Alika dan Chery menatap Stella yang terbaring dengan mata yang terpejam. Dalam hati mereka begitu miris melihat keadaan Stella. Wajah yang lebam. Serta beberapa jahitan di wajah Stella membuat Alika dan Chery menteskan air matanya. Mereka masih mengingat sebelum kejadian kecelaakaan itu; mereka masih berbicara dengan Stella.“Alika, Stella akan baik-baik saja, kan?” tanya Chery dengan bulir air mata yang tak henti menetes membasahi pipinya. Dia terisak pelan melihat keadaan Stella.Alika menyeka air matanya. “Stella, baik-baik saja. Aku yakin, Stella pasti baik-baik saja. Dia akan bersama dengan kita lagi.” Chery membawa tangannya menyentuh tangan Stella dan berucap sambil terisak sesegugukan, “Stella, kami menunggumu. Cepatlah sadar, Stella. Baru saja satu hari kau tidak bersama dengan kami; kami sudah begitu merindukanmu.”Alika merengkuh bahu Chery. “Stella akan berjuang untuk tetap hidup. Aku tahu itu. Stella tidak akan pernah meninggalkan kita.”Chery mengangguk pelan. “Iya, Ste
“Hm, tapi kenapa kau memberikan obat untuk Stella di malam hari? Seingatku tadi perawat sudah memberikan obat untuk Stella. Apa ini permintaan dokter untuk kembali memberikan obat pada Stella?” Suara Alika bertanya dengan tatapan lekat pada perawat pria di hadapannya yang tampak seolah tenang.Sang perawat pria itu tersenyum penuh arti. “Ya, ini semua karena perintah dokter. Jika bukan, aku tidak mungkin datang untuk memberikan obat untuk Nyonya Stella, bukan?”“Ah, iya kau benar.” Alika mengangguk paham. Sesaat raut wajah Alika tampak mencurigai sesuatu. Tadi sore yang datang adalah perawat wanita. Kenapa sekarang perawat pria? Mengingat sifat Sean begitu possessive tentu saja Sean pasti melarang perawat pria memberikan obat untuk sang istri. Ribuan pertanyaan muncul dalam benak Alika. Mungkin Sean memiliki alasan sendiri membiarkan perawat pria yang memberika obat.“Baiklah, Nona. Aku harus memberikan obat lebih dulu,” kata perawat pria itu lagi dengan wajah yang berusaha tenang dar
Sean dan Kelvin berlari menuju ruang ICU Stella. Ya, sebelumnya Sean meminta Tomy membawakan rekaman CCTV itu padanya. Hanya saja, Sean menggunakan ruangan lain di rumah sakit karena tidak mau mengganggu Stella. Namun, kini ketakutan melingkupi diri Sean kala mendengar suara teriakan Alika. Jantung Sean nyaris berhenti. Pikiannya tak henti membayangkan apa yang terjadi pada sang istri.“Sean, tunggu.” Kelvin menahan lengan Sean ketika sepupunya itu hampir mendekat ke ruang ICU Stella. Dia menarik Sean, membuat langkah Sean terhenti.“Sialan! Kenapa kau menahanku!” seru Sean dengan tatapan begitu tajam pada Kelvin.Kelvin mengembuskan napas kasar. Dia menarik tangan Sean ke balik dinding dan berkata, “Pesan suara yang diberikan oleh Alika itu tiga menit yang lalu. Besar kemungkinan mereka ada di dalam. Jika mereka bisa masuk ke dalam ruang rawat Stella artinya mereka berhasil mengelabui dua pengawalmu yang berjaga di depan. Aku menahanmu karena mengingatkan agar kita berhati-hati! Kau
“Ah,” Alika meringis perih saat Kelvin mengompres luka lebam di wajahnya. Ya, kini Alika sudah diantar oleh Kelvin pulang ke rumahnya. Awalnya Alika ingin menginap, namun karena kejadian yang menimpanya membuat Alika tidak mungkin mungkin menginap.“Apa sangat sakit?” tanya Kelvin yang tak tega. Pipi Alika sembab, ditambah dengan sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Membuat Kelvin ingin sekali menghajar pria yang berani melukai Alika. Jika saja dia tidak menahan dirinya, maka dia sudah pasti melenyapkan pria yang melukai Alika.“Sakit sedikit, Kelvin. Aku tidak apa-apa,” jawab Alika pelan. “Terima kasih sudah datang tepat waktu. Jika bukan karena dirimu, kau tidak tahu bagaimana nasibku tadi. Sekali lagi terima kasih.”“Jangan mengucapkan terima kasih. Harusnya aku yang meminta maaf kerena tidak menjawab teleponmu.” Kelvin membelai lembut pipi Alika. “Sekarang aku ingin bertanya padamu, kenapa bisa kau tahu nama obat itu? Dan kau bilang pernah menjadi calon dokter, bagaimana bisa?
Sinar matahari pagi menembus jendela, menyentuh kulit wajah Sean. Perlahan Sean mulai mengerjapkan matanya beberapa kali. Tepat di saat matanya terbuka—senyuman di wajahnya terlukis melihat Stella berada di hadapannya. Istrinya tetap sangat cantik, meski dengan mata yang masih terpejam. Istrinya tetap sangat mempesona. Rambut hitamnya yang memenuhi bantal terlihat sangat indah. Luka lebam, dan beberapa jahitan di wajahnya pun tidak mengurangi kecantikan sang istri.“Morning.” Sean berbisik di telinga Stella. Mengecupi lembut pipi sang istri. “Aku harus membersihkan tubuhku sebentar.”Setelah mengatakan itu, Sean berjalan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Ya, meski Stella masih belum juga sadar tetap saja Sean mengajak sang istri bicara seperti biasanya. Meskipun tidak ada respon dari sang istri, Sean tidak mempermasalahkannya. Karena bagi Sean dengan mendengar detak jantung Stella; itu benar-benar membuat Sean tenang.Tak berselang lama, ketika Sean sudah members
“Alika, kenapa kau memintaku datang ke rumahmu tengah malam seperti ini? Aku mengantuk, Alika. Tadi sore pulang kuliah aku langsung ke rumah sakit menjenguk Stella. Setelah itu aku belum sempat tidur, Alika.” Chery menjatuhkan tubuhnya ke sofa ruang tamu. Ya, kini dirinya telah berada di rumah Alika. Terpaksa dia datang ke rumah temannya itu. Karena Alika sejak tadi tidak henti memaksanya. Padahal wajah Chery tampak begitu mengantuk.“Chery, jangan berlebihan. Ini belum tengah malam. Ini masih jam sepuluh malam. Kau itu bisa melihat jam atau tidak?” seru Alika seraya menunjukan layar ponselnya, tertera pukul sepuluh malam di sana. “Lihat, kan? Ini masih jam sepuluh malam. Bukan jam dua belas malam.”Chery berdecak kesal. “Baiklah, tapi kenapa kau mengajakku keluar malam? Jangan katakan kau ingin mengajakku ke klub malam. Kalau sampai iya, otakmu tidak waras, Alika. Stella masih sakit. Kita harusnya tidak bersenang-senang. Palin tidak sampai Stella sehat.”Alika mengumpat dalam hati me
Alika mengagguk. “Ya, aku Alika. Kau masih mengenalku rupanya. Dan tujuanku langsung menemuimu karena ingin mengatakan sesutatu hal padamu.”“Suatu hal? Ada apa, Alika?” Suara Raynold bertanya dengan nada dingin dan tersirat ketegasan di sana. Tatapannya tak lepas menatap lekat Alika.Alika menarik napas dalam, dan mengembuskan perlahan. Dia terdiam sejenak dan tidak langsung berucap. Didetik selanjutnya Alika bertanya, “Sekarang kau dekat dengan Aurora?”“Kenapa kau bertanya hal itu?” Raynold mengamati seksama Alika. Raut wajahnya tampak tak mengerti kenapa Alika bertanya mengenai Aurora. Padahal tujuan Raynold mendatangi klub malam ini hanya untuk bersenang-senang sebelum dia benar-benar meninggalkan Jakarta. Sedangkan Aurora, wanita itu memiliki tujuan yang sama. Yaitu bersenang-senang di sini. Hingga wanita itu benar-benar meninggalkan Jakarta. Namun, kenapa Alika mempertanyakan tentang Aurora padanya?“Apa kau sudah tahu Stella mengalami kecelakaan?” Bukannya menjawab, Alika kemb
Kelvin melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya; waktu menunjukan pukul satu pagi, namun Alika tidak ada di rumah. Ya, sejak tadi Kelvin memilih menunggu di rumah Alika. Wanita itu pergi malam hari tanpa memberitahunya sedikit pun. Kelvin sudah bertanya pada pelayan, sayangnya pelayan hanya memberitahu Alika pergi bersama dengan Chery. Pun Kelvin berusaha menghubungi Alika—nomor wanita itu aktif tapi tidak ada jawaban. Sebenarnya Kelvin sudah memeriksa GPS di ponsel Alika, letak keberadaan Alika berada di sebuah klub malam. Kelvin hendak menghampiri, tapi dia memilih menunggu dan bertanya langsung. Lagi pula pelayan mengatakan Alika pergi bersama dengan Chery, bukan dengan seorang pria. Jika saja Kelvin mendengar Alika pergi dengan seroang pria sudah pasti Kelvin akan menyusul dan memberi pelajaran tanpa ampun.Saat Kelvin tengah menunggu Alika, dia mendengar suara mobil memasuki halaman parkir rumah. Tanpa menunggu, Kelvin langsung berjalan keluar rumah menunju halaman