Galih ikuti langkah istrinya yang kini duduk di ranjang. Ia pegang pundak Rima lembut dan duduk di sampingnya."Jangan ngambek!"Rima membalikkan tubuhnya, melihat Galih sesaat, kemudian tersenyum. "Aku tidak marah, aku hanya sedang menggodamu saja!"Galih membuang napas kasar. "Aku tidak suka kamu menggodanya seperti itu.""Iya, maaf pak dokter!""Ya sudah, ayo! Sekarang saja."Rima diam, ia sedikit mengigit bibir bawahnya. "Barusan aku cek dan sedang haid."Galih menelan ludah tanda kecewa. "Aku puasa satu Minggu?"Rima mengangguk pelan.Helaan napas dari Galih kembali terdengar. "Oke, baiklah! Aku akan menahan diri sampai satu minggu ke depan, sekarang habiskan dulu makananmu, aku tidak ingin kamu sakit!""Yuk!" Rima mengulurkan tangannya dan mereka berdua kembali menikmati makanannya.Hari setelah hari ini tidak menjanjikan sesuatu berjalan dengan baik-baik saja. Banyak hal yang akan berganti, bahagia tidak akan selamanya, begitu juga sakit. ****..Dua bulan pertama pernikahan
"Aku harus mendapat tindakan, ya?" tanya Rima ketika menerima hasil yang Galih bawa."Hanya tindakan kecil, setelah itu gak apa-apa, kita bisa mulai programa hamil. Kita akan berbulan madu ke tempat yang kamu inginkan," ucap Galih."Kata orang, kalau punya kista suka susah hamil.""Kamu kan punya dua tangan untuk menutup telingamu, jadi dengarkan aku saja, jangan yang lain."Rima mengerucutkan bibir sambil memegang kertas, ada sejumput rasa khawatir, mengingat usianya pun tak lagi muda, sudah 30 tahun lebih. Galih mendekat, merasakan ketidaksenangan istrinya, ia peluk Rima dengan hangat dan membesarkan hatinya."Jangan takut dan khawatir, percayalah semua akan baik-baik saja."Rima membalas pelukannya, setelah berkali-kali mereka batal untuk menikmati waktu berduaan, dua hari ke depan Galih mengambil cuti. Mereka memilih untuk menghabiskan waktu berdua di rumah."Mau tidur di hotel?""Tidak usah, di rumah saja. Aku tidak ada mood pergi kemana-mana, di sini saja sudah nyaman."Galih me
Rima terdiam dan menatap Galih dengan nanar. Sejenak hening mengisi ruangan inI. Jantung Rima berdegup kencang dengan irama yang tidak menentu, ia seperti bisa membaca situasi yang terjadi. Disingkap pakaian yang ia kenakan, kemudian ia lihat bekas luka jahitan yang terlihat mengering."Apa sudah tidak ada rahimku di sana?" ucap Rima menunjuk perutnya.Galih membuang napas kasar, ia membawa langkahnya mendekat pada sang istri. Meski pijakan kakinya seperti sedang tak menapak."Jawab Galih!" Teriak Rima ketika suaminya hendak meraih tangannya. Tak terasa derai tangis turun. "Kita akan bahagia tanpa anak, Rima!"Tersentak Rima, ini adalah kehancuran kesekian kali yang akhirnya harus ia dengar dan ia rasakan. Bahkan selama 31 tahun hidupnya, ia sama sekali belum pernah merasakan kehamilan, tapi ternyata takdir berkehendak bila bagian penting bagi seorang wanita harus terangkat.Setelah itu ia jatuh terkulai, menangis sejadi-jadinya. Menerima takdir adalah hal yang tak mudah.Galih memel
Galih memegang tangan sang istri. "Kalau memang kita ditakdirkan untuk tidak memiliki keturunan di dunia, pasti Allah menjanjikan nikmat di surga. Pernikahan kita untuk berjalan ke sana buka? Jangan khawatir tentang semua yang sifatnya sudah menjadi hal preogratif Allah. Kita bisa menjadi orang tua untuk seribu anak.Rima terdiam, ia menghela napas panjang. Matanya kini mulai menghangat, tentang anak ini memang seringkali membuatnya khawatir dan cemas, terkadang ia takut bila akan tua sendirian, ia takut pada hal yang sebetulnya belum terjadi."Aku merasa tidak berguna, beberapa waktu ini pikiranku kacau, semua ini sangat sulit.""Kita bisa melewati ini, Rima. Kita akan tetap bahagia. Jadikan Allah sebagai pusat bertumpu dalam segala hal, maka lambat laun semua kecemasan akan hilang."Rima menundukkan wajah, tangannya berpegang erat pada Galih. Satu tetes air mata turun."Dengan segala ujian ini, kamu adalah makhluk spesial yang dipilihNya," ucap Galih lagi.Istrinya itu mengangguk pe
Selepas berdoa, Rima dan Galih beranjak dari tempat peristirahatan terakhir Gayatri. Keduanya memutuskan untuk singgah sejenak di kota ini dan menyewa sebuah penginapan sambil menikmati indahnya kebun teh di akhir pekan."Syahra memberi kabar padamu?" tanya Galih ketika keduanya berapa dalam perjalanan menuju hotel.Rima menganggukkan kepalanya dan melihat ke arah Galih. "Memangnya ada apa?""Tidak! Kemarin aku melihat statusnya hitam gitu, ku pikir sedang ada masalah dan siapa tahu kalian saling bertukar kabar.""Syahra tidak pernah bercerita apa pun, dia itu orang yang paling menutupi semua bentuk masalah. Sholehah banget sih, sebagaimana kekurangan suami, dia gak akan mengumbar apa pun itu yang sifatnya buruk."Galih mengangguk setuju dengan yang diucapkan Rima. Kenyataannya Syahra memang seperti itu. Sepanjang perjalanan menuju penginapan disuguhi pemandangan indah, hamparan luas kebun teh yang hijau, sejauh mata memandang membuat kesejukan yang tidak terkira, menyusup sampai ke
"Ayo, Dok! Satu suap saja!" ujar dokter muda bernama Hani."Tidak, biar saya makan sendiri saja!" jawab Galih."Ayolah, Dok! Semua sudah, tinggal dokter saja, nih!" ucap Hani mendekatkan tangan yang sedang memegang sepotong kue ke mulut Galih."Saya menganggap semua yang ada di sini itu keluarga, apalagi aku hidup sendirian semenjak kecil, jadi momen ini aku ingin merasakan kehangatan keluarga, aku suapi, ya!" ucap Hani. Sosoknya memang ceria dan dekat dengan siapapun, ia mudah bergaul dan mengambil hati banyak orang, termasuk semua yang saat ini ada di sini, hanya Galih yang bersikap biasa saja, ia memang dikenal sedikit tertutup dan membatasi diri."Sekali saja ya, dok!" Hani merajuk, merasa tidak enak dan tidak tega, Galih pun akhirnya menerima suapan itu dengan perasaan berdosa pada Rima. Hingga akhirnya, pintu terbuka tepat ketika Hani menyuapinya.Seketika ruangan hening melihat kedatangan Rima, begitu juga Galih yang langsung salah tingkah, ia takut bila istrinya akan berpikir
Galih menemani setiap masa tersulit Rima, begitu juga dengan Rima. Pernikahan mereka saat ini sudah memasuki usia sepuluh tahun, tidak terasa. Banyak hal yang sudah dilewati dengan baik."Selamat hari pernikahan yang ke sepuluh!" Rima memeluk Galih dari belakang, suaminya itu sedang bersiap menuju rumah sakit. Galih membalikkan badan, ia kecup kening Rima dengan penuh cinta, semuanya masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah. "Semoga kita bisa lebih panjang lagi menikmati waktu berdua!""Tidak hanya berdua, aku ingin bertiga atau berempat," ucap Rima.Galih terdiam, ia tahu maksud istrinya, tapi kemudian dipatahkan oleh kenyataan pahit sebuah takdir yang tidak bisa diubah."Aku tetap bisa menjadi ibu meski tidak melahirkan, iya kan?" ucap Rima.Suaminya itu mengangguk pelan. "Kamu mau kita mengadopsi anak?""Iya! Kamu gimana?" tanya Rima."Aku ikut semua hal yang membuat kamu bahagia!""Tapi kamu happy?""Tentu."Rima tersenyum, ia sudah menimang semuanya beberapa waktu ini, tida
KETIKA ISTRIKU BERUBAHAlan meletakkan handuk yang baru saja dipakainya dengan sembarang, tapi Rima hanya diam seraya mengambil handuk itu. Tak seperti biasanya yang mengoceh panjang seperti kereta api."Aku tidak akan sarapan di rumah," ucap Alan. Rima hanya mengangguk tanpa sepatah kata.Lagi ... Alan termangu. Biasanya satu kata itu berhasil menciptakan sebuah drama panjang dengan tangisan."Kenapa gak mau makan? Masakanku gak enak? Iya aku memang tak pintar masak, aku gak becus jadi istri," celoteh Rima panjang sambil berkaca-kaca yang pada akhirnya Alan pun mencicipi makanannya.Tapi kali ini, Rima diam. Istri yang ia nikahi selama tiga tahun itu melenggang keluar kamar sendirian dan menikmati nasi gorengnya yang asin pun sendirian. Alan memperhatikan dari jauh, tapi tak berani bertanya apa pun.Sud