“Niken, bersiaplah! Louis akan datang untuk makan malam di rumah kita.” Niken yang sedang bekerja dan sibuk dengan sinopsisnya tiba-tiba terhenyak. “Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba sekali? Dan sejak kapan kau menjadi baik serta akrab dengan adik tirimu, Axel?” “Jangan protes dan jangan banyak tanya! Sebaiknya kau segera bersiap. Beberapa jam lagi Louis akan datang untuk makan malam.” Niken gelagapan. “Tapi, aku belum menyiapkan apapun untuk makan malam. Dan aku tidak tahu harus menjamunya dengan apa?” “Kau tidak perlu memikirkan itu. Aku sudah menyiapkan segalanya. Kau hanya perlu merias diri secantik mungkin. Ingat, di depan Louis kau harus bersikap selayaknya istriku!” Niken menggerutu kesal. Axel meninggalkannya begitu saja. Niken tidak tahu apa yang sedang Axel. “Pria itu selalu memberiku banyak kejutan. Dia juga sama sekali tidak terduga.” Axel kembali ke dapur dan sibuk menyiapkan hidangan makan malam. Dia sudah merencanakan semua ini setelah berhasil menggagalkan rencan
Terjaga di pagi hari, Axel terlihat begitu gembira dan bersemangat. Niken sampai heran melihatnya. Biasanya saat bangun pagi, muka Axel sudah terlihat judes dan galak. “Ada apa?” Niken penasaran. “Kau aneh sekali hari ini. Kau terlihat begitu gembira.” “Tidak juga,” kelak Axel sambil menyembunyikan senyum gembiranya. “Kegiatanmu apa hari ini?” “Aku akan bertemu dengan Louis sore ini untuk membawa sinopsisku.” Axel sudah siap mengumpat dan marah tapi dia menahan diri. “Sungguh? Kapan akan selesai?” Axel berkata dengan ketus. “Entahlah,” jawab Niken dengan acuh tidak acuh. “Kegiatanku hanya menandatangani beberapa dokumen dan surat-surat. Kalau aku sudah selesai, mari kita makan bersama!” Axel berkata dengan tegas dan pedas di hadapan Niken. Niken tiba-tiba merasa merinding. Dia menggosok-gosokkan kedua lengannya dan menatap Axel dengan heran. “Ada apa denganmu? Tadi kau senyum-senyum sendiri dan sekarang tiba-tiba marah. Kau benar-benar aneh.” Merasa bersalah, Axel pun kembal
Niken tidak sadar betapa lelahnya dia semalaman. Sepanjang malam dia terus menangis dan marah sampai tertidur di sofa. Begitu membuka mata, cahaya matahari sudah menerangi seluruh isi rumah. Niken cepat-cepat bangun. Dia pikir Axel mungkin sudah pulang dan tidur di kamarnya. Berhati-hati, perempuan itu menaiki tangga menuju ke lantai dua. Niken berdiri di depan kamar Axel yang tertutup dan perlahan membukanya. Kamar itu kosong. Posisi kasur juga masih dalam keadaan rapi–tidak terjamah sama sekali. Itu artinya Axel memang tidak pulang selama semalaman. Kemarahan semakin berkobar di dalam dada Niken. Dia kembali turun ke lantai dasar dan duduk termenung di sofa. Axel pun pulang. Dia membuka pintu dan melihat Niken duduk sendirian di sofa ruang tamu. “Niken? Kau bangun pagi hari ini?” sapa Axel. Niken hanya duduk diam sambil melirik Axel dengan tajam. Dia tidak berkomentar apa pun. Melihat Niken yang diam saja dan sama sekali tidak merespon, Axel pun berjalan mendekatinya. “Kau…
“Aku bersikap dingin padamu?” tanya Louis sambil mengerutkan kening. “Ya!” Balas Niken. “Tinggalkan pekerjaanmu di sana dan pergilah! Aku tidak paham denganmu! Kita akan membicarakannya nanti.” Niken menirukan gaya berbicara Louis saat terakhir kali mereka bertemu di kantornya. “Aku bersikap seperti itu?” tanya Louis pura-pura lupa. “Ya. Kau tahu betapa aneh rasanya?” Tiba-tiba Louis tertawa geli melihat tingkah Niken yang mencoba meniru gaya berbicaranya. Lalu mereka berdua pun tertawa bersama-sama. *** Axel kembali ke rumah dengan tangan kosong setelah usahanya mencari Niken sia-sia. Kembali ke rumah tanpa hasil membuatnya semakin frustrasi. Dengan pakaian masih basah kuyup, Axel terus mondar-mandir di rumahnya seperti orang gila. “Ke mana dia pergi? Aku bahkan tidak bisa merasakan kehadirannya. Aku sudah mencoba melacak jejaknya melalui penciumanku tapi tidak berhasil menemukannya. Seolah seseorang telah menghapus jejaknya.” *** Louis membawa dua cangkir teh hangat ke ru
Dua bulan kemudian, Niken kembali bekerja dan bertemu dengan Louis untuk menyerahkan sinopsis yang sudah dia kerjakan. Tapi, hari itu Louis malah meminta Niken untuk bertemu dengannya di taman. “Aku pikir kau orang yang sibuk?” ujar Niken. “Tapi, kau malah memilih bertemu denganku di tempat seramai ini?” “Aku hanya ingin tahu bagaimana pemuda sekarang berkencan. Kita sudah nonton dan juga makan bersama. Apalagi yang bisa kita lakukan kalau bukan berjalan-jalan di taman berdua?” “Kencan?” Niken mengangkat kening dan tidak paham dengan arah pembicaraan Louis. “Anggap saja kita sedang berlatih dan melakukan simulasi kencan untuk riset sinopsis yang harus kau kerjakan. Dari tulisanmu, aku bisa membaca bahwa kau tidak cukup berpengalaman dalam hal percintaan. Bukankah begitu?” Wajah Niken merah menahan malu. Dia bahkan menghancurkan masa mudanya yang begitu berharga dengan satu kesalahan dana kecerobohannya. Karena Niken berkencan dan percaya pada pria yang salah. Mereka menghabiskan
Tarik-menarik terjadi selama beberapa menit yang melelahkan. Akhirnya Axel menyerah karena lemari itu sangat sempit untuk tubuhnya yang besar dan berotot. “Kenapa dia kuat sekali?” gerutu Axel. Niken tidak mau menyerah dan terus menarik pintu lemari itu. Pada tarikan terakhir, dia bahkan mengerahkan seluruh kekuatannya hingga Axel terjungkal keluar dari dalam lemari beserta baju-baju yang ikut terbawa. Niken menjerit karena kaget melihat Axel tiba-tiba menggelinding dari lemari. “Apa-apaan ini? Apa yang kau lakukan di dalam lemariku? Dasar mesum! Dasar psikopat! Pria brengsek!” Axel meringkuk di lantai setelah terjungkal dari lemari. Niken memukulinya menggunakan apa saja yang bisa dia temukan. “Niken, ampun! Hentikan! Aku bisa menjelaskan semuanya.” Mereka berdua pun duduk di meja makan setengah jam kemudian. Tidak ada yang berbicara. Mereka hanya saling menatap. Sedangkan Axel masih menunduk malu sambil memegangi pipinya yang masih terasa panas usai ditampar oleh Niken denga
Niken memegang kontrak baru yang sudah mereka sepakati dan tandatangani. Niken benar-benar menyimpan salinan kontrak itu dengan baik. Ting Tong Bel rumahnya berbunyi. Niken sendirian di sana. Axel baru saja pergi bekerja. Niken cepat-cepat menyembunyikan salinan kontrak itu dan turun ke lantai dasar untuk membukakan pintu. Dia kaget saat melihat Clarissa berdiri di depan rumahnya. “Hai, apa kabar?” sapa Clarissa. Niken masih memegangi pintu yang separuh terbuka. Dia enggan membiarkan Clarissa masuk tapi juga tidak punya alasan untuk mengusir perempuan itu. Niken hanya bisa bersikap sopan sewajarnya pada Clarissa. “Ya, kabarku baik. Bagaimana denganmu? Kau ada perlu apa jam segini sudah ada di rumahku?” tanya Niken. “Maaf aku tidak menelpon dulu dan langsung datang ke sini. Bisakah aku berbicara denganmu?” Awalnya Niken pikir Clarissa datang untuk bertemu dengan Axel. Tapi karena Clarissa mengatakan ingin berbicara dengannya, Niken pun mempersilahkan Clarissa masuk. Usai meng
Niken menghela napas berat berkali-kali usai kepergian Clarissa. “Aku seharusnya tidak mengatakan hal itu.” “Seharusnya aku tidak perlu mengatakan apa-apa padanya.” “Kenapa aku mengatakan hal seperti itu padanya?” Niken menghela napas berkali-kali lagi. Di sisi lain, Axel berada di tempat parkir. Dia duduk di dalam mobilnya sambil senyum-senyum sendiri. Dia baru saja membeli sebuket bunga untuk dia berikan pada Niken di rumah. Ponsel Axel berdering. Clarissa menghubunginya. “Kenapa dia terus-menerus menggangguku?” gerutu Axel. Axel pun berusaha mengabaikan telepon tersebut tapi Clarissa mengirimnya pesan. Awalnya, Axel enggan. Tapi akhirnya dia pun memeriksa pesan tersebut dan membacanya dengan cepat. Axel menjadi gusar dan tidak lagi bisa mengabaikan perempuan ini. Niken masih melamun di rumahnya dan menyesali setiap perbuatannya. Dia menyesal sudah berbicara dengan Clarissa. Telepon rumah berdering dan Niken segera menjawab. “Axel?” Niken begitu bersemangat ketika menden
Di antara desahan napas mereka yang saling memburu, Axel membisikkan sesuatu ke telinga Niken. “Menikahlah denganku, Niken. Jadilah istriku. Jadilah ibu dari putri dan calon anak-anak kita nanti. Menikahlah denganku, cintaku…” *** Beberapa bulan setelah malam tersebut. Seorang perempuan paruh baya tengah membersihkan meja restoran usai pelanggan terakhir pergi. Wajahnya tampak lelah. Tapi dia masih begitu semangat bekerja. Pintu terbuka. “Maaf kami sudah tutup!” ujar pekerja restoran tersebut tanpa menoleh dan tetap mengelap meja. Seorang gadis kecil berusia tiga tahun yang sangat cantik dan menggemaskan berjalan mendekatinya. Perempuan itu menghentikan aktivitasnya mengelap meja. Dia kaget sekaligus terpukau dengan kecantikan gadis itu. “Hai, Nak! Kau datang dengan orang tuamu?” Perempuan itu menoleh ke pintu dan tidak melihat siapa pun. Dia pun berlutut di depan balita itu untuk menyejajarkan posisinya. “Kau datang sendirian? Siapa namamu? Restoran kami sudah tutup. Apa k
Niken berhasil meloloskan diri dari pelukan Axel tanpa menjatuhkan harga dirinya. Dia mengembuskan napas lega usai mengusir pria itu. Tidak lagi terdengar suara Axel yang berteriak maupun mengetuk pintu. Niken kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas merawat Angelie. Beberapa jam kemudian, Niken pun menuju ke pintu depan dan membukanya. Dia mengintip ke halaman dan tidak melihat Axel di mana pun. Ada rasa penyesalan sekaligus kehilangan di dalam hati kecilnya. Tapi Niken berusaha menepis semua kekhawatiran itu dan kembali fokus pada kehidupannya saat ini. Saat Niken akan menutup kembali pintu, sudut matanya menangkap sekelebat gerakan yang mengganggunya. Nikah pun keluar dan berjalan menuju ke halaman samping. Dia terkejut ketika melihat Axel tengah berbaring meringkuk di ayunan. “Astaga, apa yang sedang dia lakukan di sana? Benar-benar keras kepala. Kenapa dia tidak juga pergi dari sini?” Niken pun kembali kesal dan membanting pintu hingga menutup rapat. Niken p
Axel kembali ke rumah pantai dan berlari dengan tergopoh-gopoh. Dia membuka pintu rumah yang tidak terkunci dan berteriak memanggil nama Niken. “Niken! Niken Di mana kau?” Axel tidak menemukan Niken di manapun. “Angelie? Ini papa!” Axel pun berlari menuju ke lantai dua. “Angelie? Kalian di mana? Niken?” Rumah itu benar-benar kosong. Axel tidak menemukan Niken dan putrinya di mana pun. Axel nekat pergi ke kamar Niken. Tempat itu juga kosong. Dia mencari ke ruangan yang lain dan melihat sebuah kamar bayi. Langkah Axel melambat begitu melihat banyak sekali perlengkapan bayi di sana. Axel berlutut di depan ranjang bayi. Dia mengambil salah satu sepatu rajut kecil milik putrinya dan menciumnya dengan air mata berderai. “Di mana kalian berada? Apa sesuatu yang buruk menimpa Angelie? Ke mana aku harus mencari kalian?” Axel tidak tahu lagi harus ke mana. Dia pun kembali keluar dan berdiri di halaman rumah dengan gelisah. Dia letakkan tas ranselnya ke tanah dan berdiri di sana sepert
Niken berjalan-jalan di sepanjang pantai bersama dengan putri kecilnya. Dia meletakkan Angelie di dalam stroller. Niken terus bercerita sambil menunjukkan banyak hal kepada Angelie. “Maafkan mama, Angelie. Saat seperti ini, aku benar-benar menyesal pada diriku sendiri karena tidak bisa memberikanmu seorang ayah yang bisa kau banggakan di hadapan teman-temanmu kelak.” Niken berlutut di depan stroller sambil menatap sepasang mata bening bayi itu. Angelie tersenyum ceria sambil sesekali memasukkan tangannya ke mulut. Niken mengulurkan telunjuknya untuk membelai pipi Angelie. Bayi kecil itu pun meraih jari Niken dan menggenggamnya erat. “Aku benar-benar merindukan Mama di saat seperti ini. Apa yang dia lakukan sekarang? Apa dia sehat di sana? Betapa berat rasanya harus membesarkan seorang anak sendirian tanpa didukung oleh suami dan keluarga. Kini, aku tahu betapa marahnya Mama malam itu, ketika tahu aku sedang hamil. Aku bisa mengerti jika dia mengusirku dari rumah. Aku benar-benar la
Niken pulang ke rumahnya yang sepi dan gelap. Tempat pertama yang dia tujuh adalah bekas kamar Axel. Dia buka pintu kamar itu dengan pelan. Di dalam hati kecilnya, Niken berharap ada keajaiban. “Apa yang sedang aku lakukan di sini? Mustahil dia tiba-tiba muncul di sini, kan? Aku bahkan tidak tahu di mana dia saat ini. Setelah kutolak lamarannya, dia pergi begitu saja meninggalkan segalanya.” Niken akan menutup kembali pintu kamar Axel yang kosong. Lalu tatapannya terhenti pada potret Axel berukuran besar dan masih terpasang di dinding. Axel bertelanjang dada dan berpose dengan begitu memikat dalam foto itu. “Hanya foto itu satu-satunya yang masih tertinggal.” Niken mengingat betapa Axel sangat membanggakan foto itu. Saat itulah Niken benar-benar mulai merasakan kesepian. Dia menepis kenangan manis tentang Axel dan lekas menutup kembali pintu kamarnya. Niken pun bergegas menuju ke kamar Angelie. Gadis kecil itu satu-satunya pelipur kesepian Niken saat ini. *** Louis pergi ke pa
Enam bulan kemudian… “Kau tidak perlu membawakanku bunga dan mainan untuk Angelie setiap kali berkunjung ke sini, Louis.” Niken mempersilakan Louis masuk ke rumah pantai yang kini menjadi miliknya. Louis duduk di ruang tamu. Dia menatap ke arah stroller bayi tempat di mana Niken meletakkan Angelie yang sedang tidur lelap di sana. “Kau sepertinya suka bunga. Dan aku juga sama sekali tidak keberatan jika harus membelikan lebih banyak mainan untuk Angelie. Lihatlah dia tidur dengan sangat lelap. Gadis kecil ini tumbuh begitu cepat.” Niken membawakan minuman untuk Louis. “Maaf jika rumah ini berantakan. Karena aku benar-benar harus mengerjakan semuanya sendiri termasuk mengurus Angelie.” “Kau selalu menolak tawaranku untuk memberikan Angelie pengasuh.” “Tidak apa Louis. Aku tidak ingin kehilangan momen berharga menemani masa-masa pertumbuhan emas putriku.” “Oh, aku datang ke sini untuk mengabarkan padamu bahwa kami sudah memilih sutradara untuk film yang akan kita produksi.” “Ben
Sang pengacara membacakan isi surat wasiat yang kedua. “Tuan Marais mengatakan bahwa Tuan Axel bisa memilih antara surat wasiat pertama atau kedua. Tuan Axel juga bisa menolak perjodohan dengan Nona Clarissa Jordan. Tapi, dia harus bisa menemukan jodoh lain yang telah ditentukan untuknya pada surat wasiat yang kedua.” “Apa?” Celine dan Louis benar-benar terkejut. “Apa maksudmu dengan jodoh lain yang sudah ditentukan? Berapa jodoh yang ditakdirkan untuk Axel?” “Tuan Axel ditakdirkan menjadi pasangan dari dua orang gadis. Gadis pertama memang Nona Clarissa Jordan. Gadis yang kedua adalah putri dari perempuan yang pernah dicintai oleh Tuan Marais.” “Omong kosong!” teriak Celine. Sang pengacara pun menceritakan semuanya pada Celine dan juga Louis dengan disaksikan oleh Carlos. “Tuan Marais memiliki cinta pertama dari kalangan manusia. Tepat sebelum dia menikah dengan ibunya Axel. Karena perempuan ini dari ras manusia, maka Tuan Marais tidak bisa melanjutkan hubungannya. Dia pun memi
Celine dan Louis sudah menunggu di kantor notaris yang ditunjuk oleh Tuan Marais. Mereka berkumpul di sana untuk mendengarkan pembacaan surat wasiat oleh pengacara. “Kenapa tidak kita mulai saja?” ujar Celine. “Kami sudah menunggu cukup lama di sini.” Sang notaris berdeham. Beberapa kali dia melirik ke arah pintu dan juga jam tangan. “Tuan Axel belum datang. Saya tidak bisa membacakan surat wasiat ini jika seluruh anggota yang berkepentingan belum hadir.” “Dia tidak akan datang,” seru Louis. “Dia sudah menyerah dan sadar posisinya tidak akan mampu mendapatkan kepemimpinan di perusahaan. Axel sudah gagal memenuhi surat wasiatnya.” Seseorang membuka pintu. Semua yang ada di dalam ruangan sang notaris terkejut. Mereka pikir yang datang adalah Axel. Begitu melihat Carlos yang masuk ke ruangan tersebut, mereka pun mengembuskan napas lega kecuali sang notaris. “Di mana Tuan Axel?” tanya sang notaris. “Tuan Axel sedang dalam perjalanan ke sini. Bukankah batas waktu pemenuhan surat wa
Sebulan pun berlalu usai terbongkarnya status pernikahan kontrak Niken dan Axel. Selama itu pula pemberitaan di media semakin kuat menerpa. Beragam gosip dan fitnah terus bermunculan. Kondisi perusahaan di bawah kepemimpinan Axel semakin menghadapi guncangan. Kerugian terus-menerus terjadi. Proyek-proyek lain yang dipegang oleh Axel pun semakin berguguran dan ditinggalkan oleh para investornya. Perusahaan manajemen artisnya pun mulai ditinggalkan. Pagi itu, Niken terbangun dengan perasaan yang begitu kesepian dan tidak nyaman. Semalaman, dia sibuk mempersiapkan seluruh perlengkapan untuk persalinan. “Seharusnya aku akan melahirkan tepat di hari ulang tahunku yang ke-18. Tapi, belum ada tanda-tanda kontraksai sampai saat ini.” Dan di hari itu pula, masa depan Axel akan ditentukan. Surat wasiat sang ayah jatuh tempo pada hari itu. Axel akan mewarisi seluruh perusahaan Marais atau sebaliknya, dia akan dikeluarkan dari perusahaan dan posisinya digantikan oleh Louis. Niken keluar dari