“Kau seharusnya tidak menjanjikan untuk menjemputku! Atau kau tidak seharusnya memintaku untuk menunggu!” Niken berteriak dengan berapi-api di hadapan Axel. Axel menarik nafas dalam dan mengembuskannya. Dia melilitkan handuk ke pinggang dan menjelaskan pada Niken dengan nada setenang mungkin. “Aku datang ke rumah sakit dan kau tidak ada di sana. Aku juga sudah berusaha mencari ke restoran terdekat, tapi aku tidak menemukanmu. Entah sudah berapa restoran yang Aku datangi. Dan aku juga sudah berusaha menghubungi ponselmu, tapi tidak aktif. Dan terakhir aku memutuskan untuk memeriksamu ke rumah.” “Kau hanya beralasan! Dari awal kau memang tidak berniat untuk menjemputku. Kau hanya berusaha untuk mempermainkanku, Axel Marais!” “Niken! Niken, tunggu!” Axel bergegas mengadang langkah Niken yang akan meninggalkan kamar mandi. “Ah!” Tiba-tiba Niken mengerang karena ada rasa sakit di perutnya. Dia memegangi perutnya sambil bersandar pada dinding kamar mandi. Axel terkejut. “Ada apa? Ka
Niken meninggalkan restoran. Dia sedang berdiri di pinggir jalan untuk menunggu taxi. Sebuah mobil hitam melaju dengan lambat hingga akhirnya berhenti tepat di depan Niken. Sang pengemudi membuka kaca mobil. Niken yang penasaran pun sedikit membungkuk untuk melihat siapa orang tersebut. “Naiklah!” “Axel?” Niken benar-benar terkejut sekaligus panik. ‘Apa Axel tahu apa yang sedang aku lakukan di sini? Apakah orang yang menguntitku sejak dari rumah memang benar-benar orang suruhan Axel? Ini terlalu mengejutkan untuk menjadi suatu kebetulan.’ Niken sibuk dengan pikirannya sendiri. “Kenapa kau bengong dan masih berdiri di sana? Kau sedang hamil dan jangan terlalu lelah. Cepat naiklah dan kita akan pulang bersama.” ‘Akan lebih aneh dan mencurigakan jika aku menolak, bukan?’ Dengan sangat hati-hati dan gugup, Niken pun masuk ke mobil. Dia duduk diam dan hanya menatap lurus ke depan. Axel mendekatkan bibirnya ke wajah Niken. Gadis itu memejamkan mata dan mengerut di tempat duduknya.
Axel berada di kantornya. Dia duduk dengan gelisah tampak sedang menunggu seseorang. Pintu terbuka. Axel segera menegakkan badan dan memasang wajah dingin. Terlihat dari kedua tangan yang terkepal kuat tengah menahan emosi yang hampir meledak di dalam kepalanya. Marco dan Carlos datang sambil menyeret seorang pemuda berjaket dan bertopi hitam. Pemuda itu terus memberontak, melawan, dan memaki. Dia meminta agar Carlos dan Marco melepaskannya. Kedua pengawal tersebut tidak berniat melepaskannya. Mereka mencengkram semakin kuat kedua lengan pemuda itu lalu menyeretnya sampai ke hadapan Axel. Pemuda itu dipaksa berlutut di depan Axel. Axel bangkit dari kursinya. Dia berdiri dengan kedua tangan terkepal dan menatap pemuda itu dengan begitu tajam. Pemuda itu acuh tidak acuh. Dia dengan santai memijat-mijat rahangnya yang kaku. Wajahnya lebam dan darah segar terlihat masih keluar dari bibirnya yang pecah. “Brengsek!” umpat pemuda itu. “Apa mau kalian sebenarnya? Aku akan menuntut kali
Axel baru kembali dari jogging. Setiap pagi sebelum berangkat kerja, dia selalu menyempatkan diri untuk berolahraga atau sekedar lari di sekitar pantai. Begitu kembali ke rumah, Axel berpapasan Niken yang sudah berpakaian rapi dan akan meninggalkan rumah. Axel masih kesal. Dia pun mengabaikan Niken meski begitu penasaran ke mana gadis itu akan pergi. Axel langsung menuju ke dapur dan mengambil segelas air. “Axel, aku pergi dulu!” ujar Niken. Axel hampir tersedak air minum karena kaget. Dia pun melambaikan tangan pada Niken tanpa melirik pada gadis itu. “Pergilah!” Niken urung meninggalkan rumah dan berbalik ke dapur untuk mencari Axel. “Apalagi sekarang?” tanya Axel sedikit ketus. “Apa kau melupakan sesuatu?” Niken tiba-tiba tersenyum ke arah Axel sambil merentangkan tangan dan membentuknya menjadi sebuah hati yang besar. “Axel, aku sangat mencintaimu! Aku mencintaimu seluas langit dan sedalam samudra!” teriak Niken. Dia mengatakan hal itu sambil tertawa kecil untuk menggoda
Axel dan Niken duduk berpelukan di sofa ruang tamu mereka. Di depan mereka ada seorang wartawan dan seorang juru kamera yang sedang mengabadikan momen kemesraan tersebut. “Pertanyaan terakhir,” kata sang wartawan. “Nona Raswani, apakah Anda mengenal Clarissa Jordan?” Wajah Axel mengeras. Dia sudah meminta para wartawan untuk tidak membicarakan masalah pertunangannya dengan Clarissa yang gagal. Axel terlihat tidak nyaman di tempatnya. Tapi, Niken terlihat begitu tenang dan menjawab pertanyaan wartawan itu. “Ya, tentu saja saya mengenalnya. Clarissa adalah rekan bisnis suami saya. Saat ini mereka sedang menjalankan sebuah proyek pengembangan dan revitalisasi kawasan baru.” “Tapi, dia dan suami Anda tampak dekat,” ujar sang wartawan. “Mereka memang dekat karena sudah lama berteman. Bahkan, mertua saya dan orang tua Clarissa juga sudah bersahabat lama. Axel dan Clarissa berteman sejak mereka masih bersekolah. Aku merasa bersyukur karena Axel memiliki teman yang baik. Bahkan, ketika k
Niken melepas kacamatanya. Dia masih duduk di depan laptop di meja kerjanya. Beberapa kali Niken menoleh ke arah pintu dan sesekali memeriksa jam di dinding. “Sudah lewat tengah malam. Dia belum pulang juga. Meski sudah kukatakan berulang kali pada diriku sendiri untuk tidak menunggunya, tapi tetap saja aku terus menunggu.” Niken mendesah sambil menyandarkan punggung lelahnya. Dia mengusap-usap perutnya yang membesar dan terasa semakin berat. “Oh, kau menendang? Kau belum tidur, sayang?” Dia merasakan bayinya menendang sesekali. Ada perasaan takjub sekaligus geli yang menjalar dari perut ke sekujur tubuh Niken setiap kali sensasi tendangan itu datang. “Apa kau juga menunggunya pulang?” Niken berbicara pada bayi di perutnya. “Di saat seperti ini, aku rasa aku menyukainya. Tapi, saat melihat cara dia berbicara, aku sama sekali tidak menyukainya.” Niken menggeleng-geleng dan sekali lagi menghela nafas berat. *** Axel terjaga di pagi hari. Dia duduk tegak sambil memegang kepalan
Niken dan Louis sudah masuk ke bioskop dan mencari tempat duduknya. Niken benar-benar terlihat gugup dan panik. “Kenapa mereka ada di sini? Apa mereka benar-benar akan mulai menggangguku saat ini?” “Ada apa?” tanya Louis ketika mereka sudah duduk dengan nyaman. “Oh, tidak ada apa-apa.” “Apa kau merasa tidak nyaman karena temanmu melihat kita nonton berdua?” Niken cepat-cepat menggeleng. “Tentu saja tidak. Bukan karena itu. Hanya saja, aku merasa tidak nyaman karena dia terus mengatakan padaku bahwa kamu mungkin tertarik padaku.” Louis diam-diam tersenyum. “Tapi, kenyataannya aku memang tertarik padamu.” Senyum hilang sama sekali dari wajah Niken. Dia menoleh pada Louis dan menatapnya dengan serius. “Apa?” Dengan santai Louis menjawab, “Kau mungkin tidak tahu bahwa sebenarnya aku adalah orang yang sangat sibuk. Tapi, aku rela meluangkan waktu dan mengajakmu nonton. Itu bukan hal yang mudah untukku.” Niken kebingungan dan gelagapan. Dia tidak tahu harus merespon seperti apa kat
“Ibuku?” Louis mengerutkan kening. “Niken, apa kau yakin ibuku ingin bertemu untuk membicarakan sesuatu? Aku merasa ini tidak akan menjadi hal yang baik. Tapi kalau kau yakin untuk pergi ke sana, aku akan mengantarmu.” “Tidak perlu,” sergah Niken. “Turunkan saja aku di sini. Axel sedang dalam perjalanan menjemputku. Kami akan ke rumah ibumu bersama-sama.” Louis mengabaikan permintaan Niken. Dia menolak menurunkan Niken dalam perjalanan. Louis bersikeras mengantarkan Niken langsung ke rumah besar keluarga Marais. Mobil Louis berhenti di pelataran rumah besar keluarga Marais. Dari arah yang berlawanan, mobil Axel juga berhenti di saat yang sama. Mobil mereka pun saling berhadapan. Axel dan Louis saling tatap melalui balik kemudi masing-masing. Niken melihat ketegangan di antara mereka. Dia pun segera turun dari mobil Louis dan menghampiri Axel dengan tergesa. “Ayo, kita pergi!” ujar Axel sambil menarik tangan Niken. “Pergi? Apa maksudmu pergi?” Niken kebingungan. “Ya, apa maksud