Rima bukanlah jodoh."Aku tidak akan mengundangmu, jadi kamu tidak perlu datang," ucap Galih.Rima menganggguk. "Baik, aku tidak akan datang.""Aku bukan membencimu, aku hanya takut saja. Tidak perlu dijelaskan, kamu tentunya paham. Aku berusaha meraihmu, tapi tidak tergapai."Rima diam, wajahnya sudah berubah, ia tak lagi menunjukkan permusuhan. "Untuk hari baikmu, kamu tak perlu membicarakan perasaan di masa lalu. Semua sudah selesai dan kamu fokus menyongsong masa depan."Galih mengangguk setuju, meski terlihat sekali wajahnya lain dan sedih. "Mas Galih!" panggil seseorang. Rima membalikkan badan, terlihat wanita muda dengan jilbab merah melambaikan tangan, ia tidak sendiri
Alan membawa langkahnya lebih dekat, wajahnya terlihat cemas sekaligus lega melihat anak laki-laki itu. Kemudian setelahnya ia mengambil Gading dalam dekapan Rima. "Tidak menyangka bertemu di sini, maaf eskrimnya mengotori pakaianmu!" ucap Alan. "Tidak apa-apa, Mas!" Kembali bertemu seorang Rima setelah hampir tiga tahun adalah sebuah kejutan yang tidak pernah ia sangka. Tiga tahun yang lalu ia berhenti menggapai, berhenti memperjuangkan, tapi tak pernah berhenti mencintai. Hingga ada pada satu waktu, rindu tak lagi menyakitkan dan berjalan menjadi biasa. "Tidak menyangka bertemu di sini," ucap Alan. Rima mengangguk dengan senyumnya yang masih khas. "Ini anakmu?" Alan terdiam sejenak, anak kecil itu terlihat nyaman dalam pangkuan. "Iya." "Tampan sekali!" jawab Rima tulus seraya mengelus rambut Gading lembut. Tak berapa lama setelahnya, seorang wanita mendekat, rambutnya panjang dan tinggi semampai. Ia menyapa Alan. "Maaf, Mas! Aku telat, ya!" Nia langsung melihat ke arah Rima,
Suara itu milik Galih, Rima tahu betul. Namun, ia masih menahan diri untuk tidak melihat ke sumber suara. Perasaan bercampur aduk, tiba-tiba yang paling terasa adalah rasa takut."Rima!" Suara itu sekarang terdengar semakin dekat, tepat ada di belakangnya. Mau tidak mau kini ia menoleh, Galih sedang tersenyum di atas kursi rodanya."Kamu datang ke sini untuk menjengukku?" pertanyaan Galih seketika tidak bisa membuatnya berkelit."A ... aku menengok rekan kerjaku."Galih mengangguk sambil tersenyum, ia tahu Rima sedang tidak jujur. Tak berapa lama Syahra dan Alan menghampiri. Gading nampak nyaman di pangkuan Syahra, ia memainkan rambut panjang itu."Hai, Rima! Senang bertemu di sini," ucap Syahra.Rima berusaha tersenyum dan terlihat canggung. "Hai ... ia kebetulan sekali.""Sedang ada urusan di Jogja?" tanya Syahra.Rima menganggguk. "Ada rapat kerja.""Mau digendong Tante Rima?" ucap Syahra pada Gading yang tidak lepas pandangan menatap Rima."Hai ganteng. Lucu sekali. Berapa tahun
"Mohon maaf sudah membawamu masuk terlalu jauh dalam kehidupanku, Mas. Kamu itu malaikat yang dikirim Tuhan untukku di saat ku pikir bila hidupku sudah usai tiga tahun yang lalu," ucap Larissa yang kini sudah bisa berkomunikasi, bahkan ia duduk bersandar dan menerima jeruk yang Galih kupaskan.Sementaranya Galih terdiam, ia tak ingin sampai salah bicara."Bahkan keluarga ku pun saat ini membencimu atas kesalahpahaman yang aku ciptakan, Mas! Sekali lagi maafkan aku.""Saat ini bukan waktu yang tepat untuk membahas masa lalu, kamu harus fokus untuk sembuh, pulih. Gading merindukan, juga membutuhkanmu."Larissa menunduk, ada pilu di hatinya. Semenjak tiga tahun yang lalu, ia memakai topeng yang tak pernah ia lepaskan sekalipun. Bahkan ketika pertemuan pertama dengan Rima, ia tersenyum lebar, menceritakan tentang Galih yang menceritakan Rima. Kenyataannya, ia dan Galih tak pernah benar-benar berbicara dengan begitu hangat dan akrab.Atas segala yang sudah terjadi, bahkan selama terbaring
"Aku datang ke sini hanya sebagai saudara, sahabat dan teman. Bukan ingin tahu tentang kehidupan pribadi kalian. Jadi jangan bawa-bawa aku dalam setiap keputusan yang kalian ambil." Rima terlihat masih tidak terima."Jangan salah paham, Mba. Aku hanya ingin bercerita sedikit tentang aku dan Mas Galih."Rima diam, sebetulnya ia tak ingin mendengarkan, tapi tidak mungkin juga begitu saja pergi dan meninggalkan Larissa yang masih bercerita."Tiga tahun lalu, aku adalah pasien Mas Galih. Saat itu aku sedang ada di fase yang begitu berat, sebagai orang yang terkenal sangat agamis, aku kecelakaan dan hamil. Sosok yang menghamiliku pun dikenal orang yang sangat alim, ia anak dari pemilik pesantren. Aku putus asa, aku takut, dan akhirnya aku memutuskan untuk menyelesaikan hidupku, hingga kemudian Mas Galih menjadi malaikat penolong saat itu. Jadi Gading bukanlah anak dari Mas Galih."Rima terdiam sejenak, ia menghela napas panjang dan mengatur semua isi hatinya yang berkabut. "Itu berarti mem
"Tak perlu buru-buru, aku akan memberimu waktu, tiga hari!"Rima masih tak bisa berkata-kata. "Aku tahu, kamu pasti tidak akan memutuskan semuanya sendiri, ada Allah dan orang tua yang akan kamu libatkan!"Rima tersenyum. "Terimakasih sudah mengerti.""Aku rasa saat ini kita semakin cocok," timpal Galih."Kenapa?" Rima mengernyitkan dahi."Aku duda, kamu janda!"Keduanya tertawa, kemudian makanan mereka datang. "Sudah lama aku tidak makan ini!" ucap Galih sambil menyendokkan makanan tersebut dengan lahap."Makanlah yang banyak, aku akan mentraktirmu," jawab Rima."Tidak! Aku yang akan mentraktirmu sepuasnya, syukuran aku kembali berdinas di rumah sakit!""Baiklah kalau kamu memaksa!" balas Rima."Tidak memaksa juga, sih! Setelah ku pikir gajian bulan ini terpotong banyak karena dipakai setoran rumah.""Dih ... laki-laki itu yang dipegang ucapannya," jawab Rima.Galih tertawa. "Aku bercanda, makanlah sepuasnya! Aku yang traktir.""Siap! Kamu tahu aku sangat suka makan, apalagi akhir-