Sean kembali mengetukkan jemarinya ke kemudi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Ia mencoba sekali lagi, menekan tombol di alat komunikasinya, berharap ada suara yang menyambutnya di sisi lain. Tapi tetap saja, hanya ada kesunyian yang mengganggu.Ia menghela napas, menatap rumah besar itu dengan mata tajam. Tidak ada tanda-tanda Grita keluar, dan itu membuatnya semakin tidak tenang. Seharusnya, ia bisa mendengar setidaknya suara langkah kaki atau suara samar dari dalam rumah. Tapi sekarang? Tidak ada apa-apa."Brengsek," gumamnya.Sean mengamati alat komunikasinya dengan saksama. Tidak ada indikasi bahwa alat itu mati total, tapi juga tidak menangkap sinyal apa pun. Seakan ada sesuatu yang menghalangi transmisi antara dirinya dan Grita.Matanya beralih ke atas rumah. Mungkinkah ada sistem penghalang sinyal di tempat ini? Anton bukan orang sembarangan, dan jika rumah ini memang memiliki perlindungan khusus, tidak aneh jika alat komunikasi biasa seperti miliknya menjadi tidak bergun
Grita telah benar-benar menghilang dari pandangan Kara. Gadis itu menghela napas kasar, emosinya masih menggebu-gebu. Dua pria yang berdiri di belakangnya tetap terdiam, seakan menimbang kata-kata mereka dengan hati-hati setelah menyaksikan perubahan sikap Kara yang begitu drastis barusan."Siapa yang membiarkan wanita itu masuk?" tanya Kara dengan nada dingin, tatapannya tetap lurus ke depan, tidak sekalipun melirik ke belakang.Pak Adi dan Kaisar saling berpandangan, seolah melempar tanggung jawab satu sama lain. Pak Adi menatap Kaisar dengan isyarat halus, mendorongnya untuk berbicara sebelum amarah Kara semakin memuncak.Namun, Kaisar tetap diam.Pak Adi menghela napas berat. Ia bisa merasakan ketegangan yang semakin menggantung di udara."Maaf, Non. Ini salah Pak Ad—""Saya."Sebuah suara tiba-tiba memotong, membuat Pak Adi terhenti di tengah kalimatnya."Saya yang mengizinkan dia masuk."Kara berbalik cepat, langkahnya mantap saat ia mendekat ke Kaisar. Sorot matanya tajam, penu
"Iya, dia kekasihku."Baik Kara maupun Pak Adi sama-sama terdiam, sedang mencerna ucapan Kaisar. Kara mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menatap pria dihadapannya lalu tersenyum sinis. Pak Adi melirik Kaisar dengan tatapan tajam, seolah menuntut penjelasan lebih lanjut. "Pantas saja. Kalian bekerja sama untuk menghancurkan keluarga ku?" sinis Kara.Kaisar menggelengkan kepalanya, "Tidak, sama sekali tidak."Pak Adi melirik Kaisar dengan tatapan tajam, seolah menuntut penjelasan lebih lanjut. Tapi lelaki itu masih terdiam seolah enggan untuk berucap atau menjelaskan barang sepatah kata pun."Kau ingin aku percaya? Setelah semua ini?" Kara tertawa kecil, penuh sindiran. "Kekasihmu itu wanita yang mendekati ayahku dan tiba-tiba saja muncul di sekelilingku? Jangan bilang ini semua kebetulan."Kaisar tetap berdiri tegak, meski sorot matanya menunjukkan kegelisahan, mereka sedang mencurigainya saat ini. "Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi aku tidak pernah berkhianat padamu atau keluar
"Bodoh!"Dodi menggebrak meja dengan keras hingga semua orang yang ada diruangan itu terkejut. Grita menoleh kearah Sean yang terlihat biasa saja dengan reaksi Dodi, seperti ini bukan kali pertama Sean melihat Dodi seperti ini. Pria paruh baya itu berdiri dari kursinya lalu mendekati Sean."Apa yang kau pikirkan sebenarnya?" ucap Dodi dengan tatapan kesalnya. Sean tak bereaksi."Saya hanya mengikuti rencana yang sudah dibuat sebelumnya," jawab Sean dengan tenang."Lalu apa yang kau dapatkan? tak ada kan?"Seam terdiam. Memangnya apa yang Dodi harapkan pada misi ini? ia dipasangkan dengan seseorang yang bahkan belum pernah berkecimpung di dunia seperti ini sebelumnya, apalagi Grita sepertinya gadis baik-baik. Tentu sulit bagi Sean untuk melakukan tugasnya, menurutnya bahkan lebih mudah melakukan ini sendirian."Memang belum menemukan apa-apa, ini baru pertama kalinya kami bekerja sama."Dodi mendengus, lalu beralih ke Grita. Gadis itu tampak ragu dan gelisah. Dodi menatapnya dingin,"A
Setelah Raven pergi meninggalkannya sendirian di apartemennya, Anton menghela nafasnya panjang dan mengacak rambutnya. Keadaan apartemennya sangat berantakan, beberapa botol alkohol yang kosong isinya ada diatas meja, puntung rokok juga berserakan diatas lantai, bahkan gorden jendela juga tidak dibuka. Anton benar-benar meluapkan emosinya disini malam tadi. Ia sudah lupa waktu, sudah berapa lama ia tak pulang kerumah, hari apa saat ini bahkan sekarang jam berapa pun Anton tak ingat. Pikirannya kacau, ia butuh kebebasan. Tapi ia kembali mengingat ucapan Raven sebelum ia pergi tadi. Anton hanya punya Kara seorang, seharusnya ia harus menjadi figur ayah yang baik padanya, bukannya menjauhinya seperti ini. Anton menyadari bahwa penyebab keluarganya diteror terus terusan seperti ini adalah ulahnya, ia harus menghentikan ini semua. Menyelesaikan semuanya sampai ke akar-akarnya.Setelah berdebat dengan pikirannya sendiri, Anton bangkit dari duduknya, mengambil ponselnya lalu berjalan sambil
Bi Ina yang sedang menyapu lantai rumah terkejut melihat Anton yang tiba-tiba muncul. Dia langsung mendekati Anton untuk memastikan dan mengecek keadaannya dengan panik layaknya ibu kepada anak sendiri. "Tuan, darimana saja!" panik Bi Ina sambil terus melihat kondisi Anton yang tampak lusuh.Anton tersenyum tipis, lalu menoleh ke sekeliling seperti mencari seseorang."Kara ada dimana, Bi?" tanyanya.Bi Ina langsung paham, ia lalu tersenyum tipis, "Ada dikamar, Bibi panggilin ya," ucap Bi Ina.Bi Ina hendak pergi menuju kamar Kara untuk memanggil gadis itu, tapi langsung dicegah oleh Anton. "Biar saya saja yang kesana," ucap Anton. Bi Ina mengangguk.Pria itu lalu berjalan menaiki tangga menuju kamar yang ada di lantai atas, Bi Ina hendak mengikutinya tapi langsung dicegah oleh Pak Adi. Bi Ina kebingungan dan protes kenapa dia mencegahnya. Pak Adi dengan nada tegas menjawab."Jangan ikut campur, itu bukan urusan kita."Anton berjalan menuju kamar anak gadisnya yang sudah beberapa ha
"Pecat Grita."Suara Kara terdengar halus namun tegas. Hanya dua kata namun mampu membuat Anton terdiam dibuatnya. Seketika hening diantara mereka, sekeliling mereka juga seakan ikut terdiam. Semilir angin membuat rambut panjang Kara bergerak bebas. Kara tersenyum miring, tahu bahwa ayahnya itu pasti akan bimbang dan kebingungan dengan ucapannya ini.Anton kebingungan dan terlihat sangat sulit mengambil. keputusan. Lalu setelah menunduk untuk beberapa saat, Anton menghela nafas dan telah mengambil keputusan."Sudah kuduga Papah tidak akan melakukannya." Kara berdiri lalu berjalan pergi. Sampai di beberapa langkah, suara Anton menghentikan langkah kaki Kara."Oke, akan Papah pecat," ucap Anton.Kara berhenti, tersenyum miring. Kali ini ia berhasil, Anton akan mulai mengikuti apa yang ia ucapkan. Ini adalah permulaan yang bagus, Kara harap rencananya akan berjalan lancar. Kara membalikkan badannya menatap Anton dengan senyuman tipis, senang dengan keputusannya."Sekarang juga," ucap Ka
Pak Adi berdiri di depan pos mengamati Kaisar dan Vano yang sedang menahan Grita diluar gerbang. Pak Adi berulang kali menoleh ke gerbang lalu ke rumah mengawasi apabila Anton maupun Kara tiba-tiba datang. Apabila salah satu diantara mereka keluar dan melihat Grita, maka keributan pasti akan terjadi lagi."Beliau ga bisa diganggu, silakan pulang saja," ujar Kaisar.Grita tidak percaya, dengan kekeh ia terus meminta untuk masuk kedalam dan bertemu dengan Anton."Eh, santai mbak!" ujar Vano saat Grita hendak maju dan menerobos masuk."Biarin saya masuk, saya mau ngomong sama dia!" desak Grita.Mudah saja bagi Kaisar dan Vano menghalangi jalan dengan tubuh mereka dari Grita yang memaksa ingin masuk. Perempuan ini pantang menyerah, dia bahkan berani mendorong tubuh yang dua kali lebih besar dari tubuhnya. Tapi tetap saja tidak membuat dua pria itu menyingkir."Wah, gila kali ini cewek," ujar Vano sedikit kewalahan karena ulah Grita.Kaisar juga tampaknya kebingungan bagaimana mengatasi pe
Langit malam gelap tanpa diterangi bulan atau bintang. Awan hitam menggantung rendah, menutup seluruh penjuru langit. Suasana sepi dan udara menusuk. Angin malam menderu pelan, menyentuh kulit. Dodi berdiri diam di tengah bayangan pohon besar yang menjulang di luar pagar rumah Anton. Cabang-cabangnya bergerak ringan tertiup angin.Di sekeliling Dodi, dua puluh sembilan anak buahnya tersebar dengan posisi siaga, tersembunyi di balik semak, kendaraan, dan sudut-sudut gelap yang tak terjangkau cahaya jalan. Mereka mengenakan pakaian gelap, wajah sebagian tertutup masker, senjata dalam genggaman. Hanya sorot mata mereka yang terlihat dingin, fokus, siap. Masing-masing sudah tahu tugasnya, sudah hafal betul sinyal yang akan Dodi berikan.Tim mereka terbagi tiga: sepuluh orang menjaga keadaan sekitar rumah, berjaga agar tak ada yang masuk atau keluar. Delapan orang lainnya menyelinap masuk lewat sisi timur, menargetkan satu sasaran penting yakni Kara. Dan dua belas sisanya termasuk Sean dan
"Aku tidak takut pada ancaman itu, apapun yang terjadi aku tak akan menyerahkan berkas yang dia mau."Leo menatapnya, "Kau yakin pelakunya 'dia'?"Anton mengangguk yakin, "Yakin, 100 persen yakin."Daniel menghela nafas kasar, "Dia tidak mudah menyerah ya?""Dia tak akan menyerah sebelum mendapat yang dia mau, bahkan dengan mengorbankan orang lain," ucap Anton.Leo menatapnya dengan tatapan tak bisa diartikan. Dia tahu apa yang menimpa sahabatnya itu, yang merenggut nyawa istri dan anaknya. Kejadian itu, salah satu kejadian yang membuat Daniel dan Leo cukup trauma. "Dia bilang dalam 48 jam, dia akan melakukan dengan caranya sendiri. Maksudnya dia akan menyerang kita?" tanya Daniel.Leo mengangguk, "Yap, kau pasti sudah tahu.""Lalu sekarang apa?" tanya Raven.Anton dan Leo saling pandang, seolah keduanya berbicara lewat mata. Tak ada satu pun dari mereka yang benar-benar asing terhadap ancaman. Tapi kali ini terasa berbeda, lebih pribadi, lebih mematikan.“Kita harus bersiap,” kata A
"Aku tidak menemukan mereka, sepertinya mereka disembunyikan di suatu tempat," ucap Sean sambil melepas jaketnya.Suasana ruangan itu seperti biasa: remang, penuh asap rokok, dan beberapa berkas yang berserakan di meja besar di tengah ruangan. Dodi duduk di sana, tangannya memegang cangkir kopi yang isinya sudah setengah dingin. Beberapa anak buah mereka duduk di sekeliling, beberapa sibuk sendiri, dan yang lainnya hanya mendengarkan.Sepulang dari rumah Kara, Sean langsung menuju markas. Menceritakan tentang apa yang terjadi di rumah itu."Bahkan sesuatu yang mencurigakan sedikit pun kau tidak menjumpainya?" tanya Dodi, matanya tak lepas dari wajah Sean.Sean menggeleng, lalu menatap lantai. Ia berpikir sejenak, mengingat kembali saat ia di rumah itu."Aku pergi ke ruang bawah tanah, namun pintunya terkunci. Kupikir mereka pasti disekap di sana. Tapi setelah itu, Kaisar menemukanku.""Lalu?" desak Dodi."Dia mencurigaiku, lalu mengusirku. Namun sebelum pergi, aku mendengar sesuatu da
Daniel kembali ke mobilnya dan duduk di balik kemudi. Disampingnya Raven duduk dengan tenang dengan pandangan fokus ke depan. Mesin menyala, Daniel menginjak pedal lalu mobilnya meluncur keluar dari kawasan rumah Anton. Lokasi pembuangan telah disepakati sebelumnya: sebuah tempat pembakaran ilegal di ujung kawasan industri tua, jauh dari pemukiman, tempat orang-orang seperti mereka menghilangkan jejak.Di dalam mobil, mayat itu tergeletak kaku di dalam bungkus plastik, terikat rapi seperti paket yang hendak dikirim jauh, bedanya, paket ini tak akan pernah diterima siapa pun.Selama perjalanan, Daniel tidak menyalakan radio ataupun sekedar berbincang dengan Raven. Ia hanya berkonsentrasi pada jalanan, namun pikirannya melayang jauh. Berapa banyak orang yang harus mati seperti ini? Berapa banyak rahasia yang harus dikubur bersama tubuh-tubuh yang dibakar hingga tak bersisa?Sekitar tiga puluh menit kemudian, mereka tiba di lokasi. Bangunan itu tampak seperti pabrik tua, catnya mengelupa
Daniel kembali datang ke kediaman Anton pada malam harinya. Langit di luar gelap pekat, hanya suara jangkrik dan sesekali lolongan anjing yang memecah keheningan. Malam ini, ia ditugaskan Anton untuk mengurus mayat yang ada di ruang bawah tanah. Selain itu, Anton ingin mendiskusikan langkah selanjutnya dalam menghadapi teror yang semakin menggila, yang mengintai mereka diam-diam.Daniel datang sendirian. Tidak bersama Rei. Gadis itu tak bisa datang karena pekerjaannya menumpuk.Begitu masuk ke area rumah, Daniel langsung menuju ruang tengah. Di sana, ia menemukan Leo sedang duduk santai di sofa dengan secangkir kopi panas yang masih mengepulkan asap."Dimana yang lain?" tanya Daniel tanpa basa-basi."Entah," jawab Leo singkat tanpa memalingkan wajah dari layar TV yang menyala.Daniel mengerutkan dahi, lalu menjatuhkan diri di sofa di sebelah Leo. Ia bersandar, menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa sambil mengembuskan napas panjang. Leo meliriknya sekilas, lalu bertanya,"Mana Rei?"
Malam hari yang dingin, Grita merapatkan jaket yang dipakainya. Walaupun ia memakai jaket yang cukup tebal, dinginnya udara tetap saja menusuk kulitnya, seolah-olah menembus lapisan jaket yang membungkus tubuhnya. Nafasnya mengepul kecil setiap kali ia menghembuskan udara, menandakan betapa dinginnya malam itu. Langit di atasnya gelap, tanpa bintang, hanya temaram lampu jalan yang sesekali menyala redup.Taxi yang Grita tumpangi berhenti di pinggir jalan karena tidak bisa mengakses jalan menuju alamat yang Grita tuju. Tempatnya lagi-lagi di pinggiran kota, dan jalan yang harus Grita tempuh adalah gang-gang kecil yang sempit dan gelap. Jalan-jalan setapak itu hanya cukup dilewati oleh satu orang dewasa, dan di beberapa titik bahkan terlihat genangan air kotor yang memantulkan cahaya dari ponselnya.Untungnya dia sudah tidak kaget dengan keadaan seperti ini. Pekerjaan dan situasi-situasi tidak biasa yang sering dia alami membuatnya terbiasa menghadapi tempat dan kondisi yang tidak nyama
Kara dan Sean mengobrol cukup lama di halaman belakang. Topik mereka ringan, hanya tentang materi pelajaran dan beberapa hal lain yang terdengar seperti basa-basi, tapi suasananya tidak benar-benar canggung. Kaisar tetap bertahan di dapur, berdiri bersandar pada meja sambil memandangi mereka lewat jendela. Matanya tak lepas dari pergerakan Sean. Namun setelah hampir setengah jam berlalu tanpa keanehan apa pun, Kaisar mulai ragu dengan perasaannya sendiri. Mungkin dia hanya terlalu overthinking. Kaisar menghela napas, berniat meninggalkan dapur dan kembali ke ruang tamu. Tapi baru saja ia memutar tubuh, suara Sean terdengar dari belakang."Aku ke toilet sebentar ya," ujar Sean lalu melangkah cepat menjauh.Kaisar yang sempat menoleh sekilas, langsung menyipitkan mata. Insting Kaisar kembali aktif. Ia segera menyusul diam-diam, tak membiarkan jarak terlalu jauh. Tapi alih-alih berbelok ke kanan menuju toilet yang berada di sebelah dapur, Sean justru terus berjalan lurus ke arah lorong
Rentetan pesan dari Grita baru saja Dodi baca, ia sudah membukanya tapi tak membacanya sampai akhir. Isi pesannya semua sama, menanyakan apa yang harus gadis itu lakukan karena Anton telah memecatnya. Dodi tentu terkejut, di luar dugaannya Anton malah memecat Grita di saat gadis itu bahkan belum mendapatkan informasi apapun tentang pria itu."Sepertinya aku memang harus melakukan rencana itu," ucap Dodi pada dirinya sendiri.Ia sudah ada rencana, karena ia yakin bahwa Anton tidak akan menyerahkan berkas yang dia mau begitu saja, jadi rencana lain harus terlaksana. Sean sudah melakukan bagian tugasnya dengan datang ke rumah Anton dan mencari tahu apa yang terjadi dengan dua anak buah mereka yang tertangkap. Tapi sekarang, dengan Grita kehilangan posisinya, semua jadi semakin rumit."Aku harus menemui Grita," gumamnya lagi, lalu mengetik pesan.***Sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar Grita melalui tirai tipis yang tak sepenuhnya tertutup. Ponsel di meja kecil di sebelah ranjan
Kaisar dan Vano keluar dari ruang bawah tanah setelah semalaman menginterogasi seorang pria dan seorang mayat. Pria yang masih hidup itu tertidur atau mungkin pingsan, jadi Kaisar dan Vano keluar dan meninggalkannya. Lagipula, berada di ruangan yang sama dengan mayat selama berjam-jam memberikan sensasi aneh yang tidak nyaman. Terutama karena ini adalah kali pertama bagi Kaisar dan Vano merasakannya.Vano menghembuskan napas berat dan langsung berjalan menuju pintu depan, melangkah keluar tanpa sepatah kata. Sementara Kaisar memilih berbalik arah, melangkah ke dapur untuk mengambil minuman. Tenggorokannya terasa kering, seperti gurun setelah semalam yang mencekam.Dapur rumah itu memiliki pintu kayu besar yang langsung menghadap ke halaman belakang. Pintu itu terbuka sedikit, membuat cahaya matahari pagi masuk, mengusir udara dingin dan aroma logam yang masih terasa di hidung Kaisar. Tanpa berniat menguping atau mengintip, pandangannya jatuh pada dua sosok yang duduk di bawah pohon di