Lewat tengah hari jalan raya begitu panas menyengat ketika Zubaidah pulang mengajar mengendarai metik hitam kesukaannya. Helm dan sarung tangan yang dikenakan seolah tak mampu melindunginya dari rasa yang menyengat.
Hiruk-pikuk pengendara lain yang tidak sabar memainkan klakson memekakkan telinga. Zubaidah mengeluh dalam hati. Andai saja dirinya bisa meminta suami menjemput seperti pasangan lain, pasti jalanan panas ini tak akan terasa menyiksa.
“Bu, jangan melamun di jalanan bahaya!”
Zubaidah tergagap mendengar pengendara di sampingnya berteriak mengimbangi deru suara banyak kendaraan. Postur jangkung dengan motor besar dan helm yang menutupi sebagian wajah masih bisa dengan jelas dikenali.
“Ayo jalan!” Lelaki itu kembali berteriak.
Pak Ali seperti sengaja mendampingi Zubaidah. Sebelum melajukan kendaraannya tatapan khawatir sempat tertangka
Ahad pagi Zubaidah sudah rapi dan wangi dengan riasan tipis di wajahnya. Hari ini memang hari libur tapi baginya ini adalah awal dirinya harus bekerja keras. Suaminya akan datang nanti malam untuk mengawali pekan gilirannya.Mengenakan pakaian santai wanita menginjak empat puluh tahun itu mengunjungi salon langganan untuk melakukan perawatan rutin. Kegiatan yang baru dilakoninya setelah beberapa waktu menjadi seorang istri. Kesadaran bahwa perawatan diri sangat penting bagi seorang wanita terlebih dirinya yang harus bersaing mendapatkan tempat di hati suami dengan Sang Madu.“Silakan Bu, diisi dulu paket perawatan yang mau diambil kali in,” kata seorang wanita cantik dengan senyum ramah.Zubaidah hanya membalas senyum sambil menerima selembar kertas lalu mengambil pena untuk menyoretkan beberapa hal. Matanya focus pada apa yang ada di tangannya menghiraukan lalu-lalang pengunjung lain. Rata-rata mereka bersam
Rumah yang rapi, makan malam lezat dan camilan favorite suami sudah tersedia juga tubuh wangi dengan riasan wajah tipis yang mempesona. Rasanya lengkap sudah persiapan menyambut suami tercinta hari ini.Teringat saat konsultasi siang tadi dokter memberikan motivasi yang menjadikannya semangat memulai perjuangan panjang untuk mendapatkan seorang buah hati.“Ibu sehat dan bugar meski telah berusia menginjak rawan untuk mengandung tapi peralatan medis juga sudah canggih sekarang.Ibu tidak perlu khawatir, karena kami akan selalu membantu memberikan pelayanan terbaik yang kami miliki. Tugas ibu adalah berusaha bahagia dan berdoa agar diberikan yang terbaik oleh Allah.”*Tak sadar Zubaidah justru meneteskan air mata. Sedikit ketakutan hadir dalam hati. Bagaimana jika suaminya tak ingin dia hamil? Bagaimana jika usaha kerasnya nanti tak membuahkan hasil? Berbagai kemungkinan melintas membuatnya semakin khawatir.
Allah memang Maha Baik. Tidak perlu melakukan program hamil yang rumit apa lagi aneh-aneh, Zubaidah berhasil mengandung. Kebersamaannya kembali dengan suami setelah masalah Sarah selesai membuatnya cepat hamil.“Pada dasarnya Ibu Zubaidah memang tidak bermasalah sama sekali selain usianya,” kata Dokter Irma menjelaskan.Zubaidah mengangguk dengan senyum tak lepas dari bibir. Tangannya bergelayut mesra pada Fadhil yang kali ini ikut mendampingi. Perasaannya membuncah dan merasa menjadi wanita paling bahagia sedunia. Hamil dan bersama suami tercinta mengkonsultasikan berbagai hal tentang calon buah hati, sungguh sesuatu. Dirinya merasa begitu sempurna.“A-anu, Dok. Soal usianya tidak masalah kan untuk anak kami?” tanya Fadhil ragu.“In Sya Allah tidak, Pak. Kita jaga sama-sama, ya … jadilah suami siaga.”“Suami siaga?” tanya Fadhil sam
Mendung bergelayut di ufuk barat. Beberapa hari ini selalu saja turun hujan di sore hari hingga malam bahkan kadang sampai pagi. Niat Fadhil ingin jalan sore-sore untuk menghibur istrinya urung dilakukan. Terlihat Zubaidah asyik di depan TV sambil memeluk bantal kotak untuk menghangatkan diri.“Sini peluk abang saja,” kata Fadhil sambil meraih tubuh istrinya dalam pelukan.Zubaidah hanya diam menurut apa pun perlakuan suaminya tanpa protes meski hatinya sedikit enggan tapi tubuhnya bereaksi berbeda. Pelukan Fadhil sungguh membuatnya nyaman.“Kau ingin tahu apa yang kupikirkan?” Zubaidah mengangguk.Fadhil terdiam memilah kata yang tepat untuk mengutarakan keresahan hatinya sementara Zubaidah masih menunggu sambil menatap suaminya lekat. Pandangan mereka terkunci. Gejolak lelaki tiba-tiba timbul melihat bibir Sang Istri yang setengah terbuka. Namun menyadari gestur tubuh
*Fadhilah Sambodho*Mengedar pandang ke seluruh ruang hatiku merasa hangat. Mainan berserak, anak-anak berlarian juga suara siaran TV yang bicara sendiri tanpa ada yang menonton. Begitu pun denting perabotan di dapur sana. Sepertinya wanita yang membuat rumah ini tampak hidup sedang memasak.“Ayah!” pekik Syamil menyadarkanku.Aku tersenyum menyambut uluran tangan anak keduaku bersama Sarah dan disusul Si Sulung Rayyan. Syamil dan Rayyan selisih usia enam tahun. Melihat mereka rasa bersalahku kembali bangkit. Untung saja Sarah pandai mendidik anak hingga sikap cuek ayahnya ini tak membuat mereka membalas dengan acuh pula.“Bunda mana, Ray?” tanyaku untuk mencoba membuka obrolan.Sulungku ini memang sangat pendiam tapi kasih sayangnya pada Sang Bunda sangat besar. Baru kusadari sikap diamnya sekarang makin menjadi setelah aku menikahi Zubaidah. Kalau tak sangat perlu tak
“Bang tolong angkatin cucian ke depan mau dijemur ya!”“Galon air belum kepasang, Bang!”“Kakiku pegal tadi berdiri terus di kelas, pijitin sebentar ya, Bang!”Rentetan permintaan tolong Zubaidah berdenging di kepala. Keadaan itu membuatku malas pulang kalau saja di kantor ada lemburan. Sayangnya semua pekerjaan telah selesai dan bulan-bulan awal tahun memang keadaan santai terkendali setelah target tahunan digeber kemarin.Kehamilan Zubaidah sebenarnya bukannya yang bermasalah tapi wanita itu terlalu banyak mendengarkan omongan dokter dan terlebih kurang kerjaan melahap banyak buku tentang kehamilan. Akibatnya terlalu banyak pantangan ibu hamil untuk tak melakukan sesuatu bahkan urusan pribadinya. Suami jadi tumbal pada akhirnya.“Sebal.” Tanpa sadar aku bersungut.“Kenapa?”Sej
Suasana kafe cukup ramai di sore hari yang cukup cerah setelah beberapa hari hujan terus saja turun. Februari adalah bulan basah di mana hari-hari lebih banyak hujan dan mungkin orang-orang lebih memilih bergelung dengan selimut dari pada keluyuran di luar rumah. Begitupun masih ada saja yang merasa rumah tak lagi memberikan kenyamanan maka inilah salah satu gunanya tempat nongkrong semacam kafe. Mengurai kepenatan.Aku menculik Anton yang kebetulan minta nebeng untuk pulang seperti biasa. Kami memang kerap saling bergantian nebeng kendaraan kalau sedang cape menyetir atau mobil kami bermasalah. Bahkan dulu saat ekonomi kami belum stabil kami saling bergantian bawa kendaraan untuk menghemat.Masa-masa itu tak boleh rusak saat ini hanya karena masalah keluarga. Anton paling memahamiku jadi aku memilih jujur padanya. Karena itulah kami ada di sini. Pria menyebalkan itu pasti selalu punya cara membantuku meski ledekannya nanti bisa bikin panas
Aku mendengarkan music melalui hadset yang kusumpalkan di telinga. Wajah memerah Zubaidah dan gerak bibirnya kuhiraukan. Setidaknya pertemuanku dengan Anton mulai kucoba terapkan di sini. Rumah istri keduaku. Sejujurnya aku tak tahan mendengar kritikan Anton kemarin. Yah meski sudah kularang ceramah toh aku mendengarkan juga setiap yang dia sampaikan.“Kita tak boleh sombong sebagai lelaki hanya kerana menafkahi mereka apa lagi kalau itu bahkan tidak cukup dan membuat mereka juga harus membantu banting tulang. Seharusnya kita malu karena nafkah lahir batin itu tak sesederhana pikiran kebanyakan lelaki.” Begitu cerocosnya yang menyentil hatiku terdalam.“Nafkah itu bukan titipan uangmu untuk belanja harian termasuk bayar cicilan, Bro, tapi uang yang kau khususkan baginya.Lalu nafkah batin bukan soal kau yang mencari kenikmatan dari tubuhnya tapi soal ketenangannya dalam kecukupan biologis juga tak adanya kekhawatiran
Fadhil nanar menatap sekumpulan keluarga besar yang sedang tertawa bahagia di taman sebuah rumah yang telah disulap menjadi aula pesta kebun yang semarak. Semesta seakan merestui hari bahagia itu dengan cuaca cerah langit memamerkan gemerlap bintang bermunculan ketika hari telah beranjak semakin malam. “Seharusnya aku yang ada di sana,” gumamnya sambil tak lepas memandang seorang wanita cantic yang bergelayut manja pada seorang pria tampan berkulit putih dengan anak perempuan mungil dalam gendongan. Itu adalah hari bahagia Sarah pada acara resepsi pernikahannya bersama Dokter Wan. “Sudahlah, Bang tak usah dilihat terus! Apa, Abang tak sadar itu sudah jadi masa lalu? Sekarang lihat kenyataan bahwa Sarah sudah bahagia dan kita juga harus melanjutkan hidup berusaha bahagia dengan keadaan yang ada,” kata Zubaidah sambil menggoyangkan lengan sang suami untuk menyadarkannya. SETAHUN YANG LALU Pada hari Zubaidah melahirkan seorang putra, Sarah sang madu juga tersadar dari baby blues ya
Laras berlari cepat ke parkiran rumah sakit di mana Sarah dirawat. Ketika Dokter Wan mengabarkan bahwa Zubaidah melahirkan di rumah sakit yang sama, dirinya segera menghubungi sang suami. Anton sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit membawa bayi Putri dan neneknya juga Bibi sebagai pengasuh. Mereka harus segera dihentikan agar jangan sampai bertemu Fadhil ataupun Zubaidah yang mungkin saja keluar ruang rawat menjenguk bayinya yang konon dirawat khusus di NICU karena lahir premature.“Ayo dong, Bi … angkat,” gumam Laras sambil terus menekan-nekan keypad gawainya lalu menempelkan ke telinga.Karena panggilan terus saja gagal wanita berjilbab panjang itu berinisiatif menunggu di loby. Benar saja tak berapa lama kendaraan dengan nomor polisi yang dikenalnya memasuki loby utama. Laras mengetuk kaca bagian pengemudi ketika mobil melambat. Jelas Anton jadi mengerutkan dahi melihat istrinya tampak panic.“Buka saja kuncinya biar aku masuk dulu.”Laras segera masuk ke jok tengah kendaraan
Zubaidah telah berbaring kembali di ranjang pasien dengan selimut yang kurapikan menutupi tubuhnya hingga ke dada. Meski matanya terpejam, aku tahu kalau dirinya sama sekali tidak tidur. Dia sepertinya masih marah karena kutinggalkan cukup lama hingga kehausan. Luka di perutnya masih basah hingga belum bisa bangun atau duduk apa lagi beranjak mengambil minum di meja samping temat tidur sendiri. Jaraknya cukup jauh dari jangkauan tangan.Alih-alih mencemaskan kemarahan istri, ingatanku justru kembali pada Laras di lorong rumah sakit tadi.“Siapa yang dia jenguk?” gumamku tanpa sadar.“Siapa, Bang?”Aku menoleh dan mendapati Zubaidah telah membuka matanya kembali. Tatapannya mengisyaratkan tanya. Mungkin dia telah menatapku dari tadi tetapi aku yang tidak menyadarinya karena asyik melamun. Aku bergerak dalam dudukku seolah mencari posisi yang baik tapi sebenarnya aku sedang memilah kata untuk kusampaikan padanya tentang hal-hal aneh yang kutemukan di rumah sakit ini. Wanita ini baru sa
Kebahagian ini rasanya ada yang kurang entah apa itu. Kelahiran bayi yang dilahirkan Zubaidah adalah hal istimewa karena sejak awal pernikahan tak pernah terpikir akan mendapatkan anak darinya. Perjalan hampir tiga tahun bersamanya aku lebih banyak merasa mendapat jekpot dalam hidup ini.Biaya hidup keluarga yang tak perlu kupikirkan sampai hadiah-hadiah special juga pelayanan istimewa yang kudapatkan dari istri keduaku ini sungguh membuatku senang. Keadaan yang jauh berbeda dari kehidupan pernikahanku bersama Sarah. Begitupun cintaku tetap lebih besar pada wanita mungil yang mendampingiku lebih dulu. Sampai akhirnya hadir Arjuna di Rahim Zubaidah. Semua seperti terbalik. Rasa ingin membalas kebaikan yang kudapatkan darinya membuatku membantunya untuk mendapatkan kebahagiaan juga. Agar dia juga merasa beruntung memilikiku maka selalu kubantu dia untuk menggapai apa yang diinginkannya sampai hal dia ingin lebih lama bersama atau lebih aku perioritaskan kehidupannya dari Sarah dan ana
Aku seorang dokter yang dituntut profesional menghadapi pasien bagaimanapun keadaannya. Hanya saja aku sungguh tak bisa mengendalikan diri jika menghadapi lelaki yang telah menyakiti hati seorang wanita.Yah, khusus wanita itu. Sarah.Datanya kusimpan secara khusus ketika hati ini tak bisa berhenti memikirkannya. Semula aku mengira mungkin ini karena rasa kasihan mengetahui dirinya yang telah disakiti seorang suami sedemian rupa.Namun rasa ini sungguh terlalu dalam.Wajah sayunya selalu membayang di pelupuk membuatku sulit memejamkan mata sebelum memastikan keadaannya.Apakah baik-baik saja? Apakah nyaman dalam menerima setiap tindakan medis juga perawatannya?Apakah obatnya sudah diminum?Apakah cukup menerima asupan? Juga apakah-apakah yang lain.Kekhawatiranku semakin bertambah sejak hari ini. Biang yang telah membuatnya sakit tengah berkeliaran di rumah sakit tempatnya dirawat. Istri lelaki yang sama sekali tak pantas disebut suami itu sedang melahirkan. Kandungan istimewa itu b
Kularikan mobil dengan kecepatan tinggi ke rumah sakit. Sebelumnya telah kuhubungi dokter Wan yang bertanggung jawab pada istriku sejak awal kehamilan. Aku sendiri tak berani asal masuk ke rumah sakit lain karena kondisi kehamilan Zubaidah yang cukup menghawatirkan. Dokter Wan lebih tahu kondisi pasien karena memiliki catatan medisnya sejak awal. “Bapak tunggu di luar saja biar Dokter focus bekerja! Bapak bantu doa saja,” kata perawat menahan langkahku memasuki ruang periksa. Perasaanku sangat kacau. Tak seperti kelahiran anak-anakku bersama Sarah yang bisa kuhadapi dengan tenang karena kondisi ibunya yang sehat dan normal juga bantuan keluarganya yang ikut siaga baik moril maupun materil. Sekarang aku bingung sendirian. “Pak Fadhil!” “Ya!” Entah mengapa aku seperti mendapatkan tatapan yang kurang menyenangkan dari semua orang di rumah sakit ini. Bahkan ketika aku sedang kesulitan seperti sekarang wanita berseragam putih-putih itu tetap bicara dengan nada tinggi seperti kesal. Ap
Ruangan minimalis yang tampak lebih luas karena sedikitnya perabot itu hening. Dua wanita dewasa berdarah sama masih saling diam dan masing-masing sibuk dengan ponsel di tangan. Sesekali sang kakak melirik adiknya yang masih acuh tak acuh setelah memuntahkan serentetan kata menusuk. Tak berapa lama istri Anton itu memasukkan ponsel ke dalam tas dan menoleh pada kakaknya. “Mas Anton sudah menjemput jadi aku mau pulang,” katanya sambil kembali sibuk dengan gendongan kangguru di dadanya. Ungkapan pamitnya sama sekali seperti sedang bicara pada diri sendiri. Hal itu jelas membuat perasaan Zubaidah gamang. Zubaidah bangkit dari duduk. Mulutnya membuka dan menutup seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tak ada satupun kata terucap hingga Laras sang adik mengayunkan langkah ke arah luar rumah. Ketika hendak mencapai pintu, langkah kakinya berhenti sejenak tanpa menoleh ke belakang. “Pikirkan dulu setiap langkahmu, Kak. Jangan sampai menyesal kelak,” katanya yang kemudian melanjutkan lan
“Laras!”Zubaidah bangkit dengan susah payah sambil memegangi bagian bawah perutnya yang membuncit. Wajahnya memerah karena marah.“Kau tidak bisa mengatur soal hidupku hanya karena berperan di pernikahan kami.Jodoh itu dari Allah!Takdir yang telah terjadi bahkan jika bukan peranmu tetap saja kami bersama karena jodoh!” katanya panjang lebar dengan intonasi tinggi.Sang adik buru-buru menepuk lembut punggung bayinya yang sempat terbangun karena kaget. Wajah imut yang kembali memejamkan mata melihat senyum ibunya itu kembali tenang dalam buaian mimpi indah. Senyumnya terbit membuat sang ibu ikut menarik ujung bibir. Sementara kakaknya yang sedang dikuasai emosi masih berdiri cemberut sambil mengatur napas yang sempat tersengal.Kini Laras menatapnya dengan pandangan miring.“Sepertinya Kakaku ini benar-benar dikuasai napsu syetan yang terkutuk.”“Kau ....”Laras buru-buru mengangkat tangan menghentikan ucapan Zubaidah.“Kalau Kakak benar, itu berarti Laras juga bebas berbuat semaunya
Akhir pekan adalah hari Zubaidah bersantai. Biasanya di waktu ini dirinya sedang berdua di depan TV dengan sepiring camilan. Bersama suami bercanda dan bermanja. Status istri telah disandangnya selama dua tahun. Tak disangka waktu berjalan dengan cepat dan kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh.Fadhil saat ini dalam jatah harinya Sarah. Meski dirinya tahu kakak madunya itu sedang tidak ada di rumah. Mungkin saja sekarang sang suami sedang menyusulnya ke rumah orang tua Sarah atau apapun, Zubaidah tidak ingin memikirkannya.Sesuai pesan sang suami.“ Sekarang jatah harinya Sarah jadi Abang harus adil. Diam-diamlah di rumah jangan pikirkan apapun biar dedek bayi sehat.Kalau nanti Abang lama, pekan depan Abang janji akan mengembalikan jatah harimu dari Sarah. Mengerti?” tanya Fadhil yang hanya dijawab dengan anggukan kepala.Begitulah sang suami berpesan saat mau berangkat.🍀Denting suara selot pagar mengalihkan perhatian Zubaidah dari layar di depannya. Nampak seorang wanit