“Alaska…” Suara Stella memanggil Alaska yang berlari-lari di halaman belakang rumah. Ya, Alaska begitu cerdas. Saat mendengar suara Stella, Alaska langsung berlari ke arah Stella. Mengedus-endus kali Stella. Membuat Stella mengulum senyumannya dengan tingkah menggemaskan Alaska.Penjaga Alaska yang melihat Stella datang segera menghampiri dan menundukan kepalanya dengan sopan. “Nyonya.”“Apa Alaska sudah makan dan minum vitaminnya?” tanya Stella pada penjaga itu. Tangannya terus mengusap-ngusap kepala Alaska.“Sudah, Nyonya,” jawab sang penjaga.Stella menganggukan kepalanya. Namun, saat Stella tengah mengusap-usap kepala Alaska tiba-tiba Alaska berlari ke arah kanan. Reflek Stella langsung mengalihkan pandangannya ke arah Alaska berlari—seketika senyum di bibir Stella merengah. Dia sudah menduga akan hal ini. Di sana ada Sean yang baru saja memasuki taman belakang. Aroma Sean tentu saja Alaska sudah sangat hafal. “Tuan.” Sang penjaga langsung menundukan kepalanya kala Sean mendekat
Stella menatap gaun yang baru saja diantar oleh Diandra. Gaun yang berwarna hitam bermotif brokat terlihat sangat anggun dan berkelas. Model atas one shoulder, membuat Stella benar-benar mengagumi gaun yang ada di hadapannya ini. Hari ini Stella akan menemani Sean yang akan telah mengadakan makan malam bersama dengan rekan bisnis suaminya itu. Terkadang Stella sering merenung, dirinya persis seperti seorang Cinderella yang telah menemukan pangerannya. Nyatanya, kehidupan yang dulu dia alami telah berubah seratus delapan puluh derajat. Namun, meski demikian Stella tidak pernah sedikit pun merubah sifatnya. Stella tetaplah Stella yang dulu. Bahkan sekarang, Stella pun banyak menyumbangkan uang ke banyak panti asuhan di Indonesia. Bukan hanya panti asuhannya sendiri. Termasuk Stella turut membantu Yayasan kanker yang memang membutuhkan dana besar.Kini Stella mulai merias wajahnya dengan make up yang sedikit tebal namun tidak berlebihan. Setelah selai, Stella langsung mengganti pakaianny
Chery merasakan kepalanya begitu berat. Rasa sakit menyerang. Membuat Chery yang baru saja membuka kedua kelopak matanya langsung mengerjap dan memijat pelan pelipisnya. Sesaat kala kesadaran Chery mulai pulih, dia terkejut mendapati dirinya berada di sebuah kamar hotel yang megah. Mata Chery melebar. Wajahnya pucat ketakutan. Chery mengedarkan pandangannya, melihat ke sekelilingnya—di dalam kamar megah itu Chery hanya seorang diri. Membuat Chery semakin ketakutan. Chery berusaha mengingat kenapa dirinya bisa ada di kamar itu. Namun, tiba-tiba sesuatu muncul dalam benaknya. Ya, raut wajah Chery kian memucat. Ingatannya semua mengingat ada seseorang yang membekanya hingga membuatnya pingsan. Tapi kenapa sekarang dia berada di kamar hotel ini?“Ya, Tuhan. Bagaimana ini.” Chery cemas dan panik. Dia berusaha mencari ponselnya, sayangnya Chery tidak menemukan keberadaan ponselnya. “Di mana ponselku?” gumamnya dengan nada yang semakin cemas.Ceklek.Suara pintu terbuka. Chery langsung menga
BUGHSean melayangkan pukulan keras di pelipis Ken hingga membuat Ken nyaris tersungkur. Namun, Ken masih mampu untuk berdiri. Ken melangkah mundur menjaga keseimbangan tubuhnya. Ya, Ken hanya menghapus darah yang keluar dari sudut bibirnya. Ken tidak sedikit pun membalas pukulan Sean. Ken mengakui kesalahannya. Jika Ken membalas pukulan Sean maka yang terjadi hanya perkelahian. Itu kenapa Ken memilih mengalah.“Di mana letakmu, Ken!” teriak Sean begitu menggelegar.Ken mengembuskan napas kasar. “Aku tahu ini kesalahanku. Maaf, membuat kekacauan ini. Aku terpaksa melakukan ini semua karena Chery selalu menolak jika bertemu denganku.”“Chery menolak bertemu denganmu atau kau tidak bisa melihat Chery dengan pria lain?” seru Sean meninggikan suaranya. Nada bicaranya begitu tegas dan menusuk.Ken kembali mengembuskan napas kasar. “Fine. Aku mengakui ucapanmu juga benar tapi apa yang aku katakan tidak bohong. Aku memang kesulitan bicara dengan Chery. Itu kenapa aku menculiknya. Jika saja a
“Nyonya, ini sudah malam tidak baik Nyonya menunggu di sini, Nyonya. Nanti Tuan Sean pasti akan segera pulang,” kata pelayan mengingatkan Stella untuk tidak menunggu di depan rumah seperti ini. Cuaca malam yang dingin, terlebih Stella yang tengah hamil. Tentu sang pelayan menjadi cemas. Karena jika terjadi sesuatu pada Stella; mereka tahu Tuan mereka akan memberikan hukuman berat pada mereka.“Tidak. Aku di sini saja. Tadi saat aku menghubungi Sean, dia bilang sebentar lagi pulang. Aku mau menunggunya di sini,” jawab Stella keras kepala.Ya, sepulang acara pesta jamuan makan malam; Sean memang meminta Stella untuk pulang lebih dulu bersama dengan sopir. Awalnya Stella menolak, namun Sean bersikukuh untuk Stella pulang lebih dulu. Hingga mau tidak mau Stella terpaksa menuruti permintaan Sean.Dan sekitar lima belas menit lalu, Stella menghubungi Sean—suaminya itu mengatakan akan pulang sebentar lagi. Itu kenapa Stella memilih menunggu di depan rumah. Meski sudah malam tapi Stella masih
“Nona, apa Anda tidak sarapan dulu?” tanya seorang pelayan kala melihat Chery menuruni tangga.“Tidak. Aku hari ini terburu-buru. Aku ada kelas pagi,” ujar Chery seraya mengambil tas dan ponselnya—lalu melangkah menuju parkiran mobil. Namun, tiba-tiba langkah Chery terhenti kala melihat Ken baru saja turun dari mobil. Raut wajah Chery langsung berubah. Tatapan yang tersirat penuh arti.“Untuk apa kau ke sini sepagi ini, Ken?” tanya Chery dingin.“Ikut aku. Nanti kau akan tahu.” Ken menarik tangan Chery, membawanya masuk ke dalam mobil. Reflek Chery terkejut kala Ken menarik tangannya. Chery ingin berontak namun sayangnya tidak mungkin bisa karena tenaga Chery hanya bagaikan kapas untuk Ken.“Ken! Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu? Aku ingin kuliah!” seru Chery kala sudah berada di dalam mobil Ken.Ken tidak menggubris ucapan Chery. Dia menghidupkan mesin mobil dan menginjak gas meninggalkan rumah Chery.Chery mengembuskan napas kasar seraya memejamkan mata kesal. “Ken, aku kuliah
Chery terdiam dengan wajah yang muram dan pandangan yang menerawang ke depan. Tampak wanita itu tengah memikirkan sesuatu. Suatu hal yang membebani pikirannya. Tatapan Chery kini menoleh ke samping—menatap Ken yang masih tidur pulas di sampingnya dengan bertelanjang dada dan terbalut oleh selimut tebal. Ya, Chery tengah duduk di ranjang dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Tubuh polos Chery pun terbalut oleh selimut tebal.Sungguh, Chery tidak menyangka dirinya akan jatuh pada pelukan pria yang menorehkan luka untuknya. Lagi dan lagi Chery jatuh sedalam-dalamnya pada pria yang sama. Sejauh mana pun dia berusaha melupakan nyatanya mulut dan hati tidak pernah bisa disamakan. Chery selalu mengatakan tidak akan memberikan kesempatan untuk Ken. Namun nyatanya, hatinya tidak pernah bisa menolak Ken. Katakan dia bodoh. Chery pun mengakui itu. Hanya saja, Chery memilih untuk menjadi bodoh. Tenggelam dalam pria yang sama.Tak dipungkiri yang ada dalam pikiran Chery saat ini adalah D
“Ken, biarkan aku yang menemui Denis. Kau tidak perlu menemaniku.” Suara Chery berseru kala Ken baru saja membaca pesan masuk dari Denis. Ya, sejak tadi ponsel Chery ada di tangan Ken. Tentu kala ada panggilan atau pesan masuk maka Ken yang akan lebih dulu tahu. Seperti beberapa menit lalu ketika ada pesan masuk dari Denis yang mengatakan berada di rumah Chery, membuat raut wajah Ken langsung berubah. Namun Chery pun tidak bisa berbuat apa-apa. Pasalnya Ken tidak mau memberikan ponselnya. Ken memang berlebihan!“Aku akan tetap menemanimu, Chery,” jawab Ken menegaskan. Nada bicaranya lantang dan penuh penekanan di sana.Chery menghela napas dalam. “Ken, aku tidak ingin lagi terjadi keributan di antara kau dan Denis. Kau jelas tahu, aku sudah melukai Denis,” tuturnya menahan kesal.“Aku tetap akan menemanimu, Chery. Dengan atau tanpa persetujuan darimu,” kata Ken menegaskan.Chery mendesah frustasi. Bayangkan saja sejak tadi dirinya dan Ken terus berdebat karena ini. Berurusan dengan Ke
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al