“Tidakk…..” Stella langsung berlari dan memeluk tubuh Sean. Sontak, dengan sigap Sean memutar tubuhnya. Melindungi tubuh Stella. Hingga saat suara tembakan terdengar, darah mengalir menyentuh tangan Stella.“S-Sean….” Stella mendongakan kepalanya, menatap sang suami kala darah Sean menyentuh tangannya. Bulir air mata Stella menetes. Dalam hatinya begitu ketakutan.“Aku tidak apa-apa, Sayang,” jawab Sean seraya menahan rintihan sakit di punggungnya.“Seannnnnnn….” Marsha berteriak kala tembakan mengenai putranya itu. Saat Marsha hendak mendekat, William langsung memeluk istrinya. William menggerakan kepalanya meminta anak buahnya menangkap Amara.Tangan Amara bergetar ketakutan. Wajah wanita itu begitu panik. Sayangnya tembakan Amara hanya menyentuh punggung Sean. Tembakan itu tetap tidak melumpuhkan Sean. Namun tiba-tiba di detik selanjutnya, ketika Amara menyadari anak buah William menyerangnya dengan cepat Amara kembali mengarahkan pistol pada Sean.Sayangnya, gerakan Amara kalah ce
“Tuan Ken…”Suara Walden memanggil Ken yang tengah berada di taman seraya meminum wine yang ada di tangannya. Ya, kepala Ken terlalu pusing. Dia sengaja memilih menjauh dari keluarganya untuk sementara waktu. Jujur, hal yang membuat Ken menjadi berat adalah ketika melihat Chery. Ken tak mampu berucap apa pun pada Chery. Rasa bersalah pada Chery menelusup ke dalam dirinya.“Ada apa?” Ken mengalihkan pandangannnya pada Walden yang mendekat padanya.“M-Maaf menganggu anda, Tuan. Tapi sebenarnya ada yang ingin saya sampaikan pada anda. Saya tidak bisa memberitahukannya tadi saat di depan banyak keluarga anda. Karena ini menyangkut masalah pribadi anda dan Nona Chery,” ujar Walden yang langsung membuat raut wajah Ken berubah.“Cepat katakan apa yang ingin kau sampaikan!” seru Ken dengan nada mendesak Walden untuk memberitahukannya. Tatapan Ken terhunus dingin pada asitennya itu.Walden terdiam sejenak. Dia mengembuskan napas panjang dan menjawab, “Saya mendapatkan data dari rumah sakit yan
“Nyonya Stella.” Seorang perawat menyapa Stella yang hendak masuk ke dalam kamar. Dia menundukan kepalanya tepat di hadapan Stella.“Apa kau ingin mengganti perban suamiku?” Stella bertanya seraya menatap pelayan yang ada di hadapannya itu. Dia melihat perawat yang membawakan perban dan alkohol. Seperti biasa Sean akan selalu diganti perban setiap pagi.Sang perawat mengangguk. “Benar, Nyonya. Saya ingin menggantikan perban Tuan Sean.”“Hm, sepertinya biar aku saja yang menggantikan perban suamiku. Kemarin aku sudah melihatmu menggantikan perban suamiku. Dan aku sudah memahaminya,” ucap Stella dengan senyuman di wajahnya.Ya, sudah dua hari sejak kejadian Sean ditembak suaminya itu beristirahat di rumah. Sean tidak berkerja sama sekali. Semua pekerjaan diserahkan pada Kelvin dan Ken. Lebih tepatnya hanya Kelvin. Karena belakangan ini Ken terlihat begitu kacau dalam bekerja. Beruntung Kelvin sudah pulang ke Jakarta.“Apa tidak apa-apa Nyonya yang menggantikan perban? Maaf saya hanya ta
Ken mengembuskan napas kasar. Dia duduk di kursi kebesarannya seraya menatap ke arah televisi melihat berita yang muncul pagi ini. Ya, berita tentang dirinya dan Amara telah berhasil masuk trending topik. Seluruh media menyiarkan tentang beritanya dengan Amara. Sudah satu tahun belakangan ini memang Ken mengekspos hubungannya dengan Amara. Itu kenapa ketika Amara saat ini masuk penjara, berhasil menyita perhatian publik. Ditambah bukti perselingkuhan Amara pun sengaja Ken tunjukan di media. Ken tidak peduli meski nama baik Amara rusak sekali pun. Bahkan Ken juga tidak peduki meski media saat ini mengincarnya demi wawancarai dirinya. Ken selalu menghindar. Dia meminta anak buahnya mengatasi para media yang terus memaksa ingin bertemu dengannya.Pikiran Ken begitu kacau. Sudah dua hari ini Ken memikirkan tentang Chery. Tangis Chery. Ucapan Chery begitu memilukan. Semuanya tentang wanita itu telah berhasil memporakporandakan hidup Ken. Ken terbelenggu dalam sebuah kesalahan. Ingin rasany
“Sean, hari ini aku masuk ke kampus pagi. Kau di rumah saja, ya? Jangan pergi ke kantor. Lukamu masih belum kering,” ucap Stella seraya melangkah mendekat pada Sean yang tengah duduk di sofa kamar seraya membaca koran. Kini Stella sudah rapi dengan dress sederhana berwarna kuning dan dipadukan dengan flatshoes. Meski hanya memakai balutan dress sederhana nyatanya Stella terlihat sangat cantik dan anggun.“Aku tidak datang ke kantor tapi harus ada dokumen yang aku periksa. Siang ini Tomy akan ke sini,” jawab Sean sambil menatap sang istri yang duduk di sampingnya.Stella menghela napas dalam. Suaminya itu memang terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan meski masih sakit, Sean tetap melihat pekerjaannya diam-diam saat Stella tertidur pulas. Seperti contoh tadi malam, Stella berpura-pura tertidur lelap. Lalu ternyata Sean malah menuju ruang kerja, untuk memeriksa pekerjaannya. Awalnya Stella ingin marah, namun Stella menyadari suaminya itu begitu banyak memiliki tanggung jawab. Ya, mau
“Hi, Chery.”Pria yang ada di hadapan Chery menyapa Chery dengan hangat. Tampak wajah Stella dan Alika kini memperhatikan lekat-lekat pria yang menyapa Chery itu. Bagaimana tidak? Selama ini Chery selalu menghindar jika ada pria yang berusaha mendekatinya. Sedangkan sekarang ada pria asing yang tiba-tiba menghampiri Chery.“Hi, Denis. Lama tidak melihatmu,” jawab Chery hangat seraya mengulas senyuman di wajanya.Ya, pria yang ada di hadapan Chery adalah Denis—senior kampusnya. Namun, sepertinya baik Stella dan Alika tidak mengingat sosok pria yang ada di hadapan Chery.Denis tersenyum. “Aku senang kau masuk ke kampus lagi, Chery.”“Iya, Denis.” Chery pun ikut tersenyum. “Ah, ya. Aku lupa. Kenalkan ini Stella dan di sampingnya Alika. Mereka adalah teman-temanku,” lanjutnya yang memperkenalkan Stella dan Alika.Denis kembali tersenyum dan melihat ke arah Stella dan Alika bersamaan. “Aku tentu mengenal juniorku. Stella Geovan, istri dari Sean Geovan, pengusaha ternama yang rasanya tidak
Sebuah restoran Meksiko dengan tatanan yang sangat hangat dan elegan membuat Chery yang berada di restoran itu begitu menikmati suasana restoran. Hiasan bunga-bunga yang indah. Ya, kini Chery berada di sebuah restoran bersama dengan Denis. Mereka tengah menikmati makan malam mereka dengan menu hidangan Meksiko. Berkali-kali Chery terlihat menyukai makanan Meksiko yang dihidangkan padanya.“Kau terlihat menikmati makananmu, Chery,” kata Denis sambil melihat Chery. “Aku senang kalau kau menyukai makanan di sini. Paling tidak aku tidak membawamu ke tempat yang salah,” lanjutnya dengan senyuman di wajahnya.Chery tersenyum hangat. “Thanks, Denis. Ini tempat yang sangat bagus. Aku menyukainya.”“Lain kali aku akan mengajakmu ke restoran enak lainnya. Hm, tapi mungkin ada restoran yang sederhana. Apa kau bersedia, Chery? Kalau kau keberatan aku tidak akan mengajakmu ke restoran yang sederhana,” ujar Denis. Tentu Denis harus menanyakan ini pada Chery. Pasalnya banyak wanita yang tidak mau di
Ken mengusap wajahnya kasar. Raut wajahnya tampak begitu frustasi. Ya, dalam benak Ken mengingat kejadian tadi malam kala dirinya begitu memaksa Chery. Dia tahu apa yang dilakukannya ini salah. Hanya saja tadi malam amarah yang terbendung dalam diri Ken benar-benar tidak mampu tertahan. Chery berkencan dengan pria lain membuat darah Ken mendidih. Tidak hanya itu, tapi Chery berkali-kali menolak ketika Ken ingin bertanggung jawab.“Shit!” Ken mengumpat kasar seraya menyambar wine yang ada di hadapannya—lalu menegaknya hingga tandas. Pikirannya kian kacau. Rasa bersalah menelusup ke relung hatinya. Jika saja Chery tidak menolaknya maka ini tidak akan pernah terjadi.Hal yang membuat Ken semakin marah adalah ketika Chery membela pria lain. Namun, jika ditanya apakah Ken mencintai Chery atau tidak maka Ken tidak bisa menjawab. Chery—wanita itu telah berhasil membuatnya menginginkanya. Sejak awal Ken tidak menampik tatapan matanya selalu ingin melihat Chery. Wanita itu sudah lama berada di
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al